Dua lilin bergoyang mendayu-dayu saat angin tipis berhembus. Nova menaikkan sedikit resleting jaket yang ia pakai. Satu-satunya penyelamat di tengah hawa dingin yang terasa menusuk tulang. “Maaf, tidak seharusnya aku mengajakmu kesini.” Mario menatap Nova sendu. Ada sorot sendu yang begitu besar berusaha disembunyikan oleh pria itu. Nova mengulas senyum, berusaha menunjukkan bahwa keputusan Mario mengajaknya ke sini bukanlah keputusan yang salah. “Ini bukan salah kamu. Kita tidak pernah tahu bagaimana kondisi cuaca yang sesungguhnya,” balas Nova bijak. Ia cukup pandai untuk membuat orang lain nyaman dengan sisi perhatiannya. Tak heran baik Mark maupun sang mantan suami–katakan saja mantan–kerap kali gagal berpindah hati. Suara deburan ombak pantai. tak jauh dari tempat mereka duduk terdengar menyelinap diantara perbincangan Mario dan Nova. Keduanya bungkam, sesekali saling melempar pandang satu sama lain. Memenjarakan pikiran nakal yang berkeliaran di kepala adalah hal yang paling
Angga memandangi selembar tiket pesawat dengan destinasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun kini, pria itu sudah berada di lounge bandara khusus untuk para penumpang elit seperti dirinya. Ia menghembuskan napas pelan, menyaring semua energi yang bergumul dalam dirinya sekaligus menyegarkan otak dengan pemandangan lapangan parkir pesawat di depannya, “Satu cangkir cappucino panas, selamat menikmati Pak Angga.” senyuman manis salah satu staf lounge seharusnya bisa sedikit mengalihkan penat di pikiran Angga saat ini. Dulu, ia bisa dengan mudah tertarik oleh wanita manapun yang menggodanya. Meski tak satupun dari wanita itu bisa meluluhkan perasaan Angga yang keras hati. Bagi Angga, semua wanita adalah investasi. tapi itu adalah prinsipnya dulu. Sebelum ia benar-benar menemukan sebuah alasan untuk mencintai. “Terima kasih,” balas Angga. Memberikan senyum tipis tetapi kekuatannya mampu membuat sang pegawai lounge salah tingkah di tengah tuntutan dirinya yang harus bersikap
“Silahkan masuk, Tuan. Ini adalah kediaman pribadi tuan Lee. Beliau berpesan Anda akan tinggal di sini selama berada di Korea. Kelihatannya beliau ingin menghabiskan waktu bersama anda. sahabatnya.” Angga memasuki sebuah penthouse berukuran besar dengan model interior yang tidak jauh berbeda dengan miliknya di Jakarta. Kepalanya mengangguk-angguk paham. Mereka berdua memiliki selera desain yang hampir sama. Tidak heran jika Dae Hyun memilih untuk membiarkan Angga tinggal di sini. “Terima kasih, Yeon Ji.”“Sama-sama, tuan. Semua kebutuhan anda sudah saya siapkan di kamar,” kata Yeon Ji , mengarahkan sebelah tangannya menunjuk ke satu kamar yang memiliki dua daun pintu besar. Bukankah itu kamar Dae Hyun? batinnya. Seakan bisa membaca pikiran Angga, Yeon Ji kembali bersuara, “Itu kamar utama di unit ini. Tapi Tuan Lee tidak menggunakannya. Beliau lebih memilih untuk menggunakan kamar tamu yang lebih kecil.” “Selalu seperti itu. Kalau tidak betah tidur di ruangan berukuran besar, kena
“Ck! Kau menantangku, hm? Aku tahu kau tidak akan mudah menaruh hati pada wanita. Jangan-jangan kau hanya penasaran padanya.” Kedua tangan Angga dilipat di depan dada. Melemparkan pandangan mengejek sekaligus skeptis pada sahabatnya. “Ini berbeda. Dia sudah menarik perhatianku sejak pertemuan pertama. Dia cantik, sopan, penuh perhatian dan pandai menempatkan diri. Kalau aku hanya penasaran, satu hal yang ingin kuketahui.” Wajah Dae Hyun berubah serius. Sebelah tangannya mengusap dagu dengan pandangan ke langit-langit ruangan. Seakan apa yang ada di pikirannya saat ini adalah sebuah fenomena alam yang sulit untuk dipecahkan. Gelas wine di kedua tangan pria itu kompak digoyangkan demi menambah sensasi nikmat saat di tenggak. Pemandangan kota Seoul dan pantulan cahaya gedung-gedung pencakar langit di sungai Han mempercantik lukisan malam dari jendela unit penthouse ini. “Apa? Kenapa kau berpikir keras begitu?” “Aku penasaran, alasan apa yang membuat dia meninggalkan mantan suaminya.
