Dirga baru saja kembali dari kantornya ketika ia mendapati sebuah pemandangan tak biasa di ruang tamu rumahnya. Dion dan Ryan sedang duduk bersama di sofa, berbicara santai. Dirga mengernyit heran, tak menyangka akan melihat Ryan di rumahnya. Kalau untuk Dion ia memang sudah mendapat kabar jika Dion sudah dikirim oleh kakeknya untuk stay di rumahnya. “Kalian sudah kenal?” tanyanya sambil melepas jas kerjanya dan melangkah masuk.Ryan menatap Dirga yang baru masuk ke dalam, "aku pikir kau ada di rumah, tapi ternyata kau berada di kantor, jadi Saat Aku berkunjung ke rumahmu untuk satu hal, aku bertemu dengan Dion." Dion tersenyum tipis, mengonfirmasi. Dirga mengangguk pelan, meski rasa herannya belum sepenuhnya hilang. “Baiklah, kalau begitu. Mari kita pindah ke ruang kerjaku. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan kalian.”Ketiganya bergerak menuju ruang kerja Dirga yang terletak di sudut rumah. Ruangan itu nyaman dengan rak buku besar di salah satu dinding, meja kayu besar di t
Malam di rumah Dirga begitu sunyi. Lampu-lampu di luar rumah sudah dimatikan, hanya menyisakan lampu taman yang temaram. Angin malam berhembus lembut, membawa suasana tenang ke seluruh sudut rumah. Di kamar utama, Amora dan Dirga masih terjaga. Mereka duduk bersandar di kepala tempat tidur dengan selimut menyelimuti tubuh mereka, sementara tangan Dirga memeluk pundak Amora dengan erat.Amora menatap wajah suaminya dengan sorot mata yang penuh rasa khawatir. Ia mendesah pelan, mencoba menyusun kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan isi hatinya. “Mas,” ia memulai dengan suara lembut. “Apa menurut Mas semuanya akan baik-baik saja? Aku tahu Mas selalu mencoba meyakinkanku, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan takut ini.”Dirga menunduk sedikit, menatap mata istrinya dengan penuh perhatian. “Kamu takut soal Mami?” tebaknya sambil mengusap punggung tangan Amora yang ada di pangkuannya.Amora mengangguk pelan. “Mami belum juga menerima aku. Bahkan setelah kita menikah, setelah Aksa lah
Sementara itu, Di dalam kamarnya yang temaram, Kiara duduk bersila di atas tempat tidurnya. Di tangannya, ponselnya masih menyala, menampilkan ruang obrolan dirinya dengan Dion. Tatapannya lekat pada layar, mengulang-ulang pesan terakhir yang mereka tukar. Perasaan aneh namun membahagiakan bergejolak di dadanya, seolah ada ribuan kupu-kupu beterbangan di sana.Kiara memejamkan mata, mencoba mengendalikan euforia yang meluap-luap. Ia sangat ingin berteriak histeris, meluapkan kebahagiaannya saat ini. Tapi ia tahu itu bukan ide yang bagus, terutama karena Bi Susi yang sudah tertidur. Sebagai gantinya, ia membekap mulutnya dengan bantal, menahan suara tawa kecil yang lolos dari bibirnya.Ia kembali menatap layar ponselnya, jari-jarinya menyusuri huruf-huruf pesan Dion yang begitu sederhana namun terasa penuh makna baginya. "Dia peduli padaku," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Kalimat itu terdengar begitu ajaib di telinganya, membuat senyum tak pernah lepas dari wajahnya.Tan
