Darren sudah mengunci pergerakan Audi ketika keduanya sudah masuk ke dalam ruangan. Lelaki itu bisa melihat kegugupan yang tampak pada wajah istrinya ketika ia mendorongnya ke dinding. "Dar-Darren, aku bisa ceritakan semuanya. Tapi, jangan begini. Aku merasa sesak.""Sesak? Sesak kenapa?"Audi menggeleng lemah. "Apakah karena ini?" tanya Darren sembari menempelkan tubuhnya sehingga mereka begitu dekat sekarang. "Dar, please ....""Atau karena ini?" Darren kembali bertanya dengan tangan yang sudah mulai terangkat menyentuh pipi Audi. Sudah tak mengerti lagi bagaimana perasaan Audi sekarang. Sang suami seperti sengaja menempatkan dirinya dalam 'bahaya'. "Waktu satu jam akan habis kalau kamu bersikap begini, Darren.""Bukan masalah." Darren menyahut cepat. Sontak Audi mendongak. Ia tidak menduga jika Darren menipunya dengan mengatakan bahwa mereka akan mengobrol sembari menunggu makan siang tersedia. Padahal kenyataannya, lelaki itu selalu mencuri kesempatan dalam kesempitan dengan
"Darren sudah cukup, aku mohon," ucap Audi ketika rasa gila kini mulai hadir seiring sentuhan Darren di seluruh tubuhnya. Meja tempat di mana kertas dan map berisi laporan milik Darren yang tampak tersingkir karena ada tubuh Audi duduk di atasnya, menjadi saksi di mana sang pemilik seolah lupa ingatan akan keberadaan mereka di ruangan kantor tersebut. "Apakah kamu sudah bisa melupakan semuanya? Apakah trauma itu masih membayangi pikiranmu?" tanya Darren masih asik dengan dua bongkahan lembut di bibirnya. "I-iya, hampir lupa," ujar Audi terbata. Ia merasa sesak napas sebab aksi sentuhan Darren yang menggila dengan lidahnya. "Hampir? Jadi belum hilang seutuhnya?" Darren merasa kecewa dan bersalah dalam waktu yang bersamaan. Audi sudah tak kuat lagi membuka mata. Respon atas sensasi geli yang tubuhnya rasakan, membuat matanya terpejam dengan napas terengah-engah. "Bagaimana aku bisa mengatakan hilang jika kamu terus menyentuhku seperti ini.""Apakah ini membuatmu sakit?""Tidak. Ta
Audi tampak lemas setelah Darren mengajaknya berolahraga di hari menjelang makan siang. Meski kepayahan, perempuan itu berusaha untuk tetap terjaga dan tidak terlelap karena kecapekan. Di atasnya, Darren yang baru mendapat pelepasannya, begitu intens memandang Audi seraya bibir yang tak berhenti mengecup telapak tangan istrinya itu. "Andai bukan di kantor, mungkin aku akan melewati momen ini hingga kamu tak sadarkan diri.""Jangan gila. Kalau itu kamu lakukan, walau di rumah sekali pun, aku yakin bukan hanya tak sadarkan diri karena tidur atau pingsan, tetapi tak sadarkan diri yang benar-benar tak bangun lagi."Bukan takut atau khawatir, Darren justru tertawa mendengar kalimat Audi yang dilontarkan dengan nada kesal itu. Ia lantas mendekatkan kepala untuk mencium pipi istrinya. "Tidak mungkin aku dengan sengaja melakukan hal itu. Lagi pula apakah dulu ketika aku bertindak kasar padamu, hal itu sampai membuatmu mati? Tidak bukan? Kamu masih hidup sampai sekarang, 'kan? Bahkan, kita k
