Home / Romansa / Pernikahan Di Ujung Tanduk / Kedatangan Ibu Mertua

Share

Kedatangan Ibu Mertua

Author: Waternim
last update Huling Na-update: 2024-10-29 19:42:56

Suara ketukan di depan pintu terdengar begitu nyaring seiring dengan waktu yang terus bergerak maju, tak mendapatkan tanda-tanda kehidupan didalam rumah tersebut yang akan membuka pintu yang sedang diketuknya sampai buku-buku tangannya terasa perih.

Hal itu pula juga membuat ekspresi yang begitu kesal memuncak, wajahnya berubah merah padam. Tidak ada keramahan yang tersisa untuk bisa ditampilkan.

Sementara orang yang berada didalam rumah tersebut masih tampak termangu dalam kesedihan yang mendalam sehingga tak mendengar ada yang mengetuk pintu rumahnya disiang hari yang cukup panas, ah benar. Ia tidak tahu sudah berlama dia menangis hingga matanya memerah dan bengkak serta bagian pipi wajah yang terasa sakit.

Bahkan ketika waktu makin menanjak naik, sang suami belum menampakkan batang hidungnya. Oh, Kiran yang malang. Air mata yang tumpah tampak tak berarti apa-apa.

Ternyata seseorang yang masih berdiri diluar pintu masih belum menyerah untuk mengetuk pintu, itu membuat Karin sadar dan segera mengusap wajah basahnya kasar menggunakan punggung tangannya lalu bergegas berjalan ke arah pintu.

Kiran sedikit merapikan rambut dan bajunya yang agak kusut agar terlihat lebih baik sebelum tangannya menekan gagang pintu, ia hanya tidak ingin orang luar tahu bahwa dia sedang berada dalam fase terburuk dalam hidupnya.

Tak lupa sedikit mengatur napasnya agar kembali normal, ketika sudah merasa siap dia pun menekan gagang pintu yang menghubungkan ke dunia luar.

“Kiran, dasar menantu kurang ajar! Saya sudah berdiri dan mengetuk pintu ini setengah jam lalu, tidak ada yang membukakan pintu. Apakah kamu tuli? Sampai membuat Ibu mertuamu ini berkeringat banyak dan kesemutan karena lama menunggu?” Cerca sang Ibu mertua sambil menunjuk-nunjuk Kiran dengan wajah merah padamnya ketika pintu yang diketuk sedari tadi akhirnya terbuka lebar.

Kiran disambut oleh sang Ibu mertua yang langsung mengomel padanya, ia pun menundukkan krpalanya karena merasa bersalah. Tidak berani untuk menatap ataupun menegakkan tubuhnya.

“Maaf, Bu. Tadi Kiran ketiduran makanya tidak mendengar ada yang mengetuk pintu.” Jawab Kiran berbohong, mana mungkin ia berani menjelaskan semuanya pada seorang wanita yang telah melahirkan sosok suaminya tersebut.

“Halah, kamu itu memang menantu yang tidak kompeten sama sekali. Pantas saja matamu merah dan wajahmu itu bengkak karena terlalu banyak tidur, dasar tukang molor. Minggir saya mau lewat.” Omel Ibu mertua sambil mendorong bahu menantunya dengan jari telunjuknya sampai termundur ke belakang.

Kiran tidak berani membantah, ia pun menggeser tubuhnya sehingga Ibu mertuanya bisa leluasa masuk ke dalam rumah.

Bukan sekali dua kali, Kiran diperlakukan seperti ini oleh Ibu mertuanya bahkan ia sudah kehilangan hitungan. Dari masa pacaran hingga sah dimata agama dan negara, sikap Ibu mertuanya tidak pernah baik. Beliau selalu memandang Kiran dengan mata penuh kebencian, entah karena apa penyebabnya. Ia pun tidak pernah tahu.

Jika bukan karena cinta yang Kiran miliki begitu besar untuk Pahing serta Pahing sendiri yang selalu menguatkan Kiran untuk bertahan dengannya, ia tidak akan pernah sampai pada saat tahap ini.

