“Ah, Nyonya tidak seharusnya memasak begini,” ujar Mbok Siti mencoba mengambil sutil dari tangan Raya yang digunakannya untuk membola-balik gulai dalam wajan.
“Gak apa-apa, Mbok,” jawab Raya. “Di rumah bude dulu setiap hari saya yang masak.”
“Ya, tapi nanti saya dimarahi Tuan David kalau tahu Nyonya Raya yang setiap hari masak.”
Raya menggeleng. “Gak kok, Mbok. Tenang saja.”
Mbok Siti pasrah, lantas beranjak mencuci piring kotor di kitchen sink. Selama hampir dua minggu Raya tinggal di rumah ini, dialah yang memasak semua hidangan. Bangunnya selalu pagi, bahkan kadang lebih pagi dari Mbok Siti. Ia cekatan dan terampil. Menyiapkan sarapan, membantu Mbok Siti mengepel, bahkan kadang ia yang mencuci pakaian.
David tahu hal tersebut, dilapori Mbok Siti tentu saja. Dengan bijaksana ia menegur Raya.
“Raya, kamu boleh membantu Mbok Siti. Tapi jangan semua pekerjaan kamu yang kerjakan. Mbok Siti laporan sama saya, beliau gak enak karena tugasnya berkurang banyak.”
Raya mengangguk. Paham. Hatinya bergetar, bukan karena ia marah sebab David melarangnya. Tapi ia merasa suara ia menyejukkan hatinya. Entah kenapa selama ia tinggal dengan David, tak pernah sekalipun pria itu berbuat sesuatu yang menyinggungnya. Ia kalem, hangat, perhatian, serta sopan.
Sejak kejadian sore itu di balkon, David tidak pernah melakukan hal seperti itu lagi. Mereka tidur sekamar. Seranjang. Tapi tidak pernah David melampaui batas. Raya suka lupa, bukankah David tidak suka perempuan? Tapi kenapa dulu di balkon, David ingin menciumnya?
Raya meletakkan wadah gulai daging di atas meja makan ketika David datang menghampirinya. Rupanya ia selesai mandi. Raya bisa melihat rambut laki-laki itu basah. Bau harum tubuh David menguar memenuhi meja makan. Dada Raya bergetar. Entah mengapa perasaan aneh itu selalu muncul setiap bau laki-laki itu masuk ke hidungnya, sampai otaknya, dan mengendap di hatinya.
“Kau yang masak?” tanyanya seraya duduk di kursi favoritnya. Raya mengangguk. Mengambilkan nasi ke dalam piring David, menyendokkan gulai daging di atas nasi yang mengepul. Walaupun pernikahannya dengan David adalah sesuatu yang menurutnya konyol, tetapi bagaimanapun David adalah suami sahnya. Ayahnya dulu selalu berpesan, jika ia menikah, maka suami adalah segalanya. Melayani suami adalah kewajiban istri, baik itu secara lahir dan batin. Secara lahir Raya berusaha melakukan yang terbaik, tapi secara batin, entah hal itu akankah pernah terjadi.
“Ada yang mau aku bicarakan, Raya,” suara David pelan diantara denting piring dan sendok.
“Tentang apa?” tanya Raya yang telah duduk di seberang David.
“Resepsi pernikahan kita di Bali.”
Raya diam. Ia hampir saja lupa jika masih harus melaksanakan satu prosesi acara pernikahan. Bukankah resepsi itu baru akan dilaksanakan bulan depan?
“Mama mengajukan resepsi pernikahan kita.”
Raya terkejut. “Kapan?”
“Hari Minggu.”
“Tiga hari lagi?” tekan Raya.
David mengangguk. “Mama bilang bulan depan banyak kegiatan bisnis ke luar negeri. Acara sangat padat. Jadi acara resepsi kita diajukan secepatnya.”
“Oh,” balas Raya. “Tapi aku belum persiapan apa-apa.”
David minum seteguk air putih yang baru dituangkan Mbok Siti ke gelasnya. “Semua sudah disiapkan Mama. Kita tinggal berangkat besok sore.”
