Chaera langsung terkejut ketika mendengar perkataan ibunya. Bagaimana tidak, baru saja bangun dari tidur, ia sudah disuruh membuat anak, apa itu tidak gila?
Chaera menghela napasnya sambil menoleh ke arah samping, dirinya tak mau menatap sang ibu yang sudah memasang wajah marah.
Setelah beberapa detik, Chaera menoleh pada ibunya kembali. "Kenapa ibu tergesa-gesa menyuruhku untuk mempunyai anak?!" Chaera sedikit membentak ibunya, ia tidak peduli, toh ibunya saja tidak pernah mempedulikannya.
"Padahal, aku masih sekolah! Aku juga punya mimpi yang harus aku capai, kenapa ibu tidak pernah peduli padaku, hah?!" lanjutnya lagi. Tak sanggup menahan rasa sakit dalam dada, dalam hitungan detik, Chaera menangis sejadi-jadinya di hadapan sang ibu.
Tapi, ibunya terlihat tidak peduli, wanita paruh baya itu lebih memilih menatap ke arah samping dengan kedua tangan yang terlipat di dada. Tidak lama, ibunya kembali menoleh pada Chaera sambil memegang kedua pundak Chaera.
"Chae dengar, kau tidak pernah mencintai Arga, dan kau lebih memilih pria yang tidak ibu kenal itu, jika sampai orangtua Arga tahu, kau bisa diceraikan, dan ibu akan kehilangan semua harta mereka." Ucap ibunya tepat di wajah Chaera.
Sontak perkataan itu membuat Chaera kaget, dirinya tak menyangka tujuan ibunya menikahkan ia dengan Arga hanya untuk harta keluarga Arga, ini sama saja ia dimanfaatkan oleh ibunya.
Padahal di sisi lain, keluarga Chaera itu bercukupan, ayahnya adalah pebisnis dari perusahaan terbesar di Indonesia, sedangkan ibunya pemilik toko pakaian yang selalu ramai dikunjungi orang-orang. Tapi, mengapa ibunya setega itu membuat Chaera harus tersiksa menuruti semua keinginan orangtuanya.
Chaera melepaskan kedua tangan ibunya dari pundaknya, lalu menghela napas kasar dan mulai menatap wajah kesal ibunya. "Ibu sudah gila." Kemudian berbalik dan kembali masuk ke kamar sambil menutup pintu dengan keras.
Ibunya menganga kaget, lalu mengetuk-ngetuk pintu kamar Chaera dengan kencang. "Sungguh anak yang tidak sopan! Cepat kembali ke apartemenmu, atau ibu suruh Arga menjemputmu!" teriak wanita itu kemudian pergi dari kamar Chaera.
Chaera duduk di atas tempat tidur sambil melihat ke arah pintu tepat suara ibunya menggema. Setelah ia sudah tidak mendengar suara itu lagi, barulah Chaera menidurkan tubuhnya dan kembali menangis. Ia benar-benar tersiksa di bawah kekangan orangtua. Hidupnya sudah seperti robot yang terus dikendalikan oleh ibunya. Tidak ada yang bisa Chaera lakukan selain menangis, menerima semua perlakuan keji ibunya.
Drrtt... Drrtt... Drrtt....
Di sela tangisan, Chaera mendengar ponselnya bergetar di atas meja samping tempat tidur, dengan cepat tubuhnya bergerak dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang meneleponnya.
Tapi saat dilihat, tidak ada nama kontak di layar, itu tandanya Chaera tak mengenali nomor tersebut.
Chaera lebih memilih mematikan panggilan itu karena merasa takut akan terjadi apa-apa apabila diangkat, jadi ia menaruh ponselnya lagi dan kembali tidur. Namun tiba-tiba benda itu berbunyi lagi untuk kedua kalinya, Chaera menoleh dan mengambil ponselnya lagi, nomor itu masih sama dan tetap tidak ada di kontaknya, dirinya penasaran siapa yg meneleponnya sekarang.
Dengan rasa waspada, Chaera mengangkat panggilan itu.
"Halo, dengan siapa?" tanya Chaera gugup.
"Chaera, ini Raka." Jawab Raka dipanggilan.
Detik berikutnya tubuh Chaera mendadak lemas saat mendengar suara lembut Raka dipanggilan. Ia memegang mulutnya sambil menahan tangis yang akan keluar dari kedua matanya. Iya, Chaera harus kuat.
Chaera masih belum menjawab suara Raka di sana, pikirannya masih terbawa hanyut karena merasa tak percaya yang meneleponnya ini adalah Raka.
"Chae, apa kau baik-baik saja?" tanya Raka di sana.
"I--ini benar Raka, kan?" akhirnya Chaera mampu bersuara.