Satu bulan sudah berlalu sejak Dion mulai menjaga rumah Dirga. Situasi di rumah terasa damai, tanpa tanda-tanda mencurigakan yang sempat membuat Dirga merasa khawatir sebelumnya. Selama waktu itu pula, Dion menjalankan tugasnya dengan baik, membuat seluruh penghuni rumah merasa aman. Namun, karena tidak ada ancaman nyata yang muncul, Dirga mulai sedikit lengah.Hari itu, Dirga meminta Dion untuk menemaninya ke kantor. "Hanya hari ini saja, Dion. Aku perlu kamu di sana untuk urusan penting," ujar Dirga saat sarapan pagi. Dion awalnya ragu, tetapi karena situasi di rumah terlihat baik-baik saja, ia setuju.Amora tidak terlalu memikirkan kepergian Dirga dan Dion. Setelah memastikan Aksa sudah mandi dan sarapan, ia menghabiskan waktu di ruang keluarga sambil mengawasi putranya bermain. Kiara juga terlihat sibuk mengerjakan sesuatu di meja samping ruang tamu. Suasana rumah terasa tenang, hingga sebuah mobil berhenti di depan rumah.Amora berjalan menuju pintu dan membukanya. Ia terkejut me
Di dalam rumah, suasana tampak tenang. Amora dan Kiara sedang berada di dapur, sibuk menyiapkan makanan. Sementara itu, Bi Susi sedang menemani Aksa yang tengah bermain bersama Nina di taman samping rumah. Kiara, yang merasa lapar, melihat makanan yang dibawa oleh Nina—nasi goreng udang yang tampaknya sangat menggoda selera. Setelah memindahkan beberapa sendok nasi goreng ke dalam piring kecil, Kiara tak sabar untuk mencicipinya.Dengan lahapnya, Kiara mulai menyantap nasi goreng tersebut. Ia merasa nikmat, aroma udang yang sedap memanjakan hidungnya. Tanpa berpikir panjang, ia menyendok lagi nasi goreng dan memasukkannya ke mulut. Namun, beberapa menit setelah menikmati makanan itu, Kiara mulai merasa ada yang tidak beres.Perut Kiara mulai terasa aneh. Rasa mual datang begitu tiba-tiba, membuatnya berhenti sejenak dari aktivitas makannya. Kiara mencoba untuk menenangkan diri, tetapi perutnya semakin terasa sakit. Ia merasa seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya, dan tak lama
Dion sampai di rumah sakit dengan kecepatan luar biasa, bahkan beberapa perawat yang sedang berjaga di IGD langsung menghampiri begitu melihat pria itu turun dari mobil sambil menggendong seorang wanita yang tak sadarkan diri. "Tolong! Dia butuh pertolongan segera!" seru Dion, suaranya penuh dengan kekhawatiran. Wajah Dion memucat, tangannya sedikit gemetar saat menyerahkan Kiara kepada petugas medis. Perasaan panik benar-benar menguasainya. Hatinya terasa seperti dihimpit batu besar setiap kali menatap wajah Kiara yang pucat.Para perawat segera membawa Kiara masuk ke dalam ruangan tindakan darurat, sementara Dion tetap berada di luar, menunggu dengan perasaan tak karuan. Napasnya memburu, pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan buruk. Ia tak pernah merasa setakut ini sebelumnya. Tangannya terus meremas ponselnya, mempertimbangkan untuk menghubungi Dirga, tapi ia tahu Dirga sudah mempercayakan Kiara padanya. Dia harus memastikan semuanya baik-baik saja terlebih dahulu.Tak la
Dirga memandang langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Malam sudah larut, namun matanya tak kunjung terpejam. Sesekali, ia melirik ke arah Amora yang sudah tertidur di sisinya. Wajah istrinya tampak tenang dalam tidur, tapi Dirga tahu di balik ketenangan itu ada luka yang amat dalam. Luka yang, tanpa bisa ia hindari, disebabkan oleh maminya sendiri.Sejak kejadian Kiara diracun, pikiran Dirga tak pernah benar-benar tenang. Ia merasa cemas setiap saat, memikirkan apa langkah selanjutnya yang mungkin akan dilakukan oleh Maminya. Apa yang membuat semuanya lebih berat adalah kenyataan bahwa Maminya sama sekali tidak bisa dihubungi sejak hari itu. Dirga sudah mencoba menelepon berkali-kali, namun selalu berakhir di kotak suara. Bahkan pesan singkat yang ia kirimkan pun tak pernah dibalas.Dirga menarik napas panjang, dadanya terasa sesak. Ia sangat menyayangi maminya, itu tidak pernah berubah. Tapi apa yang dilakukan Maminya akhir-akhir ini sudah benar-benar melewati batas. Dirga mer