Santapan makan siang yang Zain hidangkan di atas meja, tampak bersih setelah Audi dan Darren menyantapnya. Tersisa beberapa hidangan pendamping yang asisten pribadi itu siapkan cukup banyak, yang mungkin akan segera berpindah ke pantry saat petugas kebersihan merapikan semuanya. Audi sedang berada di toilet kantor suaminya, membersihkan sisa-sisa minyak atau kotoran setelah makan siang sekaligus melakukan hajat kecil yang sudah ia tahan sejak tadi. Di tempat lain, Darren terlihat serius berbicara dengan Zain yang sambil mengawasi seorang OB dan cleaning service membersihkan area bekas Darren dan Audi makan. "Beberapa proyek yang kita sedang kerjakan sudah bisa Anda lihat, Pak. Para staf di lapangan sejauh ini bekerja dengan sangat baik," lapor Zain setelah Darren menanyakan proyek pembangunan yang sedang berjalan, termasuk salah satunya kerja sama yang sedang ia jalani dengan perusahaan milik keluarga Sofi. "Bagaimana dengan Pak Gunawan, apakah beliau turut terlibat dalam kerja sam
Mendapat ciuman penuh penghayatan dari sosok Audi setelah ia mengungkapkan perasaan cinta yang sebenarnya, membuat Darren teramat bahagia. "Aku tidak akan memaksa untuk kamu mencintaiku, tetapi dengan kamu mau tetap bersama dan melewati hari-hari denganku, itu semua sudah cukup. Aku tak mau menjadi manusia yang serakah asalkan bisa membuat kamu bahagia dengan segala hal yang apapun akan aku lakukan, tak ada hal lain yang aku mau selain dirimu terus berada di sisiku."Kalimat itu terus berdengung di telinga Audi sampai ia kemudian dikejutkan dengan kedatangan Tasyi yang entah apakah sudah memiliki janji atau belum dengan suaminya, masuk tanpa mengetuk pintu atau pun izin. "Darren, aku nunggu kamu lama banget loh! Aku pikir kamu lagi meeting, tahunya ..." Datang-datang Tasyi langsung berkata kesal. Tampak ekspresinya memandang malas Audi."Bukannya tadi kamu bilangnya begitu? Kok malahan mesra-mesraan sama istri kamu." Tasyi masih saja bicara, bahkan ia seperti tak peduli ketika Darr
Jalan raya menjelang sore hari sudah mulai terpantau padat ketika mobil yang Audi kendarai masih berjibaku dengan kendaraan yang lain. Saat matanya fokus menatap jalan, pikirannya juga seolah masih ingin melanglang buana ke cerita serunya di kantor Darren. "Tasyi adalah kekasih pertamaku. Mungkin bisa dibilang mantan terindah sebelum wanita itu mengubah perasaan dan pikiranku setelahnya."Kalimat yang Darren sampaikan masih berdengung di telinga Audi sampai perempuan itu sudah duduk di balik kemudi menuju perjalanan pulang. Ya, pembicaraan antara Audi dan Darren harus terhenti sebab panggilan dari seorang rekan kerja pengusaha itu untuk pertemuan dadakan. Alhasil, Audi harus pulang lebih dulu yang sebelumnya berencana menunggu suaminya itu selesai bekerja. Obrolan yang masih berfokus pada sosok Tasyi, sebetulnya amat sangat membuat Audi penasaran. Informasi mengenai status perempuan itu yang adalah benar mantan kekasih suaminya, bukanlah sebuah isapan jempol. Mungkin ia masih menco
Audi tampaknya sudah sangat siap dengan pembicaraan yang akan terjadi saat ini bersama Tasyi. Sikapnya yang santai, memang sengaja ia tunjukkan di depan mantan kekasih suaminya itu. "Mungkin kamu sudah tahu kalau aku adalah mantan kekasih Darren?"Tasyi menengok, menatap Audi dan mendapat respon anggukan dari perempuan di sampingnya tersebut. "Tapi, apakah kamu juga tahu kalau kami hampir menikah sebelum akhirnya Darren menikahi kamu?" Ada ekspresi mencemooh dari wajah Tasyi ketika berbicara demikian, membuat lawan bicaranya menoleh dengan tatapan yang mungkin bisa diterka olehnya, kaget. Tasyi merasa berhasil. Ia menduga jika Audi tidak tahu apapun tentang kisah masa lalunya bersama Darren. "Ehm, bisa ya bisa juga tidak.""Kalau boleh tahu, apakah Darren pernah bercerita tentang masa lalu kami?" Tasyi kembali menyudutkan Audi akan sikap Darren yang mungkin menyembunyikan semuanya dari sang istri. "Ya." Audi menjawab pasti. "Termasuk rencana pernikahan kami yang gagal karena dia