Raka terkekeh kecil di panggilan. "Iya, ini Raka. Memangnya kau lupa dengan suaraku?"
Chaera tidak mampu menahan semuanya, dalam hitungan detik, air matanya mengalir deras membasahi pipi.
"Aku mendapatkan nomormu dari Youra. Chaera ayo katakan, kau baik-baik saja kan di sana?" tanya Raka ramah dipanggilan.
Chaera benar-benar tidak bisa berhenti menangis di saat Raka terus bertanya tentang kabarnya dengan sangat perhatian. Ia bersyukur sekali ternyata yang meneleponnya sekarang adalah orang yang sangat Chaera rindukan, orang yang ingin sekali Chaera temui untuk meluapkan segala tekanan yang tengah dirasakan.
"Raka, a--aku sedang tidak baik-baik saja." Jawab Chaera dengan suara tangisnya.
Raka sontak terkejut di sana, lalu menghela napas kasar. "Apa kau mau bertemu denganku? Mungkin saja aku bisa mendengar semua keluh kesahmu."
"Boleh, kah?" tanya Chaera lagi.
"Tentu."
Chaera tersenyum kecil mendengarnya. Tapi itu hanya beberapa detik saja karena ia berpikir, jika dirinya keluar tanpa izin Arga, pasti akan dimarahi, apalagi ini akan bertemu dengan Raka.
"Bagaimana jika Arga melihatku?"
Tidak ada jawaban cepat lagi dari Raka, sepertinya pria itu sedang berpikir di sana.
Memang sangat sulit untuk bertemu Chaera dengan mudah, mengingat Raka adalah pria yang menjaga Chaera dengan sangat ketat, ketahuan sedikit, Chaera akan disakiti oleh si berengsek itu."Apa kau tidak ada alasan lain untuk keluar? Aku tahu kau sangat sulit untuk meminta izin, tapi itu semua tergantung padamu, aku juga tidak bisa memaksa." Jawab Raka lagi.
Lagi-lagi Chaera terdiam kembali sambil menunduk memikirkan bagaimana dirinya bisa keluar dari rumah. Sepuluh detik kemudian, Chaera mengangkat kepalanya karena sudah menemukan ide.
"Raka, aku akan berusaha menemuimu. Kau tinggal kirim saja lokasinya, oke?"
Raka tertawa, sepertinya pria itu sangat senang.
"Baiklah, aku akan menunggu." Lalu Raka mematikan panggilannya.
Dengan cepat, Chaera segera mengambil tasnya yang tergeletak di bawah lalu bergegas berlari menuju luar. Saat sudah berada di ruang tamu, ia melihat ibunya sedang menonton televisi, sudah pasti dirinya akan ditanya. Dengan perasaan tenang, Chaera berjalan ke arah luar, baru di langkah yang entah keberapa, ibunya berteriak memanggil.
"Mau ke mana?" panggil ibunya.
Chaera menoleh. "Ke apartemen Arga."
Ibunya menegakkan tubuh dari yang tadi bersandar di sofa. "Oh, bagus. Pergilah sana dan ingat pesan ibu, kan?"
Chaera menghela napas kasar dan melirik sekilas ke samping, lalu menoleh pada ibunya lagi. "Hmm..."
"Ya sudah, sana pergi." Suruh ibunya, lalu tatapannya kembali fokus ke televisi.
Dengan cepat, Chera langsung pergi ke tempat yang sudah dijanjikan Raka. Beruntung, Raka sudah mengirim lokasi tempatnya, jadi Chaera tidak perlu menunggu lagi, dan berharap ia tidak bertemu Arga di jalan.
---
Akhirnya pekerjaan Arga di kantor telah selesai. Menyelesaikan pekerjaan yang hanya diberi waktu satu jam membuat otaknya seperti akan meledak. Dirinya tak pernah menerima pekerjaan dengan waktu secepat ini.
Arga menggerakkan tubuhnya yang pegal, lalu mengangkat kedua kakinya ke atas meja tepat ditumpukan kertas-kertas sambil bermain ponsel. Dirinya tiba-tiba teringat Chaera, sedang apa gadis itu setelah berhasil kabur dari apartemen. Berniat ingin menelepon Chaera, namun kalah cepat dari temannya yang menelepon duluan.
"Apa?" tanya Arga dipanggilan.
"Apa kau sudah menyelesaikan tugasmu?" Itu suara Jae, teman dekat Arga.
"Baru saja selesai. Kenapa? Pasti kau ingin meminjam uang lagi untuk pesta soju-mu yang tak berguna itu?"
Jae tertawa keras dipanggilan sampai Arga menjauhkan ponselnya dari telinga karena mendengar tawa temannya itu yang sangat keras.
"Arga... Arga... Kau kira aku semiskin itu, kah? Apa kau mau ikut berpesta bersamaku? Aku baru saja diangkat menjadi CEO perusahaan."
