Langit sore mulai meredup ketika Dirga akhirnya tiba di rumahnya. Perjalanan dari kediaman kakeknya cukup melelahkan, tapi ia merasa lega karena percakapan dengan kakeknya berjalan sesuai harapan. Dirga melangkah masuk ke rumah dengan langkah tenang, membawa perasaan campur aduk yang harus ia sembunyikan dari Amora.Di ruang tamu, suara celotehan Aksa menyambutnya. Amora sedang bermain dengan bayi kecil mereka di atas matras mainan. Dirga langsung tersenyum, berusaha menyingkirkan segala kecemasan yang mengganjal di hatinya. “Hei sayang, papa pulang,” sapanya, sambil melangkah mendekati mereka.Amora menoleh dengan senyum lembut. “Kamu terlihat lelah mas. Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya, meskipun raut wajah Dirga tampak biasa saja. Dan ini yang tidak bisa Dirga lakukan, yaitu menyembunyikan perasaannya. Istrinya itu pasti akan bisa menebak apakah dirinya sedang baik-baik saja atau tidak.“Semua baik-baik saja,” jawab Dirga sambil menjatuhkan diri di sebelah mereka. Ia menggendo
Pria itu menatap Ryan dengan tatapan menantang, tetapi akhirnya melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Silva. "Terserah kau," katanya dengan nada meremehkan sebelum melangkah mundur dan kembali bergabung dengan kerumunan di lantai dansa. Ryan mengawasi pria itu hingga benar-benar pergi sebelum mengalihkan perhatiannya pada Silva.Silva masih terlihat bingung dan goyah, tubuhnya seperti kehilangan keseimbangan. Ryan menghela napas panjang, merasa ini adalah hal terakhir yang ingin ia lakukan malam itu. "Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada datar, tanpa menunjukkan emosi berlebihan.Silva mengangguk pelan, meskipun jelas dari raut wajahnya bahwa ia tidak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi. "Aku... aku tidak apa-apa," jawabnya dengan suara yang hampir tidak terdengar. Namun, gerakannya yang gemetar dan langkahnya yang tak stabil membuktikan sebaliknya.Ryan mendekat, tangannya terulur untuk membantu menstabilkan tubuh Silva. "Kau mabuk," katanya dengan nada yang lebih
Pagi itu, suasana taman di samping rumah Dirga terasa hangat dan penuh dengan tawa. Amora sedang duduk santai di bangku taman sambil memantau Aksa yang tengah bermain di pangkuan Kiara. Sinar matahari pagi menyentuh lembut wajah Amora, membuatnya tampak berseri. Sementara itu, Kiara dengan ekspresi ceria mencoba menghibur Aksa yang terus tertawa kecil dengan candaannya.“Lihat, Aksa! burung-burung kecil yang terbang di atas sana. Cantik kan?” ujar Kiara sambil menunjuk ke arah langit. Bayi mungil itu memandang dengan mata berbinar, seakan mengerti apa yang sedang dibicarakan.Amora tersenyum melihat interaksi keduanya. “Ra, kalau seperti ini terus, aku yakin Aksa bakal lebih sayang sama kamu daripada aku,” goda Amora sambil terkekeh kecil.Kiara membalas dengan senyuman lebar. “ih nggak mungkin lah, Amora. Dia kan tetap bayi kesayangan kamu. Dia pasti juga punya filling sama ibunya. Jangan asal ah.” ucapnya yang membuat Amora tertawa.Namun, di tengah suasana ceria itu, tiba-tiba suar
Dirga baru saja kembali dari kantornya ketika ia mendapati sebuah pemandangan tak biasa di ruang tamu rumahnya. Dion dan Ryan sedang duduk bersama di sofa, berbicara santai. Dirga mengernyit heran, tak menyangka akan melihat Ryan di rumahnya. Kalau untuk Dion ia memang sudah mendapat kabar jika Dion sudah dikirim oleh kakeknya untuk stay di rumahnya. “Kalian sudah kenal?” tanyanya sambil melepas jas kerjanya dan melangkah masuk.Ryan menatap Dirga yang baru masuk ke dalam, "aku pikir kau ada di rumah, tapi ternyata kau berada di kantor, jadi Saat Aku berkunjung ke rumahmu untuk satu hal, aku bertemu dengan Dion." Dion tersenyum tipis, mengonfirmasi. Dirga mengangguk pelan, meski rasa herannya belum sepenuhnya hilang. “Baiklah, kalau begitu. Mari kita pindah ke ruang kerjaku. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan kalian.”Ketiganya bergerak menuju ruang kerja Dirga yang terletak di sudut rumah. Ruangan itu nyaman dengan rak buku besar di salah satu dinding, meja kayu besar di t
