Waktu makan malam pun tiba, semua berkumpul di meja tidak kecuali Manan ia pun duduk bersama mereka. Seperti biasa Safia akan mengambilkan Manan makanannya di piring pria itu dan meletakan di atas meja di depan ia duduk, lalu mengambilkan anak-anaknya lalu kemudian dirinya. Tak ada percakapan apa pun di meja Makan itu, Amar menatap keduanya lalu kembali sibuk dengan makanannya sendiri "Papa tadi sebenarnya kami mau masuk di restoran Pasola restoran untuk makan siang, tapi kami tidak jadi karena kami melihat Papa masuk ke sana bersama teman papa, iyakan, Dek?" tanya Amar membuat Manan terkejut dan tersedak Safia menatap beberapa saat merasakan sesuatu yang aneh pada suaminya itu, ia pun mengambilkan minuman dan menyerahkan pada pria itu dan Manan pun menerima dan meneguknya dengan cepat. "Aku sih tidak tahu, mas Amar yang tahu," ucap Erina jujur. Manan menatap putra yang terlihat biasa saja tetapi Ia tahu ada banyak pertanyaan dalam benaknya apalagi putranya itu melihat dirimu
Safia terkejut dengan perubahan Manan. "Tunggu mas Manan kita belum selesai berbicara." "Apalagi yang mau di bicarakan Safia?" tanya Manan. "Tentang Kita dan anak-anak setelah. memutuskan bercerai, apa mereka dipisahkan karena keegoisan kita?" "Tidak, mereka akan dalam pengasuhanku dan kau Boleh kapan saja menemuinya," ucap Manan. "Tidak bisa Erina akan bersamaku, atau mereka berdua bersamaku kau buat lagi sendiri,"ucap Safia. "Kau pikir aku akan membiarkan mereka bersamamu, Tidak Safia," ucap Manan "Mas kau jangan egois, Erina putriku, aku berhak atas dirinya, jadi biarkan dia ikut denganku," ucap Safia. "Erina itu perempuan aku biarkan dia tinggal dengan ayah tirinya." ucap Manan "Jadi kau benar-benar akan.menceraikanku?" Tanya Safia. 'Tentu saja Safia setelah aku menemukan wanita yang kuinginkan, kau tahukan selama ini aku tidak pernah mencintaimu dan kita sudah berusaha Safia dan tidak ada getaran diantara kita dan aku tahu kenapa kau berubah semakin berani melaw
"Apa kau puas mereka tahu?" tanya Manan dengan tatapan tajam pada Safia "Kau dari dulu selalu menyalahkanku, aku tadi malam mengajak kau bicara baik-baik tapi justru kau mengajaku bertengkar. kau yang mulainya tapi aku yang kau tuduh," ucap Safia beranjak dari duduknya. "Kau mau ke mana? Kita belum selesai berbicara jadi tetaplah di tempat dudukmu!" tegas Manan. "Untuk apa? Agar bisa kau salah-salahkan, semua yang terjadi dalam rumah tangga kita semuanya aku yang salah pada kesalahanku cuma satu ingin mau perjodohan denganmu karena anakmu yaitu Amar, Aku ingin menjadi Ibu yang baik bagi Amar dan Erina tetapi jika itu kau sebuah kesalahan aku juga akan pergi lakukan apa yang ingin kau lakukan aku tidak akan menghalangimu lagi!" tekan Safia dan beranjak duduknya lagi lalu melangkah pergi. "Berhenti, Safia!" teriak Manan sambil meraih tangan Safia dan menariknya kencang hingga menabrak dada bidang itu lalu mengangkat dan memanggulnya layaknya karung beras. "Lepaskan aku, Mas! K