Ryan berdiri di luar pintu apartemen Silva, tangannya sudah terulur untuk menekan tombol lift. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya berhenti. Ia menarik napas dalam, merasakan perasaan campur aduk di dadanya. Dengan langkah pelan, ia berbalik, berjalan kembali ke pintu apartemen Silva, dan menekan bel pada pintu sekali lagi. Ketika Silva membuka pintu, wajahnya menunjukkan kebingungan. "Ryan? Ada apa lagi?" tanyanya.Kali ini, Ryan tidak menunjukkan emosi yang tajam seperti sebelumnya. Ia memasuki apartemen dengan sikap yang lebih tenang, bahkan mencoba tersenyum kecil untuk meredakan ketegangan. "Aku hanya ingin bicara kembali padamu, Silva," katanya. "Tadi aku terlalu kasar, maafkan aku. Aku hanya benar-benar ingin tahu apakah kamu tahu sesuatu tentang Tante Nina atau apa yang dia rencanakan setelah kejadian ini. Pasalnya Dirga merasa ini ancaman. Dan setelah apa yang aku dapatkan saat di Surabaya, aku pikir kau terlibat." Ucap Ryan sembari menatap Silva dengan tenang Si
Kehamilan Silva berjalan lancar, meski seperti kebanyakan wanita hamil, ia juga mengalami morning sickness yang cukup parah. Setiap pagi, Ryan selalu membantu istrinya menghadapi mual dan muntah yang tidak bisa dihindari. Ia memastikan Silva tetap terhidrasi dengan memberikan air jahe hangat yang bisa membantu meredakan rasa mualnya. Namun, hal yang paling membuat Ryan pusing adalah ketika Silva mulai mengidam. Keinginan Silva seringkali datang tiba-tiba, dan bukan hal yang biasa. Mulai dari rujak pedas tengah malam hingga kue-kue tradisional yang sulit ditemukan, semua itu harus Ryan usahakan demi membahagiakan istrinya.Suatu malam, Silva tiba-tiba membangunkan Ryan yang sedang tertidur lelap. Dengan wajah memelas, ia berkata, "Sayang, aku pengen makan durian." Ryan yang setengah sadar hanya bisa mengernyitkan dahi. "Durian? Sekarang? Sayang, ini sudah hampir tengah malam," jawabnya sambil melirik jam di meja. Tapi melihat wajah Silva yang tampak begitu menginginkan hal itu, Ryan
Dua bulan setelah pernikahan mereka, kehidupan Ryan dan Silva berjalan begitu tenang dan bahagia. Tidak ada lagi bayangan Adrian yang mengusik, dan masalah-masalah yang dulu sempat menghantui mereka kini hanya menjadi kenangan buruk yang semakin memantapkan hubungan mereka. Pagi itu, Silva bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam tubuhnya—mual ringan dan rasa lelah yang tidak biasa. Selain itu, ia menyadari bahwa siklus bulanannya terlambat beberapa hari. Rasa penasaran langsung menggelitik pikirannya.Setelah memastikan Ryan masih tertidur lelap di kamar, Silva memutuskan untuk memeriksa hal itu sendiri. Ia mengambil tes kehamilan yang sudah ia simpan sejak satu bulan yang lalu. Tangannya sedikit gemetar saat mencelupkan alat itu ke dalam sampel yang ia ambil. Beberapa menit menunggu terasa seperti seabad baginya. Ketika hasil akhirnya keluar, dua garis merah muncul di alat itu, jelas dan nyata. Silva terdiam beberapa saat, mencoba mencerna kenyataan
