Gadis yang baru saja selesai mengepel lantai itu mendengus kesal. Ponsel disakunya terus saja berdering. Namun, meliat nomor asing yang sama sekali tak dikenalinya, Lea memilih untuk mengabaikannya.
Ponselnya kembali berbunyi. Kali ini bukan panggilan telpon melainkan sebuah pesan. Merasa tergelitik, akhirnya gadis cantik itu mengunduh pesan gambar yang diterimanya.
Deg!
“Apa-apaan ini?” batinnya mulai bergemuruh.
Terlihat pria yang tak asing itu duduk bersama seorang gadis seksi. Hanya saja, wajah wanita itu tidak terlihat jelas karena mengarah pada pipi sang pria. Pria yang tak lain kekasihnya.
“Wanita ini cuma berbisik atau lagi nyium Kak Heru sih?!” gumam gadis berambut panjang itu kesal bukan main. Rasanya ingin meroyok wanita itu seperti kertas pembukus roti. Sialnya, sang kekasih malah tersenyum lebar dalam foto itu.
Tanpa pikir panjang, Lea menghubungi Heru. Ia ingin tahu apa yang sedang dilakukan kekasihnya. Setidaknya, ia tidak boleh berburuk sangka. Lea harus memastikannya lebih dulu demi keutuhan hubungan mereka.
Panggilan pertama, tidak dijawab. Panggilan kedua, telpon Heru sibuk. Panggilan ketiga, masih saja sibuk. Panggilan keempat, ponsel Heru justru tidak aktif dan berada di luar jangkauan.
Lea tak kehabisan akal. Ia segera mengganti seragamnya. Jam kerjanya sudah berakhir. Setelah tiba di apartemen sederhana tempatnya tinggal, ia meminjam ponsel tetangganya yang juga seorang WNI.
Beruntungnya sang tetangga mau berbaik hati meminjamkan ponsel. Namun, Lea harus menerima kenyataan pahit. Yang menyambutnya, justru suara halus dan serak.
“Halo? Halo? Beb, ada yang telpon kamu,” ucap wanita yang menjawab panggilan telpon Heru.
“Ck, aku masih ngantuk, Sayang,” sahut Heru.
Tangan Lea terkepal kuat. Air matanya jatuh begitu saja. Tetesannya mulai berlomba keluar tanpa mampu melawan gravitasi.
Wanita paruh baya tetangga Lea merasakan ada yang tidak beres. Tanpa bertanya, diusap lengan gadis pekerja keras itu. Air matanya yang berderai sudah menjelaskan jika Lea sedang menerima kabar buruk.
Rasanya seluruh sendi tubuhnya mendadak tak mampu bekerja. Lea merasa jika harapan yang telah lama ia pupuk sirna. Kekalutannya beberapa saat lalu mulai jelas.
Heru ... selingkuh.
Menjalani hubungan LDR memang rentan. Lea akui jika ia seringkali merasa takut jika Heru berpaling. Mereka terpisah jarak yang cukup jauh.
Tubuh mungil setinggi 158 cm itu masih membeku di tempatnya. Terbayang akan keputusannya beberapa bulan lalu untuk tetap tinggal dan bekerja di Singapura sambil menyelesaikan pendidikan magisternya.
Tak memiliki cukup uang untuk membeli tiket pulang. Lea akhirnya memanfaatkan visa pelajar yang tersisa dan menyambungnya dengan visa liburan. Tujuannya untuk menghasilkan uang lebih.
Papanya juga sudah meninggal. Lea cukup tahu diri untuk tidak jadi beban siapapun. Termasuk Heru.
“Ada apa, Nak Lea?” tanya wanita paruh baya itu berempati.
“Saya harus pulang secepatnya ke Indonesia, Bu. Ada sesuatu yang penting. Sebelum itu, saya harus mencari uang lebih banyak agar bisa melunasi biaya sewa dan beli tiket pulang,” ungkap Lea mencoba tersenyum disaat hatinya hancur.
“Tunggu sebentar,” ujar wanita itu yang kemudian mengambil selembar brosur kecil.
Lea menerimanya dan membaca informasi yang tertulis di sana. Pekerjaan darurat dengan upah tertentu asalkan kedua pihak sepakat. Jenis pekerjaan bervariasi tergantung klien yang ditemui dalam platform itu.
