Firdaus menyesap piccolo pesanannya yang baru saja diantarkan oleh pramusaji sebelum menjawab pertanyaan Viona."Jadi begini, semua orang pasti pernah mengalami gangguan disosiatif ringan, seperti melamun atau berharap ingin menjadi orang lain karena lelah atau jenuh dengan kehidupan kita."Itu adalah mekanisme pertahanan dalam tubuh kita untuk melepaskan diri dari masalah yang sedang kita hadapi. Semua orang pasti pernah melakukan ini. Kamu pasti pernah juga, kan?"Viona mengangguk pelan. Terkadang dia berharap menjadi Yuanita yang cantik, ramping, tinggi dan bisa mengerjakan apa saja-termasuk memasak.Terkadang dia juga mengkhayal menjadi seorang miliarder yang bisa liburan ke mana saja tanpa harus memikirkan uang, di saat dia sedang penat dengan kehidupannya sendiri.Ya, melamun dan mengkhayal memang mekanisme pertahanan paling mudah dan murah yang bisa dilakukan siapa saja yang sedang jenuh atau stres."Tapi pada penderita kepribadian ganda, mekanisme pertahanan diri mereka sangat
Kenangan masa kecil Padma menyeruak dalam benak Alfie begitu melihat dua orang di hadapannya sibuk menutupi tubuh bugil mereka dengan selimut.Kenangan itu disimpan seorang diri oleh Padma dan dipendam selama bertahun-tahun sampai akhirnya karakter Alfie lahir.Setiap kali mendengar berita kebejatan ibunya, Padma selalu menghadirkan Alfie karena dia sendiri tak bisa mengungkapkan kemarahan dan rasa kecewanya pada sang ibu.Waktu itu Padma masih berusia lima tahun sementara Ghina dua puluh enam tahun. Perempuan itu memang menikah muda dengan pemilik SMA tempat dia bersekolah dulu.Dua bulan menikah dengan lelaki yang lebih tua sepuluh tahun, Ghina pun hamil. Perempuan itu sempat menyalahkan Arya karena tidak memakai pengaman, sementara dia masih belum ingin memiliki anak.Namun, karena Arya sudah menginginkan anak, Ghina terpaksa meneruskan kehamilannya meski dengan hati tidak rela. Padma terlahir sembilan bulan kemudian dan Ghina kembali melanjutkan kesenangannya.Karena alasan itu ju
Kalau Arya bisa bersenang-senang dengan perempuan lain, maka Ghina juga bisa melalukan hal yang sama.Ghina menyeret Padma ke kamar mandi dan membawanya ke bawah pancuran dan menghidupkan benda itu.Tanpa ampun, Ghina memukuli Padma di bawah pancuran yang menyala. Mulai dari pantat, paha, betis sampai lengan bocah kecil itu, disertai sumpah serapah yang membuat panas telinga."Anak tidak berguna! Tidak tahu sopan santun!""Mama menyesal melahirkan kamu. Seharusnya kamu mati sejak dulu biar tidak membuat hidup Mama terkekang.""Sejak kapan kamu berani masuk ke kamar orang tua tanpa mengetuk pintu, hah?""Apa guru di sekolah kamu tidak mengajari sopan santun?"Padma kecil hanya diam dengan tubuh gemetar. Seperti biasa, mulutnya selalu terkunci rapat setiap kali orang tuanya melakukan kekerasan padanya.Siksaan itu baru berakhir tiga puluh menit kemudian, saat Ghina mulai kehabisan tenaga. Dengan tersengal-sengal dia menatap Padma yang meringkuk di sudut kamar mandi."Mama nggak akan seg
