Suasana bandara tampak sudah ramai meski waktu masih tergolong pagi. Jam setengah tujuh Audi telah sampai dengan ditemani Darren. Di sana ia bertemu dengan Surya yang rupanya sudah tiba lebih dulu sebab khawatir akan ketinggalan pesawat. "Maaf sudah merepotkan kamu datang kemari," ucap Surya tulus. Ia tak segan bicara santai kepada Darren meski sejatinya hubungan mereka tidaklah akrab. "Bukan masalah. Aku terlalu mencintai istriku sampai tidak rela melepasnya sendiri ke sini dan menemani kamu." Darren tetaplah Darren. Sikap ketusnya justru membuat Surya tersenyum. Surya lantas menatap Audi yang sepertinya kesal atas sikap dingin dan sinis Darren kepadanya. Tapi, respon lelaki itu yang sama sekali tidak marah atau pun tersinggung, membuat Audi sedikit lega. "Kamu seharusnya tidak perlu ke sini. Aku sudah cukup mengerti ketika kamu mengatakan hal itu semalam. Lagipula, aku tidak pernah menyuruhmu kemari bukan?" Surya seperti ingin meminta pertanggung jawaban Audi atas kemunculan san
"Kamu langsung pulang saja dengan Pak Lutfi. Aku tunggu Zain."Pasangan suami istri itu sudah berada di pelataran bandara. Pak Lutfi, supir pribadi mereka sudah menunggu dengan berdiri di sisi pintu mobil. "Ok!""Wah, semangat sekali. Apakah kamu begitu senang aku suruh pulang?" Darren pura-pura kesal. "Terus aku harus bagaimana dan kemana?" Audi menatap suaminya bingung. "Kamu 'kan memang harus ke kantor. Sedangkan aku, ehm ... apalagi selain diam di rumah dan menunggu kamu pulang."Dua orang itu masih saja terlibat dalam pembicaraan yang tak penting. Beberapa orang yang lewat di sekitar mereka, sempat menengok sebab aura Darren yang tidak bisa dianggap remeh. "Apakah kamu masih mau berdebat hal sepele seperti ini, Darren? Atau kamu memang sengaja ingin berlama-lama supaya orang-orang menatap kamu saking terpesonanya?" Audi berkata kesal. Sontak saja Darren tersenyum senang. Sang istri terlihat sekali cemburu karena pesona dirinya yang tak pernah bisa dibantah. "Aku 'kan sedang
Darren sudah sampai kantor satu jam yang lalu ketika Pak Lutfi menghubunginya. "Iya, Pak. Sudah sampai rumah?" tanya Darren yang sedikit heran sebab bukan istrinya yang menelepon, tetapi malah sang supir itu pun lebih lama dari yang ia bayangkan. 'Maaf, Tuan. Bu Audi ....'"Ada apa dengan Audi?" tanya Darren seketika cemas saat mendengar suara Pak Lutfi yang terdengar panik juga ketakutan. 'Itu Tuan. Ibu Audi diculik.'"Apa?"Zain yang sejak tadi berada di dekat Darren, sudah melihat gelagat tak baik saat sang tuan berbicara dengan nada khawatir. Lalu sekarang, pekikan Darren mampu membuat ruangan kantor tersebut bergetar saking kerasnya. "Jangan becanda, Pak. Ini bukan hal yang bisa Bapak buat candaan."Darren masih berusaha menampik jika yang supir pribadinya itu katakan adalah sebuah lelucon. Meski ia sadar, tak ada satu pun orang yang berani berbohong padanya, apapun situasinya. 'Saya tidak berani, Tuan.'Darren terlihat geram. Kesal, marah, sudah pasti. Tapi, ia tak bisa ser
Audi terlihat ingin menangis ketika akhirnya kain hitam yang menutupi kedua matanya dibuka. Tampak sebuah ruangan kosong tanpa ada barang apapun yang ada di dalamnya, hanya sebuah ranjang tanpa kasur yang saat ini ia duduk di atasnya. Lampu berwarna kuning yang bertengger di atas atap, memancarkan warna remang di seluruh ruangan. Redup seolah tanpa ada semangat hidup. 'Ya Tuhan! Di mana aku sekarang?' gumam Audi bertanya pada dirinya sendiri. Suasana tampak hening, hanya suara desing angin malam yang bisa Audi dengar di telinganya saat ini. Selebihnya, ia tidak mendengar apapun meski sudah mencoba memaksimalkan pendengarannya. Setelah Audi sempat pingsan beberapa waktu lalu sebab pukulan keras di tengkuknya oleh para lelaki yang menghadangnya di jalanan tadi, kini ia berusaha mencerna apa yang sebetulnya tengah terjadi. Sembari mulutnya terus bergerak merapalkan doa apapun yang ia bisa. 'Aku tahu saat ini aku diculik. Tapi, siapa orang di balik penculikan ini? Adakah seseorang ya