"Baiklah aku setuju," ucap Safia dengan sangat terpaksa. 'Begitu saja lama, kau itu sekarang CEO, keputusan harus cepat kau ambil," ejek Manan. "Apa hubungannya dengan aku sekarang CEO sama keputusan yang ku ambil saat ini," banta Safia. "Tentu saja ada hubungan, karena kamu terlalu aku jadi terlambat ke kantor, andai saat ini harus menandatangani bertemu klien dan aku atau kamu membatalkannya berapa kerugian yang bakal ditanggung perusahaan, ini yang harus kamu pahami pemimpin tidak boleh cengeng seperti kamu maka kau akan mudah dilibas oleh saingan bisnismu," celoteh Manan sambil berbalik badan membuka pintu kamar dan keluar dari kamar dahulu. Beberapa langkah ia berhenti dan menoleh kebelakang. Belum terlihat Safia ia pun berteriak sangat kencang, "Safia apa kau tidak ingin berangkat kau sudah menyita waktuku sangat banyak!" Safia terjengkit dan beranjak dari duduknya lalu berlari menyusul Manan yang berjalan cepat menuruni tangga karena terburu-buru ia pun terpeleset kare
"Ternyata ia belum jauh," bisik safia lirih. Manan berbalik arah dan berkata,"Nanti ku jemput kita sama-sama jemput anak-anak." "Baiklah terserah kau saja!," ucap safia malas Pria itu pun berjalan keluar dari ruangan itu masuk kedalam lift. pintu tertutup dan Tak lama terbuka Manan keluar serta berjalan menuju mobilnya lalu melanjutkan meninggalkan tempat itu. Beberapa menit ia pun sampai dan keluar dari mobilnya berjalan melewati lobby lalu masuk dalam lift dan keluar lagi setelah beberapa saat menuju ruangannya. Sampai sana ia pun di sambut oleh sekertarisnya. "Maaf, Anda di tunggu oleh nyonya Lala di ruangan Anda." "Oh, ya, aku lupa kalau aku ada rapat dengan dia," ucap sambil tersenyum lalu berjalan lagi tetapi berhenti lagi dan menoleh ke Citra. "Tolong suruh office girl mengantarkan makanan kecil dan minuman ke ruanganku. Citra mengangguk hormat dan pergi ke ruangannya sendiri dan meminta office girl membawa makanan ringan dan minuman Lewat interkom. Manan berja
Tak terasa sudah siang, sudah jam istirahat Safia melihat jam tangannya dan Ia mendes4h, ia harus menunggu Manan untuk menjemputnya Mereka berencana untuk menjemput anak-anaknya, dan makan siang, ia semakin gelisah saat menunggu Manan datang menjemputnya ia harus berpura-pura manis di hadapan Anak-anak mereka Tak lama, lelaki yang di tunggu, ia muncul di balik pintu dan berdiri tak jauh dari daun pintu. "Ayo kita berangkat ingat kamu harus senyum dan kita harus manis di hadapan Anak-anak. "Iya aku tahu," jawab Safia sambil mengambil tasnya di meja dan berjalan ke luar mengikuti Manan yang keluar lebih dulu. Mereka masuk ke dalam lift dan setelah sampai di lantai dasar mereka berjalan menuju mobil dan masuk kedalam lalu melaju dengan cepat menuju sekolah. "Kita harus tersenyum dihadapan anak-anak, jangan tunjukkan kalau kita dalam keadaan tidak baik-baik.," tekan Manan "Iya aku mengerti, tidak perlu kau ingatkan," ucap Safia. "Nadamu seperti itu menunjukkan kamu gak nger
Anak-anak mereka berhasil mereka manipulasi dengan permainan peran. Setelah mereka menaruh tubuh anak-anak di ranjang, mereka kembali model awal. Mereka kembali dengan ego mereka sendiri. Manan masuk kedalam ruangan kerjanya sedangkan Safia masuk ke dalam kamarnya sendiri. Safia menghembuskan napasnya, ia duduk di bibir ranjang ia mengingat pertemuan di restoran dengan Aran, sentuhan yang tak sengaja itu seperti masih terasa menyentuh pinggangnya. Begitu pertemuannya tadi di kantor seperti telah mengenal lama bahkan bahasa tubuh lelaki itu mirip sekali dengan sang almarhum suami. Safia memejamkan matanya ia berperang batin apa yang dirasakan hatinya ini salah atau benar. Kadang cinta tidak membutuhkan benar atau salah tetapi hatilah yang bicara. Sementara itu Manan di ruangan kerjanya pun sedang chattingan dengan Lala gadis yang sangat mirip Laila sang almarhumah Laila Mereka asik dengan hatinya masing-masing entah mengapa Manan tersenyum senang saat mengakhiri chatnya. Ma
