Ryan berdiri di luar pintu apartemen Silva, tangannya sudah terulur untuk menekan tombol lift. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya berhenti. Ia menarik napas dalam, merasakan perasaan campur aduk di dadanya. Dengan langkah pelan, ia berbalik, berjalan kembali ke pintu apartemen Silva, dan menekan bel pada pintu sekali lagi. Ketika Silva membuka pintu, wajahnya menunjukkan kebingungan. "Ryan? Ada apa lagi?" tanyanya.Kali ini, Ryan tidak menunjukkan emosi yang tajam seperti sebelumnya. Ia memasuki apartemen dengan sikap yang lebih tenang, bahkan mencoba tersenyum kecil untuk meredakan ketegangan. "Aku hanya ingin bicara kembali padamu, Silva," katanya. "Tadi aku terlalu kasar, maafkan aku. Aku hanya benar-benar ingin tahu apakah kamu tahu sesuatu tentang Tante Nina atau apa yang dia rencanakan setelah kejadian ini. Pasalnya Dirga merasa ini ancaman. Dan setelah apa yang aku dapatkan saat di Surabaya, aku pikir kau terlibat." Ucap Ryan sembari menatap Silva dengan tenang Si
Siang ini Dirga kembali bermaksud untuk menemui maminya di rumah. Ia belum selesai dengan rasa penasarannya dan kali ini ia ingin mencoba lagi setelah berkali-kali ia gagal bertemu dengan wanita yang sudah melahirkanya itu.Kali ini Dirga mengenakan jasa sopir di kantornya. Ia tak ingin menyetir sendiri. Dan kali ini juga ia tak menghentikan mobilnya tepat di depan rumah orang tuanya, melainkan sedikit jauh dari sana agar maminya tidak mengetahui kedatangannya."Kamu tunggu di sini." Perintah Dirga pada sopirnya itu. Setelahnya ia turun dari mobil dan melangkah tegas menuju rumahnya yang berada beberapa langkah saja dari mobil yang ia parkirkan. Dirga masuk ke dalam. Dia bisa melihat mobil maminya ada di garasi. Dengan langkah pasti ia kembali melangkah masuk ke pintu utama. Saat pintu itu ia buka, matanya langsung tertuju pada maminya yang sedang bersantai di ruang tv. Sebelum melangkah lebih dalam, yang menenangkan pikirannya terlebih dahulu. Menstabilkan emosinya agar tak meledak
Suasana di kamar Kiara sangat sunyi walaupun ada sepasang anak cucu Adam di dalamnya. Setelah ciuman panas mereka berakhir, kecanggungan langsung terjadi namun, Dion menarik Kiara untuk duduk di sofa yang ada di kamar gadis tersebut. Pria itu tak ingin kecemplungan itu berlangsung terlalu lama jadi Dion meminta Kiara untuk duduk di sofa tersebut sementara dirinya langsung berbaring dan menjadikan Paha Kiara sebagai bantal.Dion menarik napas dalam-dalam, menatap ke arah jendela kamar Kiara yang terbuka. Udara malam masuk perlahan, membawa aroma embun yang menenangkan. Meski matanya terpejam, suara Dion terdengar lembut, penuh kerentanan. "Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki seorang ibu yang benar-benar mencintai. Ibuku meninggal ketika aku masih kecil, dalam kecelakaan yang seharusnya tidak pernah terjadi," ucap Dion dengan suara yang sedikit serak. Entah kenapa ia sangat ingin menceritakan Bagaimana dirinya dulu kepada Kiara.Kiara menatap Dion yang terpejam. Awalnya ia
Aagghhhh...Desahan Kiara semakin terdengar namun ia langsung menutup mulutnya karena kamar ini bukanlah kamar kedap suara. Dion melirik dari bawah dan ia tersenyum gemas. Ia tak ingin Kiara menahan desahannya. Karena desahan Kiara candu baginya.Kiara menutup matanya, rasa geli itu menyeruak. Rasa nikmat yang dihasilkan dari permainan Dion pada puncak dadanya membuat bagian bawahnya ikut berdenyut. Tanpa sadar Kiara menekan miliknya kuat ke bawah dan kali ini giliran Dion yang dibuat mendesah,Ciuman itu terlepas lagi. Dion menatap pada adik kecilnya dan kembali menatap Kiara. Kiara tersenyum menggoda."Ra," panggil Dion.Kiara mendekatkan wajahnya pada Dion, mengecup daun telinga Dion membuat Dion paha jika Kiara ingin lebih.Dion langsung menggendong gadis tersebut dan membawanya menuju tempat tidur dan membaringkan Kiara di atas sana dan langsung menurunkan celana Kiara sebagai penutup satu-satunya di tubuh gadis tersebut. Kini Kiara tak mengenakan apapun lagi. Fokus Dion tertu
