“Kami sudah atur pernikahan kalian. Jadi kamu tidak bisa mundur lagi.“
Liana Parker menyemburkan air minum yang belum sempat ditelannya ke arah sang Papah yang berada di depannya, matanya membelalak, menampilkan keterkejutan dan ketidakpercayaan. Dia tau orang tuanya ingin ia segera menikah, tapi tidak menyangka kalau orang tuanya akan seserius ini. Dia kira mereka hanya ingin memberinya gertakan semata.“Liana, pelan-pelan minumnya. Ini wajah Papahmu jadi basah semua,” ucap Mamahnya, yang kemudian meraih tisu untuk membersihkan wajah sang suami.“Ya maaf, Mah, Pah. Tapi ini bukan masalah pelan-pelan, aku terkejut karena ucapan Papah. Bagaimana Papah dan Mamah bisa mengatur pernikahanku tanpa memberitahuku sebelumnya?““Kalau kami memberitahumu dulu, memangnya kamu akan setuju?“ sindir sang Papah, sudah tau jawaban apa yang akan diberikan putrinya.“Tentu saja tidak. Siapa juga yang ingin menikah, Pah, Mah? Liana tidak ingin menikah.“ Saat ini dia belum memiliki keinginan untuk menikah. Liana sudah cukup merasa tenang dan bahagia dengan kehidupan yang dimilikinya sekarang.“Itulah salah satu alasan yang membuat kami ingin menikahkanmu, karena sampai sekarang kamu belum juga mau menikah. Membawa pacarmu ke rumah saja tidak pernah,” timpal sang Mamah, dengan mengerutkan dahinya. Dia hanya menginginkan kebahagiaan dan masa depan yang baik bagi putrinya. Namun, dia menjadi khawatir karena selama ini sang putri belum pernah mengenalkan pacar ataupun pria yang disukai.“Tidak pernah membawa pacar ke rumah bukan berarti aku tidak punya 'kan, Mah.““Jadi, kamu punya?“ tanya Papahnya , begitu penasaran untuk menunggu jawaban Liana.“Punya!“ Liana menjawab tanpa berpikir panjang, walau ketidaknyamanan mulai merayapinya.Kedua orang tua Liana saling pandang, tampak terkejut dengan ucapan putri mereka. “Siapa?“ tanya mereka berbarengan.Liana terdiam sejenak, lalu dengan cepat mencoba mencari jawaban yang tepat. “Ya ada. Dan yang pasti dia seorang pria.““Ya tau kalau dia pria, tapi siapa? Pria itu punya nama, kan? Setidaknya beritahu Papah siapa namanya.“ Sang Papah mendelik curiga.“Namanya … Pavel. Ya, Pavel.““Pavel?“ Orang tua Liana lagi-lagi dibuat terkejut ketika mendengar nama yang disebut putrinya. Mereka kembali saling pandang dan bertukar isyarat mata.“Kalau begitu, bawa Pavelmu ke rumah besok,” tegas sang Papah.Dalam kepanikan, Liana mengangguk tanpa sadar. Entah apa yang membuatnya begitu nekad, padahal dia tidak punya pacar, pria yang disuka pun tidak ada. Dan nama Pavel yang disebutkannya, hanya sebuah nama yang terlintas begitu saja dikepala. Mungkin karena pagi tadi dia tidak sengaja membaca nama itu di sebuah sampul majalah bisnis yang akan dibaca sang Papah.“Bagus! Mamah akan menyiapkan makan malam yang enak untuk kita semua." sang Mamah sudah sangat antusias untuk menyambut hari esok dan bertemu dengan kekasih dari putrinya.“Ingat Liana! Walau kamu sudah membawanya kehadapan kami, bukan berarti Papah akan langsung setuju. Papah akan lihat dulu, apa dia benar cocok untukmu atau tidak. Mengerti?“Liana kembali mengangguk. “Papah atur sajalah, Liana mau pamit pergi dulu.“Liana merasa sedikit pengap di rumah, dia butuh udara luar yang segar untuk melancarkan pernafasannya.“Kemana?“ tanya sang Mamah, memicingkan mata.“Mau ketemu Aluna sama Mix,” jawab Liana, berbohong pada orang tuanya.***Di dalam klub yang penuh gemerlap, Liana menemukan sudut yang lebih tenang dan memesan minuman di meja bar. Dia duduk di sana, mencoba meredakan ketegangan yang masih memenuhi dirinya."Minuman apa yang ingin Anda pesan, Nona?" tanya seorang bartender dengan ramah.Liana mengedipkan mata, mencoba menghilangkan rasa tegang. "Aku butuh yang bisa membuatku melupakan sesuatu sejenak.