Satu bulan sudah berlalu sejak Dion mulai menjaga rumah Dirga. Situasi di rumah terasa damai, tanpa tanda-tanda mencurigakan yang sempat membuat Dirga merasa khawatir sebelumnya. Selama waktu itu pula, Dion menjalankan tugasnya dengan baik, membuat seluruh penghuni rumah merasa aman. Namun, karena tidak ada ancaman nyata yang muncul, Dirga mulai sedikit lengah.Hari itu, Dirga meminta Dion untuk menemaninya ke kantor. "Hanya hari ini saja, Dion. Aku perlu kamu di sana untuk urusan penting," ujar Dirga saat sarapan pagi. Dion awalnya ragu, tetapi karena situasi di rumah terlihat baik-baik saja, ia setuju.Amora tidak terlalu memikirkan kepergian Dirga dan Dion. Setelah memastikan Aksa sudah mandi dan sarapan, ia menghabiskan waktu di ruang keluarga sambil mengawasi putranya bermain. Kiara juga terlihat sibuk mengerjakan sesuatu di meja samping ruang tamu. Suasana rumah terasa tenang, hingga sebuah mobil berhenti di depan rumah.Amora berjalan menuju pintu dan membukanya. Ia terkejut me
Di dalam rumah, suasana tampak tenang. Amora dan Kiara sedang berada di dapur, sibuk menyiapkan makanan. Sementara itu, Bi Susi sedang menemani Aksa yang tengah bermain bersama Nina di taman samping rumah. Kiara, yang merasa lapar, melihat makanan yang dibawa oleh Nina—nasi goreng udang yang tampaknya sangat menggoda selera. Setelah memindahkan beberapa sendok nasi goreng ke dalam piring kecil, Kiara tak sabar untuk mencicipinya.Dengan lahapnya, Kiara mulai menyantap nasi goreng tersebut. Ia merasa nikmat, aroma udang yang sedap memanjakan hidungnya. Tanpa berpikir panjang, ia menyendok lagi nasi goreng dan memasukkannya ke mulut. Namun, beberapa menit setelah menikmati makanan itu, Kiara mulai merasa ada yang tidak beres.Perut Kiara mulai terasa aneh. Rasa mual datang begitu tiba-tiba, membuatnya berhenti sejenak dari aktivitas makannya. Kiara mencoba untuk menenangkan diri, tetapi perutnya semakin terasa sakit. Ia merasa seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya, dan tak lama
Dion sampai di rumah sakit dengan kecepatan luar biasa, bahkan beberapa perawat yang sedang berjaga di IGD langsung menghampiri begitu melihat pria itu turun dari mobil sambil menggendong seorang wanita yang tak sadarkan diri. "Tolong! Dia butuh pertolongan segera!" seru Dion, suaranya penuh dengan kekhawatiran. Wajah Dion memucat, tangannya sedikit gemetar saat menyerahkan Kiara kepada petugas medis. Perasaan panik benar-benar menguasainya. Hatinya terasa seperti dihimpit batu besar setiap kali menatap wajah Kiara yang pucat.Para perawat segera membawa Kiara masuk ke dalam ruangan tindakan darurat, sementara Dion tetap berada di luar, menunggu dengan perasaan tak karuan. Napasnya memburu, pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan buruk. Ia tak pernah merasa setakut ini sebelumnya. Tangannya terus meremas ponselnya, mempertimbangkan untuk menghubungi Dirga, tapi ia tahu Dirga sudah mempercayakan Kiara padanya. Dia harus memastikan semuanya baik-baik saja terlebih dahulu.Tak la
Dirga memandang langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Malam sudah larut, namun matanya tak kunjung terpejam. Sesekali, ia melirik ke arah Amora yang sudah tertidur di sisinya. Wajah istrinya tampak tenang dalam tidur, tapi Dirga tahu di balik ketenangan itu ada luka yang amat dalam. Luka yang, tanpa bisa ia hindari, disebabkan oleh maminya sendiri.Sejak kejadian Kiara diracun, pikiran Dirga tak pernah benar-benar tenang. Ia merasa cemas setiap saat, memikirkan apa langkah selanjutnya yang mungkin akan dilakukan oleh Maminya. Apa yang membuat semuanya lebih berat adalah kenyataan bahwa Maminya sama sekali tidak bisa dihubungi sejak hari itu. Dirga sudah mencoba menelepon berkali-kali, namun selalu berakhir di kotak suara. Bahkan pesan singkat yang ia kirimkan pun tak pernah dibalas.Dirga menarik napas panjang, dadanya terasa sesak. Ia sangat menyayangi maminya, itu tidak pernah berubah. Tapi apa yang dilakukan Maminya akhir-akhir ini sudah benar-benar melewati batas. Dirga mer