Aran duduk menunggu tempat sudah reservasi. Wanita yang telah lama dirindukannya, ia sengaja menambahkan tahi lalat di bawah matanya agar sedikit berbeda dengan Akran Taksi sudah sampai di restoran yang dipilih Aran, Safia pun masuk dalam dan disambut seorang pelayan yang berdiri di depan pintu restoran. "Selamat datang ibu apakah sudah memesan tempat sebelum?" tanya pelayan wanita. "Saya Safia, tamu dari Tuan Aran Subagio beliau sudah reservasi tempat," jawab Safia. "Oh iya, mari saya antarkan Bu!" ajak pelayan wanita itu. "Trimakasih," ucap Safia sambil berjalan mengikuti pelayan wanita itu di sebuah ruangan. pelayan itu pun membukakan pintu untuk Safia lalu wanita itu pun masuk dalam ruangan itu Saat wanita itu datang dengan gaun yang pernah ia belikan saat berstatus sebagai suami wanita itu dulu. Aran terpukau ia menatap tanpa berkedip pada wanita itu. Ia pun berdiri menarik kursi untuk Safia. "Trimakasih, Tuan Aran," Safia dan duduk di tempat yang di sediakan oleh
Hari berjalan terus Manan sibuk dengan Lala bahkan tidak memperhatikan anak-anaknya selalu berangkat lebih awal, dan tidak pernah lagi sarapan pagi di rumah, ia lebih suka melakukannya di apartemen Lala. Amar mulai kehilangan sosok sang ayah, berbeda lagi dengan Safia, ia selalu saja menyempatkan dirinya untuk sarapan pagi dengan anak -anaknya dan masih mengantar jemput mereka. Akan tetapi Amar merasa sangat tidak suka saat Safia bersama lelaki lain saat menjemputnya bersama sang adik. Namun, Amar tidak bisa memprotesnya sebab sang mama bilang mereka baru meninjau bersama dan sekalian menjemput mereka. Sesampainya di atar di rumah, Safia kembali ke kantor bersama pria itu sedangkan Amar dan Erina berada di rumah dengan Ira sang asisten rumah tangga. Amar menatap mobil yang keluar dari pintu gerbang rumahnya lalu mengajaknya sang adik masuk ke dalam sambil berfikir bagaimana cara agar orang tuanya tahu, bahwa ia dan adiknya membutuhkan mereka berdua. Sampai di dalam mereka disa
Safia dengan tergesa-gesa berjalan menaiki tangga menuju kamar Sang Putri, Ia pun berhenti beberapa saat untuk menetralkan kemarahannya pada Manan yang entah kenapa bersikap sinis padanya. ia menghembuskan nafas beratnya lalu tersenyum kemudian berjalan masuk ke dalam kamar yang putri terlihat wajah lelaki yang duduk di bibir ranjang menemani sang adik yang belum tidur sana menunggu papanya untuk menemaninya tidur. "Mana Papa? Kenapa Mama kembali ke sini sendirian?" tanya Amar "Papa masih harus menyelesaikan pekerjaannya dia akan menyusul kemari, nanti setelah pekerjaannya selesai dan kamu Amar, Pergilah tidur di kamar tidurmu biar mama yang akan menemani adikmu sampai bapakmu kemari," perintah Safia. "Mama mengusir Amar?" tanya bocah lelaki itu. "Tidak, hanya besok kamu harus sekolah, jadi lebih kamu beristirahat di kamarmu sendiri lagi pulang adiknya masih sakit kan takutnya kamu juga akan terkena virusnya lalu ikut sakit yang repot siapa kan Mama juga," ucap Safiah. "Oh
