Akhtar terbangun keesokan harinya dengan kepala berdenyut-denyut. Yang pasti bukan karena ia tidur di sofa. Melainkan karena sikap Arisha yang mendadak memintanya mundur dari pencalonan pilkada. Pria itu merasa tertipu. Mulanya ia kasihan dengan Arisha karena terjebak dalam pernikahan yang mungkin bukan impiannya. Akhtar yakin, sosok lulusan Al-Azhar Mesir itu pasti punya asa atas masa depannya. Termasuk pasangan hidup. Awalnya, Akhtar merasa jahat sebab ia telah merampas mimpi-mimpi itu demi memenuhi ambisinya. Ambisi untuk tetap mendapatkan dukungan suara dari Kiai Salman, juga demi kenyamanan bayinya pada sosok ibu baru.Namun, rasa bersalah itu perlahan terkikis saat Arisha mulai bersikap manis bahkan terus memancingnya sebagai seorang lelaki, seorang suami, agar menunaikan nafkah batin untuk sang istri. Bahkan, ia merasa Arisha juga menginginkannya. Memang tidak ada pengakuan secara lisan dari istrinya itu, tetapi bahasa tubuhnya cukup menunjukkan penerimaan itu. Lalu perdebat
Akhtar terbangun keesokan harinya dengan kepala berdenyut-denyut. Yang pasti bukan karena ia tidur di sofa. Melainkan karena sikap Arisha yang mendadak memintanya mundur dari pencalonan pilkada. Pria itu merasa tertipu. Mulanya ia kasihan dengan Arisha karena terjebak dalam pernikahan yang mungkin bukan impiannya. Akhtar yakin, sosok lulusan Al-Azhar Mesir itu pasti punya asa atas masa depannya. Termasuk pasangan hidup. Awalnya, Akhtar merasa jahat sebab ia telah merampas mimpi-mimpi itu demi memenuhi ambisinya. Ambisi untuk tetap mendapatkan dukungan suara dari Kiai Salman, juga demi kenyamanan bayinya pada sosok ibu baru.Namun, rasa bersalah itu perlahan terkikis saat Arisha mulai bersikap manis bahkan terus memancingnya sebagai seorang lelaki, seorang suami, agar menunaikan nafkah batin untuk sang istri. Bahkan, ia merasa Arisha juga menginginkannya. Memang tidak ada pengakuan secara lisan dari istrinya itu, tetapi bahasa tubuhnya cukup menunjukkan penerimaan itu. Lalu perdebat
Pria itu mencebik, “Siapa malam-malam begini bertamu?” Akhtar segera melepaskan tangannya dari dagu Arisha. Ia melangkah menuju pintu. Ketukan itu terdengar lagi. Kali ini diiringi salam. “Gus, belum tidur, ‘kan?”Paham pemilik suara itu adalah uminya, Akhtar segera menjawab salam dan membukakan pintu. “Inggih, Umi. Ada apa malam-malam ke sini?”Wanita bergamis hitam dipadu kerudung warna light grey itu menyodorkan bingkisan. “Ini ada berkat tasyakuran aqiqah.”Setelah melihat nama anak dan orang tua yang tidak lain adalah sepupunya, Akhtar manggut-manggut. “Barokallah, maturnuwun, Umi. Besok pas senggang saya usahakan sambang bayi. Sudah empat saja anaknya Husain,” celetuk Akhtar spontan.“Iya, dua tahun sekali istrinya melahirkan. Semoga Arisha segera nyusul,” ucap Umi Hanum sambil berusaha melongok ke dalam rumah. Akhtar memang tidak terpikir untuk mempersilakan uminya masuk, sebab jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima menit. Bukan waktu bertamu. Akhtar hany