Ryan berdiri di luar pintu apartemen Silva, tangannya sudah terulur untuk menekan tombol lift. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya berhenti. Ia menarik napas dalam, merasakan perasaan campur aduk di dadanya. Dengan langkah pelan, ia berbalik, berjalan kembali ke pintu apartemen Silva, dan menekan bel pada pintu sekali lagi. Ketika Silva membuka pintu, wajahnya menunjukkan kebingungan. "Ryan? Ada apa lagi?" tanyanya.Kali ini, Ryan tidak menunjukkan emosi yang tajam seperti sebelumnya. Ia memasuki apartemen dengan sikap yang lebih tenang, bahkan mencoba tersenyum kecil untuk meredakan ketegangan. "Aku hanya ingin bicara kembali padamu, Silva," katanya. "Tadi aku terlalu kasar, maafkan aku. Aku hanya benar-benar ingin tahu apakah kamu tahu sesuatu tentang Tante Nina atau apa yang dia rencanakan setelah kejadian ini. Pasalnya Dirga merasa ini ancaman. Dan setelah apa yang aku dapatkan saat di Surabaya, aku pikir kau terlibat." Ucap Ryan sembari menatap Silva dengan tenang Si
Siang ini Dirga kembali bermaksud untuk menemui maminya di rumah. Ia belum selesai dengan rasa penasarannya dan kali ini ia ingin mencoba lagi setelah berkali-kali ia gagal bertemu dengan wanita yang sudah melahirkanya itu.Kali ini Dirga mengenakan jasa sopir di kantornya. Ia tak ingin menyetir sendiri. Dan kali ini juga ia tak menghentikan mobilnya tepat di depan rumah orang tuanya, melainkan sedikit jauh dari sana agar maminya tidak mengetahui kedatangannya."Kamu tunggu di sini." Perintah Dirga pada sopirnya itu. Setelahnya ia turun dari mobil dan melangkah tegas menuju rumahnya yang berada beberapa langkah saja dari mobil yang ia parkirkan. Dirga masuk ke dalam. Dia bisa melihat mobil maminya ada di garasi. Dengan langkah pasti ia kembali melangkah masuk ke pintu utama. Saat pintu itu ia buka, matanya langsung tertuju pada maminya yang sedang bersantai di ruang tv. Sebelum melangkah lebih dalam, yang menenangkan pikirannya terlebih dahulu. Menstabilkan emosinya agar tak meledak
Suasana di kamar Kiara sangat sunyi walaupun ada sepasang anak cucu Adam di dalamnya. Setelah ciuman panas mereka berakhir, kecanggungan langsung terjadi namun, Dion menarik Kiara untuk duduk di sofa yang ada di kamar gadis tersebut. Pria itu tak ingin kecemplungan itu berlangsung terlalu lama jadi Dion meminta Kiara untuk duduk di sofa tersebut sementara dirinya langsung berbaring dan menjadikan Paha Kiara sebagai bantal.Dion menarik napas dalam-dalam, menatap ke arah jendela kamar Kiara yang terbuka. Udara malam masuk perlahan, membawa aroma embun yang menenangkan. Meski matanya terpejam, suara Dion terdengar lembut, penuh kerentanan. "Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki seorang ibu yang benar-benar mencintai. Ibuku meninggal ketika aku masih kecil, dalam kecelakaan yang seharusnya tidak pernah terjadi," ucap Dion dengan suara yang sedikit serak. Entah kenapa ia sangat ingin menceritakan Bagaimana dirinya dulu kepada Kiara.Kiara menatap Dion yang terpejam. Awalnya ia