Malam di rumah Dirga begitu sunyi. Lampu-lampu di luar rumah sudah dimatikan, hanya menyisakan lampu taman yang temaram. Angin malam berhembus lembut, membawa suasana tenang ke seluruh sudut rumah. Di kamar utama, Amora dan Dirga masih terjaga. Mereka duduk bersandar di kepala tempat tidur dengan selimut menyelimuti tubuh mereka, sementara tangan Dirga memeluk pundak Amora dengan erat.Amora menatap wajah suaminya dengan sorot mata yang penuh rasa khawatir. Ia mendesah pelan, mencoba menyusun kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan isi hatinya. “Mas,” ia memulai dengan suara lembut. “Apa menurut Mas semuanya akan baik-baik saja? Aku tahu Mas selalu mencoba meyakinkanku, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan takut ini.”Dirga menunduk sedikit, menatap mata istrinya dengan penuh perhatian. “Kamu takut soal Mami?” tebaknya sambil mengusap punggung tangan Amora yang ada di pangkuannya.Amora mengangguk pelan. “Mami belum juga menerima aku. Bahkan setelah kita menikah, setelah Aksa lah
Sementara itu, Di dalam kamarnya yang temaram, Kiara duduk bersila di atas tempat tidurnya. Di tangannya, ponselnya masih menyala, menampilkan ruang obrolan dirinya dengan Dion. Tatapannya lekat pada layar, mengulang-ulang pesan terakhir yang mereka tukar. Perasaan aneh namun membahagiakan bergejolak di dadanya, seolah ada ribuan kupu-kupu beterbangan di sana.Kiara memejamkan mata, mencoba mengendalikan euforia yang meluap-luap. Ia sangat ingin berteriak histeris, meluapkan kebahagiaannya saat ini. Tapi ia tahu itu bukan ide yang bagus, terutama karena Bi Susi yang sudah tertidur. Sebagai gantinya, ia membekap mulutnya dengan bantal, menahan suara tawa kecil yang lolos dari bibirnya.Ia kembali menatap layar ponselnya, jari-jarinya menyusuri huruf-huruf pesan Dion yang begitu sederhana namun terasa penuh makna baginya. "Dia peduli padaku," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Kalimat itu terdengar begitu ajaib di telinganya, membuat senyum tak pernah lepas dari wajahnya.Tan
Satu bulan sudah berlalu sejak Dion mulai menjaga rumah Dirga. Situasi di rumah terasa damai, tanpa tanda-tanda mencurigakan yang sempat membuat Dirga merasa khawatir sebelumnya. Selama waktu itu pula, Dion menjalankan tugasnya dengan baik, membuat seluruh penghuni rumah merasa aman. Namun, karena tidak ada ancaman nyata yang muncul, Dirga mulai sedikit lengah.Hari itu, Dirga meminta Dion untuk menemaninya ke kantor. "Hanya hari ini saja, Dion. Aku perlu kamu di sana untuk urusan penting," ujar Dirga saat sarapan pagi. Dion awalnya ragu, tetapi karena situasi di rumah terlihat baik-baik saja, ia setuju.Amora tidak terlalu memikirkan kepergian Dirga dan Dion. Setelah memastikan Aksa sudah mandi dan sarapan, ia menghabiskan waktu di ruang keluarga sambil mengawasi putranya bermain. Kiara juga terlihat sibuk mengerjakan sesuatu di meja samping ruang tamu. Suasana rumah terasa tenang, hingga sebuah mobil berhenti di depan rumah.Amora berjalan menuju pintu dan membukanya. Ia terkejut me