Pahing selalu menenangkannya dengan satu kalimat ‘Suatu hari, Ibu pasti bisa menerima Kiran yang manis ini.’ Begitulah kira-kira, kalimat yang selalu berdengung ditelinga Karin jika Ibu mertuanya sudah mulai membuka mulutnya.

Tidak pernah ada gula yang terkandung disetiap rentetan kata yang keluar dari mulut beliau, melainkan mengandung banyak anak panah beracun untuk menantu yang tak pernah diinginkan.

“Kemana Pahing? Bukankah hari ini adalah hari liburnya?” Tanya Ibu mertua sembari menyimpan tas jinjing tangan berwarna gold di atas meja.

“Ah.. I-itu Bu...” Kiran kelimpungan ditanya keberadaan Pahing oleh Ibu mertuanya, kedua bola matanya berputar ke kanan dan kiri. Dirinya tergagap, tidak bisa mencari alasan yang masuk akal. Otaknya belum bisa bekerja dengan habis setelah habis diperas oleh air mata.

Biasanya, jika hari libur Pahing memang tidak pernah keluar rumah karena dia tahu bahwa Ibunya akan berkunjung kemari. Entah itu seminggu sekali atau dua minggu sekali, beliau tidak pernah absen untuk berkujung kemari.

Alasan dibalik itu semua karena Pahing merupakan anak lelaki kesayangan beliau yang masih tak rela jika telah tidak tinggal satu rumah, terlebih tinggal satu atap dengan perempuan yang tak pernah beliau restui.

Merasa tak mendapatkan jawaban, Ibu mertua mendongkakkan kepalanya lalu menatap tajam pada Kiran yang masih sibuk mencari alasan dikepalanya itu.

“Heh, kalau saya tanya itu ya dijawab bukan diam saja. Memangnya kamu gagu? Sudah tuli, gagu pula. Dosa apa saya mendapatkan mantu modelan seperti kamu? Ck, jangan-jangan Pahing pun kamu peletkan. Saya sih sudah curiga dari dulu.” Ibu mertua mencebikkan bibirnya sebelum mengalihkan tatapan, menatap sinis Kiran.

Kiran disisi lain berusaha menulikan telinganya, sungguh ia sangat kesulitan untuk memenuhi rongga dadanya dengan oksigen bahkan dia menahan napasnya ketika Ibu mertuanya mengatai serta menuduhnya sangat lancar.

Kiran berusaha mati-matian untuk menahan cairan panas yang mendesak ingin meleleh ke pipinya, ia mencengkeram samping bajunya cukup kuat.

“Andai saja Pahing menikah dengan perempuan pilihan saya, pasti sekarang anak saya akan betah berada dirumahnya ketika sedang off kerja bukan malah betah diluar.”

Kiran semakin menundukkan kepalanya, tak bisa untuk diangkat seakan-akan telah dijatuhi oleh benda berat yang tak kasat mata. Hatinya kian teriris makin menipis, tak bisakah Ibu mertuanya itu berhenti berbicara? Semakin beliau melebarkan volume bibirnya, semakin pula kebocoran dalam diri Kiran kian menganga.

Tenggorokan Kiran terasa tercekat hingga bibirnya kelu tak bisa berucap, harga dirinya sudah terseret jauh compang-camping.

“Kamu itu memang tidak becus sebagai istri, suami kerja banting tulang tapi kamu malah enak-enakan tidur seharian. Bukannya beres-beres rumah, lihat meja ini. Penuh dengan debu, kamu sebagai istri tidak ada value-nya sama sekali. Rugi sekali Pahing telah menikahi perempuan pemalas seperti kamu, haduh.. Saya sudah gedek melihat wajahmu itu, rasanya mau muntah.” Rentetan kalimat lain dari Ibu mertua yang harus Kiran teguk sampai lambungnya membengkak.

“Kapan sih Pahing menceraikanmu?” Pertanyaan ini bukan untuk yang pertama ataupun kedua, ketiga melainkan setiap mereka bertemu tatap muka. Pertanyaan tersebut selalu menjadi tanda bahwa percakapan yang didominasi oleh Ibu mertua akan segera berakhir, sementara Kiran masih memilih membisu ditempat berdirinya.