Aagghhhh...Desahan Kiara semakin terdengar namun ia langsung menutup mulutnya karena kamar ini bukanlah kamar kedap suara. Dion melirik dari bawah dan ia tersenyum gemas. Ia tak ingin Kiara menahan desahannya. Karena desahan Kiara candu baginya.Kiara menutup matanya, rasa geli itu menyeruak. Rasa nikmat yang dihasilkan dari permainan Dion pada puncak dadanya membuat bagian bawahnya ikut berdenyut. Tanpa sadar Kiara menekan miliknya kuat ke bawah dan kali ini giliran Dion yang dibuat mendesah,Ciuman itu terlepas lagi. Dion menatap pada adik kecilnya dan kembali menatap Kiara. Kiara tersenyum menggoda."Ra," panggil Dion.Kiara mendekatkan wajahnya pada Dion, mengecup daun telinga Dion membuat Dion paha jika Kiara ingin lebih.Dion langsung menggendong gadis tersebut dan membawanya menuju tempat tidur dan membaringkan Kiara di atas sana dan langsung menurunkan celana Kiara sebagai penutup satu-satunya di tubuh gadis tersebut. Kini Kiara tak mengenakan apapun lagi. Fokus Dion tertu
Silva mendorong Ryan yang tak mau menghentikan ciuman tersebut. Ia dibuat sesak nafas karena ulah Ryan."Ryan!" Teriaknya."Apa?""Kamu, apaan sih!""Apa?""Kamu mau bunuh aku?""Nggak. Aku cuma sedikit kesal."Silva menautkan alisnya, "kesal? Kenapa?""Karena Dirga yang lebih dulu melakukannya. Berarti Dirga itu ciuman pertamamu kan." Ucap Ryan yang cukup nampak cemburu,Silva menatap Ryan dengan tatapan tajam, seolah mencoba memahami apa yang baru saja keluar dari mulutnya. "Ryan, kamu nggak waras ya? Kita lagi ngomongin apa, kenapa tiba-tiba kamu jadi cemburu sama Dirga?"Ryan mendengus pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Aku nggak cemburu," jawabnya, meskipun nada suaranya terdengar jelas bertentangan dengan pernyataan itu.Silva mendekat, menyilangkan tangan di depan dadanya. "Oh, jadi kamu nggak cemburu? Terus kenapa kamu marah-marah soal Dirga? Ciuman pertama, segala macam... Itu hal yang udah lewat, Ryan."Ryan memalingkan wajah, matanya menatap kosong ke arah jende
Silva duduk di sofa ruang tamunya dengan tangan yang saling menggenggam erat. Wajahnya tampak tegang saat Ryan berdiri di depannya, tatapannya penuh dengan campuran amarah dan kebingungan. Ryan baru saja selesai berbicara, meyakinkan Silva untuk membiarkannya ikut campur dalam masalahnya dengan Adrian. Tapi Silva menggeleng pelan, menunduk, dan menarik napas panjang sebelum akhirnya mengangkat wajahnya.“Ryan, aku nggak mau kamu terlibat,” ucapnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan. “Ini masalahku, bukan masalahmu. Aku nggak ingin kamu terseret ke dalam kekacauan ini. Adrian bukan orang yang mudah dihadapi, dan aku nggak mau kamu celaka karenanya.”Ryan mendengus kesal, melipat tangannya di dada. “Silva, aku nggak peduli siapa Adrian atau seberapa berbahayanya dia. Aku peduli sama kamu, dan aku nggak akan tinggal diam kalau dia terus memperlakukanmu seperti ini. Dan harusnya kamu yang nggak usah berurusan dengan pria itu."“Tapi aku peduli sama kamu, Ryan!” Silva membalas dengan n
Ryan tersentak ketika ponselnya bergetar di atas meja. Namun, dering itu hanya berlangsung sebentar. Ia segera melirik layar ponselnya, dan alisnya langsung bertaut saat melihat nama Silva muncul di sana. Tanpa berpikir panjang, Ryan segera menekan tombol panggil untuk menghubungi Silva kembali.Panggilan itu tersambung setelah beberapa nada. Namun, suara di seberang terdengar lemah, hampir tidak terdengar. "Silva? Kamu di mana? Kenapa telepon aku? Terjadi sesuatu?" Ryan langsung bertanya dengan nada cemas.Silva menghela napas panjang sebelum menjawab. Suaranya terdengar bergetar. "Aku… aku ada di apartemen. Aku butuh bicara sama kamu, Ryan," katanya singkat."Apartemenmu?" Ryan memeriksa jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. "Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?""Tolong datang, Ryan. Aku nggak tahu harus ngomong sama siapa lagi," suara Silva terdengar putus asa. Itu cukup bagi Ryan untuk langsung bangkit dari tempat duduknya dan mengambil kunci mobil."Baik, tunggu di sana.