“Saya sudah mencobanya dan menemukan seorang terapis wanita yang datang mengobati,” jelas wanita itu lagi.
Lea menerimanya dengan secercah harapan. Semoga bisa mendapatkan pekerjaan dengan bayaran yang cukup mahal. Misinya sekarang adalah pulang ke Indonesia secepatnya.
***
Kata pepatah, usaha tak akan menghianati hasil. Dua pekerjaan dalam sehari membuat Lea mendadak berduit. Kurang dari 24 jam setelah tahu perselingkuhan Heru, Lea lekas mencari pekerjaan di platform Any Work.
Ia bahkan mendapatkan satu gaun mahal dari klien wanita. Lea diminta bersandiwara sebagai kliennya dan memutuskan seorang cowok.
“Harusnya dari dulu aku tahu ada lapak kerjaan seperti ini. Aku nggak perlu susah-susah cuci piring sama ngepel lantai,” gumam Lea dengan mata berbinar menatap nominal di rekeningnya.
Kebahagiaan kecil Lea terusik. Nomor misterius kemarin, kembali mengirim foto. Kali ini foto makan malam romatis. Lagi-lagi Lea dibuat kesal karena wajah wanita berambut pirang itu tidak terlihat.
Lea akhirnya kembali menghubungi Heru. Ia ingin tahu apakah Heru masih bersama wanita itu atau tidak. Ia bertekad ingin mengumpulkan banyak bukti.
“Halo, Sayang,” sapa Heru.
“Kamu udah makan?” tanya Lea.
“Udah tadi, makan mie instan. Aku harus berhemat biar bisa punya duit lamar kamu,” jawab Heru.
Lea tertawa bukan karena lucu, tapi sadar telah ditipu. Tanpa bisa ia bendung air matanya kembali jatuh. Namun, lambat laun isakannya mulai terdengar.
“Sayang, kamu nggak usah sesedih itu. Kamu jangan kayak aku yang harus makan makanan instan buat berhemat,” ucap Heru terdengar begitu peduli.
Padahal, Lea tahu kebenarannya. Di berang sana, kekasihnya itu menikmati menu resto yang cukup mahal.
“Sayang, entar aku telpon lagi ya. Aku lagi lembur sama atasan aku di kantor,” kilah Heru sebelum menutup telpon.
Lea mengusap air matanya lalu berkata, “Kamu benar. Aku nggak harus berhemat. Malam ini aku juga bakalan nyari cowok ganteng biar bisa bikin kamu cemburu!”
Patah hati yang Lea rasakan, ia lampiaskan dengan menenggak beberapa gelas minuman alkohol di bar hotel. Di saat ia hendak meminta sebotol lagi, seorang pria mencegahnya.
“Berikan saja gadis ini air mineral,” pinta pria itu.
Lea menggeleng pelan. Kepalanya terasa berat dan sosok yang berdiri di dekatnya itu tidak terlihat jelas. Namun, setiap kali Lea hendak meneguk minumannya, sang pria lebih dulu meraih dan mengosongkan gelas itu.
“Om, jangan kasihani aku. Selain papaku, semua pria itu sama. Tukang selingkuh!” racau Lea.
“Kalau begitu, balas dengan selingkuh juga,” saran pria itu.
“Om mau jadi selingkuhanku?” bisik Lea dengan mata terpejam. Pria itu menggeleng.
“Pacar aku selingkuh, Om. Yang jawab telponnya kayaknya cewek seksi,” gumam Lea lagi.
“Kasihan juga kamu. Bukannya di resto tadi, kamu nolak cowok yang makan malam sama kamu?” tanya pria itu tersenyum sambil melonggarkan dasinya.
Lea menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum menggoda ke arah pria itu. “Aku nggak tahu maksud, Om. Tapi yang jelas, aku mau lupain rasa sakit ini. Apa Om mau bantu aku?”
Pria tampan itu tersenyum tipis. Sembari mencondongkan tubuhnya ke arah Lea, pria itu berbisik, “Jangan salahkan aku, kalau kamu tidak bisa jalan besok pagi.”