Raya diam, mengangguk pelan. Betapa hebatnya jadi orang kaya. Ingin melakukan apapun bisa sekehendak hatinya. Dan sekarang, ia di sini bagaikan robot. Yang bisa sesuka hati mereka disuruh ke kanan dan ke kiri. Ia harus manut. Tidak ada kuasa Raya harus memberontak dan menolak. Ia adalah gadis yang telah dijual Pakde Suroso, pembeli yang membelinya memberikannya fasilitas kehidupan layaknya orang berada. Tapi satu hal yang tak mungkin ia dapatkan. Cinta dari David.
“David…” kata Raya pelan.
“Ya.”
“Apakah pakde dan budeku akan ikut?” Raya bertanya ragu.
David memandang Raya. “Tidak. Mamaku bilang tidak ada yang boleh tahu asal-usulmu. Mereka tidak akan diajak.”
Raya diam.
“Apakah kau ingin mereka ikut?” tanya David kemudian. Matanya memandang Raya. Hangat. Raya suka pandangan David. Itu tak bisa dipungkirinya. Pandangan itu menembus batinnya. Tapi ketika itu terjadi, kata-kata Nyonya Kinasih kembali bergema di kepalanya. Gay!
Raya menggeleng cepat. “Ti… Tidak!”
David mengangguk. Kembali fokus pada makanannya. Selama di sini, Raya jadi tahu makanan kesukaan David. Salah satunya adalah gulai daging, tak heran jika David makan lahap malam ini.
Tanpa Raya sadari, ia tahu semua kebiasaan David. Apa yang disukai dan tidak disukainya. Terkadang Raya merasa David ingin dekat dengannya, ingin menyentuhnya. Tetapi Raya selalu menghindar.
Apakah David tahu perasaan hatinya? Apa David tahu sebenarnya apa yang ia inginkan? Apa David tahu jika sebenarnya ia kesepian? Apa David tahu jika ia takut ke Bali tanpa seorang pun yang dikenalnya? Apa David tahu jika ia ingin mengajak Sintia? Ah, andai David tahu….
***
David membaca di tempat tidur. Ia memakai kacamata. Dalam diam Raya suka sekali pemandangan malam jika David membaca dengan kacamatanya itu. Kebiasaan David juga sebelum tidur selalu membaca buku di tempat tidur. Bermacam-macam yang ia baca, kadang buku filsafat, buku tentang ekonomi, kadang juga novel-novel yang Raya sendiri tak terlalu paham.
Biasanya Raya tidur duluan di sampingnya membelakangi David. Di tengah-tengah mereka ada guling yang menjadi penanda area kekuasaan masing-masing. Mereka jarang berkomunikasi. Hanya kata-kata biasa seperti ucapan selamat tidur. David tidak pernah tidur mendahului Raya, ia selalu tidur belakangan.
“Sudah ngantuk?” tanya David ketika Raya memasukkan tubuhnya dalam selimut, sementara ia masih asyik dengan buku ekonominya.
“Belum.”
Suasana hening.
Raya duduk, bersandar pada headboard. “David, sebenarnya soal ke Bali. Aku…”
“Aku sudah bilang Mama. Sintia boleh ikut menemani kamu.”
Raya kaget. Belum sempat selesai kata-katanya tapi David sudah menyambungnya dengan hal yang memang ingin ia utarakan.
“Kaget?” David mengerling ke Raya seraya tersenyum.
Raya tersenyum kecil. “I… Iya.”
David meletakkan buku dan kacamata di nakas. Lalu perlahan menggeser tubuhnya menghadap Raya yang masih terbengong kenapa David tahu keinginan hatinya.
“Aku sudah tahu sejak awal kau pasti ingin salah-satu keluargamu ikut,” kata David pelan. “Aku sudah bilang mama agar mengizinkan semua keluargamu pergi ke Bali. Tapi rupanya Mama tidak mengizinkan. Aku memohon paling tidak Sintia bisa ikut. Dan diperbolehkan.”
Haruskah Raya bahagia? Haruskah Raya berterimakasih pada David atas hal ini?
“Kenapa Nyonya Kinasih tidak mengizinkan pakde dan bude ikut?” kalimat itu yang keluar dari mulut Raya.
David mengangkat bahu. “Mungkin mamaku tahu bagaimana sifat pakde dan budemu. Aku tahu banyak hal yang kamu sendiri bahkan tidak tahu, Raya.”
