"Bangs*t! Mulutmu itu memang tidak pernah berubah. Sekarang katakan padaku apa yang kau inginkan iblis gila? Kenapa kau selalu saja mengusik keluargaku? Kenapa kau mengatakan pada Sisil bahwa Smith sedang bercanda saat bilang dirinya hamil? Kenapa kau sengaja membuat Sisil berharap banyak untuk bisa mendapatkan Janu? Katakan! Apa kau sengaja ingin merusak hubungan Smith dan Sisil?" cerca Hendry tiada henti melontarkan pertanyaan-pertanyaan. Napasnya sampai sesak. Jika saja Sheira itu laki-laki, sudah pasti Hendry akan melayangkan beberapa pukulan hingga babak belur.
Sheira tersenyum miring. Ia kini juga beranjak dari sofa. Lalu berkata, "Aku tidak percaya ini. Sebagai pengusaha yang sukses logikamu itu tidak bekerja dengan baik. Dengar, sudah berapa lama kau memecatku dari pekerjaanku sebagai manajer di butik Lisa? Lalu apakah aku pernah menampakan diri di depanmu atau datang ke rumahmu untuk menemui Smith atau secara diam-diam bertemu dengannya?"
"Berhenti berputar-pu
"Aku minta maaf," ucap Sisil masih dengan kepala tertunduk. Ia menderita malu yang luar biasa besar, apalagi jika harus mengakui dan membahas kebodohannya tadi malam.Tentu saja Janu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tidak mengerti mengapa Sisil meminta maaf kepadanya karena ia memang tidak membaca pesan dari gadis itu sama sekali. Dan Smith sudah menghapus semuanya sebelum Janu menyentuh ponselnya pagi ini."Minta maaf? Untuk apa Sisil?"Kedua pipi Sisil menjadi semakin merah. Ia tidak menyangka jika Janu akan mengatakan hal itu. Apa itu artinya Janu sama sekali tidak menganggap pesan yang ia kirimkan tadi malam itu sebagai hal yang penting? Sehingga sudah melupakannya begitu saja.Sebetulnya jika Janu memang lupa akan hal itu, tentu sangat bagus karena Sisil akan terselamatkan dari rasa malu. Tapi entah mengapa, Sisil justru merasakan nyeri di sudut hatinya ketika tahu bahwa Janu sama sekali tidak menganggap pesan darinya itu cukup penting untuk
Smith menelan ludah. Tidak mungkin ia menjawab kalau penyebab kelalaiannya adalah wajah Janu. Smith tidak mungkin mengatakan kalau wajah suaminya itu kelewatan tampannya sampai membuat Smith lupa kalau ia sedang menyetir di jalan umum."Apa perlu aku membeli jalan ini supaya bisa terus menyetir sambil menikmati wajahnya? Idiot! Berhenti menjadi orang dungu. Kau masih bisa memandangnya nanti malam saat dia sudah tidur," celoteh Smith dalam batin.Smith merasa heran pada dirinya sendiri. Entah bagaimana semakin hari wajah Janu terlihat semakin tampan. Ia tidak tahu apakah itu efek dari matanya yang mulai rusak, atau hatinya yang mulai terpikat."Smith? Kau melamun ya?" tegur Janu lantaran Smith tidak kunjung menjawab pertanyaannya."Siapa yang melamun? Aku hanya sedang berpikir!" bantah Smith menolak kebenaran.Janu menggeleng. Ia merasa sejak bangun tidur tadi, istrinya sudah bertingkah aneh. Semestinya perempuan itu mengoceh tanpa henti seperti bia
"Sisil menanyakan kabar Bibi Ipah. Dan mendoakan agar Bibi Ipah baik-baik saja. Juga meminta kita untuk berhati-hati," jawab Smith seperti sedang mengikuti pelajaran mengarang."Hanya itu?" tanya Janu tidak percaya."Memangnya kau ingin dia mengirim pesan apa? Kau ingin dia bilang cinta padamu?" sambar Smith dengan nada tinggi lagi. Sesungguhnya hatinya merasa cekit-cekit saat membaca pesan Sisil yang mengatakan sangat mencintai Janu."Bukan begitu, kan tadi ada banyak pesan yang masuk. Dia cuma ngomong begitu saja?" protes Janu lagi."Ya intinya cuma itu. Sudah, berhenti bertanya dan biarkan aku membalas pesan Sisil!"Bibi Ipah tersenyum. Ia senang melihat Nona Smith berselisih dengan suaminya. Dari perdebatan itu tergambar jelas bahwa Smith mulai jatuh hati pada Janu."Perempuan ini tidak ada putus asanya! Terus saja mengganggu. Sudah seperti setan. Apa aku perlu membalas sebagai aku ya? Ah tidak, tidak. Bodo amat kalau dia tahu aku yang m
"Uhuk ... uhuk ...!" Hendry tersedak. Padahal ia belum menelan sebutir nasi pun.Sinta memberikan segelas air putih pada suaminya. Dan menepuk-nepuk pelan punggung Hendry."Sisil, apa kau ingin membunuh ayahmu dengan mengatakan hal menjijikan seperti itu?" bentak Sinta langsung dengan suara sekeras mungkin. Hingga terdengar menggelegar memenuhi ruang makan. Padahal ia sudah sedikit menahan suaranya. Jika tidak ada Hendry di antara mereka, tentu suara Sinta bisa lebih nyaring lagi.Baru saja Sinta senang atas sikap putrinya yang tampaknya sudah bisa melupakan Janu, sekarang Sisil malah meminta ayahnya untuk melamar Janu. Baru kali ini Sinta merasa putrinya sudah gila.Sinta benar-benar sudah habis urat kesabarannya dalam menghadapi putrinya sendiri. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Sisil. Sangat-sangat tidak masuk akal dan tidak realistis sama sekali.Memangnya apa istimewanya Janu? Mungkin lelaki itu memang tampan dan sedikit pintar, tapi