***
Sinar matahari semakin lama terasa menyilaukan. Keadaan itu memaksa Lea bangun lebih awal dari biasanya. Lea ingat dirinya tidak harus bekerja setelah resign dari toko roti tempatnya bekerja.Gadis berambut panjang itu masih terpejam. Tangannya bergerak menutupi wajah dengan helaian rambutnya sendiri. Niatnya adalah bangun hingga waktu makan siang. Akan tetapi, keinginannya itu harus gagal sebelum sempat terealisasikan. Bukankah harusnya ia beres-beres dan bersiap untuk pulang ke Indonesia?Kelopak matanya yang sayup, kini terbuka lebar. Keningnya berkerut saat Lea merasakan tangannya memeluk sesuatu yang terasa berbeda. Bukan guling empuk yang biasanya ia peluk setiap malam.Yang dipeluknya ini terasa hangat. Tidak empuk, melainkan keras tapi juga halus. Samar ia mencium aroma kopi dan kayu. Apa mungkin ular besar?!Lea terbelalak kaget. Gadis itu sontak menarik tangan dari sosok yang baru saja dilihatnya. Sekali lihat, otaknya menafsirkan jika sosok itu adalah seorang pria dengan ra
Gadis yang beberapa waktu lalu turun dari bus itu hanya bisa melongo. Bagaimana tidak? Ia dilarang masuk ke dalam rumahnya sendiri.“Nggak bisa gitu dong, Tante! Ini rumahku, Tante sama Kak Tari yang numpang!” protes Lea.Wanita bertubuk semok itu tertawa sumbang. Dari mimik wajahnya, Lea sadar jika seseoran pasti sudah mempengaruhi pikiran tantenya. Karena itulah, tantenya mengambil tindakan tiba-tiba seperti ini.Ya Tuhan, kenapa Lea harus sesial ini? Ke mana keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia?“Aku akan mengembalikan rumah ini padamu asalkan, kau bisa membelinya dengan satu miliar,” ucap wanita itu menyeringai.Gadis yang baru saja kembali dari luar negri itu membelalak. “Satu miliar?! Tante sudah gila?!”“Tidak. Dari sudut mana aku terlihat gila?” balasnya mendelik kesal.“Tante, dari mana aku dapat uang satu miliar? Aku aja baru selesai wisuda. Belum punya kerja, nggak ada gaji. Lagian, rumah ini rumah peninggalan keluarga ibuku. Kenapa Tante merasa sebagai pemilik?” protes g
“Sepertinya kalian yang harus pergi! Aku baru saja menghubungi polisi!” teriak Lea dengan berani. Walau sebenarnya, ia berusaha mati-matian untuk mengumpulkan keberanian.Mereka berempat panik dan langsung kabur dengan mobil. Lea masih berteriak meminta tolong. Sayangnya, tak ada yang datang.Lea menghampiri laki-laki yang terbaring itu. Lea lega karena laki-laki itu masih hidup. Telunjuk pria itu mengarah ke pagar kontrakan Lea. Lea pikir, mungkin laki-laki itu juga tinggal di sana.Akan tetapi, tiba di teras kontrakan, laki-laki itu tidak sadarkan diri. Lea berteriak memanggil pemilik kontrakan. Namun, ia menyadari jika pintu pagar rumah sebelah tergembok dan tidak ada mobil di garasinya.Rumah itu ternyata kosong. Entah ke mana seluruh penghuni rumah dua lantai itu.Laki-laki itu benar-benar babak belur. Terdorong rasa iba, Lea membawa laki-laki itu masuk ke kamar kontrakannya. Kemudian mengobati lukanya dengan kotak P3K kecil yang kerap kali dibawanya.Lea menyerah saat berusaha m