Tahapan pendaftaran pasangan calon sudah dilalui. Dari keempat pasangan calon, ada satu yang tidak lolos di tahap pemeriksaan kesehatan karena terindikasi mempunyai gula darah yang cukup tinggi. Sehingga saat penetapan pasangan calon tinggal tiga pasangan calon yang dinyatakan lolos mengikuti Pilkada. Pasangan Yassir Musthofa - Muhammad Akhtar termasuk yang dinyatakan lolos. Pada saat pengundian nomor urut calon, Yassir Musthofa - Muhammad Akhtar mendapat nomor urut satu. Hari ini, 26 September 2020, adalah jadwal kampanye perdana Akhtar dengan menggelar pertemuan terbatas di aula pondok pesantren Darul Huda. “Kamu kok belum siap-siap berangkat ke aula, Ning?” tanya Kiai Salman yang sejak setengah jam lalu duduk di ruang tamu rumah Arisha. Saat ini Arisha masih mengenakan daster batik motif daun warna hijau. Ia ikut menikmati teh hangat yang ia buatkan untuk abahnya dalam teko ukuran sedang. “Apakah Arisha harus datang ke sana, Bah?”“Tentu, Ning. Apakah kamu akan berdiam diri di
“Terima kasih sudah datang,” sapa Akhtar kaku, layaknya bicara dengan tamu. Padahal ia sedang menghampiri istrinya.Rangkaian acara kampanye sudah selesai. Kini para tamu sedang menikmati menu makan siang yang disuguhkan secara prasmanan, sedangkan Arisha tetap duduk manis di kursinya.“Saya yang mestinya minta maaf karena hampir membuat kesalahan dengan tidak hadir di sini, Mas.”“Sudahlah, jangan dijadikan beban pikiran. Ingat pesan dokter. Kamu tidak boleh stres. Mau aku ambilkan makan?” tawar Akhtar, senyumnya terlihat begitu tulus. Benar yang dikatakan Kiai Salman, pikir Arisha.“Makan di rumah saja. Apakah sudah pantas jika saya meninggalkan aula sekarang?” Arisha mengedarkan pandangan ke sekeliling aula. Separuh tamu sudah menyelesaikan makan siang lalu pulang.“Enggak apa-apa, kamu istirahat saja di rumah. Nitip isikan baterainya, ya.” Akhtar memindahkan ponselnya dari saku jas ke dalam tas Arisha. Kini tangannya tampak memegang gawai sang istri. “Sebagai gantinya ini aku bawa
“Dik,” sapa Akhtar begitu Arisha memejamkan mata. Ia sadar istrinya itu terlihat begitu menggoda pagi ini dengan sikap pasrahnya, tetapi pikirannya sedang kacau dengan flyer black campaign itu. Seketika Arisha membuka mata sebab Akhtar tidak lekas menyentuhnya. “Iya, Mas.”“Ini bukan ulahmu, ‘kan?” tegas Akhtar sambil menunjukkan isi flyer di layar gawainya.“Bukan, Mas. Kok bisa nuduh aku?”“Kan kamu sepakat sama isinya.”“Iya, aku setuju, tapi bukan berarti aku yang buat, Mas. Aku enggak bisa desain gambar,” sangkal Arisha. Flyer itu memang dibuat dengan desain yang apik, sehingga tidak mungkin hasil seorang amatir yang hanya berbekal aplikasi desain gratis.Akhtar mendengkus. Memang masih ada kemungkinan kampanye hitam ini dilakukan oleh lawan politiknya. Oleh karena semua pasangan calon sedang gencar-gencarnya melakukan upaya yang terorganisir untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih. Hanya saja haruskah memakai cara-cara licik seperti ini?Akhtar akan sangat m
“Bukannya kemarin sudah dari sana?” Akhtar belum menangkap keputusan impulsif Arisha untuk mengunjungi rumah orang tuanya demi menghindari dirinya. Bukan karena jadwal rutin setiap hari Sabtu untuk mengisi jadwal kajian di pondok pesantren Riyadus Salihin. “Aku ingin bermalam di sana, Mas.”“Untuk berapa lama?”“Entahlah.”Jawaban Arisha yang tidak pasti itu menyadarkan Akhtar jika istrinya sedang merajuk. “Baiklah, akan kuantar.”Arisha memandang getir baju yang dimasukkannya ke dalam tas. Dalam hubungan normal, seorang suami akan mencegah istrinya yang tiba-tiba ingin bermalam di rumah orang tuanya tanpa hajat yang jelas. Namun, tentu saja hubungan Arisha dan Akhtar bukanlah hubungan yang normal. Pikiran Arisha menekan hatinya seperti jari yang menekan luka lebam. Membuatnya ingin menarik diri dari rasa sakit itu. Perempuan itu dapat merasakan kesedihan yang tidak asing menyelimutinya bagai embusan angin malam pada musim hujan. Hampir dua bulan ini ia tidak memiliki seorang pun un
