“Dik,” sapa Akhtar begitu Arisha memejamkan mata. Ia sadar istrinya itu terlihat begitu menggoda pagi ini dengan sikap pasrahnya, tetapi pikirannya sedang kacau dengan flyer black campaign itu. Seketika Arisha membuka mata sebab Akhtar tidak lekas menyentuhnya. “Iya, Mas.”“Ini bukan ulahmu, ‘kan?” tegas Akhtar sambil menunjukkan isi flyer di layar gawainya.“Bukan, Mas. Kok bisa nuduh aku?”“Kan kamu sepakat sama isinya.”“Iya, aku setuju, tapi bukan berarti aku yang buat, Mas. Aku enggak bisa desain gambar,” sangkal Arisha. Flyer itu memang dibuat dengan desain yang apik, sehingga tidak mungkin hasil seorang amatir yang hanya berbekal aplikasi desain gratis.Akhtar mendengkus. Memang masih ada kemungkinan kampanye hitam ini dilakukan oleh lawan politiknya. Oleh karena semua pasangan calon sedang gencar-gencarnya melakukan upaya yang terorganisir untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih. Hanya saja haruskah memakai cara-cara licik seperti ini?Akhtar akan sangat m
“Bukannya kemarin sudah dari sana?” Akhtar belum menangkap keputusan impulsif Arisha untuk mengunjungi rumah orang tuanya demi menghindari dirinya. Bukan karena jadwal rutin setiap hari Sabtu untuk mengisi jadwal kajian di pondok pesantren Riyadus Salihin. “Aku ingin bermalam di sana, Mas.”“Untuk berapa lama?”“Entahlah.”Jawaban Arisha yang tidak pasti itu menyadarkan Akhtar jika istrinya sedang merajuk. “Baiklah, akan kuantar.”Arisha memandang getir baju yang dimasukkannya ke dalam tas. Dalam hubungan normal, seorang suami akan mencegah istrinya yang tiba-tiba ingin bermalam di rumah orang tuanya tanpa hajat yang jelas. Namun, tentu saja hubungan Arisha dan Akhtar bukanlah hubungan yang normal. Pikiran Arisha menekan hatinya seperti jari yang menekan luka lebam. Membuatnya ingin menarik diri dari rasa sakit itu. Perempuan itu dapat merasakan kesedihan yang tidak asing menyelimutinya bagai embusan angin malam pada musim hujan. Hampir dua bulan ini ia tidak memiliki seorang pun un
Suara lantunan ayat suci al-Qur’an dari masjid pondok pesantren Riyadus Salihin mulai terdengar. Sebuah kebiasaan yang dilakukan para santri, mengaji menjelang kumandang azan. Kiai Salman menghirup udara dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. “Sudahlah jangan dipikirkan, yang penting kamu tingkatkan ibadahmu, sehingga apa pun yang akan terjadi, kamu tetap kuat, Ning,” pungkas Kiai Salman. “Abah mau ke masjid dulu, sebentar lagi Magrib.”Lelaki dengan sarung motif kotak-kotak dan baju koko warna putih lengkap dengan peci hitam itu berjalan menyusuri halaman menuju sumber suara Kalam Ilahi yang diperdengarkan. Arisha memandang kepergian abahnya dengan perasaan gelisah. Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri. Saat ini hanya satu yang ia inginkan, melihat wajah suaminya yang belum juga ada kabar kapan pulang. Dengan langkah gontai Arisha masuk ke dalam rumah. Didapatinya Umi Anis sedang memangku Keisha. “Sudah bangun Keisha, Mik?”“Belum, cuma kalo mau Magrib gini anak bayi enggak boleh
Umi Anis melepas kepergian putrinya dengan wajah semringah. Saat tadi ditanya kenapa buru-buru balik, Arisha hanya menjawab dengan senyuman. Wanita paruh baya yang sudah lebih banyak makan asam garam itu paham gelagat anaknya meski tak diungkapkan dengan kata-kata.Wajah Arisha yang terlihat berseri-seri dan bersemangat. Tatapan Akhtar yang penuh hasrat kepada Arisha saat mereka di meja makan tadi sudah cukup menjelaskan apa yang sedang dibutuhkan anak dan menantunya itu. Maka, saat Arisha dan Akhtar memutuskan pamit, Umi Anis sama sekali tak mencegah. Beliau malah menjanjikan akan berkunjung ke rumah Akhtar usai pemilihan besok.Mobil warna putih jenis SUV bergerak dengan kecepatan sedang menyusuri daerah pegunungan dengan kontur menanjak dan menurun. Hari mulai terang, dan warga terlihat hilir mudik dengan berbagai aktivitasnya. Para pedagang buah dan sayur tampak menata jualannya pada kios-kios di pinggir jalan. Akhtar sekonyong-konyong membelokkan mobil ke halaman sebuah hotel.“N
