Sinar matahari semakin lama terasa menyilaukan. Keadaan itu memaksa Lea bangun lebih awal dari biasanya. Lea ingat dirinya tidak harus bekerja setelah resign dari toko roti tempatnya bekerja.
Gadis berambut panjang itu masih terpejam. Tangannya bergerak menutupi wajah dengan helaian rambutnya sendiri. Niatnya adalah bangun hingga waktu makan siang. Akan tetapi, keinginannya itu harus gagal sebelum sempat terealisasikan. Bukankah harusnya ia beres-beres dan bersiap untuk pulang ke Indonesia?
Kelopak matanya yang sayup, kini terbuka lebar. Keningnya berkerut saat Lea merasakan tangannya memeluk sesuatu yang terasa berbeda. Bukan guling empuk yang biasanya ia peluk setiap malam.
Yang dipeluknya ini terasa hangat. Tidak empuk, melainkan keras tapi juga halus. Samar ia mencium aroma kopi dan kayu. Apa mungkin ular besar?!
Lea terbelalak kaget. Gadis itu sontak menarik tangan dari sosok yang baru saja dilihatnya. Sekali lihat, otaknya menafsirkan jika sosok itu adalah seorang pria dengan rambut diikat bun dan sedikit berantakan.
Lea mengintip di balik selimut yang menutupi tubuhnya maupun pria itu. Oh, tidak! Rasanya kepala Lea baru saja dihantam palu besar.
Ia tidak mengenakan apapun! Begitu juga dengan pria yang masih pulas di sampingnya!
Sebisa mungkin Lea mencoba mengingat kejadian semalam. Bagaimana bisa ia berakhir di ranjang pria asing? Sialnya, Lea benar-benar tidak ingat apapun. Ia hanya ingat dirinya diserang lalu ditolong seorang pria di tangga darurat hotel.
Pria yang tidur telungkup di sampingnya itu melenguh. Lea kembali membelalak dan sontak terduduk. Perlahan selimut yang menutupi punggung pria itu tersingkap. Ada tato kepala harimau yang menganga seakan hendak menerkam Lea.
Lea memperhatikan penampakan pria itu sekali lagi. Dari belakang saja, pria itu sudah tampak menyeramkan. Rambutnya cukup panjang dan diikat karet gelang hitam. Otot tubuh dan lengannya kekar. Punggungnya memiliki bekas luka dan tato hewan buas.
“Apa dia mafia?” batin Lea menelan salivanya.
Ketimbang memikirkan banyak hal, Lea merasa lebih baik segera pergi. Secepatnya, sebelum ia ketahuan tidur dengan pria misterius itu. Jangan sampai pria itu terbangun dan menodongnya dengan senjata.
Bisa jadi ia kehilangan nyawa. Kemudian dibuang di suatu tempat. Bisa gagal pulang ke tanah air jika dirinya jadi korban.
“Ya ampun, bagaimana ini? Di mana sih celana dalam gue?” batin Lea sibuk mengedarkan pandangan mencari benda kecil berwarna merah muda yang dipakainya semalam.
Sepelan mungkin Lea beringsut. “Aduh ...,” lirih Lea meringis.
Ia merasakan sakit yang sulit dijelaskan pada bagian inti tubuhnya. Akan tetapi, rasa takutnya lebih mendominasi. Walau matanya berkaca-kaca, Lea menahan suara karena takut pria itu terbangun.
Sampai akhirnya ia menemukan sepasang benda merah muda itu. Setelah memakai kembali pakaian dalamnya, Lea kembali mencari dress hitam yang dipakainya semalam. Kain itu teronggok di lantai dekat sofa.
“Seganas apa dia sampai bajuku sobek begini?” keluh Lea.
Dress cantiknya sudah compang-camping, mirip seperti kain lap. Lea tak punya pilihan lain. Ia tetap memakai dress sobeknya. Kemudian, ia mengambil kemeja putih milik pria itu.