Sontak itu membuat Arga membulatkan matanya lebar, lalu menurunkan kakinya dari atas meja dan berdiri tegak di depan jendela besar.
"Cih, sombong sekali. Aku yang menjadi model brand terkenal di negara sendiri saja tidak pernah sombong." Ucap Arga sambil tersenyum menyeringai dan memainkan kuku jari tangan jempolnya.
"Sudah jangan banyak bicara, cepat ke klub Made, aku tunggu di sana." Lalu Jae mematikan panggilannya.
Arga menghela napas kasar dan kembali ke mejanya untuk mengambil kunci mobil, kebetulan hari ini pekerjaannya hanya sedikit, jadi ia bisa pergi ke klub untuk menenangkan pikirannya yang pening.
Saat sedang berjalan ke arah luar, tiba-tiba pintu terbuka lebih dahulu dan menampilkan sosok Hae di sana.
"Tuan Arga, kau sudah selesai dengan tugasmu?" tanya Hae sambil membungkuk sopan.
Arga mengangguk, kemudian membenarkan bajunya yang berantakan.
"Kau ingin ke mana?" tanya Hae.
Arga langsung menoleh ke wajah Hae setelah merapihkan baju, kemudian tertawa.
"Mau ikut?" tanya balik Arga sambil tersenyum.
Hae sontak terkejut. Belum selesai bertanya, tiba-tiba tangannya ditarik Arga, dan ia hanya mengikuti ke mana Arga pergi.
Hae pasrah saat dirinya dibawa pergi oleh Arga, namun di sisi lain juga sangat senang, karena ia satu mobil dengan seseorang yang dicintainya.
"Tuan Arga, bagaiman jika ada yang mencariku?" tanya Hae.
Arga yang sedang fokus menyetir langsung menoleh pada Hae. "Katakan, kau pergi bersamaku karena ada urusan penting." Lalu tatapannya kembali fokus ke jalan.
Hae hanya mengangguk, lalu bertanya lagi. "Memangnya kita akan ke mana?"
"Aku sangat stres hari ini, temani aku minum tidak apa, kan?" tanya Arga sambil melihat wajah cantik Hae.
Hae tersenyum lalu mengangguk.
Tangan Arga yang sebelah kiri bergerak menyentuh pipi Hae, mengelus dan mencubitinya dengan gemas.
"Kau sangat cantik hari ini" ucap Arga.
Hae terkekeh malu dan memegang tangan kiri Arga dengan kedua tangannya. "Aku memang harus selalu cantik untukmu."
Arga tertawa, kemudian mengelus rambut Hae dan kembali fokus menyetir. Sedangkan, Hae sangat senang dan menoleh ke arah kaca sambil tersenyum penuh kemenangan.
---
Sekitar tigapuluh menit di perjalanan, akhirnya Arga sampai di klub Made seperti yang dikatakan Jae di telepon. Ia segera keluar dan membukakan pintu untuk Hae, lalu mereka pergi masuk sambil bergandengan tangan.
"Arga!" teriak seseorang dari jauh.
Arga langsung menoleh ke arah suara yang tadi berteriak memanggil, dan ternyata itu adalah Jae, dengan cepat, ia dan Hae berjalan ke arah sana. Saat sudah sampai, tatapan teman-temannya itu malah fokus ke arah Hae.
"Wih, punya pasangan, nih?" tanya Varel, teman Arga yang lain sambil melirik ke arah Hae dari atas sampai bawah.
Memang, Hae terlihat sangat anggun hari ini, dress putih di atas lutut itu mampu menarik mata teman-teman Arga. Tangan Arga bergerak mengambil kursi untuk Hae, dan setelahnya ia juga ikut duduk.
"Siapa dia?" tanya Jae menoleh ke arah Hae, lalu setelahnya melirik ke arah Arga. "Bukankah kau sudah menikah? Apa ini istrimu?"
Arga hanya terkekeh kecil mendengar pertanyaan-pertanyaan temannya itu, lalu ia mengambil gelas dan menuangkan minuman yang sudah menggodanya dengan porsi banyak, kemudian meneguknya tanpa sisa.
"Hanya sekretaris" Jawab Arga setengah sadar karenan minum terlalu banyak.
Teman-temannya itu justru tertawa keras, membuat Arga sedikit tersadar.
"Bisa-bisanya kau ke luar bersama sekretarismu, nanti dilihat istrimu bagaimana? Kau bahkan belum ada satu bulan menikah." Ucap Vino sambil tertawa seakan mengejek Arga.
Arga tak peduli dengan pertanyaan teman-temannya, ia lebih memilih meminum kembali dan kali ini dengan porsi yang lebih banyak lagi. Entah pikiran seperti apa yang membuat Arga nekad meminum lebih banyak.
