“Selamat datang di rumah…” ujar David ketika pintu rumahnya terbuka. Dari balik pintu muncul seorang perempuan baruh baya, tersenyum riang melihat Raya.
“Kenalin ini Mbok Siti,” ujar David. “Beliau yang mengurus rumah ini.”
“Selamat sore Nyonya….”
“Raya,” jawab Raya cepat seraya mengulurkan tangannya. “Nama saya Raya, Mbok.”
“Nyonya Raya,” jawab Mbok Siti tersenyum. “Cantik sekali.”
Raya tersenyum simpul.
“Ayo masuk,” ujar David kemudian.
Raya mengangguk mengikuti David masuk. Mbok Siti membantu Raya membawakan salah satu tas yang berisi pakaian dan keperluan Raya. Rumah berlantai dua bergaya minimalis yang sangat cantik. Dicat warna putih susu dengan dekorasi rumah yang senada dengan warna catnya. Dalam hati Raya suka gaya rumah ini, sesuai dengan rumah yang diimpikannya ketika berumah tangga nanti. Bukankah sekarang ia sudah mulai memasuki pintu rumah tangga? Ah, Raya jijik tiba-tiba mengingat perkataan Nyonya Kinasih beberapa jam yang lalu.
“Kamar Tuan sudah Mbok bersihkan tadi pagi,” ujar Mbok Siti memecah pikiran Raya. “Saya bantu menaikkan barang ke atas ya, Nyonya.”
Raya menahan tangan Mbok Siti. “Tidak usah, Mbok. Saya bisa tidur di kamar tamu…”
“Tidak!” David memotong pembicaraan Raya. “Kita tidur di kamar yang sama, Raya.”
Raya menatap ke arah Mbok Siti. Perempuan itu hanya tersenyum.
“Benar Nyonya. Bagaimanapun sekarang Tuan David sudah menikah dengan Nyonya. Jika Tuan dan Nyonya tidur sekamar, Mbok yakin Nyonya akan segera mengenal Tuan David dengan baik.”
Raya diam seraya menatap David yang mengangguk pelan padanya.
“Baiklah,” jawab Raya. “Tapi biar saya saja yang bawa tas saya, Mbok.”
Mbok Siti memandang David lalu yang mengiyakan permintaan Raya. “Biar saya saja yang bawa satu tasnya, Mbok,”Kata David.
“Kalau begitu saya bikin minum dulu ya,” kata Mbok Siti menyerahkan tas yang dipegangnya pada David.
Raya mengikuti David yang berjalan ke arah tangga. Rupanya kamarnya ada di lantai dua. Mata Raya melihat dengan foto-foto yang ditempelkan di tembok sepanjang anak tangga. Foto-foto David bersama teman-temannya, mungkin teman semasa kuliah karena wajah David berbeda dari sekarang. Jauh lebih muda.
Tapi ada satu foto yang membuatnya penasaran. Sebuah foto David memeluk seorang wanita dari belakang dengan latar hamparan salju yang banyak. Foto itu diambil dari sebuah balkon. David mengenakan kaos warna putih, dan wanita itu memakai dress hitam tanpa lengan. Rambutnya panjang yang dibiarkan tergerai tak beraturan. Cantik.
Raya heran. Siapakah wanita itu? Nyonya Kinasih bilang David seorang gay. Tapi kenapa ia malah berfoto mesra dengan wanita? Apakah wanita itu seorang transgender? Kenapa begitu sempurna? Ah, tapi bukankah zaman sekarang banyak transgender yang lebih cantik dari wanita normal.
“Silakan masuk…” kata-kata David membuyarkan gejolak pikiran Raya. “Ini kamar kita, Raya.”
Raya perlahan masuk. Sebuah kamar luas dengan satu tempat tidur berukuran besar di tengah ruangan. David menyibak gorden besar warna putih, dan membuat sebuah pemandangan yang sulit Raya lukiskan dengan kata-kata. Sunset. Gorden besar itu merupakan penutup sekat dinding dari kaca, yang tanpa Raya sadari ternyata menghadap ke barat.