Suara lantunan ayat suci al-Qur’an dari masjid pondok pesantren Riyadus Salihin mulai terdengar. Sebuah kebiasaan yang dilakukan para santri, mengaji menjelang kumandang azan. Kiai Salman menghirup udara dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. “Sudahlah jangan dipikirkan, yang penting kamu tingkatkan ibadahmu, sehingga apa pun yang akan terjadi, kamu tetap kuat, Ning,” pungkas Kiai Salman. “Abah mau ke masjid dulu, sebentar lagi Magrib.”Lelaki dengan sarung motif kotak-kotak dan baju koko warna putih lengkap dengan peci hitam itu berjalan menyusuri halaman menuju sumber suara Kalam Ilahi yang diperdengarkan. Arisha memandang kepergian abahnya dengan perasaan gelisah. Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri. Saat ini hanya satu yang ia inginkan, melihat wajah suaminya yang belum juga ada kabar kapan pulang. Dengan langkah gontai Arisha masuk ke dalam rumah. Didapatinya Umi Anis sedang memangku Keisha. “Sudah bangun Keisha, Mik?”“Belum, cuma kalo mau Magrib gini anak bayi enggak boleh
“Mas Akhtar!” seru Arisha dengan mulut menganga. “A-aku enggak mimpi, ‘kan?” tanyanya hampir tercekat. Melihat sosok yang berada di hadapannya menggelengkan kepala, netra wanita yang telah menanggung rindu belasan bulan itu basah.Lelaki yang membuatnya terpanah kini merentangkan kedua tangan sambil bergerak pelan mendekatinya. “Assalamu’alaikum, aku pulang, Sayang.” Sapaan Akhtar terasa lembut menyapu daun telinga Arisha. Tubuh wanita itu masih kaku saat Akhtar merengkuhnya erat. Arisha hanya mampu menyandarkan kepala pada dada bidang di hadapannya. Seketika kemeja Akhtar basah terkena lelehan air mata sang istri. Lelaki itu mengangkat wajah Arisha dan mengusap air mata yang bercucuran dengan jempolnya meski percuma. Sebab buliran bening itu terus menganak sungai.“Pan-Panjenengan sudah bebas?” tanya Arisha terbata beserta raut tak percaya.Akhtar mengangguk pelan.“Bu-bukannya masih sebulan lagi?”Akhtar menggeleng. “Apakah kamu ingin sebulan lagi aku baru bebas?” tantangnya. Ari
Angin berhenti berembus. Menjadikan kulit terasa lembab, basah oleh keringat. Di ruang tamu bercat krem itu, Kiai Salman dan Kiai Mansur sedang bercakap. Perkembangan pondok pesantren menjadi topik utama perbincangan. Kemudian, obrolan mereka mengarah pada kasus yang menimpa Akhtar. “Kita sama-sama menduga kuat, jika pihak yang menjebak Akhtar ini adalah lawan politiknya, San. Hanya saja saya tak habis pikir, kenapa mereka sejahat itu?” ucap Kiai Salman dengan pandangan menerawang lalu kembali menatap besannya. Lelaki yang tidak mau terlibat aksi mendukung secara langsung siapa pun calon penguasa dalam masa pemilu itu sudah paham jika beberapa orang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Baru sekarang ia merasakan langsung dampaknya kala menantunya dijebak. Hingga menyebabkan putrinya menanggung pilu. Maka, begitu Arisha mengabari bahwa ia hamil, Kiai Salman dan Umi Anis bergegas datang. Mereka hendak mengajak Arisha tinggal bersama.“Saya masih kontak dengan Kiai Yass
