Matahari pagi mulai menyingsing di ufuk timur, memancarkan cahaya oranye keemasan yang membias di atas laut Raja Ampat. Burung camar terbang rendah, menyisakan jejak bayangan di atas air yang tenang.
Rhea menatap ke luar jendela penginapan dengan ekspresi kosong. Secangkir kopi yang mulai dingin masih tergenggam di tangannya. Hari ini adalah hari terakhir mereka di Raja Ampat. Entah kenapa, ada perasaan enggan di dadanya.
“Rhea, kamu udah siap?”
Suara Michael membuyarkan lamunannya.Rhea menoleh. Michael sudah berdiri di dekat koper dengan pakaian kasual — kemeja putih tipis dan celana linen krem yang membuatnya terlihat santai tapi tetap elegan.
“Belum,” jawab Rhea malas.Michael mendekat, menatap wajah istrinya dengan alis terangkat. “Kamu kelihatan... sedih.”
“Enggak,” Rhea menggeleng, lalu menyeruput kopi yang sudah dingin. “Cuma... sayang aja liburannya cepat banget.”Suara gemericik hujan yang membentur kaca jendela apartemen terasa menenangkan. Aroma kopi yang baru saja Michael seduh menguar lembut di udara. Beberapa hari setelah mereka kembali dari Raja Ampat, kehidupan mulai kembali ke ritme biasanya.Rhea sedang duduk di sofa ruang tamu dengan laptop di pangkuannya, mengetik dengan serius. Pembagian dosen pembimbing skripsi sudah di umumkan dan ia mempersiapkan judul dan data lain untuk di tunjukkan ke dosen pembimbing nantinya jika sudah memasuki masa kuliah. Kegiatan yang monoton membuatnya jarang beranjak dari tempat itu. Sementara itu, Michael duduk di meja dapur, membalas beberapa email yang masuk sejak pagi. Suasana hangat itu terasa damai.“Kamu nggak capek ngetik terus?” Michael menoleh dari kursinya, membawa dua cangkir kopi ke arah Rhea.Rhea menyandarkan tubuhnya, meraih cangkir yang disodorkan Michael. “Capek. Tapi aku ingin lekas selesai dan bisa menghabiskan sisa liburan semester dengan te
Pagi itu, Michael duduk di meja kerjanya dengan wajah serius. Laptop di depannya menyala, menampilkan panggilan video dengan latar kantor megah di Paris. Pihak perusahaan yang menawarkan posisi tersebut sedang menunggu jawabannya.Rhea berdiri di dapur, membuat secangkir kopi sambil sesekali mencuri pandang ke arah Michael. Perasaan cemas bercampur harap berkecamuk dalam dadanya. Ia tahu betapa pentingnya pekerjaan ini bagi Michael, tapi ia juga tidak bisa membohongi diri bahwa ia ingin suaminya tetap di sampingnya.Michael menarik napas panjang sebelum mulai bicara.“Bonjour, Monsieur Laurent,” sapanya dengan nada sopan.“Bonjour, Michael,” jawab pria berkemeja rapi di seberang layar. “Jadi, sudah ada keputusan?”Michael mengangguk pelan. “Sebelum saya menyampaikan jawaban, saya ingin bertanya satu hal.”Laurent menaikkan alis. “Tentu saja. Apa yang ingin Anda ketahui?&rd
Langit Surabaya hari itu cerah, tapi tidak dengan wajah Kyle yang terlihat seperti habis begadang semalaman. Perpustakaan kampus yang biasanya hening dipenuhi desahan frustasi para pejuang skripsi. Di salah satu sudutnya, Rhea tengah duduk dengan serius menatap laptop. Jari-jarinya lincah mengetik, sesekali matanya bergerak ke arah tumpukan buku referensi di sampingnya.“Rhea,” suara Kyle berat, disusul dengan tubuhnya yang hampir ambruk di kursi seberang Rhea. “Kenapa skripsi itu terdengar seperti makhluk halus yang mau menghantuiku tiap malam, ya?”Rhea menahan tawa. Ia menutup laptopnya sebentar dan menatap sahabatnya itu. “Makhluk halus? Kamu tuh lebay, Kyle. Baru juga bab satu.”“Baru? BARU? Rhea, aku udah ngerjain revisi bab satu ini sampai lima versi, tahu nggak?” Kyle mengangkat satu bundel print out yang sudah penuh coretan merah dari dosennya. “Aku yakin dosen pembimbingku itu punya trauma pribadi s