Sengaja Lea hanya memasang tiga kancing di bawah kerah. Sisanya ia kumpulkan lalu ia ikat. Setidaknya, penampilannya tidak terlalu aneh. Untung saja isi tasnya masih utuh.
Sembari berjinjit menenteng tas dan sepatunya, Lea keluar dari kamar itu. Lea berjanji tidak akan kembali lagi ke hotel ini. Ia juga tidak akan pernah memilih kamar dengan nomor 1002. Dengan langkah terseok, Lea beranjak menuju lift.
Tepat disaat pintu kamar hotel itu kembali tertutup rapat, terdengar suara khas pintu terkunci otomatis. Pria di dalam kamar hotel itu mengerjap. “Seno ... jam berapa pesawatnya?”
Hening.
Pria dengan pahatan otot tubuh yang nyaris sempurna itu akhirnya bangun dan bersandar di ranjang. Ia mengedarkan pandangan dan menyadari tak ada seorang pun selain dirinya. Sementara ia yakin jika, baru saja ada seseorang yang melewati pintu kamarnya.
Kala hendak beranjak dari ranjang, ia menyadari jika ia tidak mengenakan apapun. Celana, jas dan dasinya juga berserakan di lantai. Dengan tangan gemetar, ia mencoba mengintip tubuhnya di balik selimut.
Deg!
Pria itu tersentak dan refleks menarik selimut. Ia turun dari ranjang meraih boxer miliknya. Saat itulah ia melihat noda merah di seprei putih itu.
“Darah?” gumamnya sembari menghalau pantulan cahaya yang menyilaukan matanya.
Pria itu mendekat lalu meraih sebuah anting emas kecil. Ada inisial hurf ‘L’ yang terukir di belakangnya. Matanya kembali membelalak menatap bergantian benda itu dan noda di seprei.
“Siapa gadis yang semalam sudah kurenggut perawannya?” gumamnya sembari mengusap wajahnya resah.
Masih dengan pikiran yang kacau luar biasa. Angga lekas mencari ponselnya. Benda berharganya itu bahkan nyaris ia injak. Segera ia menekan #5 lalu menunggu seseorang di seberang sana menjawab panggilan telponnya.
“Halo, selamat pagi, Bos,” sahut Seno.
“Di mana kau?!” geram Angga.
“Di kantor staf keamanan hotel. Lagi nyari bukti kelakuan model yang makan malam sama lo semalam,” jawab Seno setenang mungkin.
Angga mengernyit lalu bertanya, “Bukti? Apa maksudmu?”
“Semalam aku pesan dua kamar berbeda. Kamar VIP untukmu dan kamar reguler untukku. Aku ingin bersenang-senang dengan staf cantik yang bersedia menghabiskan malam denganku. Setidaknya aku bersenang-senang setelah tiga hari kerja rodi denganmu. Tapi, kau tidak sabaran dan malah mengambil kartu kamarku. Sementara kartu kamar VIP yang kupesan untukmu, diambil Melani, model yang dikenalkan bundamu. Dia sudah masuk lebih dulu di kamar itu dan menunggumu untuk menghabiskan malam bersama,” jelas Seno.
“Jadi semalam, aku tidur dengan wanita kencanmu?!” bentak Angga.
“Apa maksudmu? Tidak, aku dan wanitaku memesan kamar lain.”
“Lalu siapa gadis perawan ini?”
“Perawan? Mana aku tahu. Tunggu! Jangan-jangan ....”
“Jangan-jangan apa? Jangan bilang dia model yang dikenalkan bundaku?!”
“Bukan. Aku sudah mengirim pria lain ke kamar VIP itu untuk memberikan Melani pelajaran. Tunggu, gadis di kamar itu tidak pergi? Kau tidur dengan gadis yang pingsan itu?!” tanya Seno balik. Dari suaranya, Angga tahu jika Seno juga panik sama sepertinya.
“Cek cctv di depan pintu kamar 1002. SEKARANG JUGA!!!” teriak Angga.