Ghani mengerjap.Kilat kemarahan di mata sang anak benar-benar tak pernah dia lihat sebelumnya. Dan mengapa sejak tadi Padma bicara tentang dirinya seorang dia adalah orang lain? Apa maksudnya?Lelaki berjas hitam itu adalah anak sulungnya, kan?"Dan kamu- Alfie beralih memandang lelaki yang lebih muda enam tahun darinya itu, "-sama menjijikkannya dengan perempuan di ujung sana." Alfie menunjuk Ghina."Tolong maafkan saya, Mas Padma." Lelaki muda itu menangkupkan kedua tangannya di depan mata sambil membungkukkan tubuhnya yang gemetar ketakutan."Ibu Ghina terus membujuk dan merayu saya. Dia juga berjanji akan membantu biaya kuliah adik saya. Tolong ampuni saya.""Fero!" Ghina melotot. "Apa-apaan ini? Jangan katakan apa-apa pada Padma!" serunya panik.Seringai kejam terbit di wajah Alfie. Dia tahu lelaki di hadapannya ini sedang berbohong. Sehari yang lalu, dia sempat menyelidiki latar belakang asisten pribadi ibunya.Sama seperti yang dia katakan, asisten baru ibunya itu tak lebih da
Viona meminta Bu Retno membawa Sabda ke kamarnya sendiri, sementara dia pergi mengecek suara pecahan kaca yang berasal dari ruang makan.Penerangan di ruang tengah sudah berubah remang-remang saat keluar dari kamar. Mungkin Bik Sari yang mematikan lampu sekaligus mengunci pintu depan.Mendadak terdengar suara tawa ganjil dari ruang makan, yang membuat tengkuk Viona meremang. Meski takut tetapi rasa penasarannya lebih dominan.Detak jantung Viona mulai berkejaran saat kakinya melangkah menuju ruang makan. Dilihatnya sesosok tubuh tertelungkup di meja makan sambil meracau tidak jelas.Didekatinya sosok itu sambil menelan ludah gugup. Dia berjaga-jaga akan kabur jika sosok itu adalah makhluk astral yang bisa saja sudah gentayangan di jam seperti ini dan menyaru menjadi manusia.Viona menghela napas lega setelah memastikan sosok yang menelungkup di meja adalah Padma. Lelaki itu terlihat kacau dengan rambut berantakan dan lengan kemeja yang digulung sampai ke siku. Sementara jasnya entah k
Pandangan Viona bergerak ke tangan Padma dan saat itulah Viona melihat buku-buku tangan kanan Padma terluka. Dia bangkit lalu meraih tangan kanan Padma dan mengamatinya lebih dekat."Kenapa tangan Mas Padma terluka?"Gumam tidak jelas keluar dari mulut Padma sehingga Viona terpaksa mengulangi pertanyaannya.Padma mengerang saat Viona menekan lukanya. "Aku tidak tahu, Viona Alfie mungkin menghajar beberapa orang di kelab malam. Dia memang mudah marah.""Aku ambil kotak obat dulu." Viona bergerak turun dari tempat tidur, tetapi lengan kekar Padma melingkari perut dan menahannya.Viona terpaku, Padma tidak akan tahu dia sedang hamil anaknya, kan?Janin delapan minggu belum bisa membuat gerakan di dalam perut, kan?"Jangan tinggalkan aku, Viona! Malam ini aku tidak mau tidur sendiri."Suara Padma terdengar memelas. "Tolong temani aku malam ini saja.""Aku hanya ingin mengambil kotak obat di bawah, Mas. Luka di tangan Mas Padma harus diobati.""Tidak perlu." Padma menarik Viona hingga pere
Padma mendongak dan ikut merasa sesak begitu melihat mata bulat Viona yang berkaca-kaca. "Maafkan aku, Viona Alfie benar-benar membuatku tidur hingga aku tidak tahu apa yang dia lakukan padamu."Saat aku berhasil mengambil alih tubuhku, aku baru tahu kita sudah menikah dan Alfie melecehkan kamu jauh sebelum itu. I was so stupid, right? Kesalahanku tidak akan pernah bisa dimaafkan."Nada sesal dalam suara Padma membuat Viona bisa merasakan beban apa yang menggelayuti pundak Padma selama dua bulan terakhir.Adik ipar yang seharusnya dia jaga, ternyata 'dirusak' oleh alter ego-nya sendiri. Sementara dia tidak bisa melakukan apa-apa.Kemarahan, kebencian dan dendam yang begitu kuat mengakar dalam dada Alfie membuatnya terlalu berkuasa atas tubuh Padma."Yang sudah terjadi biarlah terjadi, Mas," ucap Viona setelah mereka berdua sama-sama diam selama beberapa menit. "Yang terpenting sekarang kita tahu situasi yang sebenarnya."Jawaban bijak Viona menerbitkan harap di dalam dada Padma. "Apa