Hari-hari terasa melambat, namun waktu tetap saja berjalan tanpa ampun. Rasanya baru kemarin Rhea memulai skripsinya dengan gugup dan sejuta pertanyaan, dan sekarang—hampir setengah tahun telah berlalu, skripsinya sudah rampung, dan ia hanya tinggal menunggu hari sidangnya.Namun, justru masa tunggu inilah yang membuatnya lebih gelisah.Di apartemen yang sepi, hanya bunyi kipas angin dan detik jam dinding yang menemani pikirannya. Sesekali ia mengecek ponselnya, melihat foto Michael yang jadi wallpaper. Senyuman lembut itu… kini hanya bisa ia lihat dari layar.Michael memang selalu berusaha menghiburnya walau mereka terpisah jarak jauh. Sejak pindah ke Paris untuk proyek fashion-nya, komunikasi mereka bergantung pada waktu yang acap kali tak bersahabat. Saat Rhea terjaga, Michael tertidur. Saat Rhea bersiap tidur, Michael baru memulai harinya.Namun tak pernah sekalipun Michael lupa mengirim pesan, meski hanya satu kalimat, “Good luck h
Hidup Rhea sejauh ini selalu terencana. Bangun pagi, kuliah, belajar, dan menghindari drama kehidupan yang menurutnya hanya buang-buang waktu. Ia bukan tipe yang suka basa-basi, apalagi buang waktu untuk urusan cinta.Tapi rencana itu berubah total saat neneknya mengumumkan sesuatu yang bikin kepalanya nyut-nyutan.“Kamu akan menikah.”Hening.Rhea yang tadinya sibuk mengunyah pisang goreng nyaris tersedak. “Hah?”“Kamu sudah dewasa, Nak. Kakekmu sebelum meninggal sudah merancang ini sejak lama dengan temannya.”Rhea terdiam, otaknya berusaha memproses informasi ini. “Jangan bilang temannya itu juga sudah punya cucu… dan aku dijodohkan dengannya?”Neneknya tersenyum, seakan kabar ini bukan sesuatu yang gila. “Tepat sekali.”Rhea menatap wanita tua itu seakan-akan beliau baru saja bilang kalau bulan itu terbuat dari keju. Ia juga yakin sudah rajin membersihkan telinganya. Namun perkataan neneknya sungguh di luar akal manusia di jaman modern ini.“Dan dia… siapa?” tanyanya dengan nada w
Hari masih sangat pagi, bahkan matahari masih belum sepenuhnya menampakkan dirinya. Namun, karena terbiasa bangun lebih awal. Rhea bisa bangun pagi tanpa mendengar suara alarm.Semuanya masih terasa seperti mimpi yang absurd.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat bahwa ia tidak berada di apartemennya, melainkan di kamar hotel mewah tempat ia dan Michael menginap setelah pernikahan mereka kemarin.Ketika membuka mata, sungguh matanya langsung di suguhi pemandangan sangat indah. Bagaimana tidak, ia melihat wajah tampan dengan bulu mata lentik. Seorang malaikat yang tidur di sebelahnya. Rhea tersentak lalu ingat siapa sosok malaikat yang sedang tidur itu.Suaminya.Rhea menghela napas. Entah kenapa, ia merasa lega. Meski pernikahan mereka hanya pernikahan kontrak, tetap saja ada sesuatu yang terasa… aneh.Michael menggunakan baju tidur berwarna putih, rambut hitam panjangnya terlihat terurai dengan lembut. Hingga membuat Rhea tidak sadar sudah membelai beberapa helai rambut Michae