Di sisi lain, Hae merasa kurang nyaman, ia sama sekali tidak diajak mengobrol oleh Arga, malahan ia menjadi pusat perhartian teman-teman Arga karena mempunyai wajah yang menawan.
"Apa kau ingin minum?" tanya Jae pada Hae.
Hae menoleh pada pria seumuran Arga itu sambil tersenyum. "Boleh."
Kemudian, Jae memberikan gelas pada Hae dan menuangkan minumannya dengan porsi yang lumayan banyak.
"Ayo coba." Pinta Jae.
Hae segera mencoba minuman itu, dan di detik berikutnya, Hae membuat teman-teman Arga kagum karena Hae mampu menghabiskan setengah gelas besar minumannya.
"Wow, kau bisa minum dengan baik juga ternyata." Ujar Vino kagum.
Hae tertawa, lalu mengambil minumannya kembali dan menuangkan di gelasnya lagi, Kemudian ia minum terus berkali-kali hingga habis.
---
Setelah perjalanan yang cukup melelahkan Chaera mencari lokasi, akhirnya ia bisa menemukan Raka yang tengah melambaikan tangan untuk mengisyaratkan Chaera segera ke sana. Setelah sampai, Chaera tak segan membungkuk sopan pada Raka dan duduk di kursi yang sudah disiapkan laki-laki itu.
"Sudah lama menunggu?" tanya Chaera.
Raka malah tersenyum malu saat Chaera menatapnya. Entah mengapa, Raka selalu saja seperti ini.
"Ah, tidak. Aku sangat senang bisa bertemu denganmu." Jawab Raka sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Chaera ikut tersenyum saat melihat senyum manis Raka, apalagi saat mata pria itu menghilang, sangat menggemaskan.
Tidak ada yang memulai topik lebih dulu. Chaera masih agak takut jika tiba-tiba Arga melihat. Ketakutan terbesarnya saat bersama Raka adalah jika Arga datang secara tiba-tiba.
"Chaera, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Raka.
Chaera langsung menoleh ke arah Raka. yang sebelumnya menatap ke luar jendela. "Boleh. Ingin bertanya apa?"
Raka menghela napas kasar, ia terlalu takut pertanyaan ini menyinggung Chaera. Namun jika tidak ditanyakan, ia akan terus dilanda kebingungan, jadi Raka lebih memilih bertanya walaupun sudah tahu ini akan membuat Chaera terdiam.
"Apa kau benar sudah menikah?"
Benar saja, Raka langsung melihat senyum Chaera yang turun setelah ia melontarkan pertanyaan itu.
"Maaf, aku sudah bertanya seperti itu." Ucap Raka merasa bersalah.
Chaera menghela napas lalu tersenyum dan menatap Raka. "Tak apa, kau boleh bertanya tentang apa pun. Soal pertanyaanmu ini, memang benar aku sudah menikah."
Raka langsung terkejut. Kemudian Chaera melanjutkan perkataannya lagi. "Raka, maafkan aku tidak memberitahu padamu soal pernikahanku. Tapi, percayalah, aku sama sekali tidak mencintai Arga." Ucap Chaera menunduk, menyembunyikan air mata yang nyaris keluar.
Raka mendengar isak tangis Chaera yang mulai terdengar.
"Apa yang membuatmu tidak mencintai Arga?" tanya Raka.
Chaera mengangkat kepalanya dari yang sebelumnya menunduk. "Pernikahan ini paksaan, dan aku memang sama sekali tidak pernah mencintai Arga." Dalam hitungan detik setelah mengatakan itu, air mata Chaera langsung jatuh, namun segera ia usap karena tidak ingin terlihat lemah di hadapan Raka.
"Tak apa jika kau ingin menangis, menangis lah. Jangan ditahan, Chae. Itu hanya akan membuatmu sakit." Ucap Raka ramah sambil mengusap pundak Chaera. "Chaera dengar, kau harus mencintai dia. Bagaimanapun, dia adalah suamimu, pria yang sudah menjadi kepala rumah tanggamu."
"Tapi, aku tidak mencintai dia! Kenapa tidak ada yang mengerti keadaanku?! Mengapa kau sama saja seperti ibuku yang memaksaku untuk mencintai pria yang sama sekali tidak aku cintai, hah?!" Chaera menutupi wajahnya dengan kedua tangan kemudian menangis histeris di sana.
Raka hanya terdiam setelah mendengar perkataan Chaera yang cukup keras dan mampu membuat pengunjung Kafe menoleh ke arahnya. Tidak tinggal diam, tubuh Raka memilih bergerak memeluk Chaera dan menenangkan gadis itu dipelukannya.