Seno berdeham dan dengan kalem ia menyahut, “Iya, Bosku.”
“Cari tahu siapa gadis yang tidur denganku semalam! Kalau tidak, aku akan membuangmu ke laut!” ancam Angga.
Seno lekas mengiyakan. Tanpa menunggu balasan dari sahabat sekaligus atasannya, Seno kabur. Jangan sampai Angga mematahkan seluruh tulangnya.
Angga masuk ke dalam kamar mandi. Guyuran air mulai menerpa tubuhnya. Perlahan ia mulai merasa rileks dan tenang.
Disaat yang sama, bayangan kejadian semalam mulai berdatangan. Suara lenguhan dan desahan itu berbisik manja. Yang mengejutkan adalah, bisa-bisanya ia terangsang hanya karena membayangkan kejadian semalam.
“Sial!” umpatnya saat menyadari jika harus menidurkan sesuatu yang terlanjur bangun. Cukup lama ia harus berjuang sampai mencapai puncak dengan usahanya sendiri.
“Setelah pergi begitu saja, dia masih saja menyusahkan!” geram Angga sembari memukul dinding kamar mandi.
Angga merasakan telapak tangannya yang dingin. Sangat berbeda dengan semalam di mana ia menyentuh sesuatu yang hangat, lembut dan kenyal. Kembali ia menatap kedua telapak tangannya lalu membaliknya. Refleks, 10 ujung jarinya bergerak seakan meremas sesuatu.
“Kalau begini terus aku bisa gila!” geram Angga sembari mengusak rambutnya.
Pikiran kotornya kembali berkelana. Ingatannya terasa jelas kala bibirnya mengecap sesuatu yang terasa lembut dan manis. Bukan permen tapi terasa seperti campuran buah. Aromanya pun samar masih teringat olehnya.
“Apa semalam aku benar-benar mencium bibirnya?” batin Angga sembari mengigit bibirnya sendiri.
Ia masih tak percaya menghabiskan malam panas dengan seorang gadis perawan. Ironisnya, ia merasa dicampakkan.
Angga bertekad akan mencari gadis itu sampai kapanpun. Satu hal yang ditakutkannya. Semalam, ia melakukannya tanpa pengaman.
Masalah tak berhenti disitu saja. Sang bunda terus membuat ponselnya berdering. Angga diminta kembali ke Indonesia hari ini juga.
***
Gadis yang beberapa waktu lalu turun dari bus itu hanya bisa melongo. Bagaimana tidak? Ia dilarang masuk ke dalam rumahnya sendiri.“Nggak bisa gitu dong, Tante! Ini rumahku, Tante sama Kak Tari yang numpang!” protes Lea.Wanita bertubuk semok itu tertawa sumbang. Dari mimik wajahnya, Lea sadar jika seseoran pasti sudah mempengaruhi pikiran tantenya. Karena itulah, tantenya mengambil tindakan tiba-tiba seperti ini.Ya Tuhan, kenapa Lea harus sesial ini? Ke mana keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia?“Aku akan mengembalikan rumah ini padamu asalkan, kau bisa membelinya dengan satu miliar,” ucap wanita itu menyeringai.Gadis yang baru saja kembali dari luar negri itu membelalak. “Satu miliar?! Tante sudah gila?!”“Tidak. Dari sudut mana aku terlihat gila?” balasnya mendelik kesal.“Tante, dari mana aku dapat uang satu miliar? Aku aja baru selesai wisuda. Belum punya kerja, nggak ada gaji. Lagian, rumah ini rumah peninggalan keluarga ibuku. Kenapa Tante merasa sebagai pemilik?” protes g
