Apartemen terasa sunyi ketika Rhea membuka pintu dan masuk ke dalam. Ia melepas sepatunya, melangkah masuk sambil melirik sekeliling.
Michael belum pulang.
Tidak ada suara langkah kaki yang ringan, tidak ada aroma parfum khas miliknya yang memenuhi udara, dan yang paling penting, tidak ada komentar santai dari pria itu tentang betapa berantakannya kebiasaannya dalam meninggalkan barang di sembarang tempat.
"Jadi, aku sendirian."
Rhea mendesah pelan. Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa, mengambil bantal dan memeluknya sambil menatap langit-langit. Sejak pernikahan ini dimulai, hari-harinya dipenuhi dengan hal-hal aneh yang tidak pernah ia bayangkan.
Michael, dengan segala keanggunan dan selera fashion-nya yang eksentrik, adalah kebalikan dari dirinya.
Ia lebih suka hidup praktis, sederhana, tidak berlebihan. Michael? Dunia pria itu penuh estetika, penuh barang-barang mahal yang bahkan fungsinya kadang ia tidak mengerti.
Tapi ada satu hal yang mulai ia sadari.
Apartemen Michael terasa… nyaman.
Dan lebih buruk lagi, ia mulai terbiasa dengan kehadiran pria itu.
Perutnya tiba-tiba berbunyi.
"Ugh… aku lapar."
Rhea bangkit dari sofa dan berjalan ke dapur. Ia membuka kulkas dengan harapan menemukan sesuatu yang bisa dimasak.
Kosong.
Atau setidaknya, tidak ada bahan yang bisa diolah menjadi sesuatu yang masuk akal untuk dimakan. Ada beberapa botol air mineral berjejer rapi, beberapa kaleng minuman bersoda, dan beberapa bahan makanan yang sepertinya lebih cocok untuk dijadikan pajangan daripada dimasak.
"Miki bahkan tidak menyimpan telur?" Rhea mengernyit. "Yah selama ini kita makan di luar atau membeli makanan dari luar. Aku belum sempat melihat kebutuhan di dapur selain teh atau kopi."
Mau tidak mau, ia memutuskan untuk pergi ke supermarket.
Ia mengambil jaketnya dan berjalan menuju pintu, baru saja akan meraih pegangan pintu saat suara langkah kaki terdengar dari luar.
Seketika, pintu terbuka dengan anggun.
Dan di sana berdiri Michael.
Dengan segala kesempurnaannya.
Rambut panjang hitamnya terurai bebas, sedikit berantakan karena angin malam. Ia mengenakan kaus putih sederhana yang membentuk tubuhnya dengan sempurna, dipadukan dengan celana panjang hitam yang terlihat santai tapi tetap modis.
Dan seperti biasa, wajahnya tampak menawan tanpa usaha.
"Mau ke mana, Rhea?" tanyanya dengan nada santai, matanya melirik jaket yang sudah disampirkan di bahu Rhea.
Rhea sedikit terkejut, tapi segera menguasai dirinya. "Aku mau ke supermarket. Kulkasmu kosong, dan aku lapar."
Michael tersenyum kecil sebelum masuk ke dalam dan menutup pintu di belakangnya.
"Kau lapar?"
"Ya. Aku pikir aku bisa masak sesuatu, tapi… kau tidak punya bahan makanan yang cukup."
Michael melepas sepatunya dengan gerakan yang terlihat seperti kebiasaan anggun yang sudah tertanam sejak lahir. Kemudian ia berjalan ke arah dapur, membuka kulkas, dan mengamati isinya sejenak sebelum kembali menatap Rhea.
"Ah… benar juga. Aku memang jarang masak," katanya sambil meringis.
"Jelas," gumam Rhea. "Jadi, aku tetap harus ke supermarket, kan?"
Michael menatapnya dengan tatapan menilai sebelum akhirnya menggeleng.
"Tidak perlu. Aku akan memesan sesuatu."