Dion perlahan membuka matanya, menyadari bahwa ia masih berada di kamar Kiara. Ia menatap wajah Kiara yang tenang tertidur dalam pelukannya. Melihat wajah tenang Kiara dan mengingat apa yang baru saja mereka lakukan tadi, membuat hatinya seketika dipenuhi dengan kedamaian dan kehangatan. Ia mengusap puncak kepala Kiara. Merapikan rambut yang menutupi wajahnya. Hubungan mereka semakin terjalin lebih dalam dan ia menyukai itu. Ia janji setelah ini, ia pastikan Kiara hanya boleh berada di dekatnya. Dion tersenyum tipis. Ia mengedarkan pandangannya ke depan, Namun, saat pandangannya jatuh ke arah jam dinding, Dion tersentak. Waktu sudah menunjukkan pukul empat subuh.Ia harus keluar dari kamar ini sebelum orang dirumah ini terbangun.Dion menatap Kiara lembut, “Kiara...” bisiknya sembari mengusap lengan gadis itu. Tak ada respon dari wanita itu. Ia mengulangnya kembali dan akhirnya Kiara mengerjap pelan, matanya membuka sedikit, menatap Dion dengan tatapan mengantuk. “Ada apa?” tanyanya
Silva duduk di sebuah kafe kecil di pusat kota, menatap cangkir kopinya dengan tatapan gelisah. Ia baru saja menerima telepon dari Nina, maminya Dirga, yang meminta untuk bertemu. Awalnya, Silva enggan meladeni panggilan itu, tetapi Nina terus mendesaknya. Setelah perdebatan singkat, Silva akhirnya setuju untuk bertemu di salah satu restoran mewah.Saat tiba di restoran, Silva langsung melihat Nina yang sudah menunggunya di sudut ruangan. Wanita itu duduk dengan anggun, mengenakan gaun elegan, dan memberikan senyum penuh arti begitu Silva mendekat. “Kamu tepat waktu,” ucap Nina, suaranya terdengar tegas namun tetap sopan. Silva hanya mengangguk kecil sebelum duduk di hadapannya.Tanpa basa-basi, Nina langsung menyampaikan maksudnya. “Malam ini ada pertemuan makan malam keluarga besar Abraham di kediaman ayah mertuaku. Aku ingin kau datang bersamaku,” katanya sambil menyesap minumannya. Silva mengerutkan kening, merasa tidak nyaman dengan permintaan itu. “Untuk apa aku diundang ke aca
Silva berdiri di sudut ruangan, memandang ke arah Nina yang sedang berbincang santai dengan anggota keluarga besar Abraham. Tak lama Nina menatap ke arahnya. Tatapan Nina padanya begitu tajam, penuh ancaman yang tidak tersirat, namun Silva dapat merasakannya jelas. Ia tahu, jika ia mengambil keputusan untuk pergi, maka konsekuensinya tidak akan main-main. Namun, setiap detik berada di dalam rumah itu membuat dadanya semakin sesak.Tatapan Ryan dari kejauhan juga menambah beban di pikirannya. Pria itu tidak berhenti mengamati dirinya, seolah membaca kebingungan yang sedang dialaminya. Namun tatapan Ryan berbeda dari Nina; ada sesuatu yang lebih dalam—seperti ia mencoba melindungi Silva meskipun hanya dengan pandangan matanya.Keadaan semakin sulit bagi Silva saat dua bodyguard Dirga mendekat padanya. Mereka tampak mencoba bergerak secara halus agar tidak menarik perhatian tamu lain, tetapi niat mereka jelas terlihat oleh Silva. Ia merasa terkepung, tak ada jalan keluar.Pikiran Silva b