“Sepertinya kalian yang harus pergi! Aku baru saja menghubungi polisi!” teriak Lea dengan berani. Walau sebenarnya, ia berusaha mati-matian untuk mengumpulkan keberanian.Mereka berempat panik dan langsung kabur dengan mobil. Lea masih berteriak meminta tolong. Sayangnya, tak ada yang datang.Lea menghampiri laki-laki yang terbaring itu. Lea lega karena laki-laki itu masih hidup. Telunjuk pria itu mengarah ke pagar kontrakan Lea. Lea pikir, mungkin laki-laki itu juga tinggal di sana.Akan tetapi, tiba di teras kontrakan, laki-laki itu tidak sadarkan diri. Lea berteriak memanggil pemilik kontrakan. Namun, ia menyadari jika pintu pagar rumah sebelah tergembok dan tidak ada mobil di garasinya.Rumah itu ternyata kosong. Entah ke mana seluruh penghuni rumah dua lantai itu.Laki-laki itu benar-benar babak belur. Terdorong rasa iba, Lea membawa laki-laki itu masuk ke kamar kontrakannya. Kemudian mengobati lukanya dengan kotak P3K kecil yang kerap kali dibawanya.Lea menyerah saat berusaha m
“KTP dia nggak ada, Pak,” sahut Lea menyodorkan KTP miliknya. Ia sendiri sudah mencarinya tapi tidak menemukannya.Laki-laki yang berwajah lebam itu meringis merasakan denyutan di kepalanya. “Saya tidak tahu kenapa saya ada di sini,” ucap laki-laki itu.“Semalam dia dibegal, Pak. Terus pingsan di depan, saya cuma nolongin,” ujar Lea berharap mereka mau mengerti.“Nama kamu siapa?” tanya Pak RT membaca KTP Lea lalu menoleh pada laki-laki di sampingnya.“Saya Lea, Pak.”“Saya Ang- nama saya Tanu.”Meski sudah memberikan penjelasan, tatapan mereka pada Lea tak berubah. Beberapa pertanyaan diajukan oleh Pak RT pada Tanu. Akan tetapi, para warga seakan tak puas. Lebih tepatnya, tidak percaya.“Bohong, Pak RT! Semalam saya ke warung di samping gang. Saya lihat mereka jalan sambil pelukan. Mereka mesra-mesraan. Si cowoknya ini saya lihat cium kening ceweknya,” ucap seorang pria.“Bukan mesra-mesraan, Pak! Saya bantu dia berdiri. Jalannya aja sempoyongan habis dihajar empat orang!” bantah Lea
Wanita yang tubuhnya dipenuhi lemak turut berujar, “Untung bukan pemuda desa kita yang jadi korbannya.”Korban? Hellow? Rasanya Lea ingin menyumpal mulut mereka dengan bakso mercon level 1000.Nyinyir banget tahu nggak sih!Lea berusaha menulikan telinga. Meski ia menjelaskan hingga mulutnya berbusa, mereka tidak akan memahami dirinya. Mereka hanya akan percaya pada pendapat mereka sendiri.Bagaikan kotoran yang tak diharapkan. Lea dan Tanu diusir dari desa itu. Para warga di desa itu tidak sadar jika mereka baru saja mengusir pria yang memegang kendali atas mata pencaharian mereka.Saking sentimennya, para warga minta mereka menunggu bus di perbatasan desa. Mereka takut kehadiran Lea dan Tanu memberikan anak-anak mereka pengaruh buruk.Di halte yang penuh dengan tempelan wajah bakal calon anggota dewan dan kepala daerah. Lea dan suami dadakannya duduk berdampingan dengan tatapan lurus ke depan. Mereka baru saja melalui hal yang menggemparkan hidup tenang mereka berdua.“Lea, kamu asl