“Bartender itu mengangguk dan mulai mencampurkan minuman khusus untuk Liana. Sambil menunggu, Liana merenung tentang situasinya yang rumit. Kebohongannya dan pernikahan yang diatur orang tuanya, membuat dia merasa terjebak.Akan tetapi, dia sadar kalau yang paling penting sekarang adalah menemukan langkah selanjutnya. Setidaknya dia tidak harus menikah dengan pria yang orang tuanya pilihkan.“Silahkan, minuman Anda, Nona.“ Bartender menyajikan sebuah minuman yang tampak menarik dengan warna mencolok.“Terima kasih.“ Liana mengangkat gelasnya dan meminumnya perlahan, mencoba mencari ketenangan dalam setiap tegukan. Namun, tetap saja pikirannya tidak bisa tenang. “Sial! Kenapa aku harus mengatakan kalau aku sudah punya pacar. Kalau sudah begini mau cari pacar kemana coba? Mana waktunya besok."Liana mengacak rambutnya frustasi, lalu kembali meneguk minumanya. Merasa tidak puas, ia pun menatap gelas yang sudah kosong dan membalikan gelasnya di atas mulut, berharap masih ada setetes minuman yang tersisa.. Namun, tidak ada satu tetes pun yang terjatuh.“Hi!“ Liana, melambaikan tangannya untuk memanggil bartender yang tadi membuatkan minuman. “Aku mau pesan satu minuman lagi. Kalau bisa yang efeknya lebih terasa, yang ini tidak terasa apapun.““Apa benar tidak terasa apapun? Anda kelihatannya sudah cukup mabuk Nona." Si bartender memperhatikan Liana yang memang terlihat sedikit mabuk.Liana terkekeh kecil. “Aku tidak mabuk. Berikan saja minuman terbaikmu! Aku butuh sesuatu yang lebih terasa."“Baiklah.“Bartender itu kemudian menyajikan minuman spesial kedua dengan campuran yang lebih kuat. Liana mengangkat gelasnya dan meneguknya. Efek minuman kali ini langsung terasa memberi kehangatan yang membuatnya sedikit lebih bersemangat, padahal dia baru meminumnya sedikit.Sambil menikmati minumannya, Liana melihat sekeliling bar. Di tengah keramaian, matanya tertuju pada sosok pria yang duduk sendirian di sudut. Pria itu terlihat memperhatikannya dengan tatapan tajam yang misterius."Kenapa aku merasa seperti sedang diperhatikan oleh pria itu, ya?" Liana menyipitkan mata, sedikit tertarik untuk mengamati si pria dengan lebih jelas.Pria itu memiliki pesona yang cukup berbeda dari pria lain yang pernah Liana temui, rambutnya yang hitam tersisir dengan rapi, dagunya terlihat begitu tegas dan tatapannya terasa begitu misterius dan mendalam.Liana yang semakin penasaran memutuskan untuk mendekati pria misterius itu. Dengan langkah yang agak ragu dan terhuyung, dia menyusuri ruang bar, membawa gelas minuman yang belum dihabiskannya. Namun, tanpa sengaja dia menabrak seorang pria yang tengah berdiri di tengah jalan. Minuman yang ada di gelasnya tumpah berserakan ke lantai, menciptakan kekacauan kecil di sekitar.“Apa kamu buta!“ bentak pria yang ditabrak Liana."Maafkan aku." Liana segera menundukan kepala, walau masih dengan mencoba menahan keseimbangannya.Pria itu memandangi Liana dari ujung rambut sampai ujung kaki dan tersenyum licik. “Apa kamu sendirian, Cantik?“ Tangan pria itu terulur menyentuh dagu Liana, seolah dia tengah menggoda si wanita.Liana menyelipkan diri dari sentuhan pria tersebut, mencoba untuk menjaga jarak. "Memangnya kenapa kalau sendirian? Aku baik-baik saja walau sendiri," jawabnya tegas.Senyum licik pria itu semakin lebar. "Terserah padamu. Tapi malam ini akan lebih seru jika kamu bersama seseorang seperti aku."Liana menggelengkan kepala dengan cepat, yang membuatnya kembali sedikit terhuyung. "Aku tidak tertarik. Aku sedang mencari calon pacar, bukan masalah yang seru."Pria itu mengangkat alisnya dengan ekspresi mengejek. "Calon pacar, huh? Bagaimana jika aku menjadi calon pacarmu untuk malam ini?"Liana tidak suka dengan nada sugestifnya. "Tidak, terima kasih.