"Aku sangat tertekan, Raka... Tolong mengerti keadaanku." Ucap Chaera sambil menangis dipelukan Raka.
Raka mengelus punggung Chaera, sesekali tangannya juga beralih ke rambut halus Chaera. "Menangislah sepuasmu... Aku akan menjadi penenangmu."
Raka masih membiarkan Chaera menangis di pundaknya.
Setelah cukup lama Chaera menangis dan tidak terdengar suara isak tangis lagi, barulah Raka melepaskan pelukannya dengan pelan agar tidak melukai tubuh Chaera. Raka bisa melihat wajah Chaera yang penuh air mata, kemudian ia mengapus air mata Chaera menggunakan kedua ibu jarinya.
"Sudah lega?" tanya Raka tersenyum.
Chaera mengangguk lemah.
"Nih, minumlah." Raka memberikan minuman pada Chaera, dan Chaera langsung meneguknya.
Setelah itu, Chaera mengatur napas dan merapihkan wajah beserta rambutnya yang sempat berantakan. Raka juga ikut merapihkan rambut Chaera.
"Bagus ya, pergi bersama pria lain lagi?"
Chaera maupun Raka langsung menoleh pada si pemilik suara, keduanya sama-sama terkejut saat melihat Arga tengah berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada sambil memasang wajah marah.
Chaera sangat terkejut saat melihat Arga berdiri di sana dengan raut wajah marah. Tatapan mata laki-laki itu sangat tajam, bibir beserta alisnya terangkat ke atas ketika melihat Chaera kepergok berdua bersama Raka.Chaera langsung mengalihkan pandangannya menatap Raka, ia takut pada Arga yang mulai berjalan mendekat ke arahnya, lalu mendadak menoleh kembali saat Arga sudah berdiri di sampingnya.Arga menatap wajah Chaera tajam sekilas, kemudian beralih pada Raka sambil menampilkan smirk khasnya. "Masih berani kau dekat-dekat dengan Chaera, hah?!" tiba-tiba, Arga menarik kerah baju Raka hingga tubuh Raka menegak ke atas.Lima detik berikutnya, Raka menonjok keras wajah Raka sampai Raka terjatuh ke tanah. Raka memegang bibirnya dan melihat darah di tangannya, pukulan Arga sangat keras hingga Raka merasakan sakit di kedua sisi bibirnya.&
Chaera tidak bisa melakukan apa pun kecuali mendesah kencang di depan Arga. Kedua tangannya sudah terikat kembali di belakang punggung dan tubuhnya menungging tanpa daya di depan milik Arga. Kali ini, ia merasakan rasa sakit sekaligus perih saat privasi Arga menerobos masuk lubangnya lebih dalam lagi sampai menyentuh titik prostatnya, hingga tubuhnya bergetar setiap Arga menghentaknya dengan tempo cepat."Akhhh! Aaahh..."Arga menyeringai saat mendengar pekikan Chaera yang lolos saat Tangannya menampar bokong Chaera, bersamaan dengan gerakan di bawah sana, keras, panas dan perih menjadi satu di kulit bokong istrinya.Sedangkan Chaera sudah menangis, menangis bukan karena rasa nikmat oleh permainan Arga, melainkan siksaan panas yang ia terima. Tubuhnya sudah benar-benar lemas, kakinya sudah tidak mampu menompang lagi. Namun, saat dirinya hampir terjatuh
Chaera berlari sekuat tenaga saat jam sudah hampir menunjukkan pukul delapan, yang artinya ulangan bahasa akan dimulai beberapa detik lagi. Chaera berlari dalam keadaan sakit di bawah, ditambah kaki lemas dan perutnya yang keram membuatnya semakin sulit berlari dengan cepat.Chaera memberhentikan langkahnya, memegangi perutnya yang kebas akibat ulah Arga kemarin. Dirinya enar-benr sulit melangkah. Chaera melihat kursi di samping lalu berjalan ke arah sana untuk mengistirahatkan kaki dan juga tubuhnya, keadaannya sangat tersiksa hari ini."Shhh... Awww..." Chaera menundukkan kepalanya sambil terus memegangi perutnya dengan kedua tangan, namun percum saja, itu tidak memberikan reaksi apa-apa.Ia mengangkat kepalanya lagi sambil menatap ke arah depan, pikirannya mendadak kosong, materi-materi yang sudah ia hapalkan larut tadi malam mendadak hilang, kepalanya terasa pening dan perutnya mual. Chaera tidak bi
Chaera masuk ke kamar dan menjatuhkan tubuhnya di ranjang, ia menatap ke atas atap kamar sambil memikirkan nasibnya yang kian memburuk. Ia tak menyangka ibunya itu meminta uang pada Arga, padahal dari sisi lain keluarganya sangat bercukupan. Chaera tidak ingin berpikir jauh bahwa ibunya memaksa dirinya menikahi Arga hanya untuk kesenangan semata, walaupun mungkin Chaera juga sudah tahu dari awal, karena sebelum pernikahan dilakukan, ibunya mengatakan hal itu. Tapi, Chaera berharap ibunya berhenti memanfaatkan Arga. Drrtt... Drrtt... Drrtt... Suara ponsel di sakunya berbunyi, Chaera berpikir itu pasti Arga, ia malas jika memang benar laki-laki itu yang meneleponnya. Jadi, Chaera lebih memilih mengabaikannya. Chaera menggerakkan tubuhnya untuk lebih dekat pada guling, lalu memeluknya dengan erat dan segera tidur.