Pagi itu, Tuan Wijaya melangkah masuk ke ruang kerja Dirga dengan langkah yang terasa berat. Pria paruh baya itu membawa beban yang begitu besar di pundaknya. Wajahnya yang biasanya penuh dengan wibawa kini tampak suram. Dirga yang sedang memeriksa dokumen di mejanya itu dibuat terganggu dengan kehadiran sekretarisnya yang memberi kabar jika ada tamu yang ingin bertemu dengan Dirga di luar. Awalnya Dirga sedikit ragu namun akhirnya ia mengizinkan tamu tersebut untuk masuk.Saat suara ketukan pintu terdengar Dirga pun langsung mengangkat kepala ketika melihat tamunya. "Tuan Wijaya?" tanyanya, setengah terkejut. Tamu ini adalah seseorang yang jarang sekali mau menemui orang lain terlebih dahulu. "Silakan duduk," sambung Dirga sembari mengisyaratkan kursi di depannya. Tuan Wijaya tersenyum tipis, lebih seperti usaha untuk menyembunyikan rasa malunya.Setelah duduk, Tuan Wijaya langsung membuka pembicaraan tanpa basa-basi. "Dirga, aku datang ke sini bukan hanya sebagai pemimpin perusaha
Adrian duduk di kursi kantornya dengan wajah yang penuh emosi. Berkas-berkas laporan keuangan yang berserakan di mejanya menjadi bukti nyata kehancuran yang tengah melanda perusahaannya. Sementara itu, Tuan Wijaya, ayah Adrian, tampak berdiri di depan jendela besar ruangan tersebut dengan wajah penuh kekhawatiran. “Adrian, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa para investor kita tiba-tiba menarik diri tanpa alasan yang jelas?” tanyanya dengan nada tajam. Adrian hanya menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya. “Aku sedang mencoba mencari tahu, Ayah. Tapi ini semua terjadi begitu cepat. Aku yakin ini bukan kebetulan,” jawabnya dengan suara rendah namun penuh amarah.Adrian merasa ada sesuatu yang tidak beres. Perusahaan mereka, yang selama ini berdiri kokoh, kini berada di ambang kehancuran. Salah satu manajer keuangan masuk ke ruangan dengan raut wajah cemas, membawa kabar yang semakin memperburuk suasana. “Pak Adrian, maaf mengganggu. Kami baru saja menerima kabar bahwa bebera
Malam itu, setelah semua tamu pulang dan suasana pesta perlahan mereda, Ryan dan Silva akhirnya masuk ke kamar yang telah disiapkan khusus untuk mereka. Kamar itu begitu hangat, dengan lilin-lilin yang menyala lembut dan bunga mawar yang tersebar di beberapa sudut ruangan. Silva berjalan pelan, matanya menyapu setiap sudut kamar dengan ragu-ragu. Gaun pengantinnya masih dikenakan, membuatnya terlihat seperti sosok putri di negeri dongeng. Sementara itu, Ryan berdiri di dekat pintu, memandangi istrinya dengan senyum kecil yang tidak bisa ia sembunyikan. "Kamu terlihat cantik sekali malam ini," bisik Ryan, membuat wajah Silva memerah.Silva memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan rasa malunya. "Kamu terlalu sering memujiku hari ini," jawabnya pelan. Ryan melangkah mendekat, melepaskan jasnya dan menggantungnya di kursi dekat tempat tidur. "Aku hanya mengatakan apa yang aku lihat," balasnya sambil menatap Silva dengan lembut. Malam itu terasa begitu berbeda, ada kehangatan yang me
Pagi itu, udara terasa segar di villa yang terletak di daerah pegunungan. Silva sedang duduk di depan meja rias dengan wajah yang dihiasi senyum tipis. Di belakangnya, seorang perias sedang sibuk menyempurnakan make-up-nya. Gaun pengantin berwarna putih dengan detail renda yang indah tergantung di dekat jendela, memantulkan sinar matahari pagi. Silva menatap pantulan dirinya di cermin, mencoba menenangkan debaran jantungnya. "Nona, Sepertinya kau terlihat sangat gugup. Cobalah untuk menenangkan diri. Sebuah pernikahan itu memang mendebarkan." Ucapnya.Silva tersenyum kikuk. "Aku tak tahu rasanya akan sungguh segugup ini. Supercar dari kebun kupu-kupu yang saat ini berterbangan dalam perutku." Jawabnya yang langsung membuat penata rias tersebut tertawa. "Dulu saat aku menikah, aku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang gak nona rasakan. Jantungku bahkan berdegup tak karuan, tubuhku panas dingin dan keringat dingin keluar dari pori-pori wajahku. Tapi satu hal yang membuatku ban