“Namun, pria itu tidak menyerah begitu saja. Dia terus mencoba mendekati Liana dengan rayuan dan godaan. Meskipun merasa semakin tidak nyaman, Liana berusaha untuk tetap tenang dan bersikap tegas."Sudahlah, jangan ganggu aku," pintanya.Pria itu tersenyum cabul. "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Cantik. Kenapa tidak mencoba sesuatu yang berbeda?"Liana merasa semakin terjepit dalam situasi yang tidak diinginkannya. Dia berusaha mencari cara untuk keluar dari situasi tersebut tanpa menciptakan keributan yang lebih besar.Sementara itu, tatapan tajam dari sudut klub masih begitu menyilaukan. Liana merasa pria misterius yang tadi duduk sendirian masih memperhatikannya. Dalam hati, Liana berharap ada bantuan tak terduga yang muncul untuk menyelamatkannya dari godaan pria yang semakin menjijikan di depannya.“Ayolah, ikut denganku saja.“ Pria itu mulai meletakan tangannya di pinggang Liana, membuat wanita itu terjatuh karena kaget dan mencoba menghindar.Di tengah keadaan yang semakin genting, Liana memperhatikan dengan harap-harap cemas. Tiba-tiba, seorang pria dengan pakaian yang rapi dan tegas muncul di sampingnya, menarik perhatian pria bejat tersebut.“Apakah ada masalah di sini?" tanya pria tersebut dengan suara berat yang lantang, memperlihatkan ketegasan dalam tatapannya.Pria bejat itu melepaskan sentuhannya pada Liana dan memandang pria yang baru datang dengan acuh tak acuh. "Tidak ada masalah. Kami hanya sedang berbincang-bincang santai."Si pria misterius terlihat jengah. "Saya rasa wanita ini ingin dibiarkan sendirian dan merasa terganggu dengan Anda. Apakah Anda tidak mengerti?"Liana mendongakan kepalanya, bermaksud untuk mengatakan sesuatu. Namun, bibirnya kembali terkatup saat melihat pria tegas yang tengah membelanya. Pria tegas itu adalah pria di ujung bar yang dia rasa terus memperhatikannya sedari tadi.Pria bejat itu mengepalkan tangannya, tampak kesal. “Sudahlah, kamu tidak perlu ikut campur!““Dia itu calon istriku, bagaimana bisa aku tidak ikut campur? Kalau sampai dia kenapa-napa maka aku juga yang akan rugi. Apa Anda mengerti sekarang?“Pria bejat itu tampak tergopoh-gopoh mengucapkan permintaan maaf dan tanpa berkata banyak lagi, dia segera meninggalkan tempat tersebut dengan ekspresi yang tidak puas.Liana, yang masih terkejut, memandang pria yang telah membantunya itu dengan tatapan bingung.“Tidak perlu menatapku begitu. Aku mengatakannya hanya untuk membatumu saja.“ Pria itu berucap dingin, tampak tau kalau si wanita ingin mempertanyakan tentang pernyataanya.Liana membulatkan mulutnya dan mengangguk mengerti. “Sebelumnya terima kasih banyak. Aku tidak tau apa yang akan terjadi jika kamu tidak datang membantuku,” ucapnya dengan perasaan lega.“Tidak perlu berterima kasih, lain kali hati-hati saja. Jangan membuat repot orang lain.“ Pria itu berkata sembari merapikan kemeja yang dikenakannya, lalu berbalik membelakangi Liana untuk melangkah pergi.Akan tetapi, Liana yang melihatnya segera berdiri dan meraih tangan si pria untuk menghentikannya. “Tunggu! Aku belum tau namamu. Siapa namamu? Aku Liana.“Pria itu menoleh, menatap Liana dengan dingin. “Pavel.