"Hubunganku dengan Tasyi memang sudah seintim yang kamu bilang, dalam artian dekat, sangat dekat malah. Bahkan, kedua keluarga sudah merasa cocok dan mengharapkan pernikahan segera berlangsung."Aksi Darren yang malam itu ingin mengulang apa yang telah terjadi siang tadi di kantor, harus ia jeda sebab permintaan Audi yang ingin tahu mengenai kisahnya dulu ketika masih berpacaran dengan Tasyi. "Jangan memandangku seperti itu!" Tiba-tiba Darren berseru sebab melihat ekspresi kaget sang istri. "Asal kamu tahu, keperjakaanku aku berikan pertama kali saat kita melangsungkan malam pertama, yaitu denganmu.""Ah, aku pikir kamu sedang berbohong.""Kenapa kamu bicara begitu?" Darren menatap Audi yang malah melengos, menatap ke arah lain. Tapi, perempuan itu tidak langsung menjawab dan memilih diam. Membuat Darren gemas hingga kemudian menarik wajah istrinya itu lalu mendaratkan sebuah kecupan. "Jangan cium-cium terus. Bukannya kamu lagi cerita!" seru Audi merasa kesal. "Ya, habis kamu diam
Audi sudah selesai dengan lima tusuk sate Padang yang suaminya siapkan. Sekarang ia telah berpindah memandang buah-buahan yang semakin membuatnya ngiler. "Dari mana kamu dapatkan rujak ini, Darren?" tanya Audi sembari mencomot buah mangga yang terlihat mengkal. "Di depan kantor.""Hah! Benarkah? Kok aku tidak tahu ada tukang rujak di depan kantor?" ucap Audi dengan mulut yang kini penuh dengan buah dan sambelnya. "Ya, aku juga baru tahu setelah sekian kali lewat. Mungkin ini efek karena istriku sedang ngidam.""Apa? Bukannya kamu yang ngidam. Sejak awal mula aku hamil, aku ini cuma mabuk. Tidak sampai ngidam seperti ibu-ibu hamil pada umumnya. Justru kamu yang beberapa hari terakhir banyak permintaan. Semua makanan yang pelayan buat, tiba-tiba tidak kamu sukai. Kamu malah nyuruh aku yang masak, padahal dulu hal itu kamu larang." Audi manyun membela diri. "Ya, maksud aku itu karena kamu hamil, aku jadi banyak maunya.""Ih, enggak ada hubungannya, Darren. Bagaimana bisa aku yang ham
Siapa yang menyangka, satu kalimat yang Audi ucapkan berujung pada 'pertarungan' sengit yang terjadi antara pasangan suami istri tersebut. "Pelan-pelan, Honey. Aku tak mau menyakiti calon bayi kita," ucap Darren saat menyadari aksi Audi yang saat itu lain dari pada biasanya. "Aku tahu, Darren. Ini masih biasa menurutku. Bahkan, kamu bisa melakukan lebih dari yang aku lakukan sekarang.""Ya, aku tahu. Tapi, ini menurutku berlebihan. Aku bisa kehilangan kendali kalau kamu terus bergerak dan memancingku seperti ini."Darren masih bertahan dengan tidak membalas sikap agresif Audi. Lelaki itu yang kini memilih berada di bawah dan mempersilakan sang istri melakukan aksinya sesuai insting-nya sebagai seorang perempuan, berkali-kali harus menahan napas dan menenangkan otaknya dari kemesuman yang kerap ia lakukan. "Aku tidak berniat memancingmu, Darren. Ini spontan saja aku lakukan. Jadi, jangan menyalahkan aku atas pertahanan yang kamu lakukan saat ini."Darren menggeram kesal. Ini sudah d