“Maksudmu?” Raya mengeryitkan kening.
“Aku tahu beberapa alasan kenapa kita dinikahkan. Pernikahan ini bukan keinginan kita. Kalau tidak karena ulah pakdemu, kau tidak akan mau kan menikah denganku?”
Raya menunduk. Tanpa Raya menjawab pun, David sudah tahu jawabannya.
“Mamaku takut jika pakdemu ikut malah akan membuat suasana jadi kacau. Jadi mama dengan tegas menolak.”
Dalam hati Raya membenarkan kata-kata David. Ia tahu Pakde Suroso yang mata duitan itu akan membuat hal-hal yang memalukan di pesta pernikahan itu. Tapi yang membuat Raya kaget lagi adalah bahwa David tahu hal-hal yang dirahasiakan pakde padanya. Berarti semua ini jelas scenario yang sudah disusun bersama. Dan hanya dia sendiri yang tidak tahu?
Raya ingin bersuara lagi tapi terpotong oleh dering suara hape David. Telepon. Raya sekilas melihat foto profil seorang laki-laki. Siapa dia?
“Oh, hallo… Rama!” kata David setelah hape menempel di telinganya. Ia memberikan kode pada Raya akan berbicara ke balkon. Raya mengangguk mempersilakan, padahal hatinya kacau karena masih ingin berbicara banyak dengan David.
Perlahan ia turun dari tempat tidur. Raya ingin mencari air putih ke dapur. Sekilas dilihatnya David tergelak di balkon. Rupanya ia begitu menikmati pembicaraannya. Raya penasaran, apa yang dibicarakan mereka?
Di dapur Mbok Siti masih mencuci piring. Raya duduk di meja makan yang memang menjadi satu dengan dapur tersebut. Ia menuang air putih dari teko kaca dan meminumnya.
“Belum tidur, Nyonya?” tanya Mbok Siti.
Raya menggeleng.
“Tuan sudah tidur?”
“Masih teleponan sama temannya.”
“Oh, Tuan Rama, ya?” tebak Mbok Siti. “Biasanya Tuan David teleponan sama Tuan Rama.”
“Mbok kenal sama yang namanya Rama?” Raya bertanya penasaran.
Mbok Siti mengangguk. “Kenal. Tuan Rama itu teman satu kantor Tuan David. Mereka sering kemana-mana bersama. Tuan Rama juga sering main ke sini. Nginep juga. Tapi setelah Tuan David menikah, Tuan Rama belum ke sini lagi.”
Raya meletakkan gelas beningnya. Ia penasaran. Jangan-jangan Rama kekasih David selama ini. Tadi dilihatnya David begitu bersemangat berbicara dengan Rama, bahkan sampai menjauh dari Raya. Beberapa kali memang Raya sering melihat David berbicara di telepon dengan seseorang, dan itu selalu dilakukan menjauhi Raya. Raya pikir lelaki itu berbicara dengan nasabah atau urusan pekerjaan lain. Tapi ternyata mungkin Rama yang menelepon David.
“Sering Rama menginap di sini, Mbok?” tanya Raya.
“Dulu hampir setiap hari, Nyonya,” balas Mbok Siti. “Kadang juga sama teman yang lain. Tapi seringnya mereka berdua.”
Raya mengangguk. Rasa penasaran membuncah dalam hatinya. “Apakah ada yang spesial di antara mereka berdua, Mbok?”
Mbok Siti mengeryitkan keningnya. “Ya, setahu saya teman akrab gitu lho, Nyonya.”
Raya mendesah. Bukankah Nyonya Kinasih kemarin bilang jika Mbok Siti adalah yang mengatakan jika David sering membawa kekasih laki-lakinya ke rumah. Tapi kenapa sekarang Mbok Siti malah terasa seperti tidak tahu-menahu tentang keabnormalan David? Siapakah yang benar? Siapakah yang salah? Apa Mbok Siti hanya menutupi semua dari Raya?
“Nyonya,” kata Mbok Siti pelan. “Tuan David itu orang yang baik. Baik sekali. Dia orang yang rela berkorban untuk apapun.”
Mbok Siti ngeloyor pergi ke luar sambil membawa tumpukan di plastik hitam. Raya tertegun. Ia mencerna maksud kata-kata Mbok Siti, tapi selalu hal-hal buruk tentang David yang menghiasi kepalanya.