“Tangan Liana sontak melepaskan tangan si pria, matanya membelalak karena kaget. Bagaimana bisa dia bertemu dengan pria bernama Pavel di sini? Ini tidak mungkin kebetulan, bukan? Atau ini takdir dari Tuhan agar dia terlepas dari pernikahan yang telah di atur orang tuanya?Apapun itu, yang terpenting sekarang adalah dia telah menemukan pria yang cocok untuk dia jadikan pacar. Bukan pacar sungguhan, melainkan pacar pura-pura saja. Dia tau kalau ingin pacar sungguhan tidak mungkin bisa cepat.“P–Pavel? Apa namamu benar-benar Pavel?“Pria itu mengangguk dengan acuh tak acuh, lalu berniat untuk kembali melangkah pergi, sebelum akhirnya dia mendengar permintaan Liana berikutnya yang membuat langkahnya kembali terhenti.“Kalau begitu, maukah kamu menjadi pacarku?““Sebentar, Nona Liana. Kamu jangan banyak bergerak dulu.“ Terdengar suara rendah Pavel dari dalam mobil sport berwarna hitam yang terus bergoyang-goyang di tepi jalan.Setelah menawarkan hal yang tidak terduga kepada Pavel tadi, Liana terhuyung dan hampir saja jatuh. Untungnya, Pavel lebih dulu meraih wanita itu dan memegangi tubuhnya agar tetap berdiri tegak.Pavel juga lah yang memapah Liana keluar dari bar dan membantu wanita itu untuk masuk ke dalam mobil. Dan sekarang, Pavel bukan sedang melakukan sesuatu yang tidak senonoh pada Liana di dalam mobil, melainkan tengah berusaha untuk memasangkan sabuk pengaman.Hanya saja, Pavel merasa sedikit kesulitan karena sabuk pengamannya seperti tersangkut sesuatu. Ditambah lagi, Liana terus saja berulah dan tidak mau diam.Seperti saat ini, dimana Liana meletakan satu tangan di kerah kemeja Pavel dan menarik pria itu mendekat, bersamaan dengan satu tangan lain yang menekan sebuah tombol hingga membuat sandaran kursinya merendah.“Apa yang se
Cahaya matahari menyusup masuk dari celah tirai jendela yang sedikit terbuka, membangunkan Liana dari alam mimpinya. Wanita itu membuka mata perlahan, merasakan kepala yang masih agak berat sembari meraba-raba sekeliling.“Ini … apa ini?” Tangan Liana terasa menyentuh sesuatu yang aneh dan hangat, membuatnya perlahan menoleh ke samping dan menemukan kehadiran seorang pria yang masih tertidur tepat di sampingnya. Dengan tubuh bagian atas si pria yang tidak tertutup sehalai benang pun.“Oh Tuhan!“ Liana terduduk dan spontan membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Di menghela nafa lega saat melihat tubuhnya masih memakai pakaian lengkap. “Syukurlah! Tapi apa yang sudah terjadi semalam?" Liana mencoba mengumpulkan ingatan tentang kejadian malam sebelumnya. Perlahan dia menyadari kalau semalam ia mabuk dan Pavel lah yang mengantarnya pulang, bersamaan dengan momen-momen lain yang mulai muncul dibenaknya seperti sebuah puzel.“Tunggu, apa semalam aku menciumnya?“ Liana bertanya pada diri se
Pavel mengedikkan bahunya dengan enteng. “Aku hanya menduga, mengingat sikap dan cara bicaramu.“Dengan mulut yang membentuk huruf O, Liana mengangguk. “Aku juga tidak mempermasalahkan pekerjaan. Lagipula, ini hanya pura-pura. Dan yang penting untukku saat ini adalah meyakinkan orang tuaku bahwa aku sudah memiliki pacar.""Baiklah, jika itu yang kamu inginkan, aku akan menjadi pacar pura-puramu.""Terima kasih, Pavel.“ Spontan Liana menjabat tangan Pavel dengan erat, merasa bahagia karena akhirnya si pria mau untuk membantunya. “Kamu benar-benar sudah banyak membantuku sejak semalam. Aku pasti akan membalas semua bantuanmu. Katakan saja padaku jika ada yang kamu butuhkan, oke!“Pavel tidak tertarik dengan apa yang ditawarkan Liana, meminta imbalan tadi pun hanya bentuk basa-basinya saja, bukan karena dia benar-benar menginginkannya. "Lupakan saja dulu tentang balas membalas. Tapi, pastikan kamu menyelesaikan semuanya dengan benar, karena aku tidak mau ada masalah dengan orang tuamu di