Safia menatap kepergian Manan dengan hati galau. 'Apa ini benar, andai pun terjadi masalah antara aku dan Manan harusnya aku tidak boleh mempunyai ketertarikan dengan pria lain hingga masalah rumah tanggaku beres, tetapi lelaki yang memenjarakan dirinya dalam hubungan pernikahan hanya mau melepaskanku saat ada seseorang pria yang mampu menyentuh hatiku dan saat ini pria itu hadir, Namun kenapa aku merasa Mas Manan tidak sungguh-sungguh untuk melepaskanku. Meski tak ada rasa cinta dari sebuah hubungan pernikahan, tetaplah salah jika membina hubungan dengan pria lain di atas pernikahan yang rapuh.' batinnya sedih ia menatap putra sambungnya dan tersenyum berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. "Apa Mama baik-baik saja?" tanya Amar pada Safia. "Mama baik-baik saja sayang, jangan cemas tidak ada sesuatu yang di perdebatkan dengan papa, kami hanya mitra kerja, jangan terlalu berfikir yang belum saatnya kamu pikirkan," ucap Safia pada Amar. "Aku hanya ingin selalu bersama kalian,
Saya yang minta maaf, karena menyentuhmu, saya tunggu di ruang tamu," ucap Manan berjalan keluar dari kamar Lala sambil merapikan pakaiannya. Lala menghebuskan napas. 'Liar juga si Bapak punya anak dua itu,' gumamnya dalam hati. sambil melihat bercak merah di leher dan dada. ia pun mengambil pakaian di dalam lemari dan memakainya lalu berjalan keluar menuju ruang tamu untuk menemui Manan. "Hemm ... Bapak mau minum apa?" tanya Lala menghilangkan kecanggungannya terhadap pria itu. "Tidak usah repot-repot, kamu duduk di sini dengan saya saja, sebenarnya saya ingin meminta maaf padamu tetang perbuatan Amar padamu, malah jadi berlaku tidak senonoh, mestinya kamu menampar saya," jawab Manan. "Saya yang salah, keluar hanya memakai handuk saja, jadi maaf bukan maksud saya untuk menggoda Anda. "Tidak, saya merasa kamu tidak menggoda saya wajar saja karena saya tidak memberi tahumu sebelumnya kalau saya datang. Justru saya minta maaf atas kelancangannya saya, Saya jamin tidak akan ter
"Bagaimana?" tanya Aran saat Safia telah tiba di ruang tamu. "Hem gak tahu, kayaknya di sekolah ada masalah sehingga seperti itu," jawab Safia pada lelaki itu. "Oke, karena anakmu sudah pulang aku pulang saja, takut menganggu quali time kamu saja," pamit Aran. "Oh ya, maaf penyambutan putraku yang mungkin membuat kamu tidak enak hati," ucap Safia pada pria itu. "Tidak apa-apa, jangan lupa besok pagi-pagi kita harus sudah sampai ke lokasi proyek, jika mobilmu masih di perbaiki maka nanti akan kujemput, bagaimana?" tanya pria itu pada Safia. "Tidak usah aku mau ke kantor dulu," ucap Safia. "Iya, di kantor maksudku," ucap Aran pada Safia. "Baiklah terserah Anda saja," ucap Safia tersipu dan Aran menggangguk sopan lalu pria itu pun keluar dari ruang tamu menuju mobilnya dan masuk serta mengemudikannya berjalan melewati gerbang rumah Manan. Safia menatap mobil itu hingga pergi menjauh. Ia menggelengkan kepalanya menepikan rasa yang ada dalam dirinya. Ia berjalan masuk kem
Taksi membawa Manan dan putranya pulang ke rumah, tadi dia berniat untuk pulang tetapi ia berfikir untuk meminta maaf secara langsung pada Lala. Ditengah perjalanan ia pun berubah pikiran. "Hem, sepertinyq Papa hanya bisa mengantarkanmu sampai pintu gerbang karena Sekertarisnya Papa, mbak Citra mengingatkan papa kalau jam satu akan ada rapat," jelas Manan pada sang putra. "Baiklah terserah Papa, dari tadi kan Amar ingin pulang sendiri, Papa saja yang memaksa untuk mengantarku pulang," jawab Amar pada Manan dengan ketusnya. Bocah lelaki itu menduga pasti sang ayah akan menemui Tante-tante yang menjemputnya tadi untuk miminta maaf. Manan menatap putra dengan lekat sambil menghelah napas. Taksi pun berhenti tepat di depan pintu gerbang rumahnya dan Amar pun turun sendiri tanpa sang ayah, menutup dengan keras dan berjalan tanpa menengok ke arah ayahnya. "Marah anaknya, Pak?" tanya sang sopir taksi dan Manan hanya tertawa lalu memberi tahukan alamat mana yang harus dituju dan tak