“Kalau kamu suntuk, coba lihat pemandangan matahari terbenam dari balkon,” kata David seraya menaruh tas Raya di dekat meja.
Raya berjalan perlahan menuju balkon. Ia membiarkan angin menerpa wajahnya. Suasana syahdu yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. Campur aduk. Ia ingat almarhum ayah dan ibunya. Ingat perkataan Nyonya Kinasih yang menganggunya, juga teringat Pakde Suroso dan Bude Rani yang begitu kurang ajar mempermainkan nasibnya.
“Cepat mandi dan berganti pakaian, Raya,” ujar David yang tiba-tiba telah berdiri di belakangnya. “Apa kau akan tidur dengan pakaian pernikahanmu itu?”
Raya berbalik. Kaget. Ternyata David begitu dekat dengannya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Tiba-tiba tangan kokoh itu memegang pinggang Raya, menariknya dengan cepat mendekat ke tubuhnya. Raya bisa mencium bau kemeja David. Bau harum khas yang baru diciumnya. Apakah itu bau laki-laki? Seumur hidup baru kali ini Raya sedekat itu dengan laki-laki, kecuali ayahnya. Dan bau ayahnya tidak demikian.
David mendekatkan wajahnya. Bibirnya perlahan menelusuri pipi Raya. Gadis itu merasakan sensasi berbeda di tubuhnya. Perasaan berdesir aneh yang baru kali ini ia rasakan. Ia ingin menikmati itu, ingin membiarkan David melakukan apa yang diinginkannya. Tapi tiba-tiba pikirannya kembali mengingat perkataan Nyonya Kinasih tadi siang.
Cepat-cepat didorongnya tubuh David menjauhi tubuhnya.
“A… Aku ingin mandi dulu,” kata Raya melesat meninggalkan David yang menatapnya heran.
Raya menutup pintu kamar mandi. Nafasnya tersengal-sengal seperti habis berlari. Hatinya sakit. Perkataan Nyonya Kinasih tentang jati diri David terus berputar di kepalanya. Ia tak tahu apa maksud David mendekatinya tadi. Ataukah itu hanya sandiwara agar ia tak ketahuan jika gay? Atau malah Raya adalah pelarian dari hubungannya yang abnormal itu?
Ah, sudahlah…..
***
Bude Rani memelototkan kedua bola matanya mendengar ucapan Raya. Ya, siang itu Raya menemui Bude di rumahnya. Kesal hatinya semalaman harus ia sampaikan pada Pakde dan Budenya. Betapa ia tersiksa menikah dengan laki-laki yang tidak menginginkan seorang wanita. Betapa semalaman ia harus jijik tidur bersebelahan dengan David, walaupun mereka sama sekali tidak bersentuhan. Jika Raya melihat David, perkataan Nyonya Kinasih terus bergema di kepalanya. Ia ingin menumpahkan segalanya, tapi hanya Bude Rani yang ada di rumah, Pakde Suroso belum pulang dari rumah Nyonya Kinasih.
“Apa maksud kamu mengatakan kami tega mempermainkan hidupmu?!” sungut Bude dengan wajah masam. Sintia di sampingnya, memandang Raya dan ibunya bergantian.
“Nyonya Kinasih mengatakan semuanya setelah acara itu, Bude!” pekikku menahan tangis. “Kenapa Pakde dan Bude tega membohongi saya!”
“Raya, kami itu membuatmu hidup enak. Tinggal di rumah orang kaya. Punya suami tampan dan mapan. Tinggal di rumah megah. Tapi kamu malah menuduh kami membohongimu!”
Wajah Bude Rani memerah. Raya menunduk menumpahkan air mata yang sedari tadi coba dibendungnya.
“Sebenarnya ada apa, Ya?” tanya Sintia pelan. “Apa David menyakitimu?”