Dalam batinnya Sisil tersenyum. Ia baru mengerti bahwa menjadi orang jahat tidaklah sulit. Ia hanya perlu pandai melihat situasi dan menekan rasa kepedulian terhadap orang lain. Sesudahnya, semua akan berjalan sesuai dengan yang diinginkan.Sisil beruntung karena ia terbiasa menangis dan ayahnya tidak pernah tega melihatnya mengeluarkan air mata. Kali ini ia harus bisa meyakinkan sang ayah untuk membalaskan sakit hatinya pada Smith."Tidak Ayah. Aku tidak menangis karena Tante Sheira. Beliau tidak bersalah. Aku memang yang salah karena menanyakan hal yang tidak diketahui oleh Tante Sheira. Bahkan juga memaksa beliau untuk menjawab. Padahal Tante Sheira sudah menjawab pertanyaanku," ucap Sisil yang bertingkah sok bijak."Lalu kenapa?" tanya Hendry sambil duduk kembali."Aku sudah tahu semua Ayah. Tadi malam saat aku menghampiri Ayah dengan wajah memar dan bibir berdarah, ada hal penting yang ingin aku katakan pada Ayah. Tapi ... ""Tapi apa?"
Hendry benar-benar dikuasai amarah. Tampak nyata dari wajahnya. Kedua matanya memerah dengan tatapan lurus ke depan nyaris tanpa berkedip. Juga gesturnya yang mengepalkan tangan erat-erat. Membuat Sinta dan Sisil kompak menyunggingkan senyum."Sisil sekarang katakan pada Ayah, apa yang ingin disembunyikan kakakmu dari Ayah?" tanya Hendry setelah beberapa saat hanya diam."Sebenarnya kebohongan besar itu tidak hanya disembunyikan dari Ayah, tapi dari kita semua, termasuk Janu," jawab Sisil sambil meletakkan tangannya di atas tangan Hendry yang terkepal.Sisil menatap mata ayahnya. Ia juga membiarkan matanya bocor seolah ingin menunjukkan simpati dan kesedihan atas kabar buruk yang hendak ia katakan pada sang ayah."Ayah, Smith tidak hamil. Aku mendengar sendiri dari mulutnya bahwa ia tidak hamil.""Apa?" pekik Hendry kedua alis yang hampir menyatu.Ada perasaan aneh yang muncul dalam diri Hendry. Ia tidak mengerti, apakah ia harus merasa sena
Bibi Ipah menekan bel dengan perasaan was-was. Ia tidak tahu siapa yang ada di dalam rumah. Juga tidak tahu siapa yang akan membuka pintu untuknya. Sedangkan ia merasa kata 'pulang' tidaklah cocok untuknya yang kembali ke rumah tempatnya bekerja.Walau bagaimanapun saat ini ia berdiri di depan pintu tempatnya mencari nafkah. Itu bukan tempat tinggal miliknya di mana ia bisa beristirahat semaunya tanpa rasa sungkan. Sedangkan ia dokter telah berpesan padanya untuk tidak melakukan pekerjaan dulu hingga rasa nyeri di punggungnya benar-benar hilang.Dalam pikiran perempuan tua itu orang-orang yang mungkin ada di dalam rumah itu bukanlah orang yang menganggapnya sebagai keluarga, melainkan hanya sebagai pembantu. Bibi Ipah sadar bahwa bagi majikannya, kesehatannya tidak menjadi hal berharga yang harus dijaga. Yang terpenting adalah ia harus menyelesaikan pekerjaan rumah. Majikan yang selama ini sangat peduli pada kesehatannya sedang ke luar semua. Keduanya bahkan mung
Sinta berdiri dengan semangat. Ia berjalan cepat menuju kamar Bibi Ipah. Perempuan itu bahkan ingin melompat kegirangan karena rencana yang disampaikan sang suami padanya sungguh sangat jenius. Tidak pernah terpikirkan olehnya. Sekali dayung, dua, tiga pulau terlampaui.Tok ... tok ... tok ....Sinta mengetuk pintu kamar Bibi Ipah. Membuat Bibi Ipah yang baru saja duduk, harus kembali berdiri setelah sedikit terjingkat.Bibi Ipah tidak boleh lelet karena orang yang mengetuk pintu kamarnya sudah berkoar-koar memanggil namanya. Bibi Ipah hafal benar dengan suara itu. Pemiliknya adalah orang yang hobi berteriak-teriak padanya. Nyonya Sinta Sasongko!"Iya, Nyonya," kata Bibi Ipah sesudah membuka pintu."Aduh ... Bi Ipah! Kenapa lama sekali? Membuka pintu kamar saja selama ini. Pantas, kamu sering membuatku sampai tidur di depan pintu rumah karena terlalu lama menunggu," semprot Sinta yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk memarahi Bibi Ipah. Bi
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j