Sesuai janjinya, Angga menginjakkan kaki di rumah tepat pukul empat sore. Langkahnya terus terayun tetapi pikirannya masih tertinggal di tempat terakhir yang ia sambangi. Nova sedang menggendong Celva saat kedatangan Angga membuat wanita itu menoleh. Diliriknya jam di dining lantas mengangguk pelan. "Kamu pulang tepat waktu rupanya. Mau mandi dulu atau makan dulu, Mas Angga?" Suara lembut Nova sontak membuat langkah Angga berhenti di hadapannya. Pandangannya lurus ke depan sehingga Nova masih bisa melihat dengan jelas setiap inchi pahatan tangan Tuhan di wajah tampan suaminya. Angga berbalik dengan gerakan seperti robot. Kini menghadap Nova sambil memicingkan kedua matanya. "Kau panggil aku apa barusan?" tanyanya.Tubuh Nova refleks mundur selangkah ketika wajah Angga semakin dekat dengannya. Sekelebat hawa panas mulai menyelinap di kedua pipi Nova. "M-mau mandi dulu atau makan dulu, M-mas Angga?" ucap Nova mengulang kembali kalimat terakhirnya. "Mas? Hahaha, mas? Sejak kapan
Dari sekian banyak pilihan pria yang mungkin saja bisa menemani Nova melewati akhir hidupnya.Kini, Nova terjebak dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan baginya. Belakangan, Angga merubah sikapnya menjadi lebih lembut padanya. Bukannya jatuh ke dalam pesona suaminya sendiri, Nova justru menaruh curiga pada sosok yang sudah membuatnya mengukir banyak trauma. Ia hanya bisa diam di kamar. Sesekali tak melupakan kewajibannya sebagai ibu untuk putri kecilnya. Tok! Tok! Tok!Dahi Nova mengernyit bingung ketika pintu kamarnya di ketuk. Seketika itu pula Nova baru menyadari, saat ini ia tidak lagi berada di kamar tamu seperti sebelumnya. Melainkan sudah di kamar Angga. "Masuk."Seorang pria memakai setelan jas serba hitam dan putih masuk ke dalam kamar Nova. Sebelumnya, Nova pikir pria itu adalah Angga. Suaminya yang hari ini berpenampilan lebih sederhana dari biasanya. Tetapi, setelah pria itu melangkah semakin dekat dengannya, Nova memicingkan kedua matanya menelisik sosok yang
Di kantor Angga meremas segumpal kertas berisi surat perjanjian. Belum sempat surat itu ia tanda tangani, Angga sudah kemarahan Angga semakin memuncak saat melihat isinya."Jhony sialan! Bisa-bisanya dia menjebakku seperti ini," katanya dengan raut wajah kesal yang tak tergambarkan lagi. Urusan rumah tangganya belum selesai, kali ini ditambah dengan masalah perusahaan yang membuatnya sakit kepala. Gebrakan.di meja kerja menjadi salah satu pelampiasan Angga atas amarahnya. Dendam yang selama ini terpendam pecah sudah.Jhony, kolega sekaligus rekan bisnisnya mengelabuinya lewat tender palsu yang mereka jalani bersama..Uang miliaran rupiah habis tak bersisa karena tender itu ternyata hanyalah bualan semata. Angga mengepal tangannya begitu erat. Kekesalannya benar-benar tak terbendung lagi saat ini. Ia meraih telepon kantor, lantas menghubungi resepsionis untuk menyiapkan mobilnya."Siapakan mobil sekarang!" perintahnya. Telepon ditutup dengan kasar. Kemudian Angga merampas jas dan ta
"Jhony sialan! Beraninya dia menusukku dari belakang. Seharusnya aku tidak mempercayainya sejak awal. Sialan!" Pintu utama rumahnya ditendang dalam sekali hentakan oleh Angga. Sebagian emosinya belum terlampiaskan pada sosok pria tua yang sudah membuat Angga terancam bangkrut. Semua pelayan berjengkat kaget sekaligus ketakutan melihat amarah Angga yang meluap. Andai tuntutan pekerjaan bisa dilonggarkan, kemungkinan mereka kabur dari sana jauh lebih besar. Angga masuk kian dalam ke area ruang makan, mengangkat sebelah tangan ke udara mengisyaratkan perintah untuk pelayan. "Dimana tehku? Kenapa kau tidak menyajikannya?" bentak Angga pada salah satu pelayan yang menghampirinya. "Sebentar saya siapkan dulu, tuan," jawab pelayan itu.Brak!!Semua orang tersentak saat mendengar gebrakan di meja makan. "Kau pelayan baru, ya? Kenapa kau tidak tahu kebiasaanku?" "Maaf, tuan. Kali ini saya lalai. Saya akan segera menyiapkan tehnya. Mohon tunggu sebentar." Pelayan itu hendak melangkahkan