“Sudahlah, saya pulang saja dan bilang ke Pahing bahwa saya kemari. Awas kamu kalau lupa, masa masih muda sudah pikun.” Ejek Ibu mertua sembari bangkit dari duduknya lalu menjingjing tas tangan dilengan kanannya.

Tanpa menunggu jawaban dari Kiran, Ibu mertua memilih melenggang pergi. Kiran pun berusaha untuk menggerakan tubuhnya, mengikuti beliau dari belakang.

“Hati-hati dijalan, Bu.” Cicit Kiran pelan, ia menahan rahangnya agar tetap tegak.

“Jangan panggil saya, Ibu. Saya tidak sudi dipanggil Ibu oleh kamu, dasar perempuan tidak tahu diri.”

Setelah itu mertua hilang dari pandangan Kiran, ia pun segera menutup pintu lalu tubuhnya luruh ke lantai karena sudah tidak bisa berpura-pura kuat untuk menopangnya lagi.

Rintik-rintik cairan panas yang sudah mati-matian dia tahan, langsung meluncur bebas membasahi wajahnya.

Baru setengah hari akan tetapi rasa mendung didalam hidupnya semakin mengukukuhkan diri, menduduki tahta tertinggi sebagai pemegang sejati.

Kiran menangis lagi tanpa suara yang sebetulnya juga dia sudah lelah, tapi serangan psikis yang dia terima dari Ibu mertuanya tidak bisa ia hindari.

Kiran menangis sambil memukul bagian dadanya cukup kencang, kepalanya pun tak luput dari sasaran sampai tak terasa kelopak matanya terasa makin berat dan tertutup rapat.

Ia tertidur dilantai dingin tanpa alas, dalam tidurnya sekalipun air mata tetap membasahi wajahnya.

Oh, Kiran yang malang. Apakah kamu akan tetap memilih untuk bertahan?

Atau memilih untuk mundur dari panggung yang tak sedikitpun tak mendapat penonton? Keluar dengan darah yang menetes sampai kering?

Kaugnay na kabanata

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   Motif Lain

    Matahari sudah menempati posisi di atas kepala manusia akan tetapi tidak menyurutkan aktivitas di bawah langit tanpa payung yang berperan sebagai pelindung, kecuali sebagian menggunakan kendaraan beratap dan sebagiannya menetap dalam suatu ruangan untuk berlindung dari sinarnya yang membakar kulit. Sama seperti pasangan sejoli yang baru bangun dari tidurnya di tengah hari yang terik ini, keduanya masih saling terhubung oleh pelukan dengan bermandikan keringat karena diruangan ini tidak ada Air Conditioner (AC) sehingga produksi keringat terus berjalan walau sedang tidak melakukan aktivitas juga mereka masih saling dalam posisi menempel yang makin menyebabkan kegerahan. Giliran sang pria yang menjadi orang pertama bangun dari tidurnya lalu pandangannya jatuh pada rambut berwarna hitam legam milik kekasihnya, ia pun menempelkan bibirnya pada puncak kepala wanitanya sebelum mengusap lengannya agar terbangun. Gerakan halus dari tangan besar sang pria yang diketah

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   In the Other Hand

    Keduanya mengenakan pakaian tadi malam sambil melenggang pergi meningalkan kamar motel yang sebelumnya sudah berbagi sebuah kecupan sana sini dibalik pintu yang masih tertutup rapat. Pahing mengajak kekasih wanitanya untuk mengisi perut dahulu yang sudah masuk ke dalam jam makan siang, jadwal sarapan yang sudah terlewatkan karena mereka begitu pulas tertidur saling terkait di atas ranjang. Tidak lupa tangan besar milik Pahing memegang erat tangan kecil milik Eri yang memiliki jari-jari lentik, terasa begitu pas dengan miliknya. Serasa mereka berdua memang sudah di takdirkan, mungkin Pahing harus segera merealisasikannya agar dapat terus memegang erat Eri tanpa harus ada penghalang di antara mereka berdua. “Mas, kok berhenti?” Tanya Eri sambil mendongkakkan kepalanya karena ada jarak yang besar di antara tinggi badan mereka berdua. Pahing langsung terbangun dari lamunannya tadi, ia bahkan tidak sadar bahwa sedang melamun. “Tidak apa-apa, mungkin ini ef