Paginya, Viona terbangun di kamarnya sendiri dengan kepala berdenyut dan perut mual. Susah payah dia menyeret dirinya ke toilet lalu memuntahkan isi perut.Saat membasuh wajahnya yang terasa hangat, Viona menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Sesosok perempuan berwajah sembap dengan lingkaran hitam di bawah mata balas menatapnya.Itu adalah gambaran dirinya. Rapuh, kalut, tetapi harus tetap berdiri tegak demi janin yang ada dalam kandungannya.Viona menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Menahan desakan cairan bening yang sudah menggenang di pelupuk mata. Tetapi saat benaknya teringat pada ucapan Alfie semalam, pertahanan Viona runtuh.Dia jongkok di kamar mandi lalu menangis tersedu-sedu sambil menenggelamkan wajahnya di kedua lutut. Kenapa hidupnya terasa rumit sekali?Isak tangis Viona baru berhenti saat telinganya mendengar tangisan Sabda yang melengking. Saat dia terbangun tadi, bayi tampan itu memang sudah dibawa Bu Retno untuk jalan-jalan pagi seperti biasanya.Mereka pasti
Alfie tidak mejawab. Dia hanya menggusah napas kasar. Terlihat jelas bahwa lelaki itu sedang berusaha mengendalikan diri.Jangan lakukan hal yang aneh katanya? Alfie bahkan ingin segera melesat menuju rumah Arya dan menghajarnya sampai mati. Lelaki itu benar-benar bebal dan tidak bisa diberitahu dengan kata-kata.Mungkin nanti, ketika Viona sudah pulih. Untuk sekarang dia harus fokus untuk menemukan Khadafi lebih dulu. Selama adik tiri Padma itu belum ditemukan, dia bisa berulah lagi.Sejenak kemudian ekspresi Alfie mulai melunak. Dia kembali menatap Viona dengan tatapan melembut. "Kamu tidak melihat ada mobil lain yang mengikutimu?""Tidak. Aku begitu fokus ke jalan karena sebenarnya aku masih takut untuk kembali menyetir. Itu sebabnya aku tidak memerhatikan samping dan belakangku.""Itu artinya kamu tidak sempat melihat siapa yang menembakmu dari samping?"Kening Viona berkerut.Dia memang sempat menduga dirinya tertembak saat rasa nyeri tiba-tiba menerjang bahu disusul dengan darah
Mereka semua terdiam dengan kerutan di dahi. Dalam hati, mereka semua merapal doa untuk keselamatan Viona di ruang operasi.Setelah terdiam cukup lama, Mindi mendadak teringat apa tujuan dia datang ke sini selain untuk mengabari para ART di rumah Alfie tentang Viona.Dia bangkit, lalu berjalan ke ruang tamu untuk menemui seorang gadis yang sejak tadi menunggu di sana. Gadis itu tampak menunduk sambil meremas jemarinya.Mindi menepuk pelan bahu gadis itu hingga dia menoleh. "Ayo kita masuk. Saya perkenalkan kamu pada orang-orang yang bekerja di rumah ini."Gadis itu mengangguk, lalu bangkit dan mengikuti Mindi yang kembali ke ruang tengah. Kepalanya terus menunduk dan tidak berani memandangi rumah mewah yang dia masuki ini.Bik Sari dan Bu Retno tampak mengenyit saat melihat Mindi kembali dengan seorang gadis belia yang memakai rok SMA dengan kaus hitam yang terlihat lusuh."Bu Retno, Bik Sari, ini adalah Rosma." Mindi memperkenalkan gadis yang berdiri dengan kepala tertunduk di sampin