Lea pun tak berharap lebih. Karena pernikahan itu mendadak dan dibawah paksaan, mereka sepakat untuk membuat kontrak pernikahan. Angga berjanji, enam bulan kemudian ia akan kembali ke desa untuk menceraikan Lea dan memberikannya kompensasi.“Mas, aku lupa nama kamu siapa?” tanya Lea kikuk.“Tanu.”“Mas Tanu kerjaannya apa, sih? Kok sampai dibegal?”“Saya petani.”Lea melongo. “Jadi suamiku seorang petani?” batinnya. Kini ia bisa mengerti dari mana otot-otot itu berasal. Mungkin karena kesehariannya Tanu membajak ladang.Tak ingin Lea menaruh curiga, Tanu berujar, “Mungkin mereka tahu kalau saya baru saja jual hasil panen.”Lea terkesiap lalu bertanya, “Jadi hasil panennya Mas Tanu raib dibawa begal semua? Kalau kayak gitu, harus lapor polisi dong, Mas.”“Nggak semua hal harus dilaporkan sama polisi. Kamu jangan naif jadi orang. Kadang biaya pengurusan sebuah kasus, lebih besar dari nominal materi yang dicuri orang. Mending fokus melanjutkan apa yang bisa dikerjakan daripada berharap s
Beberapa jam yang lalu.“Pak, kita mampir dulu di barber shop,” pinta Angga pada supir keluarganya.“Iya, Aden. Mau di anterin ke barber shop mana, Den?” tanya pria paruh baya yang datang menjemputnya.“Yang mana aja yang kita lewati nanti,” sahut Angga.Seno tersentak dan menatap heran sahabatnya. “Lo yakin mau potong rambut?”“Hem!” sahut Angga malas.Melihat penampilan sahabatnya, Seno juga merasa jika Angga perlu potong rambut. Nyonya Hartanuwiguna bisa syok kena serangan jantung saat melihat putra bungsunya seperti brandalan.“Bapak yang sabar ya, kita lagi satu mobil sama harimau kutub. Dia semalam udah bermanuver di depan bidadari. Tapi bidadarinya pergi gitu aja. Bahkan, nggak niat kenalan dan minta kartu namanya. Makanya dia sensi,” ujar Seno pada supir keluarga Hartanuwiguna.Pria paruh baya itu hanya mengangguk sembari mengulum senyum. Kalau tertawa, bisa saja ia membuat seekor macan mengamuk. Jangan sampai pula ia kehilangan pekerjaan.Laki-laki bermata sipit itu melirik k
“Lea, ayo!” ajaknya sembari meraih koper istrinya.“Ke mana?” tanya Lea bingung.“Kita makan siang dulu. Setelah itu, kita ke terminal. Tadi kamu bilang mau ke Surabaya, ‘kan?” putus Tanu tanpa meminta pendapat Lea.Lea hanya mengangguk dan ikut naik ke mobil. Lumayan, bisa irit ongkos.Mata Lea bergerak mengedarkan pandangan. Dari dalam dashboard, Tanu mengambil sebuah buku. Kemudian membukanya seolah mencari sesuatu yang terselip di sana.“Ini kartu nama saya,” ucapnya sembari menyodorkan kartu kecil yang tampak mahal. “Simpan di dompet! Tulis juga nomor ponsel kamu di sini!”Tanu merobek kertas yang baru saja ditulisi Lea dan mengantonginya, lalu berkata, “Pak, kita makan siang di warung dekat terminal saja.”“Baiklah,” sahut pria yang sedang mengemudi.Tak butuh waktu lama, mereka tiba di sebuah rumah makan yang cukup ramai. Sembari menunggu pesanan makanan, pria pemilik mobil itu pamit sejenak. Meninggalkan Tanu dan Lea yang kembali canggung.“Mas beneran kenal bapak tadi?” tanya