"Papa, membela Tante itu?" tanyanya pada sang papa. "Bukan membela, kalau sikapmu seperti itu, mungkin tadi papa tidak meminta tolong padanya. Papa akan Andi untuk menjemputmu. "kenapa tidak menyuruh paman Andi," tanya sambil memakan makanannya. "Oke Papa yang salah dan papa kira anak Papa bisa sopan terhadap teman Papa ternyata Papa salah anak Papa tidak sesopan yang papa harapkan," ucap Manan. Didalam kemasan itu pun disediakan pula alat pemecah cangkang dan Manan membantu memecahkan kulit cangkang makanan milik Amar. "Ya Amar minta maaf kan semua terjadi karena Amar gak sengaja membuat pakaian Tante kotor," ucap Amar tanpa merasa bersalah pada wanita itu. Manan tak lagi berbicara karena berbicara dengannya saat ini akan percuma saja karena anak itu pasti mengira dirinya ada hubungan Lala Manan menghelah napas dan menatap putranya dengan kecewa karena membuat pujaan hatinya terlihat buruk, mungkin Lala tadi juga dapat cemoohan dari karyawan yang tak sengaja berpapasan
"Ia menghembuskan nafasnya. 'Hemm ... anak kecil lihat aku menjadi pusat perhatian dan gunjingan mereka padahal ini baru mulai bagaimana nanti selanjutnya apa harus mundur, Aaahhh ... tidak, aku tidak boleh mundur walaupun apa yang terjadi.' Pintu lift terbuka Lala pun belum beranjak dari tempatnya berdiri, ia masih menatap pakaiannya yang sangat kotor. "Tante selanjutnya kita kemana?" tanya Amar sambil mengulum senyum samar ia sangat puas telah mengerjai wanita itu. 'jangan pikir muda untuk dapatkan Papa, hadapi anaknya dulu,' pikir Amar sambil menunggu jawaban dari Lala. "Ahh ... iya ayo keluar," ajak Lala saat tersadar kalau dia harus mengantar Amar sampai di kantor ayahnya dan ia sudah mengirim foto pada pria itu tetang pesanan makanan anaknya yang begitu banyak. Mereka berjalan menuju kantor Manan, Lala sangat beruntung di lantai ini hanya ada ruangan Manan dan Asistennya. Hingga sampai akhirnya mereka sampai di ruangan itu dan Lala mengetuk pintunya terbuka lalu Manan m
"Aku kenyang, Tante karena Tante cemberut," protes Amar. Lala duduk dengan memijit kepalanya sambil melirik bocah yang duduk tertunduk kepalanya itu. Ia menghela napas lalu berkata lagi," pesanlah kepiting lalu makanlah!" Wanita memecahkan cangkang kepiting dengan alat pemecah cangkang lalu menyuapkan dagingnya ke dalam mulutnya. "Baiklah aku akan coba beberapa porsi yang gak pedas," ucap anak itu sampai membuat Lala hampir tersedak. "Anak tampan pesan satu porsi saja dan makanlah, Oke, pesan yang biasa kamu makan dengan ayahmu, mengerti anak manis?" ucap Lala sambil menekan rasa jengkelnya yang sudah sampai ubun-ubun. "Baiklah aku hanya pesan satu porsi saja dan memakannya karena aku takut Tante kehabisan dan di suru cuci piring!" ucap amar tersenyum sambil memanggil pelayan. Tak berapa lama pelayan pun datang Amar mulai memesan makanan yang biasa di makannya dan dia juga memesan es krim coklat kesukaannya satu gelas besar. Beberapa saat kemudian pelayan kembali dengan