Sore itu Darren mengabari Audi kalau ia akan pulang terlambat sebab ada undangan pesta yang harus ia datangi. Bukan sebuah pesta besar yang biasanya harus membawa pasangan, tetapi sebuah undangan makan malam dari salah seorang sahabat lama yang juga masih saudara jauhnya. 'Kamu tidak bilang waktu tadi pagi! Memang ke pesta siapa?'Audi menyahut sedikit kesal dan jelas terdengar di telinga Darren. "Ya, aku lupa kalau ada undangan pesta kepulangan Candra dan keluarganya."Audi diam. "Apakah kamu marah?"'Enggak. Siapa yang marah? Kalo gitu aku juga izin mau pergi makan malam sama temen.'"Teman? Teman yang mana? Setahuku kamu cuma punya teman yang namanya Sofi saja."Darren merasa heran dengan kalimat yang Audi sampaikan. Ia merasa istrinya tumben sekali akan pergi ke suatu tempat dengan temannya. Sebab setahu pengusaha itu, istrinya bukanlah seseorang yang memiliki banyak teman. Audi adalah perempuan pendiam, jarang bergaul atau bersosialisasi -itu yang Darren tahu selama ia menjadi
Tujuh tahun lalu, Darren harus memohon pada Tasyi untuk tidak pergi meninggalkannya. Perempuan itu bersikeras ingin melanjutkan sekolahnya ke luar negeri karena ingin mengasah bakat seni yang dimiliki. "Hanya dua tahun, Darren," ucap Tasyi waktu itu. "Aku akan kembali dan menerima lamaranmu. Saat itu juga kita akan menikah sesuai keinginanmu."Namun, apa yang terjadi? Janji yang Tasyi ucapkan tidak pernah perempuan itu tunaikan. Dua tahun Darren menunggu, tak ada kabar di mana katanya ia akan kembali ke tanah air. Sebetulnya bisa saja Darren menyusul dan menagih janji. Tapi, lelaki itu seperti ingin menguji seberapa serius perempuan itu atas janjinya. Hingga tahun ketiga perempuan itu muncul memberi kabar, tetapi seolah lupa dengan rencana menikah yang sudah keduanya rencanakan. Tasyi tetap tidak pulang. Ia seperti menikmati momen di luar negeri sana, tanpa peduli dengan Darren yang sudah waktunya untuk menikah. "Aku masih muda untuk menikah sekarang, Dar. Aku masih ingin mengemba
Audi bisa merasakan aliran listrik menerjang sekujur tubuhnya kala melihat sosok Darren berdiri di sisi bangku yang ia duduki. Meski ekspresi yang suaminya tunjukkan tenang, tetapi Audi sangat yakin jika lelaki itu tengah menahan amarah di dadanya. "Bolehkah aku ikut bergabung?" tanya Darren santai menatap sang istri. Ia juga bisa melihat respon lelaki di depan Audi yang terlihat tenang dan malah tersenyum menyilakan."Dengan senang hati. Sudah lama juga saya tidak berbincang dengan Anda," ucap Surya, lelaki yang ternyata adalah teman masa kecil Audi yang baru saja kembali dari luar negeri sebab urusan bisnis. Tanpa sungkan Darren duduk di bangku yang Zain tarik, bersebelahan dengan Audi seolah ingin menunjukkan pada lelaki di depannya bahwa perempuan yang malam itu terlihat cantik dengan dress putih dan celana panjang berwarna coklat susu adalah miliknya. Lalu, masih dengan senyum di bibirnya, Darren menatap teman Audi yang terlihat sama sekali tidak terintimidasi. "Apakah aku ter
Mobil baru berjalan sekitar lima puluh meter meninggalkan area parkir restoran ketika Darren menarik tubuh Audi untuk duduk di atas pangkuannya. Audi jelas terkejut, tetapi ia tahan ketika menyadari jika sekat penghalang bangku depan dan belakang belum ditutup. Menyadari kepanikan yang tampak di wajah Audi, seketika Darren menekan tombol yang ada di pintu mobil di sebelahnya, yang otomatis membuat sekat berwarna hitam itu meluncur naik, lalu berhenti setelah menutup sempurna. "Sudah berani sampai sejauh ini?""Apa yang kamu katakan, aku sama sekali enggak ngerti." Audi mencoba menahan suaranya yang gugup agar tidak tampak terintimidasi atas aksi Darren padanya. "Masih bisa akting setelah ketahuan menikmati waktu bersama dengan kekasih hati? Begitu bahagia sebab sudah lama tidak bertemu, hem?""A-apa yang kamu katakan ini, Dar. Siapa yang bahagia? Siapa yang kamu maksud kekasih hati?"Darren bisa melihat wajah Audi yang panik. Tapi, tak ada semburat merah yang biasanya hadir kala i