Hasil kerjanya mendapatkan apresiasi yang cukup besar dari sang atasan. Hanya saja, Heru tak bisa benar-benar bahagia dengan hasil kerjanya selama menjalankan proyek terakhir. Bonus yang diharapkannya pun tak ia dapatkan.“Sayang!” seru Tari sembari berjalan menghampiri Heru.Kekasihnya itu tampak lesu. Sore ini mereka memang janjian untuk bertemu. Di sudut kafe tak jauh dari kantor, pasangan itu duduk bersama dengan sang wanita memberikan kecupan di pipi Heru.“Kamu kok gitu? Tumben kamu bete’ gini?” tanya Tari heran.Pasalnya, sejak mereka menjalin hubungan. Tak pernah sekalipun Heru mengabaikannya. Bahkan, kerap kali pacarnya ini yang nyosor duluan.“Proyek yang aku kerjain kemarin, diterima baik sama bos,” kata Heru.“Jadi Pak Seno senang dengan kinerja kamu? Bagus, dong! Itu artinya kamu bisa dapat bonus, ‘kan?” ucap Tari sumringah. Ini juga berarti, ia bisa kecipratan bonus itu.Heru lagi-lagi mengangguk lesu. “Iya, bonusnya dapet, tapi nggak sekarang.”“Maksudnya?” Tari tersent
Perlahan air mulai mengalir dari teko yang dituang Angga. Disaat yang bersamaan, terdengar pintu apartemennya dibuka oleh seseorang. Tamu yang datang sudah pasti Seno. Hanya dia yang tahu sandi apartemen ini.“ASTAGA! ADA APA DENGAN WAJAHMU?!” pekik Seno membelalak.Angga dengan acuh tak acuh beranjak meninggalkan dapur. Ia membawa kopi seduhannya. Tak ada niat menawari tamu yang datang tanpa diundang.“Kau terlihat seperti pangeran buruk rupa saja. Kau habis kecelakaan? Jangan bilang kalau kau jadi pemeran pengganti untuk aktor laga?” sindir Seno yang mengikuti langkah Angga.Melihat sahabatnya diam saja, Seno kembali berkata, “Kalau kau tidak jawab, aku tidak akan berbagi info penting.”“Aku dibius dan dipukuli,” jawab Angga singkat lalu menyesap kopinya.Seno meringis memperhatikan sahabatnya. Wajah rupawan dari petani kaya raya sekaligus CEO PT. Adecoagro itu, kini terlihat kacau.Ada banyak lebam dan luka lecet. Tidak hanya di tu
Melati menggeleng pelan sembari berujar, “Lo kalau mau bercanda, nggak usah halu, Lea.”Lea mulai memelas. “Gue serius, Mel. Gue udah jadi istri orang.”“Nikah sama siapa lo? Member idol Korea?” tanya Melati dengan tangan kiri tang menopang sebelah pipinya.“Sama Mas Tanu,” jawab Lea yang kemudian menggigit bibirnya.“Tanu siapa?”Lea menggaruk kepalanya bingung. “Gue lupa nama lengkapnya. Kartu namanya hilang.”“Kapan, Lea? Tadi malam di alam mimpi?” Lagi-lagi Melati menanggapi dengan candaan.Lea menggeleng. “Tadi pagi di Tulungagung. Gue digerebek warga dan dipaksa nikah.”Melati memijat kepalanya yang mendadak pening. Apa-apaan ini?“Lea, kalau lo mau nge-prank gue, nggak gini juga kali?” ujar Melati tertawa sampai memeluk perut.Lea membuka galeri ponselnya. Kemudian, ia menunjukkan foto ijab q
Melati mengernyit kebingungan. Ponsel Lea sama sekali tidak berbunyi. Di atas meja makan yang sempit itu, ia bisa melihat jelas tampilan layar ponsel sahabatnya. Tidak ada notifikasi apapun.“Mau nelpon siapa nih anak?” batin Melati sembari mengaduk isi mangkuknya.“Gue kayak cewek bego dan sial banget,” ungkap Lea kembali menghapus air matanya yang jatuh.“Antara sial ama beruntung. Sial karena lo udah kenal mereka. Beruntung karena lo udah selamat dari sosok penipu hati kayak Heru. Bayangin aja kalau lo tahu bobroknya pas udah nikah sama si Heru?” komentar Melati sembari meraih gelas air minumnya.Tadinya, Melati mengira akan melihat Lea bergidik. Menunjukkan ekspresi jijik, mual atau mungkin ekspresi penolakan lainnya. Ternyata tidak. Bukannya merasa lebih baik, tangis Lea malah semakin pecah.“Lea … gue nggak maksud bikin lo makin sedih. Maksud gue itu, lo lihat perspekif kedepannya. Okey?” hibur Melati.“Huwaaa …. Gue belum bilang kalau