“Saudaramu ini yang tak tahu diuntung…”
“Ibumu menjualku untuk menikahi seorang gay!” jawab Raya memotong pembicaraan Bude Rani.
Sintia melongo tak percaya. “Maksudmu?”
Raya menceritakan seperti yang Nyonya Kinasih katakan. Sesekali dilihatnya wajah Bude Rani yang memerah, ada sebuah kecemasan menghiasi wajahnya.
“Ibu!” pekik Sintia. “Kenapa kalian tega berbuat begitu!”
“Kamu itu tidak tahu apa-apa!” balas Bude Rani pada Sintia. “Kamu pikir hutang ayahnya Raya selama ini siapa yang bayar? Ya, kami ini!”
Raya menghela nafas panjang. Selalu hal itu yang dijadikan tameng.
“Kita jadi gembel selama ini ya karena hutang-hutang Ahmad!” lanjut Bude Rani. “Ahmad itu dari remaja suka menyusahkan bapakmu itu, Sin! Sampai dia mati pun masih meninggalkan hutang!”
Rani menutup telinga mendengar nama ayahnya disebut. Hatinya kacau. Kata-kata Bude Rani menusuk dalam relung hatinya. Sakit. Perih.
Sintia menangis. “Walau apapun keadaannya, ibu dan bapak tidak boleh berbuat begitu hina demi uang!”
Bude Rani mendengus kesal. Sintia berdiri, ia memandang Raya sebentar tanpa kata-kata kemudian beranjak meninggalkan ruang tamu itu menuju ke luar. Raya bisa mendengar deru suara sepedanya meninggalkan halaman rumah Bude Rani. Melaju dengan cepat.
“Lihat itu!” teriak Bude Rani pada Raya. “Anak saya satu-satunya marah gara-gara omongan kamu yang tidak masuk akal itu!”
Raya menatap Bude Rani lekat-lekat. “Bude dan pakde yang keterlaluan!”
“Sudahlah!” hardik Bude Rani berdiri. “Suatu hari nanti kamu juga akan berterima kasih karena sudah pakdemu jodohkan dengan anak orang kaya itu!”
Bude Rani menuju ke kamar. Membanting pintu kayu jati dengan suara keras. Raya mendesah. Tak ada gunanya ia datang ke rumah ini. Hanya akan menambah luka sukma saja. Ia beranjak, mencangklong tasnya seraya menghapus air mata yang tumpah di pipinya.
Ia bergegas ingin segera pulang. Pulang? Kata terakhir itu menggantung di pikirannya. Adakah ia punya rumah untuk singgah?
***
“Ah, Nyonya tidak seharusnya memasak begini,” ujar Mbok Siti mencoba mengambil sutil dari tangan Raya yang digunakannya untuk membola-balik gulai dalam wajan. “Gak apa-apa, Mbok,” jawab Raya. “Di rumah bude dulu setiap hari saya yang masak.” “Ya, tapi nanti saya dimarahi Tuan David kalau tahu Nyonya Raya yang setiap hari masak.” Raya menggeleng. “Gak kok, Mbok. Tenang saja.” Mbok Siti pasrah, lantas beranjak mencuci piring kotor di kitchen sink. Selama hampir dua minggu Raya tinggal di rumah ini, dialah yang memasak semua hidangan. Bangunnya selalu pagi, bahkan kadang lebih pagi dari Mbok Siti. Ia cekatan dan terampil. Menyiapkan sarapan, membantu Mbok Siti mengepel, bahkan kadang ia yang mencuci pakaian. David tahu hal tersebut, dilapori Mbok Siti tentu saja. Dengan bijaksana ia menegur Raya. “Raya, kamu boleh membantu Mbok Siti. Tapi jangan semua pekerjaan kamu yang kerjakan. Mbok Siti laporan sama saya, beliau