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   Berganti Nama

    Pahing turun dengan mantap dari mobil setelah memakirkannya disamping rumah, memang perumahan yang dia huni bersama Kiran tidak memiliki gerbang depan. Tidak lupa ia membawa makanan seafood untuk Kiran yang telah dibelinya tadi, langkahnya terasa hingga sampai ketika ia mengetuk pintu tapi tidak ada respon dari dalam. Pahing sedikit mengerutkan dahinya, apakah Kiran tidak ada di rumah? Tapi tidak mungkin juga, biasanya jika Kiran akan berpergian keluar akan menghubungi dirinya terlebih dahulu. Merasa tidak sabar, Pahing pun menekan gagang pintu dan mencoba untuk mendorongnya ke dalam akan tetapi ia merasa seperti ada benda berat dibalik pintu yang menghalangi jalan masuk. Ia berhasil membuat sedekit celah sehingga pandangan jatuh pada apa yang ia anggap benda tadi yang menghalangi pintu masuk ternyata sesosok manusia, apakah itu Kiran? Sepertinya iya. Dia langsung mengenalinya ketika Pahing mengamatinya lamat-lamat. Pahing membeku ditempat sebelum berh

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   Siapa Wanita itu?

    Pahing mengusap lembut pipi Kiran, berniat mencoba untuk membangunkannya secara perlahan. Ia tidak ingin membuat tubuh Kiran sakit jika dia mencoba untuk mengguncang tubuh halus ini. Merasakan tangan hangat serta bisikan berat di dekat daun telinganya, Kiran pun mencoba untuk membuka kedua kelopak mata walau masih terasa berat. Kepalanya terasa ditumbuk berton-ton batu, sakit sekali. Pahing melihat bulu mata lentik Kiran bergetar, tak dihentikan tindakannya sampai ia bisa mengungkapkan kedua bola mata Kiran secara penuh.

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   Dengarkan Aku Saja

    Suasana hening menyelimuti mereka berdua, ketegangan terjadi diudara. Seluruh tubuh Pahing terasa terpaku ke tanah, bibirnya kelu tidak bisa mengecap kata sementara Kiran mulai mengatur napasnya yang memburu akibat dari tangisan yang kian ingin dihabiskan.Rentetan kalimat sedang Pahing susun dalam benaknya agar tidak tertangkap dan Kiran pun tidak menaruh curiganya padanya, ia pun mulai berpikir untuk mengecek ponselnya. Namun, segera dia urungkan niatnya tersebut. Tidak mungkin, Pahing mengecek daftar panggilan dihadapan Kiran, itu pasti akan membuat istrinya menaruh curiga padanya.Pahing tidak sempat menyusun kalimat jika suatu saat Kiran mulai curiga, ia tidak tahu hari itu akan datang secepat ini. Seharusnya sudah jauh-jauh hari ia persiapkan, dia muali meruntuki kebodohannya sendiri.“Mas..” Panggil Kiran pelan dan terdengar begitu lirih, jadi apa diamnya Pahing ini adalah iya?“Jadi itu benarkan?

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   Percayalah Padaku

    Keheningan udara untuk kedua kalinya, suara napas dari keduanya tak terdengar jelas. Yang satu bernapas lebih lambat dan lainnya bahkan tidak bisa mengontrol napasnya. Ketegangan yang dirasakan Pahing begitu kentara, bahkan tangan tangannya ikut basah. Bulir-bulir keringat sebiji jagung diproduksi oleh dahinya padahal AC tidak pernah dimatikan. Kiran yang sedari mengamati perubahan wajah ekpresi Pahing membuat hati bergetir, apakah wanita gatal yang mencoba untuk menghubungi suaminya? Ia tidak akan membiarkan begitu saja, dia akan berusaha untuk melindungi mili