“KTP dia nggak ada, Pak,” sahut Lea menyodorkan KTP miliknya. Ia sendiri sudah mencarinya tapi tidak menemukannya.Laki-laki yang berwajah lebam itu meringis merasakan denyutan di kepalanya. “Saya tidak tahu kenapa saya ada di sini,” ucap laki-laki itu.“Semalam dia dibegal, Pak. Terus pingsan di depan, saya cuma nolongin,” ujar Lea berharap mereka mau mengerti.“Nama kamu siapa?” tanya Pak RT membaca KTP Lea lalu menoleh pada laki-laki di sampingnya.“Saya Lea, Pak.”“Saya Ang- nama saya Tanu.”Meski sudah memberikan penjelasan, tatapan mereka pada Lea tak berubah. Beberapa pertanyaan diajukan oleh Pak RT pada Tanu. Akan tetapi, para warga seakan tak puas. Lebih tepatnya, tidak percaya.“Bohong, Pak RT! Semalam saya ke warung di samping gang. Saya lihat mereka jalan sambil pelukan. Mereka mesra-mesraan. Si cowoknya ini saya lihat cium kening ceweknya,” ucap seorang pria.“Bukan mesra-mesraan, Pak! Saya bantu dia berdiri. Jalannya aja sempoyongan habis dihajar empat orang!” bantah Lea
Wanita yang tubuhnya dipenuhi lemak turut berujar, “Untung bukan pemuda desa kita yang jadi korbannya.”Korban? Hellow? Rasanya Lea ingin menyumpal mulut mereka dengan bakso mercon level 1000.Nyinyir banget tahu nggak sih!Lea berusaha menulikan telinga. Meski ia menjelaskan hingga mulutnya berbusa, mereka tidak akan memahami dirinya. Mereka hanya akan percaya pada pendapat mereka sendiri.Bagaikan kotoran yang tak diharapkan. Lea dan Tanu diusir dari desa itu. Para warga di desa itu tidak sadar jika mereka baru saja mengusir pria yang memegang kendali atas mata pencaharian mereka.Saking sentimennya, para warga minta mereka menunggu bus di perbatasan desa. Mereka takut kehadiran Lea dan Tanu memberikan anak-anak mereka pengaruh buruk.Di halte yang penuh dengan tempelan wajah bakal calon anggota dewan dan kepala daerah. Lea dan suami dadakannya duduk berdampingan dengan tatapan lurus ke depan. Mereka baru saja melalui hal yang menggemparkan hidup tenang mereka berdua.“Lea, kamu asl
Lea pun tak berharap lebih. Karena pernikahan itu mendadak dan dibawah paksaan, mereka sepakat untuk membuat kontrak pernikahan. Angga berjanji, enam bulan kemudian ia akan kembali ke desa untuk menceraikan Lea dan memberikannya kompensasi.“Mas, aku lupa nama kamu siapa?” tanya Lea kikuk.“Tanu.”“Mas Tanu kerjaannya apa, sih? Kok sampai dibegal?”“Saya petani.”Lea melongo. “Jadi suamiku seorang petani?” batinnya. Kini ia bisa mengerti dari mana otot-otot itu berasal. Mungkin karena kesehariannya Tanu membajak ladang.Tak ingin Lea menaruh curiga, Tanu berujar, “Mungkin mereka tahu kalau saya baru saja jual hasil panen.”Lea terkesiap lalu bertanya, “Jadi hasil panennya Mas Tanu raib dibawa begal semua? Kalau kayak gitu, harus lapor polisi dong, Mas.”“Nggak semua hal harus dilaporkan sama polisi. Kamu jangan naif jadi orang. Kadang biaya pengurusan sebuah kasus, lebih besar dari nominal materi yang dicuri orang. Mending fokus melanjutkan apa yang bisa dikerjakan daripada berharap s
Beberapa jam yang lalu.“Pak, kita mampir dulu di barber shop,” pinta Angga pada supir keluarganya.“Iya, Aden. Mau di anterin ke barber shop mana, Den?” tanya pria paruh baya yang datang menjemputnya.“Yang mana aja yang kita lewati nanti,” sahut Angga.Seno tersentak dan menatap heran sahabatnya. “Lo yakin mau potong rambut?”“Hem!” sahut Angga malas.Melihat penampilan sahabatnya, Seno juga merasa jika Angga perlu potong rambut. Nyonya Hartanuwiguna bisa syok kena serangan jantung saat melihat putra bungsunya seperti brandalan.“Bapak yang sabar ya, kita lagi satu mobil sama harimau kutub. Dia semalam udah bermanuver di depan bidadari. Tapi bidadarinya pergi gitu aja. Bahkan, nggak niat kenalan dan minta kartu namanya. Makanya dia sensi,” ujar Seno pada supir keluarga Hartanuwiguna.Pria paruh baya itu hanya mengangguk sembari mengulum senyum. Kalau tertawa, bisa saja ia membuat seekor macan mengamuk. Jangan sampai pula ia kehilangan pekerjaan.Laki-laki bermata sipit itu melirik k