***
Mau tak mau Raya kembali bertemu dengan Nyonya Kinasih. Tapi seperti yang diperkirakan Raya, perempuan itu hanya diam tak peduli dengan kehadiran dirinya. Tapi Raya juga tak peduli, ia asyik bercengkrama dengan Sintia. Di pesawat pun mereka duduk berdua. Setelah menikah baru kali ini Raya bisa sedikit lega, paling tidak ada teman yang menemaninya. Bukannya David tidak mengizinkan ia bertemu dengan sepupunya, tapi Sintia sibuk mengurusi skripsi, Raya tidak mau menganggu konsentrasinya. Baru kali ini Raya pergi ke Bali. Begitu juga Sintia. Mereka sangat takjub akan keindahan panorama Bali yang indah. Apalagi pesta pernikahan Raya dan David akan dilaksanakan di tepi pantai. Mirip dengan pesta pernikahan selebritis. Raya tertegun. Kenapa nasib membawanya bagaikan Cinderella. Kenapa hal-hal indah yang hanya dapat disaksikannya lewat televisi, kini benar-benar nyata di depannya. Haruskah ia bahagia? Tidak. Ini bukan kenyataan bagi Raya. Ini semua semu. Dirinya bukan
Suara dering ponsel menghentakkan Raya dari tidurnya. Kaget. Sambil mengerjapkan mata ia mengambil sumber bunyi itu dari nakas. “Ha… Halo,” kata Raya parau. “Raya!” pekik suara di seberang. Raya menjauhkan ponsel dari telinganya, memastikan nama yang tertera di layar. Sintia. “Ada apa, Sin?” tanya Raya seraya memejamkan mata. “Aduh! Gila kamu, ya! Ini sudah hampir pukul sepuluh pagi!” pekik Sintia kesal. Raya tersentak. Kembali dilihatnya layar ponsel. Pukul sepuluh kurang lima menit. Kenapa ia bangun kesiangan? David menggeliat. Mengerjapkan matanya sebentar lalu tersenyum pada Raya. Satu hal yang Raya sadari kini, mereka tidur tanpa mengenakan apapun! “Halo! Kok ngalamun sih, Ya!” teriak Sintia. “I… iya, nanti aku telepon lagi. Aku mandi dulu,” Raya cepat-cepat menutup teleponnya. Raya memijit pelipisnya. Ingatannya telah kembali utuh. Tadi malam merupakan hal paling manis yang ia rasakan
“Hey, Suroso!” pekik Nyonya Kinasih setelah sampai dalam kamarnya. “Rencana yang kita lakukan sepertinya tidak sesuai dengan prediksimu!” Suara di seberang menjawab, “Apa maksud, Nyonya?” “Kau mengatakan antara David dan Raya tidak akan mungkin ada perasaan satu sama lain!” “Benar, Nyonya. Saya jamin! Apalagi melihat kelainan yang ada dalam diri Tuan David.” Nyonya Kinasih memijit-mijit kepalanya yang tidak pening itu. “Besok siang sepulang saya dari sini saya tunggu kamu di ruang kerja saya!” “A… Ada apa, Nyonya?” suara panik Pak Suroso dari seberang. “Kau akan tahu besok!”*** David membopong Raya setelah menutup pintu kamar hotel dengan kasar. “Ih, kamu kenapa, Vid!” pekik Raya. “Malu jika ada orang melihat!” David tertawa. “Nyonya David, siapa yang akan melihat kita. Di kamar ini hanya ada kita berdua sekarang!” Raya meng
Nyonya Kinasih menggebrak meja kerjanya. Suaranya berdentum keras sehingga membuat Pakde Suroso sedikit tersentak kaget. Lelaki lebih setengah abad itu mundur selangkah, takut wanita di depannya akan melakukan hal yang sama lagi.“Saya rasa mereka hanya beradu akting saja, Nyonya,” Pakde Suroso angkat bicara. “Saya yakin tidak ada perasaan sama sekali diantara mereka berdua.”Nyonya Kinasih menggeleng seraya menjawab, “Kau tahu, ketika berangkat ke Bali sikap mereka biasa saja. Aku akan percaya mereka hanya berakting kalau ketika pulang mereka juga akan bersikap biasa. Tapi ini tidak begitu, di pesawat bahkan di bandara mereka sangat mesra. Berpelukan dan bergandengan seperti tidak bisa dipisahkan!”Pakde Suroso diam.“Apakah Bali membuat mereka berdua jatuh cinta? Apakah Raya bisa menyembuhkan David?” tanya Nyonya Kinasih seperti pada dirinya sendiri.“Ah, saya rasa tidak, Nyonya ….”“Atau ….” Potong Nyonya Kinasih cepat. “Kau memang sengaja memberikan Raya padaku agar mereka berdua