Akhtar menatap kepergian Arisha dari balik kaca. Pria itu menyimpan senyum bercampur lara yang tersungging dari bibir istrinya. Meski berusaha tegar, Akhtar paham wajah wanita itu tampak rapuh. Walau auranya tetap setenang cahaya bulan di permukaan danau.Saat punggung istrinya hilang ditelan belokan koridor, Akhtar membalikkan badan dan menuju ke kamar tahanan. Ia teringat semangat yang digulirkan Arisha. Bakda Subuh itu, kabar hasil penghitungan suara dari tim pemenangan sudah dikirim, Yassir-Akhtar dinyatakan kalah.“Panjenengan tetap jadi orang penting meski mboten jadi wakil bupati, Mas,” bisik Arisha lembut. Ia mengatakannya sambil meletakkan tangan di pipi Akhtar.Kepala lelaki itu berada di pangkuan istrinya. Jari lentik Arisha menelusuri cambang tipis perlahan. Belaian ringan itu menimbulkan hangat dan kini membuat kepala Akhtar berdenyut-denyut nyeri kala mengingatnya. Yang Arisha bisikkan terasa sangat intim melebihi sentuhan di pipi.Begitu mendengar kabar kekalahannya, se
“Kalo kamu pingin nginep di rumah abah dan umikmu enggak apa-apa, Ning.” Umi Hanum memberi saran. Ia tidak tega melihat menantunya itu tinggal di rumah sendirian. Meski sejak Akhtar ditahan, Umi Hanum menjadwalkan dua orang santri putri tidur di kamar tamu menemani Arisha saat malam. “Mboten Umik, saya di sini saja,” jawab Arisha pelan.Bukannya tanpa maksud. Ada alasan tersendiri kenapa Arisha bersikeras tetap tinggal di rumah yang disediakan Akhtar untuknya. Sebab di sana ia bisa merasakan kehadiran suaminya dalam tiap sudutnya. Bahkan baju koko dan sarung yang terakhir Akhtar pakai, hingga kini tidak ia cuci. Sarung dan baju koko itu ia peluk setiap malam. Aroma Akhtar yang tertinggal, memberinya ketenangan. “Sudah saya cuci, Umik.” Arisha menyerahkan bunga kates gantung dalam wadah. Ia saat ini sedang di dapur, turut belajar memasak. Khususnya menu kesukaan Akhtar.Arisha berpikir keras apa yang bisa ia lakukan untuk suaminya yang sedang berada di penjara. Kiranya mereka dapat t
Rasa aman menyelimuti diri Akhtar. Sebab hingga bakda Isya tidak ada kabar yang menetapkannya sebagai buronan. Semua pintu dan jendela sudah ditutup, begitu pun gordennya.Mereka sudah beringsut di balik selimut. Arisha bercerita jika ia tadi siang hampir menyebutkan identitas dirinya kepada petugas kepolisian. Untungnya Umi Hanum mencegah, sehingga ia tidak perlu berurusan dengan aparat berbaju cokelat. “Panjenengan tadi sempat memberi orasi, Mas?” tanya Arisha sambil menarik selimut hingga menutupi lehernya. Hawa kian dingin setelah hujan mengguyur. Bahkan rintiknya sekarang masih terdengar berdenting di atas genting.Akhtar menggeleng, tetapi pandangannya masih menyiratkan kekhawatiran.“Alhamdulillah, berarti tidak ada yang tahu ‘kan, Mas, kalo Panjenengan di sana?”“Entahlah.” Lelaki itu kembali menggeleng. “Saat mendengar ledakan pertama kali itu, aku spontan berteriak mendekat ke orang-orang yang berusaha melempari mobil, Dik. Aku menghalau mereka agar menghentikan aksi anarki
“Mohon maaf dengan Ibu siapa? Bisa disebutkan nama suaminya?”Arisha hampir saja menyebutkan identitasnya, namun terhenti begitu lengannya ditarik. “Suaminya sudah pulang, Pak,” ucap Umi Hanum kepada petugas berseragam cokelat.Tanpa banyak bicara Umi Hanum mengeratkan genggamannya di pergelangan tangan Arisha dan berjalan cepat menghindari kerumunan. Petugas itu melihat dengan tatapan yang sulit diartikan.“Umik, benar Mas Akhtar sudah pulang?” tanya Arisha dengan napas ngos-ngosan. Ia menyamai langkah Umi Hanum yang berjalan cepat.“Gus Akhtar barusan telepon dan meminta kita segera pergi dari sini, Ning. Nanti dia akan menghubungi lagi.” Arisha masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Namun, mengetahui suaminya masih hidup sudah membuatnya bersyukur. Kondisi halaman gedung DPRD yang porak-poranda cukup menggambarkan betapa kisruh demonstrasi beberapa jam yang lalu. Apalagi ia sempat mendengar pertanyaan wartawan tentang kemungkinan adanya korban jiwa. “Jadi sekarang Mas Akh