“Lea, ayo!” ajaknya sembari meraih koper istrinya.“Ke mana?” tanya Lea bingung.“Kita makan siang dulu. Setelah itu, kita ke terminal. Tadi kamu bilang mau ke Surabaya, ‘kan?” putus Tanu tanpa meminta pendapat Lea.Lea hanya mengangguk dan ikut naik ke mobil. Lumayan, bisa irit ongkos.Mata Lea bergerak mengedarkan pandangan. Dari dalam dashboard, Tanu mengambil sebuah buku. Kemudian membukanya seolah mencari sesuatu yang terselip di sana.“Ini kartu nama saya,” ucapnya sembari menyodorkan kartu kecil yang tampak mahal. “Simpan di dompet! Tulis juga nomor ponsel kamu di sini!”Tanu merobek kertas yang baru saja ditulisi Lea dan mengantonginya, lalu berkata, “Pak, kita makan siang di warung dekat terminal saja.”“Baiklah,” sahut pria yang sedang mengemudi.Tak butuh waktu lama, mereka tiba di sebuah rumah makan yang cukup ramai. Sembari menunggu pesanan makanan, pria pemilik mobil itu pamit sejenak. Meninggalkan Tanu dan Lea yang kembali canggung.“Mas beneran kenal bapak tadi?” tanya
Perlahan air mulai mengalir dari teko yang dituang Angga. Disaat yang bersamaan, terdengar pintu apartemennya dibuka oleh seseorang. Tamu yang datang sudah pasti Seno. Hanya dia yang tahu sandi apartemen ini.“ASTAGA! ADA APA DENGAN WAJAHMU?!” pekik Seno membelalak.Angga dengan acuh tak acuh beranjak meninggalkan dapur. Ia membawa kopi seduhannya. Tak ada niat menawari tamu yang datang tanpa diundang.“Kau terlihat seperti pangeran buruk rupa saja. Kau habis kecelakaan? Jangan bilang kalau kau jadi pemeran pengganti untuk aktor laga?” sindir Seno yang mengikuti langkah Angga.Melihat sahabatnya diam saja, Seno kembali berkata, “Kalau kau tidak jawab, aku tidak akan berbagi info penting.”“Aku dibius dan dipukuli,” jawab Angga singkat lalu menyesap kopinya.Seno meringis memperhatikan sahabatnya. Wajah rupawan dari petani kaya raya sekaligus CEO PT. Adecoagro itu, kini terlihat kacau.Ada banyak lebam dan luka lecet. Tidak hanya di tu
Melati menggeleng pelan sembari berujar, “Lo kalau mau bercanda, nggak usah halu, Lea.”Lea mulai memelas. “Gue serius, Mel. Gue udah jadi istri orang.”“Nikah sama siapa lo? Member idol Korea?” tanya Melati dengan tangan kiri tang menopang sebelah pipinya.“Sama Mas Tanu,” jawab Lea yang kemudian menggigit bibirnya.“Tanu siapa?”Lea menggaruk kepalanya bingung. “Gue lupa nama lengkapnya. Kartu namanya hilang.”“Kapan, Lea? Tadi malam di alam mimpi?” Lagi-lagi Melati menanggapi dengan candaan.Lea menggeleng. “Tadi pagi di Tulungagung. Gue digerebek warga dan dipaksa nikah.”Melati memijat kepalanya yang mendadak pening. Apa-apaan ini?“Lea, kalau lo mau nge-prank gue, nggak gini juga kali?” ujar Melati tertawa sampai memeluk perut.Lea membuka galeri ponselnya. Kemudian, ia menunjukkan foto ijab q