Silva duduk terdiam di halte dengan tatapan kosong. Ryan duduk di sampingnya, mencoba mencairkan suasana yang terasa begitu berat. Udara malam berhembus lembut, tetapi itu tidak mampu meringankan beban yang terlihat jelas di wajah Silva. Ia masih terpaku pada apa yang terjadi sebelumnya—tentang panggilan dari Nina yang dijawab oleh Ryan.Ia kesulitan bernafas. Seolah bayangan kehancuran keluarganya sudah berada tepat di hadapannya.Apa yang harus ia lakukan? Kenapa semuanya bisa jadi serumit ini?Silva menghela nafas berat, menarik perhatian Ryan yang saat ini ada di sampingnya."Maaf atas kelancanganku tadi, tapi ini terbaik buat kamu.""Kamu nggak tahu apa-apa Ryan." Ucapnya lirih sambil menggeleng lemah tanpa menoleh ke arahnya.Ia benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Pikirannya terus berputar pada kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin menimpa keluarganya setelah ini."Tapi kamu bisa bercerita padaku Silva?" Pintanya namun Silva tak menjawab.Ryan menghela napas panjang.
Silva mendorong Ryan yang tak mau menghentikan ciuman tersebut. Ia dibuat sesak nafas karena ulah Ryan."Ryan!" Teriaknya."Apa?""Kamu, apaan sih!""Apa?""Kamu mau bunuh aku?""Nggak. Aku cuma sedikit kesal."Silva menautkan alisnya, "kesal? Kenapa?""Karena Dirga yang lebih dulu melakukannya. Berarti Dirga itu ciuman pertamamu kan." Ucap Ryan yang cukup nampak cemburu,Silva menatap Ryan dengan tatapan tajam, seolah mencoba memahami apa yang baru saja keluar dari mulutnya. "Ryan, kamu nggak waras ya? Kita lagi ngomongin apa, kenapa tiba-tiba kamu jadi cemburu sama Dirga?"Ryan mendengus pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Aku nggak cemburu," jawabnya, meskipun nada suaranya terdengar jelas bertentangan dengan pernyataan itu.Silva mendekat, menyilangkan tangan di depan dadanya. "Oh, jadi kamu nggak cemburu? Terus kenapa kamu marah-marah soal Dirga? Ciuman pertama, segala macam... Itu hal yang udah lewat, Ryan."Ryan memalingkan wajah, matanya menatap kosong ke arah jende
Silva duduk di sofa ruang tamunya dengan tangan yang saling menggenggam erat. Wajahnya tampak tegang saat Ryan berdiri di depannya, tatapannya penuh dengan campuran amarah dan kebingungan. Ryan baru saja selesai berbicara, meyakinkan Silva untuk membiarkannya ikut campur dalam masalahnya dengan Adrian. Tapi Silva menggeleng pelan, menunduk, dan menarik napas panjang sebelum akhirnya mengangkat wajahnya.“Ryan, aku nggak mau kamu terlibat,” ucapnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan. “Ini masalahku, bukan masalahmu. Aku nggak ingin kamu terseret ke dalam kekacauan ini. Adrian bukan orang yang mudah dihadapi, dan aku nggak mau kamu celaka karenanya.”Ryan mendengus kesal, melipat tangannya di dada. “Silva, aku nggak peduli siapa Adrian atau seberapa berbahayanya dia. Aku peduli sama kamu, dan aku nggak akan tinggal diam kalau dia terus memperlakukanmu seperti ini. Dan harusnya kamu yang nggak usah berurusan dengan pria itu."“Tapi aku peduli sama kamu, Ryan!” Silva membalas dengan n
Ryan tersentak ketika ponselnya bergetar di atas meja. Namun, dering itu hanya berlangsung sebentar. Ia segera melirik layar ponselnya, dan alisnya langsung bertaut saat melihat nama Silva muncul di sana. Tanpa berpikir panjang, Ryan segera menekan tombol panggil untuk menghubungi Silva kembali.Panggilan itu tersambung setelah beberapa nada. Namun, suara di seberang terdengar lemah, hampir tidak terdengar. "Silva? Kamu di mana? Kenapa telepon aku? Terjadi sesuatu?" Ryan langsung bertanya dengan nada cemas.Silva menghela napas panjang sebelum menjawab. Suaranya terdengar bergetar. "Aku… aku ada di apartemen. Aku butuh bicara sama kamu, Ryan," katanya singkat."Apartemenmu?" Ryan memeriksa jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. "Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?""Tolong datang, Ryan. Aku nggak tahu harus ngomong sama siapa lagi," suara Silva terdengar putus asa. Itu cukup bagi Ryan untuk langsung bangkit dari tempat duduknya dan mengambil kunci mobil."Baik, tunggu di sana.