Mau tak mau Raya kembali bertemu dengan Nyonya Kinasih. Tapi seperti yang diperkirakan Raya, perempuan itu hanya diam tak peduli dengan kehadiran dirinya. Tapi Raya juga tak peduli, ia asyik bercengkrama dengan Sintia. Di pesawat pun mereka duduk berdua. Setelah menikah baru kali ini Raya bisa sedikit lega, paling tidak ada teman yang menemaninya. Bukannya David tidak mengizinkan ia bertemu dengan sepupunya, tapi Sintia sibuk mengurusi skripsi, Raya tidak mau menganggu konsentrasinya. Baru kali ini Raya pergi ke Bali. Begitu juga Sintia. Mereka sangat takjub akan keindahan panorama Bali yang indah. Apalagi pesta pernikahan Raya dan David akan dilaksanakan di tepi pantai. Mirip dengan pesta pernikahan selebritis. Raya tertegun. Kenapa nasib membawanya bagaikan Cinderella. Kenapa hal-hal indah yang hanya dapat disaksikannya lewat televisi, kini benar-benar nyata di depannya. Haruskah ia bahagia? Tidak. Ini bukan kenyataan bagi Raya. Ini semua semu. Dirinya bukan
Suara dering ponsel menghentakkan Raya dari tidurnya. Kaget. Sambil mengerjapkan mata ia mengambil sumber bunyi itu dari nakas. “Ha… Halo,” kata Raya parau. “Raya!” pekik suara di seberang. Raya menjauhkan ponsel dari telinganya, memastikan nama yang tertera di layar. Sintia. “Ada apa, Sin?” tanya Raya seraya memejamkan mata. “Aduh! Gila kamu, ya! Ini sudah hampir pukul sepuluh pagi!” pekik Sintia kesal. Raya tersentak. Kembali dilihatnya layar ponsel. Pukul sepuluh kurang lima menit. Kenapa ia bangun kesiangan? David menggeliat. Mengerjapkan matanya sebentar lalu tersenyum pada Raya. Satu hal yang Raya sadari kini, mereka tidur tanpa mengenakan apapun! “Halo! Kok ngalamun sih, Ya!” teriak Sintia. “I… iya, nanti aku telepon lagi. Aku mandi dulu,” Raya cepat-cepat menutup teleponnya. Raya memijit pelipisnya. Ingatannya telah kembali utuh. Tadi malam merupakan hal paling manis yang ia rasakan
“Hey, Suroso!” pekik Nyonya Kinasih setelah sampai dalam kamarnya. “Rencana yang kita lakukan sepertinya tidak sesuai dengan prediksimu!” Suara di seberang menjawab, “Apa maksud, Nyonya?” “Kau mengatakan antara David dan Raya tidak akan mungkin ada perasaan satu sama lain!” “Benar, Nyonya. Saya jamin! Apalagi melihat kelainan yang ada dalam diri Tuan David.” Nyonya Kinasih memijit-mijit kepalanya yang tidak pening itu. “Besok siang sepulang saya dari sini saya tunggu kamu di ruang kerja saya!” “A… Ada apa, Nyonya?” suara panik Pak Suroso dari seberang. “Kau akan tahu besok!”*** David membopong Raya setelah menutup pintu kamar hotel dengan kasar. “Ih, kamu kenapa, Vid!” pekik Raya. “Malu jika ada orang melihat!” David tertawa. “Nyonya David, siapa yang akan melihat kita. Di kamar ini hanya ada kita berdua sekarang!” Raya meng
Nyonya Kinasih menggebrak meja kerjanya. Suaranya berdentum keras sehingga membuat Pakde Suroso sedikit tersentak kaget. Lelaki lebih setengah abad itu mundur selangkah, takut wanita di depannya akan melakukan hal yang sama lagi.“Saya rasa mereka hanya beradu akting saja, Nyonya,” Pakde Suroso angkat bicara. “Saya yakin tidak ada perasaan sama sekali diantara mereka berdua.”Nyonya Kinasih menggeleng seraya menjawab, “Kau tahu, ketika berangkat ke Bali sikap mereka biasa saja. Aku akan percaya mereka hanya berakting kalau ketika pulang mereka juga akan bersikap biasa. Tapi ini tidak begitu, di pesawat bahkan di bandara mereka sangat mesra. Berpelukan dan bergandengan seperti tidak bisa dipisahkan!”Pakde Suroso diam.“Apakah Bali membuat mereka berdua jatuh cinta? Apakah Raya bisa menyembuhkan David?” tanya Nyonya Kinasih seperti pada dirinya sendiri.“Ah, saya rasa tidak, Nyonya ….”“Atau ….” Potong Nyonya Kinasih cepat. “Kau memang sengaja memberikan Raya padaku agar mereka berdua