Di dalam rumah, suasana tampak tenang. Amora dan Kiara sedang berada di dapur, sibuk menyiapkan makanan. Sementara itu, Bi Susi sedang menemani Aksa yang tengah bermain bersama Nina di taman samping rumah. Kiara, yang merasa lapar, melihat makanan yang dibawa oleh Nina—nasi goreng udang yang tampaknya sangat menggoda selera. Setelah memindahkan beberapa sendok nasi goreng ke dalam piring kecil, Kiara tak sabar untuk mencicipinya.Dengan lahapnya, Kiara mulai menyantap nasi goreng tersebut. Ia merasa nikmat, aroma udang yang sedap memanjakan hidungnya. Tanpa berpikir panjang, ia menyendok lagi nasi goreng dan memasukkannya ke mulut. Namun, beberapa menit setelah menikmati makanan itu, Kiara mulai merasa ada yang tidak beres.Perut Kiara mulai terasa aneh. Rasa mual datang begitu tiba-tiba, membuatnya berhenti sejenak dari aktivitas makannya. Kiara mencoba untuk menenangkan diri, tetapi perutnya semakin terasa sakit. Ia merasa seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya, dan tak lama
Silva mendorong Ryan yang tak mau menghentikan ciuman tersebut. Ia dibuat sesak nafas karena ulah Ryan."Ryan!" Teriaknya."Apa?""Kamu, apaan sih!""Apa?""Kamu mau bunuh aku?""Nggak. Aku cuma sedikit kesal."Silva menautkan alisnya, "kesal? Kenapa?""Karena Dirga yang lebih dulu melakukannya. Berarti Dirga itu ciuman pertamamu kan." Ucap Ryan yang cukup nampak cemburu,Silva menatap Ryan dengan tatapan tajam, seolah mencoba memahami apa yang baru saja keluar dari mulutnya. "Ryan, kamu nggak waras ya? Kita lagi ngomongin apa, kenapa tiba-tiba kamu jadi cemburu sama Dirga?"Ryan mendengus pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Aku nggak cemburu," jawabnya, meskipun nada suaranya terdengar jelas bertentangan dengan pernyataan itu.Silva mendekat, menyilangkan tangan di depan dadanya. "Oh, jadi kamu nggak cemburu? Terus kenapa kamu marah-marah soal Dirga? Ciuman pertama, segala macam... Itu hal yang udah lewat, Ryan."Ryan memalingkan wajah, matanya menatap kosong ke arah jende
Silva duduk di sofa ruang tamunya dengan tangan yang saling menggenggam erat. Wajahnya tampak tegang saat Ryan berdiri di depannya, tatapannya penuh dengan campuran amarah dan kebingungan. Ryan baru saja selesai berbicara, meyakinkan Silva untuk membiarkannya ikut campur dalam masalahnya dengan Adrian. Tapi Silva menggeleng pelan, menunduk, dan menarik napas panjang sebelum akhirnya mengangkat wajahnya.“Ryan, aku nggak mau kamu terlibat,” ucapnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan. “Ini masalahku, bukan masalahmu. Aku nggak ingin kamu terseret ke dalam kekacauan ini. Adrian bukan orang yang mudah dihadapi, dan aku nggak mau kamu celaka karenanya.”Ryan mendengus kesal, melipat tangannya di dada. “Silva, aku nggak peduli siapa Adrian atau seberapa berbahayanya dia. Aku peduli sama kamu, dan aku nggak akan tinggal diam kalau dia terus memperlakukanmu seperti ini. Dan harusnya kamu yang nggak usah berurusan dengan pria itu."“Tapi aku peduli sama kamu, Ryan!” Silva membalas dengan n
Ryan tersentak ketika ponselnya bergetar di atas meja. Namun, dering itu hanya berlangsung sebentar. Ia segera melirik layar ponselnya, dan alisnya langsung bertaut saat melihat nama Silva muncul di sana. Tanpa berpikir panjang, Ryan segera menekan tombol panggil untuk menghubungi Silva kembali.Panggilan itu tersambung setelah beberapa nada. Namun, suara di seberang terdengar lemah, hampir tidak terdengar. "Silva? Kamu di mana? Kenapa telepon aku? Terjadi sesuatu?" Ryan langsung bertanya dengan nada cemas.Silva menghela napas panjang sebelum menjawab. Suaranya terdengar bergetar. "Aku… aku ada di apartemen. Aku butuh bicara sama kamu, Ryan," katanya singkat."Apartemenmu?" Ryan memeriksa jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. "Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?""Tolong datang, Ryan. Aku nggak tahu harus ngomong sama siapa lagi," suara Silva terdengar putus asa. Itu cukup bagi Ryan untuk langsung bangkit dari tempat duduknya dan mengambil kunci mobil."Baik, tunggu di sana.