Begitu orang tua Adrian meninggalkan rumah, suasana di ruang tamu keluarga Silva terasa sangat tegang. Ayah Silva menyandarkan tubuhnya di sofa, mencoba menenangkan diri, sementara ibu Silva tampak mondar-mandir dengan ekspresi cemas. "Mereka benar-benar tidak menyerah, yah? Aku bahkan tidak tahu harus berkata apa tadi," ucap ibu Silva dengan nada bergetar. Ayah Silva menghela napas panjang, mencoba meredam amarah yang sejak tadi ia tahan. Kekhawatirannya terpusat pada Silva. Ia tak ingin Adrian nekat pada anaknya itu yang membuat Silva berada dalam masalah."Aku akan menelepon Ryan. Dia harus tahu tentang ini," katanya sambil mengambil ponselnya dari meja. Ibu Silva berhenti sejenak, menatap suaminya dengan mata penuh kekhawatiran. "Kamu yakin mas kita perlu melibatkan Ryan? Aku tidak ingin masalah ini semakin besar, apalagi Ryan dan anak kita akan segera menikah." ucapnya ragu. "Justru karena ini semakin serius, kita perlu memberitahunya, apalagi perihal Adrian ini Ryan juga sud
Pagi itu, meja makan keluarga Adrian diisi suasana yang berbeda. Biasanya, sarapan mereka dipenuhi dengan obrolan ringan tentang pekerjaan atau rencana hari itu, tapi kali ini topiknya berpusat pada satu nama: Silva. Adrian duduk dengan raut wajah serius, tatapannya kosong saat menyendok sarapannya. Ibunya, yang duduk di sebelahnya, memecah keheningan. "Adrian, mungkin kita harus mencoba cara lain. Bagaimana kalau kita menemui orang tua Silva langsung?" ucapnya hati-hati, berharap tidak memancing emosi putranya. Adrian berhenti mengunyah, menatap ibunya dengan sedikit ketertarikan. "Ayah sama bunda yakin mereka tahu di mana Silva dan akan memberitahukan pada kita?" tanyanya dingin. Sang ayah, yang duduk di ujung meja, menimpali, "Kalau mereka tidak tahu, siapa lagi yang tahu? Lagipula, mereka pasti tidak akan bisa menutupinya terlalu lama. Lambat laun semua akan terbongkar." Ucap pria paruh baya tersebut.Adrian memandang kedua orang tuanya dengan penuh harap, seolah menemukan sece
Ryan sedang sibuk mengurus semua dokumen dan administrasi yang dibutuhkan untuk mendaftarkan pernikahannya dengan Silva. Ia ingin memastikan semuanya berjalan lancar tanpa hambatan sedikit pun. Meski hari pernikahan itu akan dilaksanakan secara sederhana sesuai permintaan Silva, Ryan tak ingin mengurangi makna dari momen sakral tersebut. Dengan bantuan Dirga yang memastikan keamanan acara dan Amora yang mendampingi Silva dalam setiap persiapannya, Ryan merasa tenang. Ia sangat menghargai dukungan keluarga Dirga, terlebih hubungan Silva dan Amora yang semakin dekat membuat segala sesuatunya terasa lebih ringan.Di tempat lain, Silva baru saja tiba di sebuah butik bersama Amora. Mereka ditemani dua orang penjaga yang ditugaskan oleh Ryan untuk memastikan keamanan Silva. Amora, dengan gaya cerianya, segera menarik tangan Silva ke rak-rak gaun pengantin yang berjejer dengan desain menawan. "Kita harus pilih yang paling cantik! Ryan pasti bakal terpukau melihatmu," ujar Amora sambil terkek