Suara gebrakan meja itu membuat Lea tersentak. Jantungnya hampir copot mengira gelas kaca itu akan pecah. Jika itu terjadi, maka semua makanan di hadapannya tidak akan bisa dimakan karena terkena pecahan beling. “LO BILANG APA TADI?!” tanya Melati melotot. Bola matanya sudah nyaris keluar. Lea kembali berucap tanpa suara. Namun, gerak bibirnya masih terlihat dan terbaca dengan jelas. “SELINGKUH?!!” pekik Melati. Lea memejamkan mata mendengar pekikan suara gadis bar-bar itu. Belum lagi wajah garang sahabatnya. Melati sudah seperti titisan seorang penyihir saja. Lea kembali mengangguk setelah menceritakan tentang perselingkuhan Heru dan Tari. “Lo yakin? Bukannya Heru, selama ini sayang banget sama lo?” Melati sendiri tampak ragu. Raut wajahnya seakan tak percaya dengan apa yang baru saja Lea katakan. Pikirnya, sejak kapan Lea tahu? Lea mengigit bibir bawahnya. Melihat reaksi sahabatnya, mungkin seperti ini juga reaksi keluarga Heru. Tidak percaya kalau Heru akan setega itu. Malas
Lengkap dengan jaket dan topi hitam. Angga akhirnya tiba di basemen apartemennya. Tak lupa ia juga merogoh selembar masker hitam di saku celananya.Sebuah lipatan kertas kecil terjatuh. Bergeser pelan saat ujung sepatu Angga tak sengaja menginjaknya. Pria itu tak sadar sudah menjatuhkan sesuatu yang penting.Tak akan ada yang menduga jika, pria yang sengaja menggunakan mobil box sayuran itu adalah Angga. Sosok pemilik unit termahal di gedung itu.Bagaimanapun, ia harus berkamuflase agar bisa luput dari incaran lensa pencari berita. Satu berita kecil tentangnya, bisa mempengaruhi pergerakan saham perusahaan keluarga.Tanpa menoleh dengan langkah yang cepat, pria itu masuk ke dalam lift. Tujuannya tidak lain adalah apartemen penthouse miliknya. Unit yang berada di lantai teratas gedung itu.Berselang beberapa saat setelah pintu lift tertutup rapat. Seorang petugas kebersihan apartemen memungut kertas yang dijatuhkan Angga tadi. Kemudian menaruhnya di kantong sampah.Setibanya di hunian
Heru mengusak rambutnya frustasi. Pasalnya, sebagian uang itu sudah habis ia gunakan bersenang-senang dengan Tari. Bahkan, beberapa saat lalu, ia baru saja membelikan Tari tas seharga 5 juta rupiah.“Lea, bisa 10 juta aja dulu? Nanti habis gajian aku transfer sisanya,” bujuk Heru.“Memangnya, duitku ke mana? Ah, habis lo pakai foya-foya sama dia? Kalian berdua mau gue laporin ke kantor polisi?!” ancam Lea lagi.Heru membuka mobilnya dan mengambil tas branded di dalam sana. Tari tampak tidak rela melepaskan tas impiannya. Lea benar-benar menahan murka dan ingin rasanya mencabik-cabik mereka berdua. Dugaannya ternyata benar.“Aku nggak mau tas modelan gitu! Kak Tari juga transfer sekarang juga! Paling nggak, tansfer senilai tas itu! Kalau tidak, aku lemparin mobil itu sampai hancur!” geram Lea.Heru membelalak dan tidak terima. Mobil barunya adalah kebanggannya. Membeli tas lagi bisa kapan-kapan saja.“Sayang, tf aja. Nanti akau ganti,” bujuk Heru pada Tari.Tari memberengut kesal bukan