Tiba-tiba laki-laki yang tadi memaksa melepas baju Audi, terpental jatuh ke lantai dengan suara debam yang sangat keras. Seseorang telah memukulnya dari arah belakang, yang membuat dua orang lainnya siaga dan berbalik mencari sumber masalah. Audi bisa melihat dengan jelas, seseorang yang telah membuat orang suruhan Sofi terjatuh adalah Darren, suaminya. Laki-laki itu terlihat marah. Kedua matanya merah dengan tatapan yang sangat mengerikan. Gemeretak giginya terdengar jelas ketika ia melihat kondisi yang menimpa istrinya. "Bawa Audi keluar, Zain! Biar aku yang akan menghabisi orang-orang sialan ini!"Segera Zain memberikan jas yang dipakainya untuk menutupi tubuh Audi yang sudah setengah telanjang. Setelahnya ia membawa istri tuannya itu untuk keluar dari ruangan tersebut sesuai perintah Darren. Zain tahu saat ini bukan gilirannya untuk maju. Darren sangat sakit hati atas apa yang sudah dilakukan gerombolan lelaki itu atas Audi. Sudah bisa dipastikan, sang tuan ingin turun langsung
Tampang angkuh masih terlihat pada wajah Sofi meski saat ini wanita itu berada dalam sekapan Darren. Ia seperti tak peduli dengan apa yang pengusaha itu tengah lakukan padanya sebagai aksi balas dendam atas penculikan yang menimpa sang istri. Sofi memang dalang di balik penculikan Audi, bahkan hampir dilecehkannya perempuan itu setelah mendapat perintah darinya. Satu yang Sofi sesali adalah gagalnya aksi para anak buahnya sebab kemunculan Darren yang sangat cepat dan tidak diduga. Sekarang wanita itu sudah berada dalam ruangan yang sama seperti yang terjadi pada Audi. Ruangan yang sengaja Darren gunakan untuk membalaskan dendamnya atas kejadian yang menimpa sang istri. "Apakah kau sedang melakukan aksi balasan dendam apa yang anak buahku lakukan pada istrimu itu?" Sofi tertawa sinis. Ia yang duduk di atas satu buah kursi kayu dengan tangan terikat, tampak tidak takut meski saat ini ia dikelilingi banyak laki-laki berbaju hitam dan berwajah sangar. Sofi seperti sudah biasa menghadap
"Aku sudah hancur, Darren. Jadi, aku tak peduli lagi kalau kau mau membalaskan dendam kepadaku." Sofi terlihat menantang Darren. Wanita itu berpikir bahwa apapun hukuman yang akan Darren berikan tak akan jauh dari menyiksanya atau membunuh sekalian. Baginya, tak ada beda. Ambisinya untuk mendapatkan Darren sudah tak lagi ia bisa gapai. Lalu, keinginannya untuk menyakiti Audi, juga sudah gagal ia lakukan. Terlebih ketika drama penangkapannya malah tak ditanggapi oleh sang papa, pikirnya buat apa lagi ia hidup. Darren menyeringai melihat sikap pasrah Sofi. Sungguh berbanding terbalik ketika wanita itu memandangnya angkuh di awal tadi. "Apa menurutmu mati adalah jalan satu-satunya?" tanya Darren seraya berdiri."Aku sudah katakan, apapun itu aku tak peduli lagi."Dengan sikap selayaknya pria yang geram atas penculikan yang terjadi pada istrinya, Darren tahu bahwa ia sudah sepatutnya membalas. Jadi, meski wajah Sofi sudah menyiratkan ekspresi kasihan, tidak bagi Darren yang justru teri
Kondisi Audi berlangsung membaik setelah beberapa hari paska penculikan yang terjadi padanya oleh Sofi. Darren yang menumpahkan segala perhatian, betul-betul membuat kesehatannya semakin membaik dan kembali pulih. Rasa trauma sebab kejadian tersebut kini berangsur hilang setelah sang suami membuatnya benar-benar lupa akan semuanya. Bahkan, tak segan pula Darren meliburkan diri untuk tidak bekerja demi menemani Audi di rumah atau sesekali pergi keluar jalan-jalan hanya untuk sekedar cuci mata. Kini seminggu sudah berlalu Darren harus kembali ke kantor sebab banyak pekerjaan yang tertunda karena cutinya. Meski ia sang pemilik, tetap saja ada bagian-bagian pekerjaan yang tidak bisa diambil alih oleh Zain. Namun, Darren harus memastikan bahwa kondisi Audi benar-benar sudah sehat. Seperti pagi itu ketika ia selesai mandi, sang istri sudah tak ada di atas ranjang, bahkan di kamar. Tapi, ada satu setel pakaian kantor yang sepertinya wanita itu siapkan ada di ujung tempat tidur. Darren me