Melati mengernyit kebingungan. Ponsel Lea sama sekali tidak berbunyi. Di atas meja makan yang sempit itu, ia bisa melihat jelas tampilan layar ponsel sahabatnya. Tidak ada notifikasi apapun.“Mau nelpon siapa nih anak?” batin Melati sembari mengaduk isi mangkuknya.“Gue kayak cewek bego dan sial banget,” ungkap Lea kembali menghapus air matanya yang jatuh.“Antara sial ama beruntung. Sial karena lo udah kenal mereka. Beruntung karena lo udah selamat dari sosok penipu hati kayak Heru. Bayangin aja kalau lo tahu bobroknya pas udah nikah sama si Heru?” komentar Melati sembari meraih gelas air minumnya.Tadinya, Melati mengira akan melihat Lea bergidik. Menunjukkan ekspresi jijik, mual atau mungkin ekspresi penolakan lainnya. Ternyata tidak. Bukannya merasa lebih baik, tangis Lea malah semakin pecah.“Lea … gue nggak maksud bikin lo makin sedih. Maksud gue itu, lo lihat perspekif kedepannya. Okey?” hibur Melati.“Huwaaa …. Gue belum bilang kalau
Suara gebrakan meja itu membuat Lea tersentak. Jantungnya hampir copot mengira gelas kaca itu akan pecah. Jika itu terjadi, maka semua makanan di hadapannya tidak akan bisa dimakan karena terkena pecahan beling. “LO BILANG APA TADI?!” tanya Melati melotot. Bola matanya sudah nyaris keluar. Lea kembali berucap tanpa suara. Namun, gerak bibirnya masih terlihat dan terbaca dengan jelas. “SELINGKUH?!!” pekik Melati. Lea memejamkan mata mendengar pekikan suara gadis bar-bar itu. Belum lagi wajah garang sahabatnya. Melati sudah seperti titisan seorang penyihir saja. Lea kembali mengangguk setelah menceritakan tentang perselingkuhan Heru dan Tari. “Lo yakin? Bukannya Heru, selama ini sayang banget sama lo?” Melati sendiri tampak ragu. Raut wajahnya seakan tak percaya dengan apa yang baru saja Lea katakan. Pikirnya, sejak kapan Lea tahu? Lea mengigit bibir bawahnya. Melihat reaksi sahabatnya, mungkin seperti ini juga reaksi keluarga Heru. Tidak percaya kalau Heru akan setega itu. Malas
Lengkap dengan jaket dan topi hitam. Angga akhirnya tiba di basemen apartemennya. Tak lupa ia juga merogoh selembar masker hitam di saku celananya.Sebuah lipatan kertas kecil terjatuh. Bergeser pelan saat ujung sepatu Angga tak sengaja menginjaknya. Pria itu tak sadar sudah menjatuhkan sesuatu yang penting.Tak akan ada yang menduga jika, pria yang sengaja menggunakan mobil box sayuran itu adalah Angga. Sosok pemilik unit termahal di gedung itu.Bagaimanapun, ia harus berkamuflase agar bisa luput dari incaran lensa pencari berita. Satu berita kecil tentangnya, bisa mempengaruhi pergerakan saham perusahaan keluarga.Tanpa menoleh dengan langkah yang cepat, pria itu masuk ke dalam lift. Tujuannya tidak lain adalah apartemen penthouse miliknya. Unit yang berada di lantai teratas gedung itu.Berselang beberapa saat setelah pintu lift tertutup rapat. Seorang petugas kebersihan apartemen memungut kertas yang dijatuhkan Angga tadi. Kemudian menaruhnya di kantong sampah.Setibanya di hunian
Heru mengusak rambutnya frustasi. Pasalnya, sebagian uang itu sudah habis ia gunakan bersenang-senang dengan Tari. Bahkan, beberapa saat lalu, ia baru saja membelikan Tari tas seharga 5 juta rupiah.“Lea, bisa 10 juta aja dulu? Nanti habis gajian aku transfer sisanya,” bujuk Heru.“Memangnya, duitku ke mana? Ah, habis lo pakai foya-foya sama dia? Kalian berdua mau gue laporin ke kantor polisi?!” ancam Lea lagi.Heru membuka mobilnya dan mengambil tas branded di dalam sana. Tari tampak tidak rela melepaskan tas impiannya. Lea benar-benar menahan murka dan ingin rasanya mencabik-cabik mereka berdua. Dugaannya ternyata benar.“Aku nggak mau tas modelan gitu! Kak Tari juga transfer sekarang juga! Paling nggak, tansfer senilai tas itu! Kalau tidak, aku lemparin mobil itu sampai hancur!” geram Lea.Heru membelalak dan tidak terima. Mobil barunya adalah kebanggannya. Membeli tas lagi bisa kapan-kapan saja.“Sayang, tf aja. Nanti akau ganti,” bujuk Heru pada Tari.Tari memberengut kesal bukan