"Ini masih dugaan saya. Itu sebabnya saya menelepon Tante karena ada yang ingin saya tanyakan. Apa Khadafi pernah ikut klub menembak atau punya senjata?"Ada jeda sejenak sebelum Devita menjawab pertanyaan Alfie. "Dia ikut klub menembak sejak SMP karena suka sekali melihat film action. Tapi saya tidak tahu apakah dia punya senjata atau tidak."Jawaban Devita nyaris melengkapi kepingan puzzle yang ada di benak Alfie. Bisa dipastikan pelaku yang menembak Viona dari jarak sedang bukanlah pembunuh yang disewa Arya, melainkan Khadafi."Ada apa, Alfie? Apa Khadafi melakukan sesuatu pada kamu atau keluarga kamu?""Saya akan mengabari Tante jika hasilnya memang sudah dipastikan," sahut Alfie cepat. "Tetapi boleh saya minta tolong?""Tentu.""Jika Khadafi menghubungi, tolong beri tahu dia bahwa Alfie mencarinya." Setelah mengatakan itu, Alfie mengakhiri panggilan lalu mengembuskan napas kuat-kuat.Dia lalu menoleh ke arah ruang operasi yang masih tertutup rapat. Alfie tidak tahu sudah berapa j
"Berita apa yang kamu bawa?" tanya Alfie sambil mengancingkan kemejanya.Beberapa waktu lalu Mindi datang dengan membawa baju ganti dan beberapa berkas yang harus dia tandatangani. Perempuan itu tampak cemas dengan kondisi Viona yang masih ada di ruang operasi.Mindi bahkan menawarkan diri untuk menemani, setidaknya sampai ada kabar dari dokter yang menangani operasi Viona.Namun Alfie menolak dan memintanya memberitahu Bu Retno dan Bik Sari agar mereka tidak khawatir karena nanti malma Viona pasti tidak akan pulang.Lalu tak lama kemudian anak buahnya datang untuk melaporkan perkembangan kasus kecelakaan Viona, yang kini sudah ditangani oleh pihak yang berwajib."Begitu saya sampai di sana, polisi sudah memenuhi lokasi itu, Tuan. Mereka menemukan senapan laras panjang dan satu selongsong peluru tak jauh dari mobil Nona Viona.""Senapan laras panjang?" Alfie mengerutkan kening."Ya, Tuan. Jenis Ak-47. Dan jika melihat kaca jendela yang tertembus peluru, dugaan sementara adalah Nona Vi
"Saya menemukannya sudah seperti ini. Tapi saya sudah memanggil ambulans dan polisi. Apa Anda mengenal perempuan itu?""Dia calon istri saya," jawab Alfie tergesa. Dengan cepat dia membuka pintu mobil dan perlahan-lahan mengeluarkan Viona dari sana sambil memanggil namanya berulang kali."Viona," panggil Alfie pelan sambil menepuk pipi Viona yang terkulai di atas pangkuannya. "Viona, bangun!"Viona sama sekali tak merespons. Tetapi Alfie masih bisa bernapas lega setelah mengecek perempuan itu masih bernapas dan denyut nadinya masih terasa meski amat lemah."Viona!" panggil Alfie lagi, masih dengan tangan menepuk pelan pipi Viona. "Bangun!"Perlahan Alfie mencium aroma anyir darah. Dengan panik dia mengecek seluruh tubuh Viona. Dan saat itulah dia melihat tangannya yang memegang bahu Viona berlumuran darah.Dengan cepat Alfie membuka blazer Viona dan terkesiap saat melihat kemeja kuning gading Viona sudah basah oleh darah.Satu titik di kemeja Viona yang bolong membuat Alfie yakin sese
Benar juga. Alfie memang sangat panik hingga lupa Viona ada dalam genggamannya. Dia mengaktifkan layar ponsel, lalu membuka sebuah aplikasi yang terhubung ke jam tangan Viona.Setelah mengotak-atik selama beberapa menit karena ini adalah pertama kalinya Alfie menggunakan aplikasi itu, akhirnya dia bisa melihat posisi Viona saat ini."Kenapa dia bergerak menuju rumah si Tua Bangka itu?" gumam Alfie.Ada yang aneh di sini. Bukankah dia sudah melarang Viona bertemu Arya tanpa sepengetahuannya?**"Get me closer!" desis lelaki yang dipanggil 'Bos' itu. Jaraknya masih terlalu jauh dengan sedan yang dikemudikan Viona.Si pengemudi berusaha memangkas jarak mobilnya dengan sedan Viona. Tidak mudah karena ini adalah jalan kecil dan mobil dari arah berlawanan bisa saja tiba-tiba muncul."Cepat! Waktuku tidak banyak!""Saya sedang berusaha, Bos." Tangan si pengemudi mulai bekeringat karena mendadak dia gugup sekaligus khawatir akan ada mobil lain yang melintas.Sementara Viona yang terlalu fokus