Reaksi Angga nyatanya tak membuat Nova mundur. Kali ini ia menyajikan salah satu menu andalannya sejak masih kuliah dulu. Wajahnya berseri-seri. Sambil menyajikan nasi goreng, Nova menjelaskan."Ini namanya nasi goreng campur. Semua bahan makanan aku campur di nasi goreng ini," katanya dengan rasa percaya diri yang membuncah di dada. Hari ini ia begitu bersemangat. Setelah menyelesaikan beberapa tugas rumah tangga seperti mengasuh anak dan membereskan peralatan kerja Angga, masih ada satu hal yang belum Nova lakukan. Kali ini, Nova bisa mewujudkan keinginannya untuk membuktikan pada Angga bahwa Nova memiliki kemampuan memasak yang cukup mumpuni. Meski ekspresi Angga lebih mirip seseorang yang sedang diancam, pria itu akhirnya tetap mau menerima masakan Nova meski dengan rentetan pertanyaan konyol."Semua bahan kau masukkan di sini? Jangan-jangan kau memasukkan racun juga ke dalamnya," tuduh Angga. "Ya, aku memasukkan racun yang bisa membuatmu tergila-gila padaku setelah ini. Darip
Nova dan Angga terjebak dalam pikiran mereka masing-masing. Tatapan yang saling bertemu saat ini, tak ada satupun yang hendak memutusnya lebih dulu.Seakan ada magnet tak kasat mata yang membuat Nova tak bisa melepaskan ikatannya pada Angga lewat tatapan mereka. Sejujurnya, saat ini Nova sedang berusaha menjaga ritme jantungnya agar tetap berdetak di fase normal. Namun, organ vitalnya tak bisa diajak bekerja sama. Semakin keras usaha Nova, semakin lama detak jantungnya terus ber maraton. Jika saja Nova tidak pintar-pintar meredam kegugupannya, Angga bisa mendengar detak jantungnya yang begitu keras dalam jarak sedekat ini. Tak hanya itu, Nova juga terpana dengan kharisma sosok pria tampan di depannya ini. Meski rambut kusut bak jerami, dan wajah pucat tak bergairah, tetap mampu menarik perhatian Nova.Baginya, Angga adalah Angga. Tidak peduli bagaimana buruknya sikap Angga, akan selalu ada sisi lain yang membuat Nova terkagum-kagum. “Mau sampai kapan kamu menatapku seperti itu?”
BAB 75"Morning sickness?" tanya Angga bingung."Ya, ada juga seorang suami yang mengalami morning sickness saat istrinya hamil." Angga sungguh tak mengerti dengan penjelasan Nova saat ini. "Bagaimana bisa aku mengalami morning sickness tapi aku tidak menghamilimu."Deg! Senyum di wajah Nova langsung hilang saat Angga mengatakan itu. Suasana diantara keduanya benar-benar canggung saat ini. "Morning sickness hanya akan terjadi pada orang yang menurunkan genetikanya ke janin yang ada di kandungan. Begitu juga dengan bayi ini," ucap Nova sambil mengelus perutnya yang masih datar. Angga menatap perut Nova beberapa saat. Kemudian beralih menatap wajah Nova. Ia baru menyadari, semenjak kehamilan Nova yang kedua, aura keibuannya semakin terpancar. Dilihat dari satu sisi saja, Angga bisa menikmati kecantikan sang istri yang semakin bersinar. Meski hanya dibalut dengan riasan tipis. Kecantikan yang memancar dari dalam diri Nova tak bisa dielakkan. Ting nong!Bunyi oven mengalihkan semua pe
Pintu kamar ditutup rapat-rapat. Seseorang di balik pintu tengah berusaha mengatur detak jantungnya yang berirama cepat. Saking cepatnya ia perlu menyentuh bagian dada kirinya seakan itu bisa membantu meredam suara jantung yang menggebu-gebu. "Huh.. huh.. huh.." sekuat tenaga Angga berusaha menormalkan ritme jantungnya tetapi hal itu justru membuat Angga lebih tersiksa. Peluh berderai deras di pelipisnya, semakin memperparah kondisi tubuh pria itu. Ruangan bernuansa serba biru itu seharusnya bisa menciptakan rasa nyaman tiap kali Angga memijakkan kakinya di sana. Tetapi, berada di kamarnya sendiri ternyata tak mendukung usahanya untuk meminimalisir sakit di dada. Setelah menghabiskan beberapa potong brownies buatan Nova, Angga memilih mengasingkan diri dari dunia luar. Selama proses masak tadi ia menahan diri dari hujaman nyeri dan sesak yang menggila di dadanya. "Ku mohon, jangan kambuh sekarang. Banyak hal yang perlu aku selesaikan lebih dulu," ucapnya memohon. Untuk pertama ka