Tampang angkuh masih terlihat pada wajah Sofi meski saat ini wanita itu berada dalam sekapan Darren. Ia seperti tak peduli dengan apa yang pengusaha itu tengah lakukan padanya sebagai aksi balas dendam atas penculikan yang menimpa sang istri. Sofi memang dalang di balik penculikan Audi, bahkan hampir dilecehkannya perempuan itu setelah mendapat perintah darinya. Satu yang Sofi sesali adalah gagalnya aksi para anak buahnya sebab kemunculan Darren yang sangat cepat dan tidak diduga. Sekarang wanita itu sudah berada dalam ruangan yang sama seperti yang terjadi pada Audi. Ruangan yang sengaja Darren gunakan untuk membalaskan dendamnya atas kejadian yang menimpa sang istri. "Apakah kau sedang melakukan aksi balasan dendam apa yang anak buahku lakukan pada istrimu itu?" Sofi tertawa sinis. Ia yang duduk di atas satu buah kursi kayu dengan tangan terikat, tampak tidak takut meski saat ini ia dikelilingi banyak laki-laki berbaju hitam dan berwajah sangar. Sofi seperti sudah biasa menghadap
"Aku sudah hancur, Darren. Jadi, aku tak peduli lagi kalau kau mau membalaskan dendam kepadaku." Sofi terlihat menantang Darren. Wanita itu berpikir bahwa apapun hukuman yang akan Darren berikan tak akan jauh dari menyiksanya atau membunuh sekalian. Baginya, tak ada beda. Ambisinya untuk mendapatkan Darren sudah tak lagi ia bisa gapai. Lalu, keinginannya untuk menyakiti Audi, juga sudah gagal ia lakukan. Terlebih ketika drama penangkapannya malah tak ditanggapi oleh sang papa, pikirnya buat apa lagi ia hidup. Darren menyeringai melihat sikap pasrah Sofi. Sungguh berbanding terbalik ketika wanita itu memandangnya angkuh di awal tadi. "Apa menurutmu mati adalah jalan satu-satunya?" tanya Darren seraya berdiri."Aku sudah katakan, apapun itu aku tak peduli lagi."Dengan sikap selayaknya pria yang geram atas penculikan yang terjadi pada istrinya, Darren tahu bahwa ia sudah sepatutnya membalas. Jadi, meski wajah Sofi sudah menyiratkan ekspresi kasihan, tidak bagi Darren yang justru teri
Kondisi Audi berlangsung membaik setelah beberapa hari paska penculikan yang terjadi padanya oleh Sofi. Darren yang menumpahkan segala perhatian, betul-betul membuat kesehatannya semakin membaik dan kembali pulih. Rasa trauma sebab kejadian tersebut kini berangsur hilang setelah sang suami membuatnya benar-benar lupa akan semuanya. Bahkan, tak segan pula Darren meliburkan diri untuk tidak bekerja demi menemani Audi di rumah atau sesekali pergi keluar jalan-jalan hanya untuk sekedar cuci mata. Kini seminggu sudah berlalu Darren harus kembali ke kantor sebab banyak pekerjaan yang tertunda karena cutinya. Meski ia sang pemilik, tetap saja ada bagian-bagian pekerjaan yang tidak bisa diambil alih oleh Zain. Namun, Darren harus memastikan bahwa kondisi Audi benar-benar sudah sehat. Seperti pagi itu ketika ia selesai mandi, sang istri sudah tak ada di atas ranjang, bahkan di kamar. Tapi, ada satu setel pakaian kantor yang sepertinya wanita itu siapkan ada di ujung tempat tidur. Darren me
"Kamu yakin baik-baik saja aku tinggal?" Darren bertanya ketika sudah akan berangkat ke kantor. Melihat Audi yang tersenyum di depannya, Darren berpikir bahwa istrinya benar-benar sudah pulih dari rasa trauma akibat peristiwa tempo hari lalu. "Kamu fokus bekerja saja. Aku akan baik-baik saja. Kamu lihat sendiri aku sudah sehat dan segar bukan?" ucap Audi sembari memutar tubuhnya supaya Darren lihat. "Hem, ya. Aku harap memang seperti itu. Tapi, segera kabari aku kalau terjadi apa-apa padamu.""Hei! Kamu menginginkan ada hal buruk terjadi denganku?" Audi berseru kaget. Terlihat kalau sebetulnya ia hanya sedang bersandiwara. "Jangan salah sangka," ucap Darren sembari menarik tubuh istrinya itu ke dalam pelukan. "Aku hanya merasa sangat khawatir setelah peristiwa itu," lanjut lelaki itu sambil mengecup kepala sang istri. "Tenang saja. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan. Ada banyak orang di sini. Mereka pasti akan selalu bersamaku.""Ya, itu harus. Kalau tidak, aku pasti akan menggo