Hiruk pikuk meliputi suasana halaman gedung tiga lantai yang menghadap sisi timur alun-alun. Suara orator menyeru lantang agar para wakil rakyat itu tidak tinggal diam menyaksikan pelanggaran selama proses Pilkada. “Kami butuh pemimpin yang tidak menyuap rakyatnya demi mendapatkan suara. Jika jalan menuju kekuasaan saja sudah mereka tempuh dengan cara kotor, bagaimana kelak jika mereka berkuasa?” seru sang orator dari atas mobil pikap dengan sound system. Suaranya menggema hingga ke lantai tiga. Meski massa demonstrasi tak sampai ribuan layaknya aksi mahasiswa di Ibu Kota Negara, tetap saja unjuk rasa itu membuat para pegawai dan wakil rakyat yang sedang bekerja di dalam gedung was-was. Apalagi akhir-akhir ini hawa panas suksesi kepeminpinan masih teramat kental. Akhtar masih dalam perjalanan menuju alun-alun. Pria itu duduk di jok tengah dan berusaha menghubungi Kiai Yassir. Sayangnya ponsel Kiai Yassir dalam kondisi tidak aktif. Sehingga Akhtar kini memasukkan gawainya ke dalam
Suasana lengang cenderung tegang menyelimuti Kabupaten Mojoasri dan mungkin seluruh kabupaten yang melaksanakan Pilkada serentak hari ini. Total ada 224 kabupaten dan 37 kota di seluruh Indonesia yang menggelar hajat pemilihan pemimpin daerah. Warga lebih banyak memanfaatkan libur nasional hari Rabu ini untuk berkumpul bersama keluarga di rumah. Sehingga jalanan relatif sepi.Saat langit di ufuk timur perlahan melukiskan warna merah jingga, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) masih melakukan penghitungan suara di TPS. Kotak suara yang sudah terisi kertas suara sejak pukul tujuh pagi hingga satu siang itu dalam proses direkap hasilnya. Setelah rampung akan dilaporkan ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang berada di tingkat desa atau kelurahan dalam bentuk formulir model C1.Setiap Paslon telah menempatkan relawan untuk mengawasi jalannya Pilkada pada setiap TPS. Selanjutnya mereka akan mengirimkan salinan dengan memfoto formulir model C1. Tak terkecuali relawan Paslon nomor
Umi Anis melepas kepergian putrinya dengan wajah semringah. Saat tadi ditanya kenapa buru-buru balik, Arisha hanya menjawab dengan senyuman. Wanita paruh baya yang sudah lebih banyak makan asam garam itu paham gelagat anaknya meski tak diungkapkan dengan kata-kata.Wajah Arisha yang terlihat berseri-seri dan bersemangat. Tatapan Akhtar yang penuh hasrat kepada Arisha saat mereka di meja makan tadi sudah cukup menjelaskan apa yang sedang dibutuhkan anak dan menantunya itu. Maka, saat Arisha dan Akhtar memutuskan pamit, Umi Anis sama sekali tak mencegah. Beliau malah menjanjikan akan berkunjung ke rumah Akhtar usai pemilihan besok.Mobil warna putih jenis SUV bergerak dengan kecepatan sedang menyusuri daerah pegunungan dengan kontur menanjak dan menurun. Hari mulai terang, dan warga terlihat hilir mudik dengan berbagai aktivitasnya. Para pedagang buah dan sayur tampak menata jualannya pada kios-kios di pinggir jalan. Akhtar sekonyong-konyong membelokkan mobil ke halaman sebuah hotel.“N