Heru dan wanita itu terkejut bukan main. Mereka berdua gelagapan karena mengira sedang kepergok anak kecil. Mereka sampai memperhatikan sosok itu punya bayangan atau tidak.“Hei, Anak Kecil! Jangan urusi urusan orang lain! Sana masuk saja dan ganggu kami!” usir Tari.“Dek, mending sana kamu pergi. Pacarku ini galak loh?” ujar Heru.Disaat yang sama, Tari kembali memeluk Heru dengan tatapan sengit. “Sayang, aku belum puas dipeluk kamu,” ucapnya bermanja.Lea mendadak mual. Bukannya pergi, kedua manusia tak tahu diri itu malah kembali bermesraan.Seakan tak peduli dengan kehadiran seseorang di dekat mereka. Heru justru mencumbu Tari. Suara tawa dan rengekan manja Tari, membuat Lea rasanya ingin memasukkan mereka berdua ke dalam tong sampah.Lea dengan sigap merogoh ponselnya. Ia tak ingin kehilangan kesempatan untuk memotret perselingkuhan Tari dan Heru. Merasa cukup, Lea kemudian bertepuk tangan.“Aish ... anak ini mengganggu saja!” geram Heru.“Makanya tadi aku bilang, mending kita ma
“Tawaran itu kamu terima aja tanpa mikirin apapun lagi. Kamu itu pria hebat, Heru. Aku yakin kamu bisa makin bersinar di Tanufood. Aku bahkan nolak pria lain, karena aku yakin kamu yang layak. Aku yang akan berusaha keras buat dapat promosi juga, biar ditransfer ke sana. Okey?” bujuk Tari.“Tapi kalau begini, kita bakalan jarang ketemu, Sayang,” keluh Heru.Tari mengurai pelukan lalu tersenyum manis. Kemudian ia berbisik, “ Bagaimana kalau ... aku pindah ke apartemen kamu?”Walau terkejut, senyum Heru langsung merekah. Ia semakin yakin jika Tari mencintainya. Mereka juga bisa bersenang-senang sepuasnya.Tanpa Heru sadari jika, kekasihnya itu ingin menumpang hidup tanpa perlu mengeluarkan biaya sewa dan menghemat ongkos. Setiap berangkat dan pulang kerja, ia bisa minta Heru menjemputnya seperti biasa.“Sayang, pulang, yuk!” ajak Heru sambil mengusap lutut kekasihnya. Tatapannya yang tadi kosong berubah mendamba.“Pulang ke mana?” tanya Tari yang meraih minuman Heru.Tari belum sempat m
Hasil kerjanya mendapatkan apresiasi yang cukup besar dari sang atasan. Hanya saja, Heru tak bisa benar-benar bahagia dengan hasil kerjanya selama menjalankan proyek terakhir. Bonus yang diharapkannya pun tak ia dapatkan.“Sayang!” seru Tari sembari berjalan menghampiri Heru.Kekasihnya itu tampak lesu. Sore ini mereka memang janjian untuk bertemu. Di sudut kafe tak jauh dari kantor, pasangan itu duduk bersama dengan sang wanita memberikan kecupan di pipi Heru.“Kamu kok gitu? Tumben kamu bete’ gini?” tanya Tari heran.Pasalnya, sejak mereka menjalin hubungan. Tak pernah sekalipun Heru mengabaikannya. Bahkan, kerap kali pacarnya ini yang nyosor duluan.“Proyek yang aku kerjain kemarin, diterima baik sama bos,” kata Heru.“Jadi Pak Seno senang dengan kinerja kamu? Bagus, dong! Itu artinya kamu bisa dapat bonus, ‘kan?” ucap Tari sumringah. Ini juga berarti, ia bisa kecipratan bonus itu.Heru lagi-lagi mengangguk lesu. “Iya, bonusnya dapet, tapi nggak sekarang.”“Maksudnya?” Tari tersent