Suasana lengang cenderung tegang menyelimuti Kabupaten Mojoasri dan mungkin seluruh kabupaten yang melaksanakan Pilkada serentak hari ini. Total ada 224 kabupaten dan 37 kota di seluruh Indonesia yang menggelar hajat pemilihan pemimpin daerah. Warga lebih banyak memanfaatkan libur nasional hari Rabu ini untuk berkumpul bersama keluarga di rumah. Sehingga jalanan relatif sepi.Saat langit di ufuk timur perlahan melukiskan warna merah jingga, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) masih melakukan penghitungan suara di TPS. Kotak suara yang sudah terisi kertas suara sejak pukul tujuh pagi hingga satu siang itu dalam proses direkap hasilnya. Setelah rampung akan dilaporkan ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang berada di tingkat desa atau kelurahan dalam bentuk formulir model C1.Setiap Paslon telah menempatkan relawan untuk mengawasi jalannya Pilkada pada setiap TPS. Selanjutnya mereka akan mengirimkan salinan dengan memfoto formulir model C1. Tak terkecuali relawan Paslon nomor
Hiruk pikuk meliputi suasana halaman gedung tiga lantai yang menghadap sisi timur alun-alun. Suara orator menyeru lantang agar para wakil rakyat itu tidak tinggal diam menyaksikan pelanggaran selama proses Pilkada. “Kami butuh pemimpin yang tidak menyuap rakyatnya demi mendapatkan suara. Jika jalan menuju kekuasaan saja sudah mereka tempuh dengan cara kotor, bagaimana kelak jika mereka berkuasa?” seru sang orator dari atas mobil pikap dengan sound system. Suaranya menggema hingga ke lantai tiga. Meski massa demonstrasi tak sampai ribuan layaknya aksi mahasiswa di Ibu Kota Negara, tetap saja unjuk rasa itu membuat para pegawai dan wakil rakyat yang sedang bekerja di dalam gedung was-was. Apalagi akhir-akhir ini hawa panas suksesi kepeminpinan masih teramat kental. Akhtar masih dalam perjalanan menuju alun-alun. Pria itu duduk di jok tengah dan berusaha menghubungi Kiai Yassir. Sayangnya ponsel Kiai Yassir dalam kondisi tidak aktif. Sehingga Akhtar kini memasukkan gawainya ke dalam
“Mohon maaf dengan Ibu siapa? Bisa disebutkan nama suaminya?”Arisha hampir saja menyebutkan identitasnya, namun terhenti begitu lengannya ditarik. “Suaminya sudah pulang, Pak,” ucap Umi Hanum kepada petugas berseragam cokelat.Tanpa banyak bicara Umi Hanum mengeratkan genggamannya di pergelangan tangan Arisha dan berjalan cepat menghindari kerumunan. Petugas itu melihat dengan tatapan yang sulit diartikan.“Umik, benar Mas Akhtar sudah pulang?” tanya Arisha dengan napas ngos-ngosan. Ia menyamai langkah Umi Hanum yang berjalan cepat.“Gus Akhtar barusan telepon dan meminta kita segera pergi dari sini, Ning. Nanti dia akan menghubungi lagi.” Arisha masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Namun, mengetahui suaminya masih hidup sudah membuatnya bersyukur. Kondisi halaman gedung DPRD yang porak-poranda cukup menggambarkan betapa kisruh demonstrasi beberapa jam yang lalu. Apalagi ia sempat mendengar pertanyaan wartawan tentang kemungkinan adanya korban jiwa. “Jadi sekarang Mas Akh
Rasa aman menyelimuti diri Akhtar. Sebab hingga bakda Isya tidak ada kabar yang menetapkannya sebagai buronan. Semua pintu dan jendela sudah ditutup, begitu pun gordennya.Mereka sudah beringsut di balik selimut. Arisha bercerita jika ia tadi siang hampir menyebutkan identitas dirinya kepada petugas kepolisian. Untungnya Umi Hanum mencegah, sehingga ia tidak perlu berurusan dengan aparat berbaju cokelat. “Panjenengan tadi sempat memberi orasi, Mas?” tanya Arisha sambil menarik selimut hingga menutupi lehernya. Hawa kian dingin setelah hujan mengguyur. Bahkan rintiknya sekarang masih terdengar berdenting di atas genting.Akhtar menggeleng, tetapi pandangannya masih menyiratkan kekhawatiran.“Alhamdulillah, berarti tidak ada yang tahu ‘kan, Mas, kalo Panjenengan di sana?”“Entahlah.” Lelaki itu kembali menggeleng. “Saat mendengar ledakan pertama kali itu, aku spontan berteriak mendekat ke orang-orang yang berusaha melempari mobil, Dik. Aku menghalau mereka agar menghentikan aksi anarki