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   Alasan Lain

    Eri menatap ponselnya dengan tatapan tidak percaya, ketika ia sedang mencoba untuk menghubungi Pahing dan tersambung lalu sambungan telepon terputus begitu saja karena pihak lain mematikan ponselnya secara tiba-tiba.“Mengesalkan saja.” Keluh Eri sembari mencebikkan bibirnya, hari ini sungguh sial baginya.Ketakutan sedari tadi yang dimilikinya menjadi kenyataan, ia gagal untuk menemui orang penting tersebut karena terlambat datang ke tempat perjanjian yang telah disepakati.Eri hanya menggerutu kesal dan menyalahkan kesialannya pada Pahing karena Pahing merupakan sumber kesialan itu sendiri, jika saja dia bisa memaafkan masa lalu mungkin dia tidak akan repot-repot untuk membalaskan dendamnya.Pasalnya, kesalahan Pahing tidak bisa dimaafkan begitu saja. Tidak semudah itu memaafkan seseorang yang bisa dengan mudahnya mengambil orang penting dalam hidup Eri, begitu dengan Kiran.Mereka berdua pa

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   Ketakutan

    Pahing sudah berusaha untuk menghubungi kekasihnya, akan tetapi tetap tidak tersambung dan terus di alihkan. Ini sudah masuk yang kelima kali, membuat dirinya kalut. Biasanya Eri tidak pernah mengabaikan panggilan darinya, biasanya dalam deringan kedua langsung di angkat. Namun, sekarang bahkan dalam panggilan yang kelima tak kunjung di angkat juga. ‘Apa yang sebenarnya terjadi pada Eri?’ Pertanyaan tersebut terus berputar di dalam pikirannya sembari menatap ponsel yang berada dalam genggamannya yang sudah ia remas sekuat tenaga, seperti berniat menghancurkan benda persegi panjang tersebut dengan urat-urat di tangan yang begitu menonjol. Pahing memang baru berpisah dalam hitungan jam tapi rasa rindu ingin mendengar suara Eri sudah menyeruak dalam hati dan rasa rindu tersebut ingin segera ia bebaskan, walau hanya mendengar tanpa wujud fisik dari kekasihnya di depannya. Itu sudah sedikit mengobati rasa rindu miliknya dan bagian lainnya yang memang tidak bisa di puaskan jika tidak

Pinakabagong kabanata

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   Bolehkah?

    Sebelum Kiran melangkahkan kakinya keluar dari kamar, ia melihat pintu kamar mandi yang tertutup rapat biasanya dia akan meninggalkan sedikit celah di sana sehingga memudahkannya tahu bahwa ada orang di dalam sana atau tidak walaupun hanya mereka berdua yang menghuni kamar serta rumah ini. Sepertinya cara yang satu begitu efektif bagi Kiran, tujuan utamanya pun mendekat ke arah pintu kamar mandi. Tentu saja tidak mudah, bahkan beberapa kali ia hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya serta kepalanya yang masih agak terasa sedikit pusing hingga membuat pandangnya juga ikut tidak fokus dan buram. Namun, karena memiliki tekad yang begitu kuat sampai pada akhirnya bisa mendorong Kiran sampai di tempat yang dia tuju dengan postur tubuhnya yang sedikit membungkuk ke depan. Lalu Kiran pun mengetuk pintu kamar luar dengan tenaga terakhir yang dia miliki karena sesungguhnya ia merasa tubuhnya akan tumbang sebentar lagi, napasnya juga terengah-engah. “M-mas.. Pahing.” Akhirnya Kiran