Heru dan wanita itu terkejut bukan main. Mereka berdua gelagapan karena mengira sedang kepergok anak kecil. Mereka sampai memperhatikan sosok itu punya bayangan atau tidak.“Hei, Anak Kecil! Jangan urusi urusan orang lain! Sana masuk saja dan ganggu kami!” usir Tari.“Dek, mending sana kamu pergi. Pacarku ini galak loh?” ujar Heru.Disaat yang sama, Tari kembali memeluk Heru dengan tatapan sengit. “Sayang, aku belum puas dipeluk kamu,” ucapnya bermanja.Lea mendadak mual. Bukannya pergi, kedua manusia tak tahu diri itu malah kembali bermesraan.Seakan tak peduli dengan kehadiran seseorang di dekat mereka. Heru justru mencumbu Tari. Suara tawa dan rengekan manja Tari, membuat Lea rasanya ingin memasukkan mereka berdua ke dalam tong sampah.Lea dengan sigap merogoh ponselnya. Ia tak ingin kehilangan kesempatan untuk memotret perselingkuhan Tari dan Heru. Merasa cukup, Lea kemudian bertepuk tangan.“Aish ... anak ini mengganggu saja!” geram Heru.“Makanya tadi aku bilang, mending kita ma
“Tawaran itu kamu terima aja tanpa mikirin apapun lagi. Kamu itu pria hebat, Heru. Aku yakin kamu bisa makin bersinar di Tanufood. Aku bahkan nolak pria lain, karena aku yakin kamu yang layak. Aku yang akan berusaha keras buat dapat promosi juga, biar ditransfer ke sana. Okey?” bujuk Tari.“Tapi kalau begini, kita bakalan jarang ketemu, Sayang,” keluh Heru.Tari mengurai pelukan lalu tersenyum manis. Kemudian ia berbisik, “ Bagaimana kalau ... aku pindah ke apartemen kamu?”Walau terkejut, senyum Heru langsung merekah. Ia semakin yakin jika Tari mencintainya. Mereka juga bisa bersenang-senang sepuasnya.Tanpa Heru sadari jika, kekasihnya itu ingin menumpang hidup tanpa perlu mengeluarkan biaya sewa dan menghemat ongkos. Setiap berangkat dan pulang kerja, ia bisa minta Heru menjemputnya seperti biasa.“Sayang, pulang, yuk!” ajak Heru sambil mengusap lutut kekasihnya. Tatapannya yang tadi kosong berubah mendamba.“Pulang ke mana?” tanya Tari yang meraih minuman Heru.Tari belum sempat m
Hasil kerjanya mendapatkan apresiasi yang cukup besar dari sang atasan. Hanya saja, Heru tak bisa benar-benar bahagia dengan hasil kerjanya selama menjalankan proyek terakhir. Bonus yang diharapkannya pun tak ia dapatkan.“Sayang!” seru Tari sembari berjalan menghampiri Heru.Kekasihnya itu tampak lesu. Sore ini mereka memang janjian untuk bertemu. Di sudut kafe tak jauh dari kantor, pasangan itu duduk bersama dengan sang wanita memberikan kecupan di pipi Heru.“Kamu kok gitu? Tumben kamu bete’ gini?” tanya Tari heran.Pasalnya, sejak mereka menjalin hubungan. Tak pernah sekalipun Heru mengabaikannya. Bahkan, kerap kali pacarnya ini yang nyosor duluan.“Proyek yang aku kerjain kemarin, diterima baik sama bos,” kata Heru.“Jadi Pak Seno senang dengan kinerja kamu? Bagus, dong! Itu artinya kamu bisa dapat bonus, ‘kan?” ucap Tari sumringah. Ini juga berarti, ia bisa kecipratan bonus itu.Heru lagi-lagi mengangguk lesu. “Iya, bonusnya dapet, tapi nggak sekarang.”“Maksudnya?” Tari tersent