Semua orang menoleh, menatap pria yang tengah berdiri di ambang pintu masuk rumah mereka. Pria yang mengenakan tuxedo berwarna coklat itu, terlihat begitu tampan dan percaya diri.Dengan cepat, Liana berdiri dan melangkah menghampiri si pria. “Sayang, kamu datang!“ serunya, berusaha untuk memainkan peran dengan baik.Pavel mengangguk singkat. “Sesuai yang sudah disepakati.”“Ya, terima kasih karena sudah menepati kesepakatan kita.”“Hm.” Pavel menanggapi dengan dingin, membuat Liana meliriknya dan menghembuskan nafas malas.“Beraktinglah dengan baik, Pavel!” Liana memperingatkan si pria, tidak ingin jika rencananya gagal karena sikap Pavel tidak seperti seseorang yang sedang berbicara dengan pacarnya.“Tidak usah menggurui. Aku akan melakukannya dengan caraku sendiri, aku tau kapan aktingku dibutuhkan dan tidak.” Suara pelan dari si pria memang terdengar lembut di telinga, namun nada suara dan kata-katanya sedikit ketus dan menohok bagi Liana.Liana terdiam sejenak, merasa kesal tap
“Mama dan adikku baik, Om. Dan tentang berpacaran, sejauh ini belum sempat ku sampaikan kepada mereka.” Pavel melirik ke arah Liana sejenak, ingin memastikan bagaimana reaksi wanita itu.Diana tertawa kecil. "Jadi, masih dalam tahap rahasia, ya?”"Iya, masih tahap merahasiakan, Tante," jawab Pavel, dengan nada bercanda.“Lalu bagaimana kamu bisa mengenal Liana dan berpacaran dengannya? Apa kalian bertemu sesudah pertemuan keluarga kita saat itu, atau bagaimana? Karena yang om ingat saat itu kamu mengatakan kalau kamu belum memiliki pacar.” Max sudah menahan rasa penasarannya untuk bertanya tentang hal ini sedari tadi, dia ingin tau apa Pavel sengaja memacari anaknya setelah pertemuan mereka atau memang semua ini hanya ketidaksengajaan semata.“Saat Om bertanya, aku memang belum memiliki pacar. Karena kebetulan kami baru saling kenal selama satu bulan dan berpacaran baru selama satu minggu, yang artinya aku bertemu dengannya setelah pertemuan keluarga yang pertama kali.”“Jadi kamu sen
Sorot mata Liana menunjukkan keterkejutan yang amat sangat, ada kekecewaan, kebingungan serta kekesalan juga di sana. Terkejut karena waktu yang disebutkan hanya satu minggu. Bingung, kecewa dan kesal karena orang tuanya masih saja memintanya untuk menikah, padahal dia sudah membawa seorang pacar ke hadapan mereka.Sementara itu, Pavel justru mengangguk menyetujui ucapan Papahnya Liana. “Baik, Om, saya setuju.”Pavel sangat yakin dengan keputusannya, dia sudah menduga kalau inilah yang akan terjadi. Dia tau kalau orang tua Liana tidak akan menyerah untuk meminta wanita itu menikah hanya karena Liana memperkenalkan seorang pacar kepada mereka. Itulah kenapa saat Liana mengajaknya untuk menjadi pacar pura-pura, dia sempat merasa ragu, apalagi yang dijadikan pacar pura-pura oleh wanita itu adalah dirinya.“Tunggu dulu, Pavel! Ini kenapa kamu malah iya- iya aja sih?” Liana semakin dibuat kesal karena persetujuan Pavel atas keinginan Papahnya. Dia meminta pria itu untuk berpura-pura menjad