“Mulai besok aku ada rapat ke luar kota, Ya,” kata David pagi itu di meja makan.Raya mengangguk. Menuangkan jus jeruk ke gelas kaca dengan perlahan. Sarapan sudah siap di meja makan, Raya memasak nasi goreng daging sapi. Mbok Siti libur dua hari ini, anaknya yang sulung melahirkan kemarin, beliau sibuk menjaga anaknya tersebut.“Mungkin sekitar lima hari aku tidak di rumah,” kata David seraya menyendokkan nasi ke mulutnya. “Kau tidak apa-apa sendirian? Kau berani?”Raya kembali mengangguk. “Jangan khawatir. Aku bukan anak kecil yang penakut.”David tersenyum, membelai rambut istrinya itu dengan lembut.“Berarti nanti sore saja kita tengok cucu Mbok Siti,” kata Raya. “Pumpung kamu masih di rumah, jadi bisa menemaniku.”“Okay.”“Mamamu kemarin kenapa menyuruhmu datang ke kantornya?” tanya Raya. Hal ini ingin ditanyakannya sedari kemarin, tapi tadi malam ia kecapekan dan ketiduran ketika menunggu David lembur.“Oh, itu,” balas David. “Biasa. Menyuruhku untuk menggantikan beliau di kant
“Gimana? Sudah enakan badannya?” tanya David dari telepon. Raya menggeliat, kembali bergelung dalam selimut. Sudah dua hari David pergi ke luar kota, tapi sejak saat itu dirasakannya badannya tidak enak.“Asam lambungku naik sepertinya,” jawab Raya setelah menguap. “Tadi malam aku sudah minum obat asam lambung.”“Terus sudah enakan?” tanya David khawatir.Raya menggeleng seraya menjawab, “Belum.”“Janji ya nanti kamu bakal pergi ke dokter,” pinta David. “Jangan sampai sakit, apalagi aku masih tiga hari di sini. Setelah selesai janji aku langsung pulang.”“Iya, Vid,” jawab Raya. “Tadi aku sudah telepon Sintia, dia mau kok pergi ke dokter denganku. Nanti sore aku ke dokter langgananku.”“Kok nanti sore?” sergah David.“Sintia ada bimbingan skripsi sampai siang,” jawab Raya sambil duduk. “Gak apa-apa, kok. Aku bukan sakit parah, cuma sedikit gak enak badan.”Terdengar David menghela nafas panjang. “Ya, sudah. Tapi kalau sampai siang ini sakitnya semakin parah kamu pergi ke rumah sakit de
Sintia menguap, berdiri di samping ibunya yang tengah memotong sayuran di dapur. Tangannya meraih gelas dan menuangkan aor putih ke dalamnya. Ibunya melihatnya dengan pandangan kesal.“Anak perawan jam segini baru bangun,” kata Bude Rani. “Gak malu sama ayam tetangga?”Sintia meletakkan gelas kosong seraya menguap. “Namanya juga ngantuk, Bu.”“Semalam darimana?” tanya BUde Rani lantas melanjutkan memotong wortel. “Jam berapa pulang?”“Nganter Raya ke dokter.”Bude Rani memandang Sintia sekilas. “Raya sakit apa?”“Bukan sakit, Bu.”“Lha, terus?”“Ibu mau jadi nenek!” Sintia menjawab antusias dengan senyum tersungging lebar di bibirnya.Bude Rani menghentikan aktifitasnya, memandang anak semata wayangnya itu dengan melotot. “Jadi nenek? Maksudmu?”Sintia menghela nafas. “Ya, kalau Ibu mau jadi nenek, artinya Raya hamil, Bu!” jawabnya kesal.“Ha …. Hamil?” tanya Bude Rani kaget.Sintia mengangguk pelan. “Betul sekali!”“Kok bisa?” Bude Rani berteriak tidak percaya. “Sama siapa?”Sintia m