Audi mencoba menghubungi Darren setelah lelaki itu memutuskan panggilannya sepihak. Namun, pengusaha itu sepertinya benar-benar marah karena beberapa panggilan dari wanita itu diabaikan bahkan yang terakhir ditolak. 'Ah, dia benar-benar marah. Aku harus melakukan sesuatu.' Audi membatin. Hingga kemudian ia menghentikan permainan bersama para pelayan, dan meminta supir untuk menyiapkan mobil. "Ibu mau ke mana?" Salah seorang pelayan bertanya. Sembari berjalan ke kamar, Audi menjawab santai. "Mau ke kantor. Saya mau menemui tuan.""Ta-tapi, Ibu tidak diizinkan pergi kemana-mana sama tuan." Pelayan yang masih ada di dekat Audi tampak panik begitu mendengar jawaban yang terlontar. "Kalo ke kantor gak mungkin gak diizinin." Audi tersenyum menatap para pelayan yang berbondong-bondong mengikutinya di belakang. "Nanti kalau Tuan Darren marah gimana?""Makanya supaya dia gak marah, saya mau ke sana nyamperin."Jawaban Audi memang masuk akal. Darren memang kadung bucin pada Audi, tentu ke
Masa kehamilan yang Audi alami nyatanya malah menimpa Darren. Lelaki itu —entah bagaimana bisa sekarang malah menyukai makanan yang asam-asam yang kerap disukai oleh para ibu hamil. Seperti siang itu, setelah jam makan siang usai, tiba-tiba saja Darren meminta Zain —yang telah kembali dari liburannya, untuk membelikan buah-buahan yang memiliki rasa asam. "Jangan lupa minta sambalnya kalau ada," ucap Darren ketika Zain sudah akan keluar ruangan sang tuan. "Pakai sambal? Apa maksud Tuan rujak?""Apakah itu namanya rujak? Bukan salad buah?""Kalau macam-macam buah yang asam dan ada sambelnya, ya memang rujak, Tuan."Darren berpikir sejenak. Sebelumnya ia sama sekali tidak minat melihat makanan yang dijual di pinggiran jalan tersebut. Tapi, tiba-tiba tadi ketika ia pulang dari sebuah meeting dengan klien, mendadak ia tergiur saat melihat aneka warna buah yang terdapat pada sebuah kotak kaca, yang dijual di pinggir jalan dekat dengan gedung perusahaannya. "Ya, apapun itu namanya, tolon
Dokter memeriksa perut Audi beberapa waktu kemudian. Ditemani Darren yang juga turut mengamati jalannya USG, Audi masih belum bisa menghilangkan keterangannya atas hasil medis yang akan dokter sampaikan. "Janinnya memang masih sangat kecil, tapi tampak jelas terlihat. Memang kami belum bisa memastikan ada kelainan yang terjadi sekarang sampai kita melihat perkembangan janin di bulan-bulan berikutnya." Dokter bicara sembari masih memainkan sebuah alat di atas perut Audi. "Jadi, apakah kami masih bisa berpikir tenang untuk sekarang ini, Dok?" Darren bertanya meyakinkan. "Tentu. Hanya saja karena ada kecerobohan yang pernah Bu Audi lakukan, hal itu yang akan menjadi pengawasan dokter.""Kecerobohan?" tanya Darren tak mengerti. Apa yang sudah istrinya lakukan sehingga membuat dokter mengkhawatirkan calon anaknya. "Anda belum tahu?"Darren melirik pada Audi seraya menggeleng. Tampak ekspresi panik yang istrinya tampilkan saat ini, yang mau tak mau membuat Darren penasaran. "A-aku suda
Audi mendongak ketika Darren mengatainya bodoh. "Aku bodoh?""Ya! Kamu bodoh. Apa yang kamu pikirkan tentang perjanjian itu, hingga harus membuatmu melakukan tindakan ini?"Audi diam, malu untuk menjelaskan alasannya. "Apa karena kamu takut jika perjanjian itu akan membuatmu menderita sehingga ketika memiliki anak hanya akan membuat hidupmu semakin susah begitu?"Kali ini Audi mengangguk. "Apakah kamu berpikir perjanjian itu akan membuat kita berpisah dan aku tak akan bertanggung jawab bila kamu hamil?"Lagi, Audi mengangguk. "Berarti benar, kamu bodoh!""Darren! Apakah tidak cukup mengatakan aku bodoh sebanyak dua kali? Jelaskan padaku tindakan bodoh apa yang aku lakukan hanya karena khawatir akan nasib calon anak kita nanti. Ah, bahkan aku tidak tahu apakah pantas aku menyebutnya 'anak kita'."Tiba-tiba saja Darren mengetuk dahi Audi pelan. "Darren, apa-apaan!" Perempuan itu tampak tak suka. Bukannya menjawab dan menjelaskan, sang suami malah melakukan 'kekerasan fisik' padanya