Silva berdiri di depan apartemen mewah milik Adrian, menggenggam tas tangannya erat-erat seolah-olah itu adalah satu-satunya yang bisa memberikan keberanian. Ia menatap pintu besar di depannya, merasakan gemuruh di dadanya yang semakin kuat. Keputusannya untuk datang ke sini tanpa memberi tahu Ryan terasa seperti beban yang berat, namun ia tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus ia selesaikan sendiri.Langkahnya terasa berat ketika ia mendekati pintu dan menekan bel. Hanya beberapa detik kemudian, suara Adrian terdengar dari interkom, dingin namun penuh kendali. "Silva. Aku tidak menyangka kamu akan datang. Naiklah."Pintu otomatis terbuka, dan Silva melangkah masuk ke dalam gedung. Lift membawanya ke lantai tertinggi, tempat Adrian tinggal. Setiap lantai yang terlewati membuat jantungnya berdetak semakin cepat. Ia bertanya-tanya apakah keputusannya ini benar, namun ia menepis keraguan itu. Ia tidak ingin terus dibayangi oleh masa lalu.Ketika pintu lift terbuka, Adrian sudah berdiri
Ryan duduk di sofa ruang tamu apartemen Silva, tangannya menggenggam sebuah map cokelat yang terlihat cukup tebal. Raut wajahnya tegang, mencerminkan keseriusan yang jarang Silva lihat sebelumnya. Sementara itu, Silva duduk di sampingnya dengan gelisah, jemarinya saling meremas tanpa sadar. Suasana di ruangan itu mendadak terasa sunyi, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan.Dengan gerakan perlahan, Ryan membuka map tersebut dan menarik napas panjang sebelum menyerahkannya kepada Silva. "Baca ini," katanya singkat, nadanya dingin namun tegas.Silva menatap map itu dengan keraguan. Tangannya sedikit gemetar saat menerimanya. Ia membuka map tersebut dan mulai membaca lembar demi lembar dokumen yang ada di dalamnya. Pandangannya segera berubah, dari kebingungan menjadi ketakutan."Ryan... bagaimana kamu bisa mendapatkan semua ini?" tanya Silva dengan suara bergetar. Ia menatap Ryan, berharap ada jawaban yang membuatnya merasa lebih tenang. Namun Ryan hanya diam, menatapnya
Ryan duduk di sofa ruang tamu apartemen Silva, tangannya memegang secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pandangannya tertuju pada Silva yang sedang membereskan beberapa buku di rak. Ia juga menatap senyum tipis yang selalu terbit dari bibir Silva. Dan entah kenapa ia menyukai senyum tersebut.“Sepertinya hidupmu sekarang jauh lebih tenang, ya?” Ryan membuka pembicaraan dengan nada santai. Silva menoleh, senyumnya kecil tapi tulus. “Iya, sejak Tante Nina berhenti menghubungiku, aku merasa seperti bisa bernapas lagi,” jawabnya sambil meletakkan buku terakhir di rak.“Syukurlah,” ujar Ryan sambil mengangguk. “Aku senang melihat kamu mulai pulih. Tapi... apa kamu yakin dia benar-benar sudah berhenti? Maksudku, Tante Nina bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.” Silva terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Ryan. “Aku nggak tahu, Ryan. Tapi sampai sekarang dia nggak lagi menghubungiku, dan itu sudah lebih dari cukup buatku. Setidaknya untuk sementara waktu aku bisa bernafas lega tanp