“Sabun mandi?” Andra mengambil sebuah sabun mandi dari rak, memperlihatkan pada Raya yang tengah mendorong troli yang hampir penuh dengan belanjaan.“Boleh,” jawab Raya tersenyum. “Sabun di rumah hampir habis.”Mereka berjalan pelan, menyusuri rak-rak supermarket yang berderet, penuh dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari.“Yasmin gak nitip pengen dibelikan apa begitu?” tanya Andra melihat deretan snack untuk anak-anak di sampingnya.“Gak ada,” jawab Raya sambil menggelengkan kepala.“Yasmin itu persis sama kamu,” Andra berkata seraya tersenyum kecil.“Apanya?” Raya melebarkan mata karena penasaran.“Sederhananya…”Raya mencubit lengan Andra. “Sebagai perempuan memang harus begitu, hemat dan efisien. Jangan terlalu boros, membeli yang tidak terlalu dibutuhkan.”Andra mencibir. Raya memang seorang perempuan yang sangat sederhana, berbeda dengan mantan-mantan kekasihnya dulu yang selalu memanfaatkan hubungan mereka dengan suka meminta barang-barang mahal. Selama berpacaran dengannya
Udara siang ini cukup suram. Mendung bertengger menguasai angkasa, angin sesekali berhembus kencang menghempaskan helaian daun-daun akasia di depan kafe. Sebentar lagi hujan pasti turun dengan lebat.Raya tidak suka hujan.Hujan selalu mengingatkan pada kematian ayahnya. Hujan juga selalu mengingatkan kejadian buruk enam tahun lalu ketika ia diusir oleh David. Terlunta-lunta dengan gerimis rapat di terminal bis. Tak tahu kemana tujuannya. Hatinya ngilu mengingat hal-hal tersebut. Ia suka cuaca cerah, tanpa mendung, panas, dan langit yang biru. Hal itu membuat suasana hatinya juga ikut cerah, sakit yang timbul-tenggelem di hatinya paling tidak bisa tersamarkan.“Pesanannya, Bu,” seorang pelayan perempuan manis memindahkan sepiring nasi goreng keju dan segelas es teh manis dari nampan ke meja.Raya tersenyum, berterimakasih pada pelayan kafe itu sebelum ia beranjak meninggalkan Raya.Jam-jam makan siang begini tidak biasanya ia makan sendirian di luar kantor. Biasanya Raya membawa bekal
Andra menutup pintu kamar Yasmin perlahan lalu berjalan menuju Raya yang duduk menekuri segelas kopi di meja makan. Raya memang penyuka kopi, itulah yang diketahui Andra semenjak mereka bertemu. Pagi hari dimulai dengan kopi, siang dengan kopi, dan menutup hari juga dengan kopi. Raya akan lebih rileks jika meminum segelas kopi, katanya semua syarafnya yang semula tegang menjadi kendur. Dan mulai saat itu juga Andra yang tidak suka kopi menjadi pencinta kopi juga.“Kopi ….” Raya mengerling ke secangkir kopi yang telah dibuatkannya untuk Andra.“Thanks,” jawab Andra seraya duduk di samping Raya.Mereka diam, sibuk dengan kopinya masing-masing.“Maafkan aku karena tadi mematikan ponsel, Ya….” Andra membuka percakapan setelah hangatnya air kopi membasuh kerongkongannya.“Aku yang minta maaf, aku takut kamu marah karena David yang menemaniku.”Andra tersenyum simul. “Aku tidak marah. Malah seharusnya aku berterimakasih pada David karena mau menemanimu menjemput Raya dan mengantarkanmu kemb