Sejenak Darren terdiam saat melihat Audi tengah berbincang dengan Tasyi, sang mantan kekasih. Namun, sedetik kemudian Darren tersadar begitu Audi memanggilnya. "Apa yang terjadi padamu?" tanya Darren cepat seraya menghampiri dan memeluk tubuh istrinya itu. Darren tampak tak peduli meski ada Tasyi yang menatapnya dalam diam. "Apa yang sudah kamu lakukan pada istriku?" Kali ini Darren menuduh Tasyi yang telah membuat sang istri masuk ke rumah sakit. Lelaki itu melepaskan pelukan terhadap istrinya demi menatap wajah wanita yang beberapa waktu belakangan tidak lagi terlihat. "Darren, aku ...." Tasyi kaget ketika Darren menatapnya tajam. "Katakan padaku, apa saja yang sudah ia lakukan sampai kamu harus dibawa ke sini?" Darren menoleh, melihat wajah Audi yang terlihat lemah. "Tidak ada.""Jangan bohong, Audi.""Kenapa aku harus bohong. Memang tidak ada yang Tasyi lakukan. Malahan ia membantuku saat aku pingsan. Ia datang tepat waktu ketika aku akan dibawa ke sini."Terlihat Audi menj
Darren terlihat cemas sebab panggilannya ke Audi tak kunjung diangkat. Merasa kesal akhirnya ia menghubungi telepon rumah berharap mendapat informasi mengenai sang istri. "Hallo, keluarga El-Syauqi di sini!" sapa salah seorang pelayan membuat Darren sedikit lega. "Dengan siapa saya bicara?""Eh, Tuan. Maaf ... ini Ajeng, Tuan.""Ajeng, ibu apakah ada di rumah?"Darren bertanya demikian karena katanya hari ini Audi izin mau melihat toko yang tertunda pembukaannya. "Eh, itu, Tuan.""Itu apa? Hari ini ibu jadi pergi keluar tidak?""Eh itu ... tadinya ibu memang mau berangkat. Tapi, maaf ... apakah Tuan belum mendapatkan kabar?""Kabar apa? Kamu kalau bicara yang jelas, jangan muter-muter bikin saya bingung." Darren mulai terlihat emosi. "Ma-maaf, Tuan. Anu, itu ... ibu dibawa ke rumah sakit.""Apa? Yang benar kamu!""I-iya, Tuan. Sekitar lima belas menit yang lalu ibu pingsan, kemudian langsung dibawa ke rumah sakit.""Kenapa tidak ada yang menghubungi saya?""Maaf, Tuan, tadi Mbak T
"Kamu yakin baik-baik saja aku tinggal?" Darren bertanya ketika sudah akan berangkat ke kantor. Melihat Audi yang tersenyum di depannya, Darren berpikir bahwa istrinya benar-benar sudah pulih dari rasa trauma akibat peristiwa tempo hari lalu. "Kamu fokus bekerja saja. Aku akan baik-baik saja. Kamu lihat sendiri aku sudah sehat dan segar bukan?" ucap Audi sembari memutar tubuhnya supaya Darren lihat. "Hem, ya. Aku harap memang seperti itu. Tapi, segera kabari aku kalau terjadi apa-apa padamu.""Hei! Kamu menginginkan ada hal buruk terjadi denganku?" Audi berseru kaget. Terlihat kalau sebetulnya ia hanya sedang bersandiwara. "Jangan salah sangka," ucap Darren sembari menarik tubuh istrinya itu ke dalam pelukan. "Aku hanya merasa sangat khawatir setelah peristiwa itu," lanjut lelaki itu sambil mengecup kepala sang istri. "Tenang saja. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan. Ada banyak orang di sini. Mereka pasti akan selalu bersamaku.""Ya, itu harus. Kalau tidak, aku pasti akan menggo