Rhea mengerutkan kening. "Aku bisa masak, tahu? Kau tidak harus selalu memesan makanan."
Michael mengangkat bahu dengan ekspresi malas. "Memasak butuh waktu. Aku lapar, kau lapar. Kita pesan saja sesuatu."
Rhea menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Jadi selama ini kau cuma hidup dengan take-out dan restoran?"
Michael menyandarkan tubuhnya ke meja dapur, menyilangkan tangan di dada. "Tidak selalu. Kadang aku makan di rumah teman. Kadang aku masak, tapi hanya jika aku sedang ingin."
"Dan itu jarang terjadi?"
Michael tersenyum kecil. "Tebakan yang bagus."
Rhea menghela napas panjang. "Ya Tuhan, aku menikahi seseorang yang tidak bisa bertahan tanpa aplikasi pesan makanan."
Michael menekan beberapa tombol di ponselnya. "Kita pesan makanan Jepang, bagaimana?"
Rhea merenung sebentar. Sebenarnya, ia memang lapar. Dan mungkin, memasak memang akan memakan waktu lama.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi lain kali, aku yang akan masak."
Michael mengangkat alis. "Oh? Kau bisa memasak?"
"Aku lebih suka makanan buatan sendiri daripada makanan take-out," jawab Rhea santai.
Michael menatapnya sejenak sebelum tersenyum kecil.
"Menarik."
"Apa yang menarik?"
"Dirimu," katanya ringan, sebelum berjalan pergi ke ruang tamu, meninggalkan Rhea yang terdiam dengan pipi yang mendadak terasa hangat.
Kenapa dia bicara seperti itu?
Kenapa nadanya terdengar… terlalu lembut?
Dan kenapa sekarang Rhea justru lebih fokus pada Michael daripada rasa laparnya?
Setelah perdebatan singkat soal makanan selesai, Rhea memutuskan untuk mandi sementara menunggu pesanan mereka datang.
Ia berjalan menuju kamar dengan langkah santai, tapi dalam hatinya, ia masih merasa aneh dengan kehidupannya sekarang. Hidup bersama seorang pria yang… begitu berlawanan dengannya dalam banyak hal.
Begitu ia masuk ke kamar mandi, matanya langsung tertuju pada wastafel.
"Astaga… aku lupa kalau ini masih seperti ini."
Wastafel itu penuh dengan botol-botol skincare.
Dari yang berukuran kecil, sedang, hingga besar, semuanya tersusun rapi seperti rak di toko kecantikan. Ada toner, serum, essence, pelembap, bahkan beberapa sheet mask yang tersusun dengan estetika tinggi di sudut wastafel.
Rhea menghela napas panjang.
"Oke, parfum satu lemari sudah cukup bikin aku pusing… tapi ini?"
Ia meraih salah satu botol serum yang tampak mahal, membaca tulisan di botol itu.
"Niacinamide 10% + Zinc? Apa ini?"
Lalu ia mengambil botol lain.
"Retinol… Oh, aku tahu ini! Ini yang katanya bikin kulit awet muda. Tapi… kenapa Miki punya banyak sekali?"
Rhea kemudian melirik cermin, menatap wajahnya sendiri.
Ia bukan tipe orang yang terlalu peduli dengan skincare. Sabun cuci muka, pelembap, dan sunscreen sudah cukup baginya. Sementara di sini… Michael bahkan punya lebih banyak produk daripada yang pernah ia lihat di rak skincare milik teman-temannya.
Ia meletakkan botol itu kembali di tempatnya dan mulai menyalakan shower.
Saat air hangat mengalir membasahi tubuhnya, Rhea tiba-tiba teringat sesuatu.
Ia belum sempat menceritakan soal skincare ini ke Kyle.
"Aku terlalu syok dengan parfum satu lemari sampai lupa soal ini."
Kyle pasti akan tertawa terbahak-bahak kalau tahu Michael bukan hanya maniak parfum, tapi juga pecinta skincare.
"Mungkin aku harus kasih tahu dia besok di kampus."
Setelah mandi, Rhea keluar dengan rambut masih sedikit basah, memakai kaus oversized dan celana panjang.
Begitu ia keluar dari kamar, ia melihat Michael duduk di sofa dengan kaki disilangkan, menatap ponselnya dengan ekspresi santai.
"Sudah selesai?" tanyanya menoleh dengan tersenyum.
Rhea mengerutkan kening. "Yah, aku nggak terlalu biasa berlama-lama di kamar mandi."
Michael akhirnya mengangkat wajahnya, tersenyum tipis. "Rhea sangat simple ya orangnya."
Rhea mendecakkan lidah. "Dibanding hidup Miki, mungkin hidupku di mata orang lain terlihat sangat membosankan.”
Michael mengangkat bahu. "Yang lebih penting kita menikamti hidup kita sendiri. Bukankah begitu?"
Rhea meliriknya dengan ekspresi malas. "Tentu saja."
Michael tertawa ringan, lalu menunjuk meja. "Makanannya sudah datang, nih. Kau lapar, kan?"
Rhea berjalan ke meja makan dan duduk, matanya langsung berbinar melihat berbagai makanan Jepang yang tersusun di atas meja.
"Sushi, tempura, udon, ramen… wah, ini banyak sekali!"
Michael duduk di seberangnya, mengambil sumpit dengan elegan. "Aku tidak tahu apa yang kau suka, jadi aku pesan beberapa pilihan."
Rhea mengangkat alis. "Oh? Miki perhatian juga, ternyata."
Michael menatapnya sejenak sebelum tersenyum. "Aku hanya tidak ingin mendengar keluhanmu kalau aku tidak memberikan makan anak orang dan pesanannya tidak sesuai selera."
Rhea mendengus, tapi ia tidak bisa menahan senyum kecil di sudut bibirnya.
Mungkin… hidup bersama Michael tidak akan seburuk yang ia kira.
Setelah selesai makan malam, Michael meletakkan sumpitnya dengan gerakan anggun lalu menghela napas kecil.
"Aku harus ke ruang kerja. Ada project yang harus kuselesaikan malam ini."
Rhea yang masih sibuk mengunyah sushi hanya meliriknya sekilas. "Project apa?"
Michael menatapnya dengan ekspresi tenang, lalu mengangkat bahu. "Baju."
Rhea mengerutkan kening. "Baju?"
Michael tersenyum tipis. "Aku juga seorang fashion designer, ingat?"
"Oh." Rhea mengangguk pelan. Terkadang ia lupa bahwa Michael bukan hanya seorang dosen fashion, tapi juga benar-benar bekerja di industri itu.
Michael berdiri dari kursinya, lalu menatap Rhea sejenak. "Kalau kau mengantuk, tidurlah duluan. Jangan tunggu aku."
Rhea hanya mengangkat bahu. "Oke."
Michael tidak berkata apa-apa lagi dan langsung berjalan menuju ruang kerjanya.
Begitu pintu ruang kerja tertutup, Rhea menghela napas panjang.
"Baiklah. Aku juga punya tugas yang harus kuselesaikan."
Dia menarik laptopnya yang tadi diletakkan di sofa dan mulai mengerjakan tugas.
Awalnya, Rhea hanya berniat mengerjakan tugas selama satu atau dua jam.
Namun, seperti yang sering terjadi, ia terlalu larut dalam pekerjaannya.
Ia mengetik cepat di keyboard, memeriksa referensi, menuliskan analisis, lalu kembali membaca ulang tugasnya.
Sesekali ia menyesap kopi yang sudah mulai dingin, lalu melirik jam di laptopnya.
"Jam sebelas? Astaga, kenapa waktu cepat sekali?"
Dia melirik ke arah ruang kerja Michael.
Pintu masih tertutup.
Berarti Michael masih di dalam.
"Dia juga belum selesai?"
Rhea menghela napas dan kembali fokus pada tugasnya.
"Sedikit lagi, lalu aku tidur."
Tapi sedikit lagi menjadi setengah jam.
Setengah jam menjadi satu jam.
Baru ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 12, Rhea akhirnya menyelesaikan tugasnya.
Ia menutup laptop dengan lega, meregangkan tubuh, lalu menguap panjang.
"Akhirnya selesai."
Dia kembali melirik ke ruang kerja Michael.
Masih tertutup.
Rhea sedikit ragu. Haruskah ia mengetuk dan menanyakan apakah Michael sudah selesai?
Tapi kemudian ia ingat.
"Dia bilang jangan menunggunya."
Lagipula, ia benar-benar sudah mengantuk.
Dengan langkah malas, Rhea berjalan ke kamar.
Ia mengganti bajunya dengan piyama, lalu langsung naik ke tempat tidur.
Saat ia menarik selimut hingga ke dada, ia kembali memikirkan sesuatu.
"Kenapa aku penasaran apakah dia sudah selesai atau belum?"
Ia mendengus dan membenamkan wajahnya ke bantal.
"Bukan urusanku."
Dengan pikiran itu, ia memejamkan mata dan perlahan-lahan tenggelam dalam tidur.
Namun, sebelum benar-benar terlelap, ia masih bisa mendengar suara samar dari ruang kerja Michael.
Suara langkah kaki.
Bunyi kursi yang digeser.
Dan suara Michael yang berbicara pelan, entah dengan siapa.
Kemudian, semuanya gelap.
Matahari pagi menerobos masuk melalui celah tirai kamar, membanjiri ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut.Rhea menggeliat kecil di tempat tidur, matanya masih sedikit berat karena tidur larut semalam. Namun, begitu kesadarannya mulai pulih, ia menyadari sesuatu yang tidak biasa.Michael tertidur di sampingnya.Rhea menoleh perlahan, dan benar saja. Michael terbaring miring menghadapnya, napasnya teratur dan dalam, jelas-jelas sedang terlelap.Baju yang dikenakannya masih sama seperti semalam—kemeja putih dengan beberapa kancing terbuka di atas, memperlihatkan sedikit tulang selangkanya."Jadi dia langsung tidur di sini setelah selesai bekerja?"Rhea menatapnya beberapa detik. Biasanya, Michael selalu terlihat rapi, seperti model yang baru saja keluar dari pemotretan majalah fashion. Tapi pagi ini, rambut hitam panjangnya sedikit berantakan, beberapa helainya jatuh ke wajahnya.Ada lingkaran samar di bawah matanya, tanda ba
Hidup Rhea sejauh ini selalu terencana. Bangun pagi, kuliah, belajar, dan menghindari drama kehidupan yang menurutnya hanya buang-buang waktu. Ia bukan tipe yang suka basa-basi, apalagi buang waktu untuk urusan cinta.Tapi rencana itu berubah total saat neneknya mengumumkan sesuatu yang bikin kepalanya nyut-nyutan.“Kamu akan menikah.”Hening.Rhea yang tadinya sibuk mengunyah pisang goreng nyaris tersedak. “Hah?”“Kamu sudah dewasa, Nak. Kakekmu sebelum meninggal sudah merancang ini sejak lama dengan temannya.”Rhea terdiam, otaknya berusaha memproses informasi ini. “Jangan bilang temannya itu juga sudah punya cucu… dan aku dijodohkan dengannya?”Neneknya tersenyum, seakan kabar ini bukan sesuatu yang gila. “Tepat sekali.”Rhea menatap wanita tua itu seakan-akan beliau baru saja bilang kalau bulan itu terbuat dari keju. Ia juga yakin sudah rajin membersihkan telinganya. Namun perkataan neneknya sungguh di luar akal manusia di jaman modern ini.“Dan dia… siapa?” tanyanya dengan nada w
Hari masih sangat pagi, bahkan matahari masih belum sepenuhnya menampakkan dirinya. Namun, karena terbiasa bangun lebih awal. Rhea bisa bangun pagi tanpa mendengar suara alarm.Semuanya masih terasa seperti mimpi yang absurd.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat bahwa ia tidak berada di apartemennya, melainkan di kamar hotel mewah tempat ia dan Michael menginap setelah pernikahan mereka kemarin.Ketika membuka mata, sungguh matanya langsung di suguhi pemandangan sangat indah. Bagaimana tidak, ia melihat wajah tampan dengan bulu mata lentik. Seorang malaikat yang tidur di sebelahnya. Rhea tersentak lalu ingat siapa sosok malaikat yang sedang tidur itu.Suaminya.Rhea menghela napas. Entah kenapa, ia merasa lega. Meski pernikahan mereka hanya pernikahan kontrak, tetap saja ada sesuatu yang terasa… aneh.Michael menggunakan baju tidur berwarna putih, rambut hitam panjangnya terlihat terurai dengan lembut. Hingga membuat Rhea tidak sadar sudah membelai beberapa helai rambut Michae
Rhea menatap layar laptopnya dengan mata setengah mengantuk. Dosennya sedang menjelaskan tentang analisis pasar global dengan suara monoton yang nyaris seperti lullaby. Di sekelilingnya, mahasiswa lain tampak sibuk mencatat atau sekadar menatap kosong ke depan, sama bosannya dengan Rhea.Lima menit lagi, dan akhirnya kelas selesai.Rhea menuju lounge yang lumayan kosong. Ia suka duduk di pojokan dekat dengan jendela.Dia menghela napas panjang, ia sudah berusaha bertahan dari sisa kelas yang terasa semakin lama. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk bertahan tanpa ketiduran hingga kelas selanjutnya dimulai—dan hampir berhasil—kemudian sebuah tangan tiba-tiba mendarat di bahunya."Rheaaa~"Rhea menoleh dan langsung mendapati wajah Kyle yang menyeringai jahil. Dia melonggarkan topinya dan duduk di kursi kosong di sebelah Rhea dengan santai."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Rhea dengan suara datar.Kyle mengangkat bahu. "Nggak boleh menemui istri sah-ku?"Rhea memutar bola m
Matahari pagi menerobos masuk melalui celah tirai kamar, membanjiri ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut.Rhea menggeliat kecil di tempat tidur, matanya masih sedikit berat karena tidur larut semalam. Namun, begitu kesadarannya mulai pulih, ia menyadari sesuatu yang tidak biasa.Michael tertidur di sampingnya.Rhea menoleh perlahan, dan benar saja. Michael terbaring miring menghadapnya, napasnya teratur dan dalam, jelas-jelas sedang terlelap.Baju yang dikenakannya masih sama seperti semalam—kemeja putih dengan beberapa kancing terbuka di atas, memperlihatkan sedikit tulang selangkanya."Jadi dia langsung tidur di sini setelah selesai bekerja?"Rhea menatapnya beberapa detik. Biasanya, Michael selalu terlihat rapi, seperti model yang baru saja keluar dari pemotretan majalah fashion. Tapi pagi ini, rambut hitam panjangnya sedikit berantakan, beberapa helainya jatuh ke wajahnya.Ada lingkaran samar di bawah matanya, tanda ba
Apartemen terasa sunyi ketika Rhea membuka pintu dan masuk ke dalam. Ia melepas sepatunya, melangkah masuk sambil melirik sekeliling.Michael belum pulang.Tidak ada suara langkah kaki yang ringan, tidak ada aroma parfum khas miliknya yang memenuhi udara, dan yang paling penting, tidak ada komentar santai dari pria itu tentang betapa berantakannya kebiasaannya dalam meninggalkan barang di sembarang tempat."Jadi, aku sendirian."Rhea mendesah pelan. Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa, mengambil bantal dan memeluknya sambil menatap langit-langit. Sejak pernikahan ini dimulai, hari-harinya dipenuhi dengan hal-hal aneh yang tidak pernah ia bayangkan.Michael, dengan segala keanggunan dan selera fashion-nya yang eksentrik, adalah kebalikan dari dirinya.Ia lebih suka hidup praktis, sederhana, tidak berlebihan. Michael? Dunia pria itu penuh estetika, penuh barang-barang mahal yang bahkan fungsinya kadang ia tidak mengerti.Tapi ada satu hal yang mulai ia sadari.Apartemen Michael terasa… nyam
Rhea menatap layar laptopnya dengan mata setengah mengantuk. Dosennya sedang menjelaskan tentang analisis pasar global dengan suara monoton yang nyaris seperti lullaby. Di sekelilingnya, mahasiswa lain tampak sibuk mencatat atau sekadar menatap kosong ke depan, sama bosannya dengan Rhea.Lima menit lagi, dan akhirnya kelas selesai.Rhea menuju lounge yang lumayan kosong. Ia suka duduk di pojokan dekat dengan jendela.Dia menghela napas panjang, ia sudah berusaha bertahan dari sisa kelas yang terasa semakin lama. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk bertahan tanpa ketiduran hingga kelas selanjutnya dimulai—dan hampir berhasil—kemudian sebuah tangan tiba-tiba mendarat di bahunya."Rheaaa~"Rhea menoleh dan langsung mendapati wajah Kyle yang menyeringai jahil. Dia melonggarkan topinya dan duduk di kursi kosong di sebelah Rhea dengan santai."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Rhea dengan suara datar.Kyle mengangkat bahu. "Nggak boleh menemui istri sah-ku?"Rhea memutar bola m
Hari masih sangat pagi, bahkan matahari masih belum sepenuhnya menampakkan dirinya. Namun, karena terbiasa bangun lebih awal. Rhea bisa bangun pagi tanpa mendengar suara alarm.Semuanya masih terasa seperti mimpi yang absurd.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat bahwa ia tidak berada di apartemennya, melainkan di kamar hotel mewah tempat ia dan Michael menginap setelah pernikahan mereka kemarin.Ketika membuka mata, sungguh matanya langsung di suguhi pemandangan sangat indah. Bagaimana tidak, ia melihat wajah tampan dengan bulu mata lentik. Seorang malaikat yang tidur di sebelahnya. Rhea tersentak lalu ingat siapa sosok malaikat yang sedang tidur itu.Suaminya.Rhea menghela napas. Entah kenapa, ia merasa lega. Meski pernikahan mereka hanya pernikahan kontrak, tetap saja ada sesuatu yang terasa… aneh.Michael menggunakan baju tidur berwarna putih, rambut hitam panjangnya terlihat terurai dengan lembut. Hingga membuat Rhea tidak sadar sudah membelai beberapa helai rambut Michae
Hidup Rhea sejauh ini selalu terencana. Bangun pagi, kuliah, belajar, dan menghindari drama kehidupan yang menurutnya hanya buang-buang waktu. Ia bukan tipe yang suka basa-basi, apalagi buang waktu untuk urusan cinta.Tapi rencana itu berubah total saat neneknya mengumumkan sesuatu yang bikin kepalanya nyut-nyutan.“Kamu akan menikah.”Hening.Rhea yang tadinya sibuk mengunyah pisang goreng nyaris tersedak. “Hah?”“Kamu sudah dewasa, Nak. Kakekmu sebelum meninggal sudah merancang ini sejak lama dengan temannya.”Rhea terdiam, otaknya berusaha memproses informasi ini. “Jangan bilang temannya itu juga sudah punya cucu… dan aku dijodohkan dengannya?”Neneknya tersenyum, seakan kabar ini bukan sesuatu yang gila. “Tepat sekali.”Rhea menatap wanita tua itu seakan-akan beliau baru saja bilang kalau bulan itu terbuat dari keju. Ia juga yakin sudah rajin membersihkan telinganya. Namun perkataan neneknya sungguh di luar akal manusia di jaman modern ini.“Dan dia… siapa?” tanyanya dengan nada w