Rhea menatap layar laptopnya dengan mata setengah mengantuk. Dosennya sedang menjelaskan tentang analisis pasar global dengan suara monoton yang nyaris seperti lullaby. Di sekelilingnya, mahasiswa lain tampak sibuk mencatat atau sekadar menatap kosong ke depan, sama bosannya dengan Rhea.Lima menit lagi, dan akhirnya kelas selesai.Rhea menuju lounge yang lumayan kosong. Ia suka duduk di pojokan dekat dengan jendela.Dia menghela napas panjang, ia sudah berusaha bertahan dari sisa kelas yang terasa semakin lama. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk bertahan tanpa ketiduran hingga kelas selanjutnya dimulai—dan hampir berhasil—kemudian sebuah tangan tiba-tiba mendarat di bahunya."Rheaaa~"Rhea menoleh dan langsung mendapati wajah Kyle yang menyeringai jahil. Dia melonggarkan topinya dan duduk di kursi kosong di sebelah Rhea dengan santai."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Rhea dengan suara datar.Kyle mengangkat bahu. "Nggak boleh menemui istri sah-ku?"Rhea memutar bola m
Apartemen terasa sunyi ketika Rhea membuka pintu dan masuk ke dalam. Ia melepas sepatunya, melangkah masuk sambil melirik sekeliling.Michael belum pulang.Tidak ada suara langkah kaki yang ringan, tidak ada aroma parfum khas miliknya yang memenuhi udara, dan yang paling penting, tidak ada komentar santai dari pria itu tentang betapa berantakannya kebiasaannya dalam meninggalkan barang di sembarang tempat."Jadi, aku sendirian."Rhea mendesah pelan. Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa, mengambil bantal dan memeluknya sambil menatap langit-langit. Sejak pernikahan ini dimulai, hari-harinya dipenuhi dengan hal-hal aneh yang tidak pernah ia bayangkan.Michael, dengan segala keanggunan dan selera fashion-nya yang eksentrik, adalah kebalikan dari dirinya.Ia lebih suka hidup praktis, sederhana, tidak berlebihan. Michael? Dunia pria itu penuh estetika, penuh barang-barang mahal yang bahkan fungsinya kadang ia tidak mengerti.Tapi ada satu hal yang mulai ia sadari.Apartemen Michael terasa… nyam
Hari-hari terasa melambat, namun waktu tetap saja berjalan tanpa ampun. Rasanya baru kemarin Rhea memulai skripsinya dengan gugup dan sejuta pertanyaan, dan sekarang—hampir setengah tahun telah berlalu, skripsinya sudah rampung, dan ia hanya tinggal menunggu hari sidangnya.Namun, justru masa tunggu inilah yang membuatnya lebih gelisah.Di apartemen yang sepi, hanya bunyi kipas angin dan detik jam dinding yang menemani pikirannya. Sesekali ia mengecek ponselnya, melihat foto Michael yang jadi wallpaper. Senyuman lembut itu… kini hanya bisa ia lihat dari layar.Michael memang selalu berusaha menghiburnya walau mereka terpisah jarak jauh. Sejak pindah ke Paris untuk proyek fashion-nya, komunikasi mereka bergantung pada waktu yang acap kali tak bersahabat. Saat Rhea terjaga, Michael tertidur. Saat Rhea bersiap tidur, Michael baru memulai harinya.Namun tak pernah sekalipun Michael lupa mengirim pesan, meski hanya satu kalimat, “Good luck h