Rama menghampiri Raya di meja kerjanya. Ia duduk di hadapan Raya yang sibuk dengan komputernya. Raya melihatnya sekilas tanpa mengatakan sepatah kata pun.“Sintia ingin bertemu denganmu,” Rama memulai pembicaraan pelan.“Kau mengatakan padanya kalau aku kembali?” Raya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya.“Tentu saja!” jawab Rama seraya menghempaskan badannya ke kursi. “Apa kau tidak ingin bertemu dengannya? Semalaman dia menangis ketika ku beritahu bahwa kau bekerja di kantor yang sama denganku.”Raya menghela nafas. “Aku akan ke rumahmu nanti….”Rama mengeryitkan kening. “Apa kau tahu alamat rumahku dan Sintia?”“Aku tahu semua tentang kalian. Tapi kalian yang tidak tahu apa-apa tentangku,” jawab Raya kali ini dengan menatap Rama.“Rupanya pacar barumu itu punya kuasa, ya ….” Kata Rama seraya menyilangkan kakinya.“Apa pedulimu?”“Kenapa kau sampai menjalin hubungan dengan Andra? Sementara David di sini seperti orang gila mengharapkanmu?” Rama bertanya tajam tapi dengan suara aga
Andra tersenyum ketika Raya membuka pintu kantor. Laki-laki perlente itu berdiri di samping Range Rover hitam miliknya. Ia mengenakan celana jeans warna biru dan kemeja atasan putih yang tak dimasukkan dengan lengan digulung ke siku. Rambutnya bermodel curtain haircut yang diterpa semilir angin sore, menambah aura terpancar dari wajahnya. Aura seorang CEO perusahaan besar. Seorang CEO muda yang bisa jatuh hati pada gadis beranak satu dan tidak punya apa-apa seperti Raya. Sungguh hati manusia yang aneh! “Sudah lama?” tanya Raya. Andra menggeleng, menggaet pinggang Raya ke dekatnya lantas mendaratkan ciuman panas ke bibir kekasihnya itu. “Hey! Malu dilihat orang!” jerit Raya celingukan. Berciuman di tempat umum bukan sesuatu yang disenangi Raya. Andra terkekeh kecil, membukakan pintu untuk Raya. “Sudah makan?” tanya Raya ketika mobil yang mereka tumpangi sudah melaju membelah hiruk-pikuk Jakarta. “Belum,” jawab Andra. “Tadi setelah dari kantor aku langsung jemput kamu.” “Aku ka
Yang dilihat dari David wanita yang berdiri di hadapannya ini bukanlah Raya yang ia kenal enam tahun lampau. Raya yang ia kenal adalah wanita bersahaja yang tidak pernah kenal make up komplit di wajahnya, tapi Raya sekarang ini kebalikannya. Ia memakai bedak, eye shadow, eye liner, lipstik dengan warna yang ia senadakan dengan blush on di pipinya. Rambut Raya yang dulu tergerai panjang, sekarang dipotong bob di bawah kuping. Pakaiannya pun kali ini lebih aduhai, ia memakai kemeja pink berpotongan sesuai lekuk tubuh, dengan rok span hitam selutut yang juga dapat mempertegas pantatnya yang aduhai.Ini bukan Raya!Raya yang dulu selalu senang jika David memeluknya ketika ia pulang kerja. Tapi Raya yang ingin dengan gesit menepis pelukan tiba-tiba David ketika ia membuka pintu tadi.“Maaf, Pak, ini kantor!” katanya tegas. Tidak ada secuil pun hasrat atau kerinduan terpancar dari wajah perempuan yang dulu begitu mencintainya itu.“Kau darimana selama ini?” pertanyaan David parau menahan se