Silva berdiri di depan apartemen mewah milik Adrian, menggenggam tas tangannya erat-erat seolah-olah itu adalah satu-satunya yang bisa memberikan keberanian. Ia menatap pintu besar di depannya, merasakan gemuruh di dadanya yang semakin kuat. Keputusannya untuk datang ke sini tanpa memberi tahu Ryan terasa seperti beban yang berat, namun ia tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus ia selesaikan sendiri.Langkahnya terasa berat ketika ia mendekati pintu dan menekan bel. Hanya beberapa detik kemudian, suara Adrian terdengar dari interkom, dingin namun penuh kendali. "Silva. Aku tidak menyangka kamu akan datang. Naiklah."Pintu otomatis terbuka, dan Silva melangkah masuk ke dalam gedung. Lift membawanya ke lantai tertinggi, tempat Adrian tinggal. Setiap lantai yang terlewati membuat jantungnya berdetak semakin cepat. Ia bertanya-tanya apakah keputusannya ini benar, namun ia menepis keraguan itu. Ia tidak ingin terus dibayangi oleh masa lalu.Ketika pintu lift terbuka, Adrian sudah berdiri
Ryan duduk di sofa ruang tamu apartemen Silva, tangannya menggenggam sebuah map cokelat yang terlihat cukup tebal. Raut wajahnya tegang, mencerminkan keseriusan yang jarang Silva lihat sebelumnya. Sementara itu, Silva duduk di sampingnya dengan gelisah, jemarinya saling meremas tanpa sadar. Suasana di ruangan itu mendadak terasa sunyi, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan.Dengan gerakan perlahan, Ryan membuka map tersebut dan menarik napas panjang sebelum menyerahkannya kepada Silva. "Baca ini," katanya singkat, nadanya dingin namun tegas.Silva menatap map itu dengan keraguan. Tangannya sedikit gemetar saat menerimanya. Ia membuka map tersebut dan mulai membaca lembar demi lembar dokumen yang ada di dalamnya. Pandangannya segera berubah, dari kebingungan menjadi ketakutan."Ryan... bagaimana kamu bisa mendapatkan semua ini?" tanya Silva dengan suara bergetar. Ia menatap Ryan, berharap ada jawaban yang membuatnya merasa lebih tenang. Namun Ryan hanya diam, menatapnya
Ryan duduk di sofa ruang tamu apartemen Silva, tangannya memegang secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pandangannya tertuju pada Silva yang sedang membereskan beberapa buku di rak. Ia juga menatap senyum tipis yang selalu terbit dari bibir Silva. Dan entah kenapa ia menyukai senyum tersebut.“Sepertinya hidupmu sekarang jauh lebih tenang, ya?” Ryan membuka pembicaraan dengan nada santai. Silva menoleh, senyumnya kecil tapi tulus. “Iya, sejak Tante Nina berhenti menghubungiku, aku merasa seperti bisa bernapas lagi,” jawabnya sambil meletakkan buku terakhir di rak.“Syukurlah,” ujar Ryan sambil mengangguk. “Aku senang melihat kamu mulai pulih. Tapi... apa kamu yakin dia benar-benar sudah berhenti? Maksudku, Tante Nina bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.” Silva terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Ryan. “Aku nggak tahu, Ryan. Tapi sampai sekarang dia nggak lagi menghubungiku, dan itu sudah lebih dari cukup buatku. Setidaknya untuk sementara waktu aku bisa bernafas lega tanp