“Ya. Aku memang sedikit membohongimu dan aku sengaja melakukannya.“ Pavel menjawab dengan berbisik pula.Liana mengepalkan tangan dengan erat, sorot matanya mencerminkan kekecewaan dan kemarahan yang semakin merasuk dalam diri. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa Pavel berucap dengan santai dan seperti tidak merasa bersalah sedikitpun, padahal pria itu telah membohonginya. Benar-benar membuatnya semakin naik darah!“Kendalikan wajahmu, Liana! Jika keluargamu melihat, mereka akan tau kalau kamu sedang marah dan mereka mungkin akan bertanya kepadamu tentang kenapa kamu marah. Lagipula kamu tidak perlu semarah itu, karena aku tidak sepenuhnya berbohong. Perlu diingat juga, bahwa kamu sendiri pun sedang berbohong kepada keluargamu sekarang.”Seketika raut wajah Liana berubah biasa saja. Walau masih merasa marah dan kecewa, tapi dia sadar kalau apa yang diucapkan Pavel ada benarnya. “Jadi apa yang kamu maksud dengan tidak sepenuhnya berbohong? Lalu apa alasanmu membohongiku, apa kamu piki
Sore ini, langit terlihat bagaikan kanvas raksasa dihiasi warna-warna hangat dan lembut. Sementara seorang wanita yang baru saja pulang dari kantornya, kini sudah berada di dalam apartemen seorang pria.Semalam, setelah Pavel pulang dari rumahnya, Liana segera menghubungi pria itu untuk mengajak bertemu. Namun, karena ingin membicarakan sesuatu yang penting tentang pernikahan, dia meminta izin untuk bertemu di apartemen si pria saja. Dan tadi, saat ia sampai di gedung apartemen Pavel, pria itu memberitahunya kalau akan pulang terlambat dan mengirimkan nomor sandi apartemen agar ia bisa masuk ke dalam lebih dulu.Entah karena pria itu tidak ingin dia menunggu di luar terlalu lama, atau karena alasan lainnya, dia tidak tau. Yang penting sekarang, dia sudah berada di dalam apartemen itu. Liana menatap sekeliling apartemen dengan seksama. Saat dia datang ke sini pertama kali, dia tidak sempat untuk melihat-lihat apartemen itu dengan benar dan sekarang dia bisa melihat semuanya dengan jela
Langkah kaki si pria seakan ingin menghampiri tempat di mana Liana dan Aluna duduk, tetapi langkah itu tiba-tiba terhenti bersamaan dengan ponsel yang diletakan di telinganya. Tak berapa lama, si pria berbalik dan bergegas pergi meninggalkan cafe. Sementara kedua wanita yang tadi ingin dihampiri si pria masih sibuk mengobrol dengan serius.“Lalu, hal lain apa yang ingin kamu katakan padaku?” tanya Aluna, menatap Liana penuh rasa penasaran.Liana meremas jari-jarinya sendiri. “Apa kamu tau bagaimana kabar Liam?”“Liam?” Kedua alis Aluna mengerut, matanya menatap penuh tanda tanya.“Iya, Liam. Apa kamu tau kabarnya?“Liam Anderson?” Aluna ingin memastikan kalau dia tidak salah mengira.“Iya, Liam Anderson. Liam yang pernah kita kenal dulu.”Aluna ternganga. Masih teringat betul bagaimana sang sahabat membenci dan menghindari pembicaraan apapun yang bersangkutan dengan Liam, bahkan Liana akan merasa tidak nyaman jika nama pria itu disebut. Namun, sekarang, sahabatnya sendirilah yang tiba
Tangan Liana terasa gemetar, bersamaan dengan jantung yang berdegup kencang dan tak beraturan. Wajah itu, dia tak pernah menyangka akan melihat wajah itu lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Liana sedikit mengintip, berniat untuk memastikan apa yang dilihatnya. Namun, sayang, dia hanya bisa melihat punggung pria yang semakin menghilang karena masuk ke dalam satu-satunya unit apartemen lain yang berada di lantai itu.Saat punggung si pria sudah tidak lagi terlihat, Liana segera keluar dan menutup pintu apartemen Pavel. Sementara tangannya yang lain sibuk mencari keberadaan ponsel di dalam tas meski masih dengan gemetaran.Liana berniat menghubungi sang sahabat untuk menanyakan tentang apa yang baru saja dilihatnya. Siapa tau sang sahabat tau sesuatu yang tidak diketahuinya. Sayangnya, belum sempat dia menelpon, sebuah panggilan lain sudah lebih dulu masuk ke ponselnya.“Hallo, Mah,” ucapnya, menjawab panggilan dari sang Mamah.“Dimana kamu, Nak?” Suara sang Mamah terdengar khawatir.
Liana tertawa hambar. “Apa kamu sedang khawatir bahwa aku akan mencintaimu?” “Tidak, untuk apa aku khawatir? Aku mengatakannya karena kamu lebih dulu menyinggungnya, hanya itu saja,” jawab Pavel dengan nada santai, seolah tidak terpengaruh dengan nada sinis lawan bicaranya.“Kamu tenang saja, aku tidak akan jatuh cinta pada pria sepertimu. Lagipula aku sendiri yang telah menawarkan pernikahan kontrak ini, jadi aku tau dan sadar diri kalau aku tidak boleh menjatuhkan hatiku padamu,” balas Liana, masih dengan nada sinisnya.Kening Pavel sedikit mengerut, matanya memandang ke arah lain sembari berkata, “Baguslah kalau begitu, karena aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku tidak akan melibatkan perasaanku dalam pernikahan kita.”“Iya iya, aku sudah bisa menebak tentang hal itu, Tuan Pavel Romanov! Aku tau kamu tidak menyukaiku dan tidak akan mungkin menyukaiku, oleh karena itulah aku mengajakmu menjalin pernikahan pura-pura. Dan pria yang suka berubah-ubah sepertimu, tidak mungkin bis
“Pernikahan kontrak?” Pavel mengulangi perkataan Liana dan menatap wanita itu dengan tajam. “Kamu ingin mengajakku untuk menikah kontrak denganmu?”“Iya, aku ingin mengajakmu untuk menikah kontrak atau kata lainnya adalah menikah pura-pura.” Liana mengeluarkan sebuah dokumen dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Pavel.Pavel menerima dokumen tersebut dengan kening yang berkerut. “Apa ini?”“Kontrak pernikahan kita. Aku sudah menuliskan banyak pasal di sana, jika kamu tidak setuju dengan salah satu pasalnya, kamu bisa mengatakan padaku dan akan kita ubah sesuai dengan kesepakatan bersama,” jelas Liana.Dengan kening yang masih berkerut, Pavel segera membuka dokumen di tangannya dan membaca dengan serius pasal-pasal yang telah tertulis rapi di sana. Namun, baru membaca pasal 1, ia sudah dibuat menghela nafas. “Apa kamu serius dengan pasal nomor 1 ini?”“Pasal nomor 1?” Liana berpikir sejenak, berusaha mengingat apa yang ditulisnya pada pasal nomor 1. “Aaa, tentang batas waktu perni
Sore ini, langit terlihat bagaikan kanvas raksasa dihiasi warna-warna hangat dan lembut. Sementara seorang wanita yang baru saja pulang dari kantornya, kini sudah berada di dalam apartemen seorang pria.Semalam, setelah Pavel pulang dari rumahnya, Liana segera menghubungi pria itu untuk mengajak bertemu. Namun, karena ingin membicarakan sesuatu yang penting tentang pernikahan, dia meminta izin untuk bertemu di apartemen si pria saja. Dan tadi, saat ia sampai di gedung apartemen Pavel, pria itu memberitahunya kalau akan pulang terlambat dan mengirimkan nomor sandi apartemen agar ia bisa masuk ke dalam lebih dulu.Entah karena pria itu tidak ingin dia menunggu di luar terlalu lama, atau karena alasan lainnya, dia tidak tau. Yang penting sekarang, dia sudah berada di dalam apartemen itu. Liana menatap sekeliling apartemen dengan seksama. Saat dia datang ke sini pertama kali, dia tidak sempat untuk melihat-lihat apartemen itu dengan benar dan sekarang dia bisa melihat semuanya dengan jela