“Stop Andra! Hentikan!” jerit Raya tapi dengan suara yang diturunkan oktafnya. Mendengar jeritan Raya tidak membuat Andra berhenti menciumi leher kekasihnya itu. Nafasnya kian memburu, suara jeritan Raya bagaikan bisikan merdu di telinganya. Ia ingin semakin dalam menjelajahi tubuh Raya yang kini dengan erat dipeluknya. “Nanti Yasmin bangun!” Raya coba keluar dari dekapan Andra. “Raya sudah tidur sejak tadi,” jawab Andra seraya tersenyum nakal. “Tidak ada alasan menolakku malam ini.” Raya mendengus kesal karena tak bisa menolak. Tapi kekesalannya kian sirna, begitu tiap inci tubuhnya tak lepas dari ciuman dan belaian yang Andra berikan. Nafasnya kian memburu, suara desahan kian membuat Andra brutal untuk semakin menjamahnya. Hingga akhirnya kedua belah pihak sama-sama mendapatkan apa yang mereka inginkan. “Lagi?” tanya Andra menggoda di sela nafasnya yang ngos-ngosan. “Capek!” Raya melotot seraya meletakkan kepalanya di dada bidang Andra. Ia memeluk tubuh lelaki itu, lelaki yang
Hari berganti, bulan berlalu, tak terasa enam tahun terlewati tanpa ada kabar sedikit pun dari Raya.***David meletakkan map di meja kerjanya. Pekerjaan terakhir yang mampu ia selesaikan hari ini. Ia melirik arloji, sudah hampir jam lima sore. Ia menggeliat, meluruskan urat-uratnya yang menegang. Beberapa hari ini kesibukan luar biasa, bahkan keinginannya untuk pergi memancing dengan Rama akhir pekan kemarin berujung gagal.“Mau pulang duluan, Bro?” Rama tiba-tiba masuk menyerahkan beberapa map.“Rencananya begitu,” jawab David datar. “Atau kamu mau ikut denganku hari ini? Kita ke bar dulu?” David memasang senyum memancing.Rama mengibaskan dua tangannya. “Tidak!” jawabnya tegas. “Istriku bisa marah jika selama dua hari berturut-turut aku tidak segera pulang ke rumah!”David tergelak. “Sintia memang pemarah.”Rama duduk di kursi di depan David. Melihat tajam ke arah sahabatnya itu.“Why?” tanya David mencoba tersenyum. “Adakah yang salah?”“Cobalah membuka hati, Vid,” jawab Rama pela
“Apa yang Bapak lakukan pada Raya!” teriak Sintia setengah menangis. Bapaknya yang sedang makan di ruang makan bersama ibunya terkejut bukan alang kepalang.“Eh, kamu itu gak sopan!” hardik ibunya. “Datang-datang teriak gak jelas! Bapakmu itu capek, tadi habis ngantar majikannya ke airport. Pulang-pulang malah anaknya ngomel begitu!”“Bapak fitnah Raya, kan?!” Sintia menggebrak meja.“Eh, kamu itu ngomong apa?” tanya Pakde Suroso berlagak tak tahu. “Asal menuduh kamu, ya!”“Minta maaf sama Bapakmu! Raya terus yang kamu bela. Sebenarnya ada apa dengan Raya?” ibunya menimpali.“Bapak sama Ibu itu sebenarnya tahu yang sebenarnya. Hanya berlagak bodoh, kan?” Sintia berkata sengit.Pakde Suroso menatap anak semata wayangnya itu. Rencananya rupanya telah berhasil, tapi dia tidak mempertimbangkan tentang putrinya ini. Pasti keadaan Raya pergi dari rumah akan tercium Sintia.“Bapak gak tahu apa-apa,” jawab Pakde Suroso datar. “Beneran!”“Bapak bohong!” elak Sintia. “Raya tadi telepon aku, dia