Hari-hari yang dijalani Chaera semakin memburuk. Kandungan dalam perutnya mulai terlihat dan Chaera kesulitan untuk pergi ke sekolah karena takut akan terlihat besar. Seragam sekolahnya juga perlahan mulai tidak muat di tubuhnya. Tapi, itu semua bukan penghalang dirinya untuk tidak pergi ke sekolah. Selama ia bisa memakai seragam dan berjalan, Chaera akan tetap pergi ke sekolah bagaimana pun keadaannya, demi cita-cita yang selama ini ia impikanKehidupannya bersama Arga pun semakin buruk saja. Ia selalu diperlakukan layaknya budak oleh laki-laki itu, padahal dirinya tengah mengandung, tetapi Arga sama sekali tak pernah mengasihaninya.Dan hari ini, Chaera berusaha menutupi perutnya yang mulai terlihat besar saat sedang berjalan di koridor sekolah. Banyak murid-murid lain yang sedang berjalan memperhatikannya, dan Chaera takut mereka tahu bahwa dirinya tengah hamil."Dia mengapa memegangi perutnya saja? Atau j
"Terkadang, aku ingin bertanya pada dunia tentang kehidupanku yang hancur berantakan ini. Mengapa harus aku? Mengapa aku saja yang tersiksa sedangkan orang lain bisa merasakan kebahagiaan di sana? Bukankah ini tidak adil? Jika dunia memang adil, seharusnya tidak memberiku cobaan berat seperti ini. Tolong, aku lelah dengan penyakit yang terus mendorongku pada kematian.""Bukankah aku juga layak bahagia? Bukankah semua orang pantas mendapatkan kebahagiaan? Lalu mengapa aku tersiksa seperti ini, apa kesalahan yang sudah aku perbuat sampai menghasilkan kehidupan yang gila ini?""Atau mungkin aku tidak ditakdirkan untuk hidup? Dan hanya mati jalan satu-satunya untuk mendapatkan kebahagiaan?""Kalau memang itu caranya, akan aku lakukan."Chaera menghela napasnya, lalu menoleh kembali ke arah bawah dari ketinggian gedung yang sekarang ia injaki malam ini. Hatinya sakit, dadanya sesak dan air matanya tak kun
Semua murid yang sebelumnya fokus ke arah lapangan, kini beralih menatap Chaera yang tengah berdiri tegang saat Virlie berkata bahwa ada darah di kaki Chaera. Bahkan mereka semua langsung bangun dari duduk dan berlari melihat Chaera dengan langkah tergesa-gesa."Cha--Chaera, kakimu penuh darah," ucap salah satu murid setelah sampai di hadapan Chaera sambil menunjuk ke kaki Chaera.Chaera masih belum berani melihat ke bawah, tapi ia merasakan ada sesuatu yang mengalir pada kakinya dan ia menduga pasti itu adalah darah yang menetes dari rahimnya akibat olahraga lari tadi. Perutnya sudah terasa sakit dan kakinya mulai melemas tak sanggup menahan tubuhnya yang hampir terjatuh.Virlie terus menatap kaki Chaera karena rasa penasaran yang amat dalam pada dirinya sendiri, ia ingin tahu mengapa Chaera mengeluarkan darah dari perutnya, lalu detik berikutnya ia menatap wajah Chaera untuk bertanya.