“Mulai besok aku ada rapat ke luar kota, Ya,” kata David pagi itu di meja makan.Raya mengangguk. Menuangkan jus jeruk ke gelas kaca dengan perlahan. Sarapan sudah siap di meja makan, Raya memasak nasi goreng daging sapi. Mbok Siti libur dua hari ini, anaknya yang sulung melahirkan kemarin, beliau sibuk menjaga anaknya tersebut.“Mungkin sekitar lima hari aku tidak di rumah,” kata David seraya menyendokkan nasi ke mulutnya. “Kau tidak apa-apa sendirian? Kau berani?”Raya kembali mengangguk. “Jangan khawatir. Aku bukan anak kecil yang penakut.”David tersenyum, membelai rambut istrinya itu dengan lembut.“Berarti nanti sore saja kita tengok cucu Mbok Siti,” kata Raya. “Pumpung kamu masih di rumah, jadi bisa menemaniku.”“Okay.”“Mamamu kemarin kenapa menyuruhmu datang ke kantornya?” tanya Raya. Hal ini ingin ditanyakannya sedari kemarin, tapi tadi malam ia kecapekan dan ketiduran ketika menunggu David lembur.“Oh, itu,” balas David. “Biasa. Menyuruhku untuk menggantikan beliau di kant
“Gimana? Sudah enakan badannya?” tanya David dari telepon. Raya menggeliat, kembali bergelung dalam selimut. Sudah dua hari David pergi ke luar kota, tapi sejak saat itu dirasakannya badannya tidak enak.“Asam lambungku naik sepertinya,” jawab Raya setelah menguap. “Tadi malam aku sudah minum obat asam lambung.”“Terus sudah enakan?” tanya David khawatir.Raya menggeleng seraya menjawab, “Belum.”“Janji ya nanti kamu bakal pergi ke dokter,” pinta David. “Jangan sampai sakit, apalagi aku masih tiga hari di sini. Setelah selesai janji aku langsung pulang.”“Iya, Vid,” jawab Raya. “Tadi aku sudah telepon Sintia, dia mau kok pergi ke dokter denganku. Nanti sore aku ke dokter langgananku.”“Kok nanti sore?” sergah David.“Sintia ada bimbingan skripsi sampai siang,” jawab Raya sambil duduk. “Gak apa-apa, kok. Aku bukan sakit parah, cuma sedikit gak enak badan.”Terdengar David menghela nafas panjang. “Ya, sudah. Tapi kalau sampai siang ini sakitnya semakin parah kamu pergi ke rumah sakit de
Sintia menguap, berdiri di samping ibunya yang tengah memotong sayuran di dapur. Tangannya meraih gelas dan menuangkan aor putih ke dalamnya. Ibunya melihatnya dengan pandangan kesal.“Anak perawan jam segini baru bangun,” kata Bude Rani. “Gak malu sama ayam tetangga?”Sintia meletakkan gelas kosong seraya menguap. “Namanya juga ngantuk, Bu.”“Semalam darimana?” tanya BUde Rani lantas melanjutkan memotong wortel. “Jam berapa pulang?”“Nganter Raya ke dokter.”Bude Rani memandang Sintia sekilas. “Raya sakit apa?”“Bukan sakit, Bu.”“Lha, terus?”“Ibu mau jadi nenek!” Sintia menjawab antusias dengan senyum tersungging lebar di bibirnya.Bude Rani menghentikan aktifitasnya, memandang anak semata wayangnya itu dengan melotot. “Jadi nenek? Maksudmu?”Sintia menghela nafas. “Ya, kalau Ibu mau jadi nenek, artinya Raya hamil, Bu!” jawabnya kesal.“Ha …. Hamil?” tanya Bude Rani kaget.Sintia mengangguk pelan. “Betul sekali!”“Kok bisa?” Bude Rani berteriak tidak percaya. “Sama siapa?”Sintia m