Darren terlihat cemas sebab panggilannya ke Audi tak kunjung diangkat. Merasa kesal akhirnya ia menghubungi telepon rumah berharap mendapat informasi mengenai sang istri. "Hallo, keluarga El-Syauqi di sini!" sapa salah seorang pelayan membuat Darren sedikit lega. "Dengan siapa saya bicara?""Eh, Tuan. Maaf ... ini Ajeng, Tuan.""Ajeng, ibu apakah ada di rumah?"Darren bertanya demikian karena katanya hari ini Audi izin mau melihat toko yang tertunda pembukaannya. "Eh, itu, Tuan.""Itu apa? Hari ini ibu jadi pergi keluar tidak?""Eh itu ... tadinya ibu memang mau berangkat. Tapi, maaf ... apakah Tuan belum mendapatkan kabar?""Kabar apa? Kamu kalau bicara yang jelas, jangan muter-muter bikin saya bingung." Darren mulai terlihat emosi. "Ma-maaf, Tuan. Anu, itu ... ibu dibawa ke rumah sakit.""Apa? Yang benar kamu!""I-iya, Tuan. Sekitar lima belas menit yang lalu ibu pingsan, kemudian langsung dibawa ke rumah sakit.""Kenapa tidak ada yang menghubungi saya?""Maaf, Tuan, tadi Mbak T
Sejenak Darren terdiam saat melihat Audi tengah berbincang dengan Tasyi, sang mantan kekasih. Namun, sedetik kemudian Darren tersadar begitu Audi memanggilnya. "Apa yang terjadi padamu?" tanya Darren cepat seraya menghampiri dan memeluk tubuh istrinya itu. Darren tampak tak peduli meski ada Tasyi yang menatapnya dalam diam. "Apa yang sudah kamu lakukan pada istriku?" Kali ini Darren menuduh Tasyi yang telah membuat sang istri masuk ke rumah sakit. Lelaki itu melepaskan pelukan terhadap istrinya demi menatap wajah wanita yang beberapa waktu belakangan tidak lagi terlihat. "Darren, aku ...." Tasyi kaget ketika Darren menatapnya tajam. "Katakan padaku, apa saja yang sudah ia lakukan sampai kamu harus dibawa ke sini?" Darren menoleh, melihat wajah Audi yang terlihat lemah. "Tidak ada.""Jangan bohong, Audi.""Kenapa aku harus bohong. Memang tidak ada yang Tasyi lakukan. Malahan ia membantuku saat aku pingsan. Ia datang tepat waktu ketika aku akan dibawa ke sini."Terlihat Audi menj
Audi mendongak ketika Darren mengatainya bodoh. "Aku bodoh?""Ya! Kamu bodoh. Apa yang kamu pikirkan tentang perjanjian itu, hingga harus membuatmu melakukan tindakan ini?"Audi diam, malu untuk menjelaskan alasannya. "Apa karena kamu takut jika perjanjian itu akan membuatmu menderita sehingga ketika memiliki anak hanya akan membuat hidupmu semakin susah begitu?"Kali ini Audi mengangguk. "Apakah kamu berpikir perjanjian itu akan membuat kita berpisah dan aku tak akan bertanggung jawab bila kamu hamil?"Lagi, Audi mengangguk. "Berarti benar, kamu bodoh!""Darren! Apakah tidak cukup mengatakan aku bodoh sebanyak dua kali? Jelaskan padaku tindakan bodoh apa yang aku lakukan hanya karena khawatir akan nasib calon anak kita nanti. Ah, bahkan aku tidak tahu apakah pantas aku menyebutnya 'anak kita'."Tiba-tiba saja Darren mengetuk dahi Audi pelan. "Darren, apa-apaan!" Perempuan itu tampak tak suka. Bukannya menjawab dan menjelaskan, sang suami malah melakukan 'kekerasan fisik' padanya
Dokter memeriksa perut Audi beberapa waktu kemudian. Ditemani Darren yang juga turut mengamati jalannya USG, Audi masih belum bisa menghilangkan keterangannya atas hasil medis yang akan dokter sampaikan. "Janinnya memang masih sangat kecil, tapi tampak jelas terlihat. Memang kami belum bisa memastikan ada kelainan yang terjadi sekarang sampai kita melihat perkembangan janin di bulan-bulan berikutnya." Dokter bicara sembari masih memainkan sebuah alat di atas perut Audi. "Jadi, apakah kami masih bisa berpikir tenang untuk sekarang ini, Dok?" Darren bertanya meyakinkan. "Tentu. Hanya saja karena ada kecerobohan yang pernah Bu Audi lakukan, hal itu yang akan menjadi pengawasan dokter.""Kecerobohan?" tanya Darren tak mengerti. Apa yang sudah istrinya lakukan sehingga membuat dokter mengkhawatirkan calon anaknya. "Anda belum tahu?"Darren melirik pada Audi seraya menggeleng. Tampak ekspresi panik yang istrinya tampilkan saat ini, yang mau tak mau membuat Darren penasaran. "A-aku suda