Sudah lebih dari tiga jam Chaera masih dalam keadaan pingsan akibat pendarahan hebat yang dialaminya tadi, karena kandungan di dalam janin Chaera masih kecildan umurnya juga masih muda, gadis itu harus beristirahat penuh. Arga masih duduk di kursi kamar menunggu Chaera sadar dari pingsannya, sedangkan kedua orangtuanya sudah lebih dulu pergi untuk urusan bisnis yang tertunda tadi akibat berita tentang Chaera ini."Shhhh... Awww..."Arga yang tengah bermain ponsel langsung menoleh ke depan ketika mendengar Chaera meringis di sana, ia menaruh ponselnya di dalam saku dan berjalan ke arah tempat tidur."Sadar juga akhirnya, kau membuatku menunggu berjam-jam. Buang-buang waktu saja." Kata Arga angkuh tanpa menoleh ke wajah Chaera.Chaera memega
Hae tak menyangka akan menerima berita buruk seperti ini dalam hidupnya, mendengar atasannya itu dibawa ke kantor polisi tanpa sepengetahuan dan tanpa ia tahu motif kejahatan seperti apa yang Arga lakukan, membuat tubuhnya benar-benar lemas. Hae panik sambil berjalan sana sini menunggu seseorang mengangkat teleponnya yang entah sudah keberapa kali. Ia sedang menelepon orangtuanya. "Halo, Hae? Ada apa?" tanya seseorang di sana."Pah, Arga masuk kantor polisi!"***Sudah dua hari ini, Raka tak melihat Chaera masuk sekolah. Ia penasaran apa yang sedang terjadi pada gadis itu, dan ia juga berpikir pasti semua ini karena Arga, laki-laki bangsat yang sudah membuat Chaera menderita. Hari ini Raka menang, berhasil membuat Arga masuk penjara untuk mempertanggungja
Sudah lebih dari tiga jam Chaera masih dalam keadaan pingsan akibat pendarahan hebat yang dialaminya tadi, karena kandungan di dalam janin Chaera masih kecildan umurnya juga masih muda, gadis itu harus beristirahat penuh. Arga masih duduk di kursi kamar menunggu Chaera sadar dari pingsannya, sedangkan kedua orangtuanya sudah lebih dulu pergi untuk urusan bisnis yang tertunda tadi akibat berita tentang Chaera ini."Shhhh... Awww..."Arga yang tengah bermain ponsel langsung menoleh ke depan ketika mendengar Chaera meringis di sana, ia menaruh ponselnya di dalam saku dan berjalan ke arah tempat tidur."Sadar juga akhirnya, kau membuatku menunggu berjam-jam. Buang-buang waktu saja." Kata Arga angkuh tanpa menoleh ke wajah Chaera.Chaera memega
Semua murid yang sebelumnya fokus ke arah lapangan, kini beralih menatap Chaera yang tengah berdiri tegang saat Virlie berkata bahwa ada darah di kaki Chaera. Bahkan mereka semua langsung bangun dari duduk dan berlari melihat Chaera dengan langkah tergesa-gesa."Cha--Chaera, kakimu penuh darah," ucap salah satu murid setelah sampai di hadapan Chaera sambil menunjuk ke kaki Chaera.Chaera masih belum berani melihat ke bawah, tapi ia merasakan ada sesuatu yang mengalir pada kakinya dan ia menduga pasti itu adalah darah yang menetes dari rahimnya akibat olahraga lari tadi. Perutnya sudah terasa sakit dan kakinya mulai melemas tak sanggup menahan tubuhnya yang hampir terjatuh.Virlie terus menatap kaki Chaera karena rasa penasaran yang amat dalam pada dirinya sendiri, ia ingin tahu mengapa Chaera mengeluarkan darah dari perutnya, lalu detik berikutnya ia menatap wajah Chaera untuk bertanya.
"Terkadang, aku ingin bertanya pada dunia tentang kehidupanku yang hancur berantakan ini. Mengapa harus aku? Mengapa aku saja yang tersiksa sedangkan orang lain bisa merasakan kebahagiaan di sana? Bukankah ini tidak adil? Jika dunia memang adil, seharusnya tidak memberiku cobaan berat seperti ini. Tolong, aku lelah dengan penyakit yang terus mendorongku pada kematian.""Bukankah aku juga layak bahagia? Bukankah semua orang pantas mendapatkan kebahagiaan? Lalu mengapa aku tersiksa seperti ini, apa kesalahan yang sudah aku perbuat sampai menghasilkan kehidupan yang gila ini?""Atau mungkin aku tidak ditakdirkan untuk hidup? Dan hanya mati jalan satu-satunya untuk mendapatkan kebahagiaan?""Kalau memang itu caranya, akan aku lakukan."Chaera menghela napasnya, lalu menoleh kembali ke arah bawah dari ketinggian gedung yang sekarang ia injaki malam ini. Hatinya sakit, dadanya sesak dan air matanya tak kun