Sepagi ini Raya telah bersiap-siap. Ia mengenakan dress selutut warna cream dengan cardigan warna senada. Rambutnya yang panjang sebahu dikuncir kuda. Ia tidak banyak berdandan karena memang tidak bisa. Wajahnya hanya dipoles dengan bedak tipis dan bibirnya hanya menggunakan lipgloss warna pink.Tadi malam Pakde Suroso meneleponnya. Tanpa ada angin ataupun hujan, beliau mengabarkan sesuatu yang cukup membuat Raya senang.“Nyonya Kinasih mengajakmu bertemu besok, Ya,” kata Pakde Suroso.“Besok, Pakde?” tanya Raya ragu-ragu karena tak percaya Nyonya Kinasih mengajak bertemu.“Kenapa?” Pakde Suroso balik bertanya. “Kamu ada acara besok?”“Oh, tidak!” cepat-cepat Raya menjawab. “Besok saya bisa.”“Baguslah,” nada lega tersirat dari suara Pakde Suroso. “Nyonya Kinasih mau makan siang sama kamu.”Mata Raya berbinar. Makan siang bersama? Semoga ini bisa menjadi pertanda baik akan hubungannya dengan mertuanya itu.“Dimana, Pakde?” tanya Raya tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya.“Di v
“Sabun mandi?” Andra mengambil sebuah sabun mandi dari rak, memperlihatkan pada Raya yang tengah mendorong troli yang hampir penuh dengan belanjaan.“Boleh,” jawab Raya tersenyum. “Sabun di rumah hampir habis.”Mereka berjalan pelan, menyusuri rak-rak supermarket yang berderet, penuh dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari.“Yasmin gak nitip pengen dibelikan apa begitu?” tanya Andra melihat deretan snack untuk anak-anak di sampingnya.“Gak ada,” jawab Raya sambil menggelengkan kepala.“Yasmin itu persis sama kamu,” Andra berkata seraya tersenyum kecil.“Apanya?” Raya melebarkan mata karena penasaran.“Sederhananya…”Raya mencubit lengan Andra. “Sebagai perempuan memang harus begitu, hemat dan efisien. Jangan terlalu boros, membeli yang tidak terlalu dibutuhkan.”Andra mencibir. Raya memang seorang perempuan yang sangat sederhana, berbeda dengan mantan-mantan kekasihnya dulu yang selalu memanfaatkan hubungan mereka dengan suka meminta barang-barang mahal. Selama berpacaran dengannya
Udara siang ini cukup suram. Mendung bertengger menguasai angkasa, angin sesekali berhembus kencang menghempaskan helaian daun-daun akasia di depan kafe. Sebentar lagi hujan pasti turun dengan lebat.Raya tidak suka hujan.Hujan selalu mengingatkan pada kematian ayahnya. Hujan juga selalu mengingatkan kejadian buruk enam tahun lalu ketika ia diusir oleh David. Terlunta-lunta dengan gerimis rapat di terminal bis. Tak tahu kemana tujuannya. Hatinya ngilu mengingat hal-hal tersebut. Ia suka cuaca cerah, tanpa mendung, panas, dan langit yang biru. Hal itu membuat suasana hatinya juga ikut cerah, sakit yang timbul-tenggelem di hatinya paling tidak bisa tersamarkan.“Pesanannya, Bu,” seorang pelayan perempuan manis memindahkan sepiring nasi goreng keju dan segelas es teh manis dari nampan ke meja.Raya tersenyum, berterimakasih pada pelayan kafe itu sebelum ia beranjak meninggalkan Raya.Jam-jam makan siang begini tidak biasanya ia makan sendirian di luar kantor. Biasanya Raya membawa bekal