Sepanjang malam sampai pagi menjelang, tak ada ucapan yang keluar dari mulut Audi selain jawaban atas pertanyaan yang Darren ajukan. Selebihnya, perempuan itu lebih banyak diam dan mengurung diri. Sebenarnya Darren menyadari itu, tetapi ia memilih membiarkan aksi tutup mulut sang istri dibanding harus menyerah dengan bersikap lembek padanya. Entah mengapa, ia tiba-tiba kembali menjadi Darren yang kemarin, kembali angkuh dan egois.Tapi, sepertinya hal itu terjadi sebab kehadiran Surya yang mana sosok lelaki itu sedang ia curigai memiliki ketertarikan pada istrinya. Pertemanan yang terjadi sejak keduanya masih kecil, membuat rasa tak senang mulai menghinggapi. Darren cemburu, tetapi ia tidak mau mengakui itu. "Ada berapa agenda kita di luar hari ini?"Saat ini Darren sudah duduk di meja makan. Bersama Audi yang masih banyak menunduk dan menikmati sarapan dalam diam, juga Zain yang pagi itu diminta Darren untuk datang. "Satu saja jam tiga sore nanti," jawab Zain yang pagi itu juga i
Sesuai bayangan Audi, apa yang terjadi ketika ia duduk di ruangan kantor Darren, adalah satu hal yang membosankan sebab lelaki itu malah pergi rapat dengan para jajaran direksi. Sungguh, andai ia berani sebenarnya diam di rumah dan berbincang dengan para asisten rumah adalah hal yang lebih menyenangkan. Sekarang yang bisa Audi lakukan hanya bermain ponsel ditemani hidangan dessert yang sayangnya tidak membuat tergugah seleranya. Satu buah pesan masuk ke ponselnya ketika ia sedang asik berselancar di dunia maya. Pesan yang ternyata dikirimkan oleh Surya, segera ia buka dan baca. 'Aku sudah mengirimkan rencana bisnis kita ke email kamu. Kamu bisa cek, lalu beri saran dan komentar.'Setelah membaca pesan tersebut, lentiknya jemari Audi sudah berpindah menuju kotak email yang ada di layar wallpaper. Rencana bisnis, begitu judul yang Surya tulis di subyek email. Lalu, Audi buka sebuah pesan berisi file tersebut. Kemarin saat Audi dan Surya bertemu di restoran, sebenarnya selain karena
"Om Gunawan! Apa kabar? Lama kita enggak ketemu," sapa Audi yang mengurungkan niatnya untuk masuk ke ruangan khusus di kantor Darren. Audi yang sudah lama kenal papanya Sofi, merasa tak memiliki masalah dengan lelaki paruh baya itu. Sehingga baginya, menyapa Gunawan adalah satu keharusan sebagai seseorang yang memang saling mengenal. Senyum tampak di wajah Gunawan, papanya Sofi. Lelaki itu langsung memeluk Audi yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri sebab kedekatan hubungan Audi dengan Sofi yang tidak ia ketahui jika sudah sejak dua tahun lalu mengalami keretakan. "Kabar Om baik. Gimana kamu sendiri, Di. Gimana juga kabar keluarga kamu? Om harap semua permasalahan yang kalian hadapi bisa segera berakhir.""Terima kasih untuk doanya, Om. Karena berkat doa orang-orang yang masih sayang sama keluarga aku, termasuk Om tentunya, semua masalah keluarga kami sedikit demi sedikit berangsur membaik.""Ah, syukurlah. Om senang dengarnya. Tapi, ngomong-ngomong ... kenapa kamu bisa ada d
Entah sudah berapa lama Audi terpejam hingga dalam mimpinya ia merasakan momen dejavu yang membuat napasnya terengah-engah. Audi bukan sedang lari dalam mimpinya tersebut, tetapi ia seperti tengah merasakan satu kenikmatan yang tiada bisa ia ungkapkan selain melampiaskan melalui deru napas yang mirip seperti orang yang sedang berkejaran. Satu momen yang ia tangkap dalam mimpinya itu, ia seperti tak berbusana sama sekali, yang anehnya dirinya tidak merasakan kedinginan sedikit pun. Justru, sebaliknya. Audi merasa gerah dan kepanasan bukan main. Audi tidak melihat siapa pun dalam mimpinya itu. Yang ia tahu, ia bisa merasakan satu sentuhan demi sentuhan lain di sekujur tubuhnya. Sentuhan dari tangan seorang lelaki yang tidak tampak di mimpinya itu. "Ah!" Satu desahan lolos tanpa Audi sadari. Tapi, terdengar bergema di dalam kepalanya yang mendadak pening. Ya, Audi merasa pening. Sentuhan yang berakhir kenikmatan itu membuat kepalanya seperti ingin meledak. Audi tak tahu apa yang ter