Hari-hari yang dijalani Chaera semakin memburuk. Kandungan dalam perutnya mulai terlihat dan Chaera kesulitan untuk pergi ke sekolah karena takut akan terlihat besar. Seragam sekolahnya juga perlahan mulai tidak muat di tubuhnya. Tapi, itu semua bukan penghalang dirinya untuk tidak pergi ke sekolah. Selama ia bisa memakai seragam dan berjalan, Chaera akan tetap pergi ke sekolah bagaimana pun keadaannya, demi cita-cita yang selama ini ia impikanKehidupannya bersama Arga pun semakin buruk saja. Ia selalu diperlakukan layaknya budak oleh laki-laki itu, padahal dirinya tengah mengandung, tetapi Arga sama sekali tak pernah mengasihaninya.Dan hari ini, Chaera berusaha menutupi perutnya yang mulai terlihat besar saat sedang berjalan di koridor sekolah. Banyak murid-murid lain yang sedang berjalan memperhatikannya, dan Chaera takut mereka tahu bahwa dirinya tengah hamil."Dia mengapa memegangi perutnya saja? Atau j
Chaera masuk ke kamar dan menjatuhkan tubuhnya di ranjang, ia menatap ke atas atap kamar sambil memikirkan nasibnya yang kian memburuk. Ia tak menyangka ibunya itu meminta uang pada Arga, padahal dari sisi lain keluarganya sangat bercukupan. Chaera tidak ingin berpikir jauh bahwa ibunya memaksa dirinya menikahi Arga hanya untuk kesenangan semata, walaupun mungkin Chaera juga sudah tahu dari awal, karena sebelum pernikahan dilakukan, ibunya mengatakan hal itu. Tapi, Chaera berharap ibunya berhenti memanfaatkan Arga. Drrtt... Drrtt... Drrtt... Suara ponsel di sakunya berbunyi, Chaera berpikir itu pasti Arga, ia malas jika memang benar laki-laki itu yang meneleponnya. Jadi, Chaera lebih memilih mengabaikannya. Chaera menggerakkan tubuhnya untuk lebih dekat pada guling, lalu memeluknya dengan erat dan segera tidur.
Chaera berlari sekuat tenaga saat jam sudah hampir menunjukkan pukul delapan, yang artinya ulangan bahasa akan dimulai beberapa detik lagi. Chaera berlari dalam keadaan sakit di bawah, ditambah kaki lemas dan perutnya yang keram membuatnya semakin sulit berlari dengan cepat.Chaera memberhentikan langkahnya, memegangi perutnya yang kebas akibat ulah Arga kemarin. Dirinya enar-benr sulit melangkah. Chaera melihat kursi di samping lalu berjalan ke arah sana untuk mengistirahatkan kaki dan juga tubuhnya, keadaannya sangat tersiksa hari ini."Shhh... Awww..." Chaera menundukkan kepalanya sambil terus memegangi perutnya dengan kedua tangan, namun percum saja, itu tidak memberikan reaksi apa-apa.Ia mengangkat kepalanya lagi sambil menatap ke arah depan, pikirannya mendadak kosong, materi-materi yang sudah ia hapalkan larut tadi malam mendadak hilang, kepalanya terasa pening dan perutnya mual. Chaera tidak bi
Chaera tidak bisa melakukan apa pun kecuali mendesah kencang di depan Arga. Kedua tangannya sudah terikat kembali di belakang punggung dan tubuhnya menungging tanpa daya di depan milik Arga. Kali ini, ia merasakan rasa sakit sekaligus perih saat privasi Arga menerobos masuk lubangnya lebih dalam lagi sampai menyentuh titik prostatnya, hingga tubuhnya bergetar setiap Arga menghentaknya dengan tempo cepat."Akhhh! Aaahh..."Arga menyeringai saat mendengar pekikan Chaera yang lolos saat Tangannya menampar bokong Chaera, bersamaan dengan gerakan di bawah sana, keras, panas dan perih menjadi satu di kulit bokong istrinya.Sedangkan Chaera sudah menangis, menangis bukan karena rasa nikmat oleh permainan Arga, melainkan siksaan panas yang ia terima. Tubuhnya sudah benar-benar lemas, kakinya sudah tidak mampu menompang lagi. Namun, saat dirinya hampir terjatuh
Chaera sangat terkejut saat melihat Arga berdiri di sana dengan raut wajah marah. Tatapan mata laki-laki itu sangat tajam, bibir beserta alisnya terangkat ke atas ketika melihat Chaera kepergok berdua bersama Raka.Chaera langsung mengalihkan pandangannya menatap Raka, ia takut pada Arga yang mulai berjalan mendekat ke arahnya, lalu mendadak menoleh kembali saat Arga sudah berdiri di sampingnya.Arga menatap wajah Chaera tajam sekilas, kemudian beralih pada Raka sambil menampilkan smirk khasnya. "Masih berani kau dekat-dekat dengan Chaera, hah?!" tiba-tiba, Arga menarik kerah baju Raka hingga tubuh Raka menegak ke atas.Lima detik berikutnya, Raka menonjok keras wajah Raka sampai Raka terjatuh ke tanah. Raka memegang bibirnya dan melihat darah di tangannya, pukulan Arga sangat keras hingga Raka merasakan sakit di kedua sisi bibirnya.&