Detik berlalu begitu lama menurut Amora. Padahal setelah panggilan itu tertutup baru lewat 2 menit saja. Namun ia sudah merasa seperti 2 jam menunggu mertuanya keluar dari kamar. Ia benar-benar Tak sabar bisa masak bersama dengan ibu mertuanya itu. Impian semua menantu bukan? Bisa akrab dengan ibu mertua. Karena memang faktanya yang selalu menjadi banyak masalah dan momok menakutkan bagi menantu dalam rumah tangga adalah mertua perempuan.Dan saat ia sudah bisa berhasil membujuk mertua perempuannya untuk melihat dirinya secara baik-baik terlebih dahulu, membuat Amora cukup bangga dengan usahanya. Tapi yakin ini baru di awal saja karena masih ada beberapa rintangan lagi yang tentunya harus ia jalani. Pintu kamar tiba-tiba terbuka memunculkan Nina dengan pakaian santainya. Ia menatap Amora sekilas selalu melenggang menuju dapur. "Ngapain kamu masih duduk di sana, sini masak sama saya." Ucap Nina dengan ketus namun suaminya paham jika istrinya itu sebenarnya sudah menganggap Amora sebag
Malam semakin larut, dan hawa dingin mulai menyelimuti taman rumah Dirga. Kiara menarik jaketnya lebih rapat sambil menguap kecil. Rasa kantuk mulai menyerangnya. Ia menguap beberapa kali membuat Dion tertawa gemas. “Sepertinya ada yang sudah tak bisa menahan kantuknya lagi." Goda Dion.Kiara tersenyum malu, "aku Ngantuk, masuk yuk." Jawabnya sambil berdiri. Dion mengangguk setuju. Kiara melangkah lebih dulu berjalan menuju pintu masuk rumah dan Dion mengekori dari belakang. Mereka saling bertukar pandang dan tersenyum sebelum berpisah di lorong menuju kamar mereka masing-masing.Sementara itu di kamar Dirga, pasangan suami istri itu belum tertidur. Keduanya masih asik berbicara hal-hal kecil dengan suasana yang nyaman. "Mas nggak pernah ke rumah mami lagi?" Tanya Amora sembari memainkan jemari suaminya.Dirga menghela nafas panjang. "Mas belum sempat. Lagian untuk saat ini berjumpa dengan Mami hanya akan menambah emosi Mas saja. Jadi lebih baik seperti ini dulu." "Tapi mas, bagai
Ryan berdiri di dapur apartemen Silva, memandang sekeliling dengan sedikit kebingungannya. Dapur itu tidak terlalu besar, namun cukup nyaman dan rapi. Bau masakan ringan mulai tercium dari kompor, tanda bahwa suasana sudah kembali tenang setelah kejadian yang cukup membuat hati mereka berdua berdebar. Silva, yang tadi sempat canggung dan bingung, kini sudah mulai tersenyum sedikit saat berjalan mendekat dengan tangan membawa bahan-bahan untuk makan malam."Jadi, apa yang harus kita masak?" tanya Silva sambil membuka lemari es, memilih beberapa bahan yang akan dijadikan hidangan malam itu. Ryan, yang masih agak terkejut dengan kejadian sebelumnya, akhirnya tersenyum tipis. "Bagaimana kalau pasta?" jawabnya, berharap agar pilihannya itu tidak membuat suasana menjadi canggung lagi. Silva mengangguk, lalu mulai mengeluarkan peralatan masak dengan cekatan. "Pasta ya? Aku setuju. Tapi kamu bantu, kan?" tanyanya dengan sedikit gurauan, mencoba membuat suasana semakin ringan.