Silva berdiri di depan apartemen mewah milik Adrian, menggenggam tas tangannya erat-erat seolah-olah itu adalah satu-satunya yang bisa memberikan keberanian. Ia menatap pintu besar di depannya, merasakan gemuruh di dadanya yang semakin kuat. Keputusannya untuk datang ke sini tanpa memberi tahu Ryan terasa seperti beban yang berat, namun ia tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus ia selesaikan sendiri.Langkahnya terasa berat ketika ia mendekati pintu dan menekan bel. Hanya beberapa detik kemudian, suara Adrian terdengar dari interkom, dingin namun penuh kendali. "Silva. Aku tidak menyangka kamu akan datang. Naiklah."Pintu otomatis terbuka, dan Silva melangkah masuk ke dalam gedung. Lift membawanya ke lantai tertinggi, tempat Adrian tinggal. Setiap lantai yang terlewati membuat jantungnya berdetak semakin cepat. Ia bertanya-tanya apakah keputusannya ini benar, namun ia menepis keraguan itu. Ia tidak ingin terus dibayangi oleh masa lalu.Ketika pintu lift terbuka, Adrian sudah berdiri
Ryan duduk di sofa ruang tamu apartemen Silva, tangannya menggenggam sebuah map cokelat yang terlihat cukup tebal. Raut wajahnya tegang, mencerminkan keseriusan yang jarang Silva lihat sebelumnya. Sementara itu, Silva duduk di sampingnya dengan gelisah, jemarinya saling meremas tanpa sadar. Suasana di ruangan itu mendadak terasa sunyi, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan.Dengan gerakan perlahan, Ryan membuka map tersebut dan menarik napas panjang sebelum menyerahkannya kepada Silva. "Baca ini," katanya singkat, nadanya dingin namun tegas.Silva menatap map itu dengan keraguan. Tangannya sedikit gemetar saat menerimanya. Ia membuka map tersebut dan mulai membaca lembar demi lembar dokumen yang ada di dalamnya. Pandangannya segera berubah, dari kebingungan menjadi ketakutan."Ryan... bagaimana kamu bisa mendapatkan semua ini?" tanya Silva dengan suara bergetar. Ia menatap Ryan, berharap ada jawaban yang membuatnya merasa lebih tenang. Namun Ryan hanya diam, menatapnya
Ryan duduk di sofa ruang tamu apartemen Silva, tangannya memegang secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pandangannya tertuju pada Silva yang sedang membereskan beberapa buku di rak. Ia juga menatap senyum tipis yang selalu terbit dari bibir Silva. Dan entah kenapa ia menyukai senyum tersebut.“Sepertinya hidupmu sekarang jauh lebih tenang, ya?” Ryan membuka pembicaraan dengan nada santai. Silva menoleh, senyumnya kecil tapi tulus. “Iya, sejak Tante Nina berhenti menghubungiku, aku merasa seperti bisa bernapas lagi,” jawabnya sambil meletakkan buku terakhir di rak.“Syukurlah,” ujar Ryan sambil mengangguk. “Aku senang melihat kamu mulai pulih. Tapi... apa kamu yakin dia benar-benar sudah berhenti? Maksudku, Tante Nina bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.” Silva terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Ryan. “Aku nggak tahu, Ryan. Tapi sampai sekarang dia nggak lagi menghubungiku, dan itu sudah lebih dari cukup buatku. Setidaknya untuk sementara waktu aku bisa bernafas lega tanp