Langit Surabaya hari itu cerah, tapi tidak dengan wajah Kyle yang terlihat seperti habis begadang semalaman. Perpustakaan kampus yang biasanya hening dipenuhi desahan frustasi para pejuang skripsi. Di salah satu sudutnya, Rhea tengah duduk dengan serius menatap laptop. Jari-jarinya lincah mengetik, sesekali matanya bergerak ke arah tumpukan buku referensi di sampingnya.“Rhea,” suara Kyle berat, disusul dengan tubuhnya yang hampir ambruk di kursi seberang Rhea. “Kenapa skripsi itu terdengar seperti makhluk halus yang mau menghantuiku tiap malam, ya?”Rhea menahan tawa. Ia menutup laptopnya sebentar dan menatap sahabatnya itu. “Makhluk halus? Kamu tuh lebay, Kyle. Baru juga bab satu.”“Baru? BARU? Rhea, aku udah ngerjain revisi bab satu ini sampai lima versi, tahu nggak?” Kyle mengangkat satu bundel print out yang sudah penuh coretan merah dari dosennya. “Aku yakin dosen pembimbingku itu punya trauma pribadi s
Pagi itu, Michael duduk di meja kerjanya dengan wajah serius. Laptop di depannya menyala, menampilkan panggilan video dengan latar kantor megah di Paris. Pihak perusahaan yang menawarkan posisi tersebut sedang menunggu jawabannya.Rhea berdiri di dapur, membuat secangkir kopi sambil sesekali mencuri pandang ke arah Michael. Perasaan cemas bercampur harap berkecamuk dalam dadanya. Ia tahu betapa pentingnya pekerjaan ini bagi Michael, tapi ia juga tidak bisa membohongi diri bahwa ia ingin suaminya tetap di sampingnya.Michael menarik napas panjang sebelum mulai bicara.“Bonjour, Monsieur Laurent,” sapanya dengan nada sopan.“Bonjour, Michael,” jawab pria berkemeja rapi di seberang layar. “Jadi, sudah ada keputusan?”Michael mengangguk pelan. “Sebelum saya menyampaikan jawaban, saya ingin bertanya satu hal.”Laurent menaikkan alis. “Tentu saja. Apa yang ingin Anda ketahui?&rd
Suara gemericik hujan yang membentur kaca jendela apartemen terasa menenangkan. Aroma kopi yang baru saja Michael seduh menguar lembut di udara. Beberapa hari setelah mereka kembali dari Raja Ampat, kehidupan mulai kembali ke ritme biasanya.Rhea sedang duduk di sofa ruang tamu dengan laptop di pangkuannya, mengetik dengan serius. Pembagian dosen pembimbing skripsi sudah di umumkan dan ia mempersiapkan judul dan data lain untuk di tunjukkan ke dosen pembimbing nantinya jika sudah memasuki masa kuliah. Kegiatan yang monoton membuatnya jarang beranjak dari tempat itu. Sementara itu, Michael duduk di meja dapur, membalas beberapa email yang masuk sejak pagi. Suasana hangat itu terasa damai.“Kamu nggak capek ngetik terus?” Michael menoleh dari kursinya, membawa dua cangkir kopi ke arah Rhea.Rhea menyandarkan tubuhnya, meraih cangkir yang disodorkan Michael. “Capek. Tapi aku ingin lekas selesai dan bisa menghabiskan sisa liburan semester dengan te
Matahari pagi mulai menyingsing di ufuk timur, memancarkan cahaya oranye keemasan yang membias di atas laut Raja Ampat. Burung camar terbang rendah, menyisakan jejak bayangan di atas air yang tenang.Rhea menatap ke luar jendela penginapan dengan ekspresi kosong. Secangkir kopi yang mulai dingin masih tergenggam di tangannya. Hari ini adalah hari terakhir mereka di Raja Ampat. Entah kenapa, ada perasaan enggan di dadanya.“Rhea, kamu udah siap?”Suara Michael membuyarkan lamunannya.Rhea menoleh. Michael sudah berdiri di dekat koper dengan pakaian kasual — kemeja putih tipis dan celana linen krem yang membuatnya terlihat santai tapi tetap elegan.“Belum,” jawab Rhea malas.Michael mendekat, menatap wajah istrinya dengan alis terangkat. “Kamu kelihatan... sedih.”“Enggak,” Rhea menggeleng, lalu menyeruput kopi yang sudah dingin. “Cuma... sayang aja liburannya cepat banget.”