“Ya. Aku memang sedikit membohongimu dan aku sengaja melakukannya.“ Pavel menjawab dengan berbisik pula.Liana mengepalkan tangan dengan erat, sorot matanya mencerminkan kekecewaan dan kemarahan yang semakin merasuk dalam diri. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa Pavel berucap dengan santai dan seperti tidak merasa bersalah sedikitpun, padahal pria itu telah membohonginya. Benar-benar membuatnya semakin naik darah!“Kendalikan wajahmu, Liana! Jika keluargamu melihat, mereka akan tau kalau kamu sedang marah dan mereka mungkin akan bertanya kepadamu tentang kenapa kamu marah. Lagipula kamu tidak perlu semarah itu, karena aku tidak sepenuhnya berbohong. Perlu diingat juga, bahwa kamu sendiri pun sedang berbohong kepada keluargamu sekarang.”Seketika raut wajah Liana berubah biasa saja. Walau masih merasa marah dan kecewa, tapi dia sadar kalau apa yang diucapkan Pavel ada benarnya. “Jadi apa yang kamu maksud dengan tidak sepenuhnya berbohong? Lalu apa alasanmu membohongiku, apa kamu piki
Sorot mata Liana menunjukkan keterkejutan yang amat sangat, ada kekecewaan, kebingungan serta kekesalan juga di sana. Terkejut karena waktu yang disebutkan hanya satu minggu. Bingung, kecewa dan kesal karena orang tuanya masih saja memintanya untuk menikah, padahal dia sudah membawa seorang pacar ke hadapan mereka.Sementara itu, Pavel justru mengangguk menyetujui ucapan Papahnya Liana. “Baik, Om, saya setuju.”Pavel sangat yakin dengan keputusannya, dia sudah menduga kalau inilah yang akan terjadi. Dia tau kalau orang tua Liana tidak akan menyerah untuk meminta wanita itu menikah hanya karena Liana memperkenalkan seorang pacar kepada mereka. Itulah kenapa saat Liana mengajaknya untuk menjadi pacar pura-pura, dia sempat merasa ragu, apalagi yang dijadikan pacar pura-pura oleh wanita itu adalah dirinya.“Tunggu dulu, Pavel! Ini kenapa kamu malah iya- iya aja sih?” Liana semakin dibuat kesal karena persetujuan Pavel atas keinginan Papahnya. Dia meminta pria itu untuk berpura-pura menjad
“Mama dan adikku baik, Om. Dan tentang berpacaran, sejauh ini belum sempat ku sampaikan kepada mereka.” Pavel melirik ke arah Liana sejenak, ingin memastikan bagaimana reaksi wanita itu.Diana tertawa kecil. "Jadi, masih dalam tahap rahasia, ya?”"Iya, masih tahap merahasiakan, Tante," jawab Pavel, dengan nada bercanda.“Lalu bagaimana kamu bisa mengenal Liana dan berpacaran dengannya? Apa kalian bertemu sesudah pertemuan keluarga kita saat itu, atau bagaimana? Karena yang om ingat saat itu kamu mengatakan kalau kamu belum memiliki pacar.” Max sudah menahan rasa penasarannya untuk bertanya tentang hal ini sedari tadi, dia ingin tau apa Pavel sengaja memacari anaknya setelah pertemuan mereka atau memang semua ini hanya ketidaksengajaan semata.“Saat Om bertanya, aku memang belum memiliki pacar. Karena kebetulan kami baru saling kenal selama satu bulan dan berpacaran baru selama satu minggu, yang artinya aku bertemu dengannya setelah pertemuan keluarga yang pertama kali.”“Jadi kamu sen
Semua orang menoleh, menatap pria yang tengah berdiri di ambang pintu masuk rumah mereka. Pria yang mengenakan tuxedo berwarna coklat itu, terlihat begitu tampan dan percaya diri.Dengan cepat, Liana berdiri dan melangkah menghampiri si pria. “Sayang, kamu datang!“ serunya, berusaha untuk memainkan peran dengan baik.Pavel mengangguk singkat. “Sesuai yang sudah disepakati.”“Ya, terima kasih karena sudah menepati kesepakatan kita.”“Hm.” Pavel menanggapi dengan dingin, membuat Liana meliriknya dan menghembuskan nafas malas.“Beraktinglah dengan baik, Pavel!” Liana memperingatkan si pria, tidak ingin jika rencananya gagal karena sikap Pavel tidak seperti seseorang yang sedang berbicara dengan pacarnya.“Tidak usah menggurui. Aku akan melakukannya dengan caraku sendiri, aku tau kapan aktingku dibutuhkan dan tidak.” Suara pelan dari si pria memang terdengar lembut di telinga, namun nada suara dan kata-katanya sedikit ketus dan menohok bagi Liana.Liana terdiam sejenak, merasa kesal tap