Andra menutup pintu kamar Yasmin perlahan lalu berjalan menuju Raya yang duduk menekuri segelas kopi di meja makan. Raya memang penyuka kopi, itulah yang diketahui Andra semenjak mereka bertemu. Pagi hari dimulai dengan kopi, siang dengan kopi, dan menutup hari juga dengan kopi. Raya akan lebih rileks jika meminum segelas kopi, katanya semua syarafnya yang semula tegang menjadi kendur. Dan mulai saat itu juga Andra yang tidak suka kopi menjadi pencinta kopi juga.“Kopi ….” Raya mengerling ke secangkir kopi yang telah dibuatkannya untuk Andra.“Thanks,” jawab Andra seraya duduk di samping Raya.Mereka diam, sibuk dengan kopinya masing-masing.“Maafkan aku karena tadi mematikan ponsel, Ya….” Andra membuka percakapan setelah hangatnya air kopi membasuh kerongkongannya.“Aku yang minta maaf, aku takut kamu marah karena David yang menemaniku.”Andra tersenyum simul. “Aku tidak marah. Malah seharusnya aku berterimakasih pada David karena mau menemanimu menjemput Raya dan mengantarkanmu kemb
Rama menghampiri Raya di meja kerjanya. Ia duduk di hadapan Raya yang sibuk dengan komputernya. Raya melihatnya sekilas tanpa mengatakan sepatah kata pun.“Sintia ingin bertemu denganmu,” Rama memulai pembicaraan pelan.“Kau mengatakan padanya kalau aku kembali?” Raya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya.“Tentu saja!” jawab Rama seraya menghempaskan badannya ke kursi. “Apa kau tidak ingin bertemu dengannya? Semalaman dia menangis ketika ku beritahu bahwa kau bekerja di kantor yang sama denganku.”Raya menghela nafas. “Aku akan ke rumahmu nanti….”Rama mengeryitkan kening. “Apa kau tahu alamat rumahku dan Sintia?”“Aku tahu semua tentang kalian. Tapi kalian yang tidak tahu apa-apa tentangku,” jawab Raya kali ini dengan menatap Rama.“Rupanya pacar barumu itu punya kuasa, ya ….” Kata Rama seraya menyilangkan kakinya.“Apa pedulimu?”“Kenapa kau sampai menjalin hubungan dengan Andra? Sementara David di sini seperti orang gila mengharapkanmu?” Rama bertanya tajam tapi dengan suara aga
Andra tersenyum ketika Raya membuka pintu kantor. Laki-laki perlente itu berdiri di samping Range Rover hitam miliknya. Ia mengenakan celana jeans warna biru dan kemeja atasan putih yang tak dimasukkan dengan lengan digulung ke siku. Rambutnya bermodel curtain haircut yang diterpa semilir angin sore, menambah aura terpancar dari wajahnya. Aura seorang CEO perusahaan besar. Seorang CEO muda yang bisa jatuh hati pada gadis beranak satu dan tidak punya apa-apa seperti Raya. Sungguh hati manusia yang aneh! “Sudah lama?” tanya Raya. Andra menggeleng, menggaet pinggang Raya ke dekatnya lantas mendaratkan ciuman panas ke bibir kekasihnya itu. “Hey! Malu dilihat orang!” jerit Raya celingukan. Berciuman di tempat umum bukan sesuatu yang disenangi Raya. Andra terkekeh kecil, membukakan pintu untuk Raya. “Sudah makan?” tanya Raya ketika mobil yang mereka tumpangi sudah melaju membelah hiruk-pikuk Jakarta. “Belum,” jawab Andra. “Tadi setelah dari kantor aku langsung jemput kamu.” “Aku ka
Yang dilihat dari David wanita yang berdiri di hadapannya ini bukanlah Raya yang ia kenal enam tahun lampau. Raya yang ia kenal adalah wanita bersahaja yang tidak pernah kenal make up komplit di wajahnya, tapi Raya sekarang ini kebalikannya. Ia memakai bedak, eye shadow, eye liner, lipstik dengan warna yang ia senadakan dengan blush on di pipinya. Rambut Raya yang dulu tergerai panjang, sekarang dipotong bob di bawah kuping. Pakaiannya pun kali ini lebih aduhai, ia memakai kemeja pink berpotongan sesuai lekuk tubuh, dengan rok span hitam selutut yang juga dapat mempertegas pantatnya yang aduhai.Ini bukan Raya!Raya yang dulu selalu senang jika David memeluknya ketika ia pulang kerja. Tapi Raya yang ingin dengan gesit menepis pelukan tiba-tiba David ketika ia membuka pintu tadi.“Maaf, Pak, ini kantor!” katanya tegas. Tidak ada secuil pun hasrat atau kerinduan terpancar dari wajah perempuan yang dulu begitu mencintainya itu.“Kau darimana selama ini?” pertanyaan David parau menahan se