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   Cemas Membara

    Kiran berusaha untuk membuka paksa matanya agar bisa terbangun dari mimpi buruk yang bisa membuatnya gila, dadanya pun naik turun tidak karuan. Kedua tanganya mencengkeram seprei dengan erat, keringat memenuhi dahinya yang tadinya hanya sebiji jantung saja. Jantung pun berdebar lebih cepat akan tetapi napas terasa tersendat. Jika Kiran tidak bisa bangun dari mimpi buruk ini, mungkin dia bukan hanya akan di buat gila melainkan akan mati secara perlahan. Entah itu karena rongga dadanya yang terasa menyempit sehingga menyumbat oksigen yang akan masuk ataupun bisa membuat lidahnya patah karena terlalu keras mengigitnya. Gerakan Kiran tampak makin abnormal dalam tidur yang kali ini tampak tidak damai, badai memang terlalu menghantam terlalu keras walaupun masih terlalu dini. Efek yang di berikan luar biasa bukan main, membuat seluruh tubuhnya bekerja sama untuk memproduksi tingkat kecemasan yang meningkat tajam. Ketakutan yang memeluk erat tubuh, dari ujung rambut hingga ujung

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   Ketakutan

    Pahing sudah berusaha untuk menghubungi kekasihnya, akan tetapi tetap tidak tersambung dan terus di alihkan. Ini sudah masuk yang kelima kali, membuat dirinya kalut. Biasanya Eri tidak pernah mengabaikan panggilan darinya, biasanya dalam deringan kedua langsung di angkat. Namun, sekarang bahkan dalam panggilan yang kelima tak kunjung di angkat juga. ‘Apa yang sebenarnya terjadi pada Eri?’ Pertanyaan tersebut terus berputar di dalam pikirannya sembari menatap ponsel yang berada dalam genggamannya yang sudah ia remas sekuat tenaga, seperti berniat menghancurkan benda persegi panjang tersebut dengan urat-urat di tangan yang begitu menonjol. Pahing memang baru berpisah dalam hitungan jam tapi rasa rindu ingin mendengar suara Eri sudah menyeruak dalam hati dan rasa rindu tersebut ingin segera ia bebaskan, walau hanya mendengar tanpa wujud fisik dari kekasihnya di depannya. Itu sudah sedikit mengobati rasa rindu miliknya dan bagian lainnya yang memang tidak bisa di puaskan jika tidak

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   Alasan Lain

    Eri menatap ponselnya dengan tatapan tidak percaya, ketika ia sedang mencoba untuk menghubungi Pahing dan tersambung lalu sambungan telepon terputus begitu saja karena pihak lain mematikan ponselnya secara tiba-tiba.“Mengesalkan saja.” Keluh Eri sembari mencebikkan bibirnya, hari ini sungguh sial baginya.Ketakutan sedari tadi yang dimilikinya menjadi kenyataan, ia gagal untuk menemui orang penting tersebut karena terlambat datang ke tempat perjanjian yang telah disepakati.Eri hanya menggerutu kesal dan menyalahkan kesialannya pada Pahing karena Pahing merupakan sumber kesialan itu sendiri, jika saja dia bisa memaafkan masa lalu mungkin dia tidak akan repot-repot untuk membalaskan dendamnya.Pasalnya, kesalahan Pahing tidak bisa dimaafkan begitu saja. Tidak semudah itu memaafkan seseorang yang bisa dengan mudahnya mengambil orang penting dalam hidup Eri, begitu dengan Kiran.Mereka berdua pa

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   Percayalah Padaku

    Keheningan udara untuk kedua kalinya, suara napas dari keduanya tak terdengar jelas. Yang satu bernapas lebih lambat dan lainnya bahkan tidak bisa mengontrol napasnya. Ketegangan yang dirasakan Pahing begitu kentara, bahkan tangan tangannya ikut basah. Bulir-bulir keringat sebiji jagung diproduksi oleh dahinya padahal AC tidak pernah dimatikan. Kiran yang sedari mengamati perubahan wajah ekpresi Pahing membuat hati bergetir, apakah wanita gatal yang mencoba untuk menghubungi suaminya? Ia tidak akan membiarkan begitu saja, dia akan berusaha untuk melindungi mili