Detik berlalu begitu lama menurut Amora. Padahal setelah panggilan itu tertutup baru lewat 2 menit saja. Namun ia sudah merasa seperti 2 jam menunggu mertuanya keluar dari kamar. Ia benar-benar Tak sabar bisa masak bersama dengan ibu mertuanya itu. Impian semua menantu bukan? Bisa akrab dengan ibu mertua. Karena memang faktanya yang selalu menjadi banyak masalah dan momok menakutkan bagi menantu dalam rumah tangga adalah mertua perempuan.Dan saat ia sudah bisa berhasil membujuk mertua perempuannya untuk melihat dirinya secara baik-baik terlebih dahulu, membuat Amora cukup bangga dengan usahanya. Tapi yakin ini baru di awal saja karena masih ada beberapa rintangan lagi yang tentunya harus ia jalani. Pintu kamar tiba-tiba terbuka memunculkan Nina dengan pakaian santainya. Ia menatap Amora sekilas selalu melenggang menuju dapur. "Ngapain kamu masih duduk di sana, sini masak sama saya." Ucap Nina dengan ketus namun suaminya paham jika istrinya itu sebenarnya sudah menganggap Amora sebag
Malam semakin larut, dan hawa dingin mulai menyelimuti taman rumah Dirga. Kiara menarik jaketnya lebih rapat sambil menguap kecil. Rasa kantuk mulai menyerangnya. Ia menguap beberapa kali membuat Dion tertawa gemas. “Sepertinya ada yang sudah tak bisa menahan kantuknya lagi." Goda Dion.Kiara tersenyum malu, "aku Ngantuk, masuk yuk." Jawabnya sambil berdiri. Dion mengangguk setuju. Kiara melangkah lebih dulu berjalan menuju pintu masuk rumah dan Dion mengekori dari belakang. Mereka saling bertukar pandang dan tersenyum sebelum berpisah di lorong menuju kamar mereka masing-masing.Sementara itu di kamar Dirga, pasangan suami istri itu belum tertidur. Keduanya masih asik berbicara hal-hal kecil dengan suasana yang nyaman. "Mas nggak pernah ke rumah mami lagi?" Tanya Amora sembari memainkan jemari suaminya.Dirga menghela nafas panjang. "Mas belum sempat. Lagian untuk saat ini berjumpa dengan Mami hanya akan menambah emosi Mas saja. Jadi lebih baik seperti ini dulu." "Tapi mas, bagai
Ryan berdiri di dapur apartemen Silva, memandang sekeliling dengan sedikit kebingungannya. Dapur itu tidak terlalu besar, namun cukup nyaman dan rapi. Bau masakan ringan mulai tercium dari kompor, tanda bahwa suasana sudah kembali tenang setelah kejadian yang cukup membuat hati mereka berdua berdebar. Silva, yang tadi sempat canggung dan bingung, kini sudah mulai tersenyum sedikit saat berjalan mendekat dengan tangan membawa bahan-bahan untuk makan malam."Jadi, apa yang harus kita masak?" tanya Silva sambil membuka lemari es, memilih beberapa bahan yang akan dijadikan hidangan malam itu. Ryan, yang masih agak terkejut dengan kejadian sebelumnya, akhirnya tersenyum tipis. "Bagaimana kalau pasta?" jawabnya, berharap agar pilihannya itu tidak membuat suasana menjadi canggung lagi. Silva mengangguk, lalu mulai mengeluarkan peralatan masak dengan cekatan. "Pasta ya? Aku setuju. Tapi kamu bantu, kan?" tanyanya dengan sedikit gurauan, mencoba membuat suasana semakin ringan.