Rhea duduk di tepi pantai dengan tenang, membiarkan pasir putih yang hangat menyentuh telapak kakinya. Angin laut bertiup lembut, membawa aroma asin yang menenangkan. Suara deburan ombak berirama seperti lagu pengantar tidur yang lembut.Di sampingnya, Michael tertidur pulas di atas tikar piknik dengan posisi terlentang. Topi jerami menutupi sebagian wajahnya, sementara tangan kanannya tergeletak santai di samping tubuh.Rhea menoleh dan tersenyum kecil. Michael benar-benar terlihat damai. Wajahnya yang biasanya tegas dan jenaka kini tampak begitu lembut, seperti seseorang tanpa beban.Rhea kembali memandang laut. Rasanya masih seperti mimpi. Hubungan mereka berubah begitu cepat dalam hitungan hari. Dari sebuah pernikahan kontrak yang dingin, menjadi sesuatu yang... hangat.Ponsel Rhea bergetar di sebelahnya, mengganggu lamunannya. Ia mengambilnya dan melihat nama Kyle muncul di layar.Kyle: “Hei, Nona Sibuk! Gimana liburanmu? Udah seminggu n
Malam itu, acara fashion internasional di Raja Ampat berlangsung dengan begitu meriah. Lampu-lampu berkilauan di tengah panggung yang megah, menyinari para model yang berlenggak-lenggok dengan busana rancangan desainer terkenal. Musik mengalun lembut, bercampur dengan tawa dan obrolan para tamu undangan dari berbagai negara. Rhea berdiri di salah satu sudut, mengenakan gaun hitam elegan yang dirias oleh tangan Michael sendiri. Wajahnya terlihat bersinar dengan sentuhan makeup lembut, membuat siapa pun yang lewat tak bisa menahan diri untuk menoleh.Namun, bukan perhatian orang lain yang menarik bagi Michael. Sejak awal, matanya hanya tertuju pada satu sosok — Rhea. Istrinya yang cantik, yang awalnya hanya menjadi bagian dari pernikahan kontrak, kini perlahan-lahan mengisi setiap sudut pikirannya.“Bersulang lagi?” Rhea tersenyum, mengangkat gelasnya yang sudah hampir kosong. Ini entah yang keberapa. Michael mengangkat alis.“Sudah cukup, Rh
Libur semester akhirnya tiba. Dua bulan penuh tanpa kelas, tanpa tugas, tanpa harus bertemu dengan para mahasiswa yang suka bergosip. Seharusnya ini waktu yang menyenangkan. Tapi bagi Rhea, liburan ini justru terasa... membosankan.Sudah seminggu berlalu, dan dia tidak melakukan apa-apa selain berdiam diri di apartemen. Scroll media sosial, nonton film, tidur, dan mengulang siklus yang sama setiap hari."Bisa gila kalau terus-terusan kayak gini," gumam Rhea sambil melempar ponselnya ke sofa.Michael tidak selalu ada. Kadang dia di apartemen, kadang pergi mengurus bisnis barunya di bidang fashion. Meski begitu, Rhea tidak ingin mengganggu. Dia paham betul Michael sedang sibuk membangun brand-nya. Tapi... tetap saja, sepi.Baru saja dia hendak beranjak ke dapur, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Kyle muncul di layar.Kyle: Rheaaaa, lihat ini!Sebuah foto menyusul — Kyle dan Denny berpose di pantai dengan latar belakang
Rhea menghela napas panjang sambil merapatkan jaketnya. Angin sore bertiup lembut, menyapu helaian rambut yang dibiarkannya tergerai. Kampus terasa lebih sepi dari biasanya karena libur semester akhir hampir tiba. Ia datang hanya untuk mengembalikan beberapa buku pinjaman perpustakaan.Michael menurunkannya di depan gedung utama dengan santai."Makasih, Michael. Aku nggak bakal lama." Rhea tersenyum kecil, melepas sabuk pengamannya.Michael membalas dengan senyum hangat. "Take your time. Aku tunggu di sini."Rhea mengangguk dan turun dari mobil. Tapi tanpa mereka sadari, tidak jauh dari sana, sepasang mata memperhatikan dengan tatapan penuh selidik.Sasha.Mahasiswi yang pernah melabrak Rhea karena cemburu soal Kyle, kini berdiri dengan tangan bersilang di depan dada. Mulutnya membentuk seringai kecil."Hah... baru selesai sama Kyle, sekarang pindah ke Michael?" gumamnya sambil mengeluarkan ponsel.Tanpa membuang waktu, Sasha m