Pertanyaan Rizal yang penuh emosi barusan berhasil membuat kami menjadi pusat perhatian beberapa orang yang berjalan melewati kami.Aku segera mendekati Rizal, hingga hanya tersisa jarak beberapa senti di antara kami berdua. “Bukan begitu maksudku, Zal.”“Lalu apa?”Aku menyentuh lengannya untuk meredam amarahnya. “Itu—” Aku menempelkan ujung jari telunjukku ke arahnya. “Aku cuma mau bilang, saat ini kamu belum pakai baju.”Rizal mengikuti arah jari telunjukku, sesaat kemudian, ia menepuk keningnya dengan kencang. “Ya ampuuun … bilang dari tadi, Mbak!”“Aku udah coba bilang, tapi kamu malah marah.”Rizal berdecak kesal. “Ya udah, aku ambil bajuku dulu. Kamu tunggu di sini dan jangan ke mana-mana, Mbak!”Rizal memutar langkahnya lagi untuk kembali ke ruangan tadi. Namun, sebelum berlalu, aku segera memanggilnya lagi.“Rizal!”“Kenapa lagi? Kamu nyuruh aku untuk nolongin mantanmu yang babak belur itu?”Aku menarik napas panjang, amarahnya ternyata belum redam juga. “Astaghfirullah, buka
“Gimana rasanya disuapin cewek cantik, Zal?” tanyaku pada Rizal begitu kami sudah pulang dari rumah Bu Yuli. Sejujurnya, tadi aku merasa kesal melihatnya pasrah disuapin oleh Adel. Bukankah dia bisa menolak untuk menghargaiku sebagai istrinya? Rizal malah menikmatinya tanpa memperdulikan keberadaanku.Bukannya cemburu, hanya saja ... aku merasa tidak nyaman.“Adel memang istri idaman sekali, kan? Sudah perhatian, pintar masak, cantik lagi, pokoknya sem—aaawww!” Aku langsung menjerit begitu saja ketika Rizal tiba-tiba menarik pinggangku dan memelukku dari belakang.“Kamu lagi cemburu ya, Mbak?” Dia mengencangkan pelukannya lalu mendaratkan dagunya di bahuku.“Ap-apa, sih? Ke-kenapa aku harus cemburu?" "Kan, aku suami kamu." Rizal berbisik di samping telingaku dengan lembut. Hembusan napasnya membuat tubuhku seperti disengat aliran listrik bertegangan tinggi."Bi-bisa lepasin aku, nggak?" tiba-tiba hawa panas menjalar ke seluruh tubuhku."Memangnya kenapa? Aku suka posisi ini. Apalagi
Tubuhku seketika menegang mendengar suara orang yang bertanya padaku barusan. Nada dingin yang terasa menusuk kuping membuatku mengingat tentang kekejaman seseorang.Tidak mungkin dia, 'kan?“Hei, kamu tuli?”Dengan takut-takut, aku membalikkan badanku. Bola mataku hampir ke luar dari peraduannya ketika mengetahui yang berdiri di belakangku saat ini adalah Rizal.Sorot mata tajam diiringi dengan seringai yang menakutkan, aku yakin sekali, dia bukanlah Rizal suamiku.“Ikut aku!”Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. “Aku tidak mau!”“Kamu berani menolak ajakanku!?”“Kamu bukan suamiku!”Laki-laki yang sangat mirip sekali dengan Rizal itu mengeraskan rahangnya, tangannya terkepal erat, tatapannya semakin tajam menghunus jantungku.Sejurus kemudian, ia tiba-tiba menarik tanganku dengan paksa. Aku mengedarkan pandanganku. Tempat yang semula ramai kenapa mendadak sepi?“To—” Belum sempat aku berteriak, tangannya sudah terlebih dahulu membekap mulutku dan membawaku menuju ke sebuah mobi
“Halo, Ra. Kamu di mana? Aku mencarimu ke mana-mana, kok, nggak ada?” tanya Mila panik begitu aku berhasil mengangkat teleponnya secara sembunyi-sembunyi.“Aku-aku dalam masalah.” Aku berbicara dengan sangat lirih, takut dua orang yang sedang bercumbu di depan sana memergokiku.“Dalam masalah apa?”“Aku—”Praaang!Tiba-tiba, aku mendengar suara barang yang dilempar dengan sangat kencang.“Halo, Ra. Ada apa? Kamu baik-baik saja?”“Nan-nanti aku telpon lagi, Mil.” Buru-buru kumatikan ponselku dan mengantonginya ke dalam saku celana.Aku mengintip dari tempat persembunyianku untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.Di depan sana, nampak Mawar tengah berkacak pinggang di depan Samuel dengan ekspresi marah.“Aku curiga!” teriak Mawar yang membuatku tercengang.“Curiga apa? Semuanya sudah kuberikan padamu. Apapun maumu sudah kuturuti, kurang apa lagi, Mawar?”“Aku benci dengan perempuan itu! Aku mau dia menghilang dari kehidupan kita!”Seketika aku memegangi jantungku yang berdegup kencan
Aku mengusap mataku yang basah lalu mencoba berdiri dari posisiku saat ini. Kulangkahkan kaki secara perlahan menuju daun pintu.Terkunci?Aku mencoba memutar-mutar handle pintu kembali, tapi hasilnya sama saja, pintu kamar mandi benar-benar tidak dapat terbuka.Maksudnya, aku dikunci di dalam kamar mandi? Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diriku sendiri. Aku yakin, Samuel akan segera membukakan pintu jika urusannya dengan wanita itu selesai.Namun, lama-lama aku menjadi kesal sendiri. Entah sudah berapa lama aku menunggu, dia tak ada tanda-tanda untuk membukakan pintu.Dia tidak lupa kalau aku berada di kamar mandi, ‘kan?Aku mencoba tenang kembali. Barangkali, pembicaraannya dengan Mawar teramat panjang sehingga belum ada waktu untuk membukakan pintu.Aku kemudian duduk di sudut kamar mandi yang kering. Aku lelah dengan rentetan kejadian yang menimpaku hari ini. Hingga tanpