Matahari pagi menerobos masuk melalui celah tirai kamar, membanjiri ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut.
Rhea menggeliat kecil di tempat tidur, matanya masih sedikit berat karena tidur larut semalam. Namun, begitu kesadarannya mulai pulih, ia menyadari sesuatu yang tidak biasa.
Michael tertidur di sampingnya.
Rhea menoleh perlahan, dan benar saja. Michael terbaring miring menghadapnya, napasnya teratur dan dalam, jelas-jelas sedang terlelap.
Baju yang dikenakannya masih sama seperti semalam—kemeja putih dengan beberapa kancing terbuka di atas, memperlihatkan sedikit tulang selangkanya.
"Jadi dia langsung tidur di sini setelah selesai bekerja?"
Rhea menatapnya beberapa detik. Biasanya, Michael selalu terlihat rapi, seperti model yang baru saja keluar dari pemotretan majalah fashion. Tapi pagi ini, rambut hitam panjangnya sedikit berantakan, beberapa helainya jatuh ke wajahnya.
Ada lingkaran samar di bawah matanya, tanda bahwa ia pasti kelelahan.
Untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, Michael terlihat... manusiawi.
"Kenapa aku malah mikirin ini?"
Rhea buru-buru menepis pikirannya. Ia perlahan turun dari tempat tidur, berusaha tidak membuat suara.
Michael masih tertidur nyenyak.
"Biarin aja. Dia pasti butuh istirahat."
Rhea berjalan ke kamar mandi, mengambil sikat gigi, dan menatap bayangannya di cermin.
Matanya masih sedikit mengantuk, tapi tidak ada waktu untuk malas-malasan.
Ia harus ke kampus pagi ini, ada kelas yang harus dihadiri.
Setelah mencuci muka dan menyikat gigi, ia keluar dari kamar mandi dan mulai bersiap-siap.
Seperti biasa, Rhea memilih pakaian yang sederhana dan praktis—kemeja putih dan celana panjang hitam.
Ia merapikan rambutnya dengan cepat, lalu melirik sekilas ke tempat tidur.
Michael masih belum bangun.
Rhea menatap jam. Masih cukup waktu untuk sarapan sebelum berangkat.
Dengan langkah ringan, ia berjalan keluar kamar, menuju dapur.
Rhea membuka lemari dapur dan menemukan roti serta selai cokelat.
"Oke, ini cukup."
Ia mengambil dua lembar roti, mengoleskan selai di atasnya, lalu menggigitnya perlahan.
Sambil mengunyah, matanya melirik ke arah pintu kamar.
"Haruskah aku membangunkannya?"
Tapi kemudian ia menggelengkan kepala sendiri.
"Biar saja. Dia pasti butuh istirahat."
Lagi pula, Michael bukan anak kecil. Jika dia harus bangun pagi, pasti dia sudah memasang alarm sendiri.
Rhea menghabiskan sarapannya dengan cepat, lalu mencuci tangannya dan mengambil tasnya.
Ketika ia akan pergi, ia sempat kembali ke kamar dan mengintip sebentar.
Michael masih tidur dalam posisi yang sama.
Dengan napas pelan, Rhea mengambil sticky note dari dalam tasnya, menuliskan sesuatu, lalu menempelkannya di meja samping tempat tidur.
"Aku pergi ke kampus dulu. Jangan lupa sarapan."
Setelah itu, ia berjalan keluar apartemen, siap menjalani hari barunya.
Rhea menarik napas panjang saat melangkah masuk ke perpustakaan kampus. Suasana tenang yang menyelimuti ruangan itu selalu menjadi tempat favoritnya untuk belajar.
Sebagai mahasiswa tingkat akhir, ia sadar waktunya semakin sempit. Skripsi akan segera dimulai, dan ia harus benar-benar fokus agar semuanya berjalan lancar.
Ia memilih tempat duduk di sudut ruangan, jauh dari keramaian, lalu membuka laptopnya.
"Oke, mari kita mulai."
Rhea mulai membaca beberapa jurnal sebagai referensi, mencatat poin-poin penting di buku catatannya.
Namun, baru beberapa menit berlalu, seseorang tiba-tiba menarik kursi di hadapannya dan duduk dengan santai.
Kyle.
"Tahu nggak, kau ini membosankan sekali," kata Kyle sambil melipat tangan di atas meja.
Rhea mendesah pelan, matanya tetap terpaku pada layar laptop. "Aku sibuk, Kyle."
"Tapi kau bahkan nggak punya waktu buat bersosialisasi. Ayolah, setidaknya makan siang di luar sekali-kali."
"Aku bisa makan di kantin."
Kyle mengerang frustasi. "Astaga, aku yakin kalau aku nggak ganggu, kau bakal betah duduk di sini sampai perpustakaan tutup."
"Memangnya kenapa kalau aku betah?" Rhea menatap Kyle datar.
Kyle mendekatkan wajahnya, membuat Rhea sedikit mundur. "Kau ini masih muda, Rhea. Hidupmu harus seimbang, bukan cuma tentang skripsi dan buku-buku tebal itu."
"Aku tahu."
"Kalau tahu, ayo keluar sebentar."
Rhea menghela napas. "Kyle, aku serius. Aku harus menyelesaikan beberapa bacaan sebelum minggu depan."
Kyle menatapnya lama, lalu akhirnya menyerah. "Baiklah, baiklah. Tapi aku tetap akan memastikan kau tidak menjelma jadi kutu buku total."
Ia berdiri, mengacak rambut Rhea sekilas sebelum pergi.
Rhea hanya bisa menggelengkan kepala sambil kembali fokus ke tugasnya.
Di lounge kampus, Rhea duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya. Ia masih melanjutkan membaca jurnal untuk skripsinya. Di sebelahnya, Kyle duduk dengan nyaman, memainkan ponselnya sambil sesekali menghela napas panjang.
“Hah... aku nggak ngerti lagi, Rhea.”
Rhea tetap menatap layar laptopnya tanpa mengangkat kepala. “Nggak ngerti apa?”
Kyle menjatuhkan tubuhnya ke sofa dan menghadap Rhea. “Aku kenalan sama seseorang di aplikasi chat.”
Rhea tetap mengetik. “Oke.”
“Tapi aku bingung. Orang ini serius nggak sih sama aku?”
Rhea akhirnya melirik Kyle sekilas sebelum kembali fokus pada tulisannya. “Terus kenapa?”
“Ya aku penasaran! Dia tuh asik diajak ngobrol, nyambung, dan keliatan baik banget. Tapi aku nggak tahu dia serius atau cuma iseng.”
Rhea mendesah. “Tanya aja langsung.”
Kyle mengernyit. “Mana bisa gitu doang! Nggak mungkin aku tiba-tiba bilang ‘Eh, kamu serius nggak sama aku?’ Itu konyol.”
Rhea tetap mengetik. “Ya udah, lanjut aja kenalan dulu. Kalau dia cuma iseng, lama-lama pasti ketahuan.”
Kyle menatapnya penuh kekecewaan. “Kau ini nggak seru banget. Seenggaknya kasih aku reaksi yang lebih dramatis, dong.”
Rhea akhirnya menutup laptopnya dan menatap Kyle datar. “Kyle, aku lagi fokus menyiapkan skripsi. Kau malah curhat soal orang yang bahkan belum kau temui langsung.”
Kyle memasang ekspresi dramatis. “Tapi ini penting, Rhea! Bisa aja dia jodohku!”
Rhea hanya menghela napas. “Kau bahkan belum tahu dia serius atau nggak.”
Kyle mendengus. “Kau terlalu logis. Kenapa sih nggak bisa sedikit kepo? Coba tanya gitu, orangnya cewek atau cowok?”
Rhea mengangkat bahu. “Aku nggak peduli.”
Kyle mengerang frustrasi dan menjatuhkan kepalanya ke bahu Rhea. “Astaga, aku curhat ke orang yang salah. Kau benar-benar nggak bisa diajak diskusi soal percintaan.”
Rhea mendorong kepala Kyle pelan. “Aku cuma nggak tertarik dengan drama hubungan orang lain.”
Kyle mendesah panjang. “Yasudahlah. Aku akan menghadapi ini sendiri.”
“Kau bisa.”
Kyle melotot. “Jangan jawab datar gitu!”
Rhea tertawa kecil dan kembali membuka laptopnya. “Serius, Kyle. Kalau dia benar-benar tertarik sama kamu, dia pasti bakal kasih tanda-tanda yang jelas. Kalau dia mulai menghindar atau cuma main-main, ya berarti bukan orang yang tepat.”
Kyle menghela napas dan menatap layar ponselnya. “Ya… mungkin kau benar. Aku tunggu aja perkembangannya.”
“Bagus.”
Kyle terdiam sejenak, lalu tiba-tiba berkata, “Tapi kalau dia ghosting, aku bakal nangis di sini.”
Rhea menutup matanya sebentar. “Silakan. Tapi aku akan pura-pura nggak kenal.”
Kyle tertawa. “Dasar, kau ini.”
Meskipun ocehan Kyle sering kali melelahkan, setidaknya keberadaannya membuat sekitar terasa sedikit lebih hidup.
Setelah berjam-jam berkutat dengan tugas di perpustakaan, Rhea akhirnya merapikan barang-barangnya. Kyle sudah lebih dulu pergi karena ada urusan lain, jadi ia sendirian saat berjalan keluar dari gedung kampus. Saat ia mengeluarkan ponselnya untuk mengecek waktu, layar ponselnya menyala, menampilkan sebuah chat dari Michael.
Miki: Sayang, kau sudah selesai kuliah?
Rhea mendesah kecil, jari-jarinya dengan cepat mengetik balasan. Ia tidak perduli Michael memanggilnya apa. Lagi pula ia pernah mendengar mahasiswi jurusan fashion sering di panggil sayang oleh Michael. Mahasiswi itu sendiri yang ngomong saat di kantin kampus.
Rhea: Baru keluar dari perpustakaan. Kenapa?
Miki: Kau lapar? Mau makan sesuatu? Atau kita berbelanja dulu? Aku ingin membeli beberapa barang.
Rhea: Belanja apa?
Miki: Hm… beberapa dekorasi, lilin aromaterapi, dan mungkin satu atau dua tanaman kecil.
Rhea berhenti berjalan sejenak. Ia sudah menduga. Sejak awal tinggal bersama Michael, ia sadar bahwa pria itu memiliki obsesi berlebihan terhadap estetika. Apartemen Michael hampir seperti showroom dekorasi. Satu sisi tampak menenangkan dan indah, tapi di sisi lain, terlalu sempurna sampai terasa seperti rumah pameran yang tak berpenghuni.
Rhea: Kita beli bahan makanan juga sekalian.
Miki: Tentu, sayang. Aku menunggumu di lobi kampus.
Mata Rhea melebar.
Rhea: Tidak perlu! Tunggu di parkiran saja.
Miki: Oh? Kenapa?
Rhea: Karena kau terlalu mencolok.
Di bayangannya, Michael yang datang ke lobi kampus dengan pakaian modis, rambut panjang hitam berkilau yang tergerai atau diikat rendah, serta senyum manisnya yang nyaris selalu palsu—itu pasti akan menarik perhatian semua orang. Rhea tidak ingin menjadi pusat gosip.
Miki: Babe, aku kan memang mencolok ke mana pun aku pergi. Apa boleh buat? 😌
Rhea: Miki, serius.
Miki: Baiklah, baiklah. Aku menunggu di parkiran. 😘
Rhea mendesah lega. Ia segera melangkah keluar dari kampus menuju area parkir, di mana ia melihat mobil Michael sudah terparkir rapi. Begitu ia mendekat, kaca jendela sisi pengemudi diturunkan, memperlihatkan Michael yang tersenyum lembut ke arahnya.
Michael mengenakan kemeja satin putih longgar dengan beberapa kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit tulang selangkanya. Rambut panjangnya tergerai rapi, berkilau seperti baru selesai ditata.
“Naiklah, honey,” katanya dengan suara lembut.
Rhea membuka pintu dan masuk ke mobil. “Tolong jangan panggil aku begitu di luar.”
Michael tertawa pelan. “Kau malu?”
“Tentu saja. Lagipula aku tidak ingin mendengar gosip aneh.”
Michael hanya tersenyum dan mulai menjalankan mobil. “Kalau begitu, ayo kita belanja.”
Rhea hanya bisa pasrah. Sepertinya, perjalanan belanja kali ini akan lebih lama dari yang ia bayangkan.
Supermarket besar di pusat kota terasa ramai sore itu. Lorong-lorongnya dipenuhi pelanggan yang sibuk memilih barang, dan suara kasir yang sibuk memindai harga terdengar di seluruh ruangan.Di antara kerumunan itu, sepasang pria dan wanita tampak sibuk dengan troli belanja mereka. Michael mendorong troli dengan gaya anggun, sesekali memiringkan kepala untuk membaca daftar belanjaan di ponselnya. Sementara Rhea berjalan di sampingnya, fokus pada barang-barang kebutuhan yang perlu mereka beli."Baiklah," Rhea membuka daftar di ponselnya, "kita mulai dengan bahan makanan dulu."Michael mengangguk. "Baik, sayang."Rhea menatapnya tajam. "Jangan panggil aku begitu di tempat umum."Michael tersenyum jahil. "Baik, Rhea~."Rhea mengabaikannya dan mulai mengambil beberapa bahan makanan. Ia memasukkan beberapa sayuran segar ke dalam troli—wortel, brokoli, bayam. Tanpa ia sadari, Michael diam-diam mengambil beberapa sayuran itu dan mengembalikann
Kantin kampus siang itu cukup ramai, tapi Rhea sudah menemukan tempat yang nyaman di sudut ruangan. Ia duduk sendirian di salah satu meja dekat jendela, menikmati seporsi nasi goreng sambil membaca buku.Suapan pertama terasa hangat dan pas di lidah. Ia melirik buku di tangannya, mencoba memahami isi bacaan tentang strategi bisnis, namun fokusnya sedikit terpecah.Baru beberapa menit menikmati ketenangan, tiba-tiba seseorang menarik kursi di depannya dengan kasar.Braaakk!Rhea bahkan tidak perlu mengangkat wajah untuk tahu siapa yang baru datang.“Kyle.”“Hai, sayang,” sapa Kyle dengan suara ceria, langsung menjatuhkan tubuhnya di kursi seolah itu miliknya.Rhea hanya mendesah pelan, tetap membaca bukunya dan tidak menggubris tingkah laku temannya yang terlalu bersemangat.Kyle mengamati nasi goreng di hadapan Rhea dengan tatapan penuh minat. “Hmm… wangi sekali.”Rhea menoleh sekilas. “Beli sendiri sana!”
Setelah perjalanan dari kampus yang cukup panjang, akhirnya Rhea dan Kyle sampai di apartemen Kyle. Begitu pintu terbuka, pemandangan khas apartemen Kyle langsung menyambut Rhea—baju berserakan di sofa, tumpukan buku di meja, dan beberapa gelas kosong di sudut ruangan.Rhea mendecak pelan sebelum akhirnya melangkah masuk.“Tidak ada yang berubah sejak terakhir aku ke sini,” katanya sambil melirik ke sekitar. “Masih semrawut.”Kyle tertawa kecil dan meletakkan tasnya di kursi. “Hei, ini bukan semrawut, ini artistik. Aku menyebutnya ‘organized chaos.’”Rhea mendengus sebelum menjatuhkan diri ke sofa. “Kalau ini ‘organized,’ aku tidak mau tahu apa yang disebut ‘disorganized’ olehmu.”Kyle hanya mengangkat bahu sebelum berjalan ke dapur kecilnya. “Mau minum sesuatu? Aku punya kopi, teh, dan mungkin ada jus yang hampir kadaluarsa.”Rhea menatap Kyle dengan tatapan datar. “Air putih saja.”Kyle mengangkat alis. “Boring.”Namun, ia te
Langit siang itu tertutup awan tipis, membuat suasana di taman kampus terasa teduh. Angin sepoi-sepoi bertiup, menggoyangkan dedaunan pohon yang menaungi bangku taman tempat Rhea duduk. Dengan santai, ia membuka bukunya, mencoba membaca di sela waktu kosong sebelum kelas berikutnya.Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.Tiba-tiba, suara langkah cepat mendekatinya, disusul suara yang sangat familiar."Oi, Rhea!"Rhea hanya mendongak sekilas, melihat Kyle yang sudah menjatuhkan dirinya di bangku sebelahnya dengan napas sedikit tersengal."Tumben nggak di kantin," komentar Kyle sambil mengatur napas.Rhea menutup bukunya sebentar. "Lagi nggak pengen makan berat. Lagipula, suasana di sini lebih tenang."Kyle mendengus kecil. "Makanya aku cari-cari, ternyata kamu di sini."Ia menyandarkan punggungnya ke bangku dan mendongak ke atas, menatap dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin. Beberapa saat mereka hanya duduk dalam d
Minggu pagi di apartemen mereka terasa lebih tenang dari biasanya. Rhea baru saja selesai sarapan dan sedang membaca buku di sofa ketika bel apartemen berbunyi."Siapa pagi-pagi begini?" gumam Rhea sambil melirik jam di dinding.Michael yang baru keluar dari kamar, masih mengenakan piyama satin berwarna pastel, langsung bergegas ke pintu. "Aku yang bukain."Rhea tidak terlalu peduli dan kembali fokus pada bukunya. Namun, begitu pintu terbuka, suara berat seorang pria terdengar."Miki! Lama nggak ketemu!"Rhea yang tadinya tidak tertarik langsung melirik ke arah pintu. Seorang lelaki dengan tubuh tinggi, gagah, dan atletis berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan kaos hitam polos yang membentuk otot-ototnya dengan sempurna, dipadukan dengan celana jeans yang memperlihatkan kakinya yang panjang dan kokoh. Rambutnya pendek rapi, dengan rahang tegas dan sorot mata yang tajam.Satu hal yang langsung disadari Rhea—lelaki ini benar-benar memili
Sore itu, Rhea sedang duduk di depan cermin sambil menatap dirinya sendiri. Tangannya terangkat ke dagu, wajahnya tampak serius seolah tengah memikirkan sesuatu yang berat.Michael, yang baru saja keluar dari kamarnya, berhenti sejenak melihat ekspresi Rhea yang tidak biasa itu. Dengan penasaran, ia berjalan mendekat dan bersandar di kusen pintu."Kamu kenapa?" tanyanya.Rhea menoleh ke arah Michael, lalu menghela napas. "Aku bingung mau pakai baju apa nanti malam."Michael mengangkat alisnya. "Oh, itu aja? Pakai dress simpel saja sudah cukup."Rhea terdiam. Wajahnya mendadak sulit ditebak.Michael menunggu, tapi Rhea tidak juga memberikan respons."Ada masalah?" Michael bertanya lagi, kali ini sedikit lebih waspada.Rhea akhirnya membuka mulut. "Aku nggak punya dress."Michael mengedip. "Apa?""Aku nggak punya dress," ulang Rhea dengan nada yang lebih santai, seolah hal itu bukan masalah besar.Michael men
Michael duduk di sofa salon dengan ekspresi bosan. Sudah hampir satu jam ia menunggu Rhea yang entah sedang diapakan di dalam. Pikirannya sempat terlintas, apa perlu selama ini hanya untuk makeup? Bukankah Rhea bilang dia mau yang natural saja?Sambil menghela napas, ia menggulir layar handphonenya, mengecek email dan beberapa pesan masuk. Namun, tak ada yang cukup menarik untuk mengusir kebosanannya.Beberapa pegawai salon mondar-mandir, sesekali meliriknya. Mungkin karena ia pria satu-satunya di ruangan ini. Michael tidak peduli. Ia hanya ingin Rhea cepat selesai dan mereka bisa pergi makan malam.Ia mulai mengetuk-ngetukkan jarinya ke paha dengan ritme tak sabar. Saat ia hendak membuka aplikasi lain di ponselnya, ia merasakan ada seseorang berdiri di depannya.Refleks, Michael mengangkat wajah.Dan di sanalah Rhea berdiri.Michael berkedip beberapa kali. Ia nyaris tak mengenali gadis yang berdiri di hadapannya.Rhea, yang biasanya
Setelah makan malam di restoran mewah itu, Michael dan Rhea berjalan santai menuju parkiran. Udara malam terasa sejuk, dan langit yang cerah dihiasi bintang-bintang kecil yang berkilauan. Rhea menghirup udara dalam-dalam, merasa sedikit lebih rileks setelah pengalaman makan malam yang cukup mendebarkan baginya.Michael berjalan di sampingnya dengan langkah santai, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Matanya melirik Rhea sesekali, melihat ekspresi gadis itu yang tampaknya lebih tenang dibanding sebelumnya.Rhea menoleh ke arahnya. “Aku nggak akan bertanya lagi soal kejutan, jadi kalau memang nggak ada, bilang aja.”Michael terkekeh. “Siapa bilang nggak ada?”Rhea berhenti melangkah dan menatap Michael dengan kening berkerut. “Hah?”Michael juga berhenti dan mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah kotak kecil berwarna biru tua. Ia memegangnya di antara jari-jarinya, lalu menatap Rhea dengan ekspresi
Rhea duduk di tepi ranjang, menggigit bibirnya ragu.Di tangannya, ponsel sudah menampilkan nama Kyle di layar.Sebenarnya, ia tidak terlalu ingin datang ke pesta malam ini.Tapi kalau ini satu-satunya cara untuk mengakhiri kesalahpahaman Michael, maka ia harus melakukannya.Akhirnya, ia menarik napas dalam dan menekan tombol panggil.Tak butuh waktu lama sebelum suara Kyle terdengar dari seberang."Halo? Rhea? Ada apa tiba-tiba telepon?"Rhea tersenyum kecil."Seperti biasa, dia selalu antusias.""Kyle, tentang pestamu malam ini... Masih bisa datang?"Hening sebentar.Lalu, terdengar suara teriakan Kyle di seberang sana."HAH?! RHEA?! KAMU MAU DATANG?!"Rhea menjauhkan ponselnya dari telinga karena volume suara Kyle yang menggelegar.Ia bisa membayangkan Kyle pasti sedang melompat-lompat sekarang."Iya, iya... Aku akan datang. Jadi masih bisa, kan?"
Pagi itu, suasana di apartemen terasa berbeda.Rhea bangun jauh lebih pagi dari biasanya. Matahari bahkan belum sepenuhnya muncul di ufuk timur saat ia sudah sibuk mondar-mandir di dapur.Ia tidak bisa tidur semalaman.Setiap kali memejamkan mata, suara Michael kembali terngiang di kepalanya."Aku menyukaimu, Rhea."Tiga kata sederhana, tapi cukup untuk membuat pikirannya tidak bisa tenang.Rhea mencoba meyakinkan dirinya kalau ia hanya terlalu banyak berpikir. Tapi semakin ia mencoba mengabaikan, semakin kalimat itu terasa nyata.Jadi, alih-alih berguling di tempat tidur semalaman, ia akhirnya bangkit dan memilih mengalihkan pikirannya dengan membuat sarapan.Tangannya sibuk mengocok telur, tapi pikirannya melayang entah ke mana."Aku menyukaimu, Rhea."Rhea menggigit bibir bawahnya dan mencoba mengusir suara itu dari kepalanya.Tidak mungkin.Mereka ini hanya terikat dalam pernikahan kontr
Pagi itu, Rhea masih merasa tidak bersemangat.Setelah "pertengkaran" kecilnya dengan Michael semalam, suasana di apartemen masih terasa canggung. Mereka tidak benar-benar bertengkar dalam arti sebenarnya, tetapi ada sesuatu di antara mereka yang berubah.Dan Rhea tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.Ia hanya ingin waktu berlalu begitu saja.Sambil duduk di sofa, ia memeluk bantal dan memainkan ponselnya tanpa benar-benar memperhatikannya. Suasana apartemen sunyi. Michael sedang di ruang kerjanya, mungkin sibuk dengan proyeknya. Biasanya, ia akan keluar untuk sekadar minum kopi dan mengajaknya bicara, tapi pagi ini Michael tetap berada di dalam ruangannya.Rhea mendesah.Ponselnya tiba-tiba bergetar, membuatnya sedikit terlonjak. Ia melihat layar dan menemukan nama Kyle muncul di sana.Dengan malas, ia mengangkatnya.“Ya, ada apa?” tanyanya tanpa energi.“Kenapa suaranya lemes gitu?” suara Kyle
Rhea tidak tahu sejak kapan ia mulai memperhatikan hal-hal kecil tentang Michael.Dulu, ia selalu cuek. Ia menjalani hari-harinya tanpa terlalu memikirkan keberadaan Michael selain dalam konteks pernikahan kontrak mereka. Mereka berbagi ruang, berbagi meja makan, berbagi percakapan ringan yang biasanya hanya sebatas basa-basi.Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda.Michael masih bersikap baik seperti biasanya. Ia tetap tersenyum saat mereka bertatap muka, tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan Rhea dengan suara tenang seperti tidak ada yang berubah.Tapi Rhea merasakan sesuatu yang lain.Sikap Michael sekarang terasa... lebih dingin.Tidak secara terang-terangan, tapi cukup untuk membuat Rhea sadar.Jika biasanya Michael akan dengan santai mengomentari film yang mereka tonton bersama, kini ia lebih banyak diam. Jika biasanya ia akan menanggapi ocehan Rhea dengan humor sarkastik khasnya, sekarang ia hanya tersenyum samar dan menjawab se
Malam itu, apartemen terasa lebih sepi dari biasanya. Michael baru saja pulang setelah seharian berkutat dengan desain untuk proyek terbarunya. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya masih penuh dengan berbagai konsep yang belum terselesaikan.Namun, begitu masuk ke dalam apartemen, sesuatu terasa janggal.Sepatu Rhea tidak ada di dekat pintu. Ruangan juga tampak terlalu rapi—tidak ada suara dari dapur, tidak ada bantal berserakan di sofa seperti biasanya jika Rhea sedang bersantai.Michael meletakkan tasnya di meja dan berjalan ke kamar. Kosong.Dahi Michael mengernyit. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir pukul sebelas malam.Rhea pergi ke mana?Ia merogoh sakunya, mengambil ponsel, lalu mencoba menelepon Rhea.Tuut... Tuut...Tidak diangkat.Michael menggigit bibirnya, menekan ulang kontak Rhea. Kali ini setelah beberapa kali nada sambung, akhirnya panggilan diterima."Halo, Michael?" S
Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah gorden, menciptakan bias keemasan di dalam kamar. Aroma lembut linen yang bersih bercampur dengan wangi samar teh yang masih tersisa dari semalam.Michael mengerjapkan matanya perlahan, tubuhnya terasa jauh lebih ringan setelah tidur nyenyak. Biasanya, ia akan terbangun lebih awal, tetapi pagi ini berbeda.Sudah hampir jam sembilan.Ia jarang sekali tidur selama ini, terlebih ketika deadline proyek sedang menghimpitnya. Namun, tubuhnya seolah memaksanya untuk beristirahat lebih lama setelah kejadian tadi malam.Michael menghela napas, lalu menoleh ke samping.Di sana, Rhea masih tertidur.Wanita itu berbaring dengan posisi menyamping, wajahnya tampak begitu damai dalam lelapnya. Rambutnya sedikit berantakan, beberapa helaian jatuh ke pipinya, tetapi itu justru membuatnya terlihat lebih alami. Napasnya teratur, dadanya naik turun dengan ritme yang menenangkan.Michael memperhatikan Rhea dal
Malam minggu biasanya adalah waktu yang nyaman bagi Rhea untuk menghabiskan waktu di apartemen. Entah membaca novel, menonton film, atau sekadar bermalas-malasan sambil menikmati teh hangat. Namun, malam ini sedikit berbeda."Ayo, Rhea! Aku butuh seseorang untuk menemani!" suara Kyle terdengar dramatis di telepon."Aku malas keluar, Kyle," sahut Rhea, duduk bersandar di sofa dengan selimut menutupi kakinya."Oh, ayolah! Ini bukan hanya tentang aku, tapi juga Denny! Dia akan tampil malam ini, dan aku tidak bisa sendiri di antara orang-orang yang sibuk memujanya!"Rhea mendesah. "Aku tetap bisa mendukungnya dari rumah, kau tahu?""TIDAK! Aku butuh seseorang untuk diajak menggosip sambil menunggu giliran Denny tampil. Please?"Rhea masih ragu, tapi suara memohon Kyle di ujung telepon membuatnya mengalah. "Baiklah… tapi jangan berharap aku akan bersorak heboh atau sesuatu seperti itu.""YES! Aku akan menjemputmu jam tujuh! Jangan p
Malam itu, suasana di apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya. Rhea sedang bersantai di ruang tamu, mengenakan sweater longgar sambil menonton acara TV yang sebenarnya tidak terlalu ia perhatikan. Pikiran Rhea masih tertuju pada telepon Michael beberapa hari lalu—cara bicara Michael yang terdengar lembut, nada suaranya yang sedikit bercanda, dan tawa kecil yang membuatnya terlihat… berbeda.Dan sekarang, seseorang datang.Tepat pukul sepuluh malam, suara bel apartemen berbunyi.Rhea menoleh ke arah pintu dengan alis terangkat. Michael, yang tadinya berada di dapur, melangkah lebih dulu untuk membukanya. Begitu pintu terbuka, seorang pria bertubuh tinggi dan maskulin berdiri di sana.Dia mengenakan jaket kulit hitam, rambutnya sedikit berantakan dengan gaya kasual yang tetap terlihat rapi. Wajahnya tajam, dengan rahang kokoh yang membuatnya terlihat karismatik. Ada aura percaya diri dalam gerak-geriknya, seperti seseorang yang tahu bagaiman
Malam itu, Rhea berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Ia mengenakan sweater rajut berwarna beige yang nyaman dipadukan dengan celana jeans hitam. Ia tidak ingin tampil terlalu mencolok, mengingat pesta ulang tahun Kyle pasti akan dipenuhi dengan teman-temannya yang sudah dikenal sebagai orang-orang nyentrik.Michael yang baru saja keluar dari kamar mandi melirik ke arah Rhea yang masih berdiri di depan cermin. "Kamu nggak ganti baju lagi?" tanyanya, mengamati pakaian Rhea yang terbilang sederhana."Kenapa?" Rhea menoleh. "Pakai baju ini aja udah cukup, kan?"Michael mengangkat alis. "Pesta Kyle biasanya nggak sesederhana yang kamu pikir. Kalau kamu datang pakai outfit itu, mungkin kamu bakal kelihatan paling 'normal' di sana."Rhea mendesah. "Ya udah, biarin aja. Aku nggak punya niat buat tampil mencolok juga."Michael hanya mengangkat bahu. "Terserah kamu. Jangan lupa bawa hadiah buat Kyle."Rhea mengambil kantong kertas yang s