“Stop Andra! Hentikan!” jerit Raya tapi dengan suara yang diturunkan oktafnya. Mendengar jeritan Raya tidak membuat Andra berhenti menciumi leher kekasihnya itu. Nafasnya kian memburu, suara jeritan Raya bagaikan bisikan merdu di telinganya. Ia ingin semakin dalam menjelajahi tubuh Raya yang kini dengan erat dipeluknya. “Nanti Yasmin bangun!” Raya coba keluar dari dekapan Andra. “Raya sudah tidur sejak tadi,” jawab Andra seraya tersenyum nakal. “Tidak ada alasan menolakku malam ini.” Raya mendengus kesal karena tak bisa menolak. Tapi kekesalannya kian sirna, begitu tiap inci tubuhnya tak lepas dari ciuman dan belaian yang Andra berikan. Nafasnya kian memburu, suara desahan kian membuat Andra brutal untuk semakin menjamahnya. Hingga akhirnya kedua belah pihak sama-sama mendapatkan apa yang mereka inginkan. “Lagi?” tanya Andra menggoda di sela nafasnya yang ngos-ngosan. “Capek!” Raya melotot seraya meletakkan kepalanya di dada bidang Andra. Ia memeluk tubuh lelaki itu, lelaki yang
Hari berganti, bulan berlalu, tak terasa enam tahun terlewati tanpa ada kabar sedikit pun dari Raya.***David meletakkan map di meja kerjanya. Pekerjaan terakhir yang mampu ia selesaikan hari ini. Ia melirik arloji, sudah hampir jam lima sore. Ia menggeliat, meluruskan urat-uratnya yang menegang. Beberapa hari ini kesibukan luar biasa, bahkan keinginannya untuk pergi memancing dengan Rama akhir pekan kemarin berujung gagal.“Mau pulang duluan, Bro?” Rama tiba-tiba masuk menyerahkan beberapa map.“Rencananya begitu,” jawab David datar. “Atau kamu mau ikut denganku hari ini? Kita ke bar dulu?” David memasang senyum memancing.Rama mengibaskan dua tangannya. “Tidak!” jawabnya tegas. “Istriku bisa marah jika selama dua hari berturut-turut aku tidak segera pulang ke rumah!”David tergelak. “Sintia memang pemarah.”Rama duduk di kursi di depan David. Melihat tajam ke arah sahabatnya itu.“Why?” tanya David mencoba tersenyum. “Adakah yang salah?”“Cobalah membuka hati, Vid,” jawab Rama pela
“Apa yang Bapak lakukan pada Raya!” teriak Sintia setengah menangis. Bapaknya yang sedang makan di ruang makan bersama ibunya terkejut bukan alang kepalang.“Eh, kamu itu gak sopan!” hardik ibunya. “Datang-datang teriak gak jelas! Bapakmu itu capek, tadi habis ngantar majikannya ke airport. Pulang-pulang malah anaknya ngomel begitu!”“Bapak fitnah Raya, kan?!” Sintia menggebrak meja.“Eh, kamu itu ngomong apa?” tanya Pakde Suroso berlagak tak tahu. “Asal menuduh kamu, ya!”“Minta maaf sama Bapakmu! Raya terus yang kamu bela. Sebenarnya ada apa dengan Raya?” ibunya menimpali.“Bapak sama Ibu itu sebenarnya tahu yang sebenarnya. Hanya berlagak bodoh, kan?” Sintia berkata sengit.Pakde Suroso menatap anak semata wayangnya itu. Rencananya rupanya telah berhasil, tapi dia tidak mempertimbangkan tentang putrinya ini. Pasti keadaan Raya pergi dari rumah akan tercium Sintia.“Bapak gak tahu apa-apa,” jawab Pakde Suroso datar. “Beneran!”“Bapak bohong!” elak Sintia. “Raya tadi telepon aku, dia