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   Dengarkan Aku Saja

    Suasana hening menyelimuti mereka berdua, ketegangan terjadi diudara. Seluruh tubuh Pahing terasa terpaku ke tanah, bibirnya kelu tidak bisa mengecap kata sementara Kiran mulai mengatur napasnya yang memburu akibat dari tangisan yang kian ingin dihabiskan.Rentetan kalimat sedang Pahing susun dalam benaknya agar tidak tertangkap dan Kiran pun tidak menaruh curiganya padanya, ia pun mulai berpikir untuk mengecek ponselnya. Namun, segera dia urungkan niatnya tersebut. Tidak mungkin, Pahing mengecek daftar panggilan dihadapan Kiran, itu pasti akan membuat istrinya menaruh curiga padanya.Pahing tidak sempat menyusun kalimat jika suatu saat Kiran mulai curiga, ia tidak tahu hari itu akan datang secepat ini. Seharusnya sudah jauh-jauh hari ia persiapkan, dia muali meruntuki kebodohannya sendiri.“Mas..” Panggil Kiran pelan dan terdengar begitu lirih, jadi apa diamnya Pahing ini adalah iya?“Jadi itu benarkan?

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   Siapa Wanita itu?

    Pahing mengusap lembut pipi Kiran, berniat mencoba untuk membangunkannya secara perlahan. Ia tidak ingin membuat tubuh Kiran sakit jika dia mencoba untuk mengguncang tubuh halus ini. Merasakan tangan hangat serta bisikan berat di dekat daun telinganya, Kiran pun mencoba untuk membuka kedua kelopak mata walau masih terasa berat. Kepalanya terasa ditumbuk berton-ton batu, sakit sekali. Pahing melihat bulu mata lentik Kiran bergetar, tak dihentikan tindakannya sampai ia bisa mengungkapkan kedua bola mata Kiran secara penuh.

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   Berganti Nama

    Pahing turun dengan mantap dari mobil setelah memakirkannya disamping rumah, memang perumahan yang dia huni bersama Kiran tidak memiliki gerbang depan. Tidak lupa ia membawa makanan seafood untuk Kiran yang telah dibelinya tadi, langkahnya terasa hingga sampai ketika ia mengetuk pintu tapi tidak ada respon dari dalam. Pahing sedikit mengerutkan dahinya, apakah Kiran tidak ada di rumah? Tapi tidak mungkin juga, biasanya jika Kiran akan berpergian keluar akan menghubungi dirinya terlebih dahulu. Merasa tidak sabar, Pahing pun menekan gagang pintu dan mencoba untuk mendorongnya ke dalam akan tetapi ia merasa seperti ada benda berat dibalik pintu yang menghalangi jalan masuk. Ia berhasil membuat sedekit celah sehingga pandangan jatuh pada apa yang ia anggap benda tadi yang menghalangi pintu masuk ternyata sesosok manusia, apakah itu Kiran? Sepertinya iya. Dia langsung mengenalinya ketika Pahing mengamatinya lamat-lamat. Pahing membeku ditempat sebelum berh

  • Pernikahan Di Ujung Tanduk   In the Other Hand

    Keduanya mengenakan pakaian tadi malam sambil melenggang pergi meningalkan kamar motel yang sebelumnya sudah berbagi sebuah kecupan sana sini dibalik pintu yang masih tertutup rapat. Pahing mengajak kekasih wanitanya untuk mengisi perut dahulu yang sudah masuk ke dalam jam makan siang, jadwal sarapan yang sudah terlewatkan karena mereka begitu pulas tertidur saling terkait di atas ranjang. Tidak lupa tangan besar milik Pahing memegang erat tangan kecil milik Eri yang memiliki jari-jari lentik, terasa begitu pas dengan miliknya. Serasa mereka berdua memang sudah di takdirkan, mungkin Pahing harus segera merealisasikannya agar dapat terus memegang erat Eri tanpa harus ada penghalang di antara mereka berdua. “Mas, kok berhenti?” Tanya Eri sambil mendongkakkan kepalanya karena ada jarak yang besar di antara tinggi badan mereka berdua. Pahing langsung terbangun dari lamunannya tadi, ia bahkan tidak sadar bahwa sedang melamun. “Tidak apa-apa, mungkin ini ef

DMCA.com Protection Status