Alfie bisa merasa tengkuknya mulai dingin. Semalam dia bermimpi buruk tentang Viona dan rasanya itu bukan mimpi belaka. "Mandala, apa dia mengatakan akan di mana?"Mandala mengumpat pelan menyadari dia tidak bertanya lebih detail pada Viona. "No, Al. Aku sedang sibuk saat dia minta izin dan-Alfie tidak menunggu Mandala menyelesaikan kalimatnya. Dia mematikan panggilan lalu kembali menelepon pengawal yang seharusnya mengawal Viona ke mana pun juga. Masih nihil.Alfie mengumpat keras-keras hingga semua orang yang ada di mobil, termasuk Mindi, mengerut ketakutan. Dia kembali menelepon anak buahnya yang lain untuk mencari keberadaan Viona."Aku akan menembak kepalamu kalau Viona tidak bisa ditemukan. Mengerti!" ancam Alfie sebelum mematikan panggilan.Sopir yang duduk di samping Alfie tampak menegang mendengar suara Alfie yang sarat dengan kemarahan. Setelah menelan ludahnya gugup, dia bertanya dengan takut-takut. "Tuan, apa kita jadi ke kantor?"Alfie tidak langsung menjawab. Keningnya
Arya terkekeh girang. "Ah, tidak salah jika Padma memintamu merawat Sabda karena dari suaranya saja kamu bisa tahu. Padahal dia hanya mengoceh seperti bayi yang lain."Ya, yang kamu dengar adalah suara Sabda. Dia ada di rumahku sekarang bersama pengasuhnya. Sebuah kejutan, bukan?"Rasanya tulang-tulang Viona seperti dilolosi begitu tahu Sabda ada di rumah Arya. Lelaki itu memang kakek Sabda. Tetapi sejak kelahirannya, Sabda belum pernah digendong apalagi diajak ke rumah Arya.Viona tahu orang tua Padma tidak pernah menyetujui pernikahannya, apalagi menganggap Yuanita sebagai menantu. Itu artinya, Sabda juga tidak diakui sebagai cucu.Mereka berdua hanya sekali datang ke rumah sakit setelah Sabda lahir dan Yuanita dinyatakan meninggal.Itu pun mereka datang bersama wartawan yang meliput bagaimana sedihnya Arya dan Ghina yang ditinggal pergi menantu untuk selama-lamanya.Dengan wajah berurai air mata-yang tentu saja palsu-Ghina menggendong Sabda yang masih merah dengan begitu kaku di de
“Mindi, hadiah apa yang biasanya diberikan untuk perempuan yang akan ulang tahun?"Mindi yang kala itu sedang menata makan malam di ruang makan yang ada di kamar hotel sontak menoleh dengan alis bertaut. Sejak dua hari terakhir, bosnya itu sering menanyakan hal-hal seperti ini."Kalau boleh tahu, berapa usia perempuannya, Pak?" tanya Mindi sopan."22 tahun. Dia akan berusia 23 tahun minggu depan." Thanks to Padma, yang sempat mengecek CV Viona sebelum berangkat ke Medan."Perempuannya seperti apa? Maksud saya, apa kesukaannya? Tas, sepatu, baju? Atau apakah dia perempuan yang tomboy, anggun, suka berpetualang, hobi jalan-jalan? Hadiahnya harus disesuaikan dengan kepribadiannya."Alfie menggaruk kepalanya yang tak gatal setelah berpikir untuk beberapa saat. Dia baru sadar dia tidak tahu apa-apa tentang Viona."I have no idea," jawabnya sambil mengangkat bahu. "Bukankah itu tugasmu untuk mencari tahu?"Giliran Mindi yang bingung. Setelah konferensi pers beberapa waktu lalu, dia baru men