Detik berlalu begitu lama menurut Amora. Padahal setelah panggilan itu tertutup baru lewat 2 menit saja. Namun ia sudah merasa seperti 2 jam menunggu mertuanya keluar dari kamar. Ia benar-benar Tak sabar bisa masak bersama dengan ibu mertuanya itu. Impian semua menantu bukan? Bisa akrab dengan ibu mertua. Karena memang faktanya yang selalu menjadi banyak masalah dan momok menakutkan bagi menantu dalam rumah tangga adalah mertua perempuan.Dan saat ia sudah bisa berhasil membujuk mertua perempuannya untuk melihat dirinya secara baik-baik terlebih dahulu, membuat Amora cukup bangga dengan usahanya. Tapi yakin ini baru di awal saja karena masih ada beberapa rintangan lagi yang tentunya harus ia jalani. Pintu kamar tiba-tiba terbuka memunculkan Nina dengan pakaian santainya. Ia menatap Amora sekilas selalu melenggang menuju dapur. "Ngapain kamu masih duduk di sana, sini masak sama saya." Ucap Nina dengan ketus namun suaminya paham jika istrinya itu sebenarnya sudah menganggap Amora sebag
Malam semakin larut, dan hawa dingin mulai menyelimuti taman rumah Dirga. Kiara menarik jaketnya lebih rapat sambil menguap kecil. Rasa kantuk mulai menyerangnya. Ia menguap beberapa kali membuat Dion tertawa gemas. “Sepertinya ada yang sudah tak bisa menahan kantuknya lagi." Goda Dion.Kiara tersenyum malu, "aku Ngantuk, masuk yuk." Jawabnya sambil berdiri. Dion mengangguk setuju. Kiara melangkah lebih dulu berjalan menuju pintu masuk rumah dan Dion mengekori dari belakang. Mereka saling bertukar pandang dan tersenyum sebelum berpisah di lorong menuju kamar mereka masing-masing.Sementara itu di kamar Dirga, pasangan suami istri itu belum tertidur. Keduanya masih asik berbicara hal-hal kecil dengan suasana yang nyaman. "Mas nggak pernah ke rumah mami lagi?" Tanya Amora sembari memainkan jemari suaminya.Dirga menghela nafas panjang. "Mas belum sempat. Lagian untuk saat ini berjumpa dengan Mami hanya akan menambah emosi Mas saja. Jadi lebih baik seperti ini dulu." "Tapi mas, bagai
Ryan berdiri di dapur apartemen Silva, memandang sekeliling dengan sedikit kebingungannya. Dapur itu tidak terlalu besar, namun cukup nyaman dan rapi. Bau masakan ringan mulai tercium dari kompor, tanda bahwa suasana sudah kembali tenang setelah kejadian yang cukup membuat hati mereka berdua berdebar. Silva, yang tadi sempat canggung dan bingung, kini sudah mulai tersenyum sedikit saat berjalan mendekat dengan tangan membawa bahan-bahan untuk makan malam."Jadi, apa yang harus kita masak?" tanya Silva sambil membuka lemari es, memilih beberapa bahan yang akan dijadikan hidangan malam itu. Ryan, yang masih agak terkejut dengan kejadian sebelumnya, akhirnya tersenyum tipis. "Bagaimana kalau pasta?" jawabnya, berharap agar pilihannya itu tidak membuat suasana menjadi canggung lagi. Silva mengangguk, lalu mulai mengeluarkan peralatan masak dengan cekatan. "Pasta ya? Aku setuju. Tapi kamu bantu, kan?" tanyanya dengan sedikit gurauan, mencoba membuat suasana semakin ringan.