Kejadian kemarin malam membuat Nova menimbun rasa sungkan yang semakin besar pada Mario. Kejadian yang baginya sangat memalukan karena semalam, kecemasan Nova mendadak kambuh di momen yang tidak terduga. Nova keluar dari unit apartemennya. Tas selempang sudah tersampir di pundak siap untuk pergi ke restoran dan mengisi perut. Ting! Langkah Nova menuju lift terhenti, saat nyeri mulai menjalar di perut bagian bawahnya. “Akh! Aw, ya Tuhan. Sakit sekali.” Nova meringis. Bersandar di dinding koridor sambil memegangi perutnya. Rasanya seperti dicabik-cabik. Deretan tulangnya seakan dipatahkan secara bersamaan. Berusaha tetap dalam keadaan ini, pandangan Nova mengedar ke sekeliling. Berharap ada seseorang yang muncul untuk menolongnya. Tetapi sekian lama penantian sambil meringis ngilu, tidak ada sedikitpun tanda-tanda pertolongan. Nova hampir putus asa. Tubuhnya limbung. Kedua kakinya tidak mampu lagi menopang tubuhnya sendiri. Nova luruh ke lantai, ringisan pilu terdengar kian kencan
Mario kikuk. Bagaimana cara perawat itu memandangnya terasa menguliti Mario hidup-hidup. Salah tingkah, seharusnya ia sadar diri sejak awal. “Um, jadi begini. Aku dan ibu bayi ini–” “Mario, sedang apa kau di sini?” Dua orang yang terlibat obrolan dalam suasana tegang itu menoleh bersamaan ke arah sosok yang tiba-tiba menyoroti mereka dengan pandangan penuh curiga. “Mark?” gumam Mario lirih. “Sedang apa kamu di sini? Dan ini, anak siapa?” Padahal rasa-rasanya Mario tidak melakukan kesalahan apapun, tetapi kenapa pertanyaannya terdengar sebagai sebuah tuduhan. “Bukan urusanmu,” balas Mario. Sikapnya berubah dingin, begitu juga dengan gestur tubuhnya yang defensif. “Mohon maaf, tuan. Sudah waktunya bayi anda untuk kami tangani lebih lanjut. Dimohon untuk tidak menimbulkan ketidaknyamanan diantara sesama pengunjung rumah sakit,” ucap perawat. Ia mengambil alih bayi dalam gendongan Mario. Menghindari perdebatan antara dua pria di sekitarnya.“Tolong kabari aku jika terjadi sesuatu
“Mark? Bagaimana kamu bisa ada di sini?” Baru saja Nova membuka matanya, tubuhnya masih terasa remuk seperti dihantam beban puluhan kilo beratnya. Namun ia berusaha untuk memfokuskan pandangan pada sosok yang kini berdiri di samping tempat tidurnya.Pria itu tersenyum, sebelah tangannya mengusap puncak kepala Nova dengan sayang. “Kamu sudah sadar, sayang? Syukurlah,” kata Mark. Tidak menjawab pertanyaan Nova tadi. “Kamu harus banyak istirahat, aku akan menemani kamu di sini.” Dahi Nova mengernyit bingung, sika Mark benar-benar aneh baginya. Ia hendak bersuara lagi, tetapi suaranya kalah cepat dengan Mark yang sudah menyodorkan segelas air putih padanya. “Minumlah dulu, kondisimu sangat lemah setelah melahirkan bayi yang tampan.” “Bayiku laki-laki?” Pertanyaan yang sebelumnya sudah sampai di ujung lidah mendadak berubah ketika di ucapkan. Nova hampir lupa, saat ini situasi tak lagi sama seperti sebelumnya. Selama beberapa saat Nova merasa kehilangan identitas aslinya sebagai seor
Siapa yang pernah menduga kalau Nova akan kembali pada lingkaran setan dimana lagi-lagi ia terlibat bersama dua pria dengan ikatan darah yang sama. Apakah ini karmanya karena telah meninggalkan Angga tanpa kepastian. Nova memandangi Mark yang terbaring di atas sofa double untuk pengunjung. Tertidur pulas karena semalaman suntuk terjaga untuk menemani Nova mengasihi. Sudah pukul lima pagi, kedua matanya tak bisa diajak bekerja sama. Seharusnya, Nova mengistirahatkan diri dari segala kemelut pikiran yang tak menentu. Kenyataan bahwa Mark dan Mario adalah saudara sepupu cukup membuat ingatan di masa lalunya kembali terpanggil. Ini sama saja dengan mengulang momentum hubungan antara Angga dan Aldo dulu. Kegundahan di hati Nova semakin bergejolak. Dorongan untuk menemui Mario begitu besar demi mencari tahu kebenaran dan mengucapkan terima kasih secara langsung. Kembali Nova membuat melirik jam di dinding. Waktu hanya berlalu selama lima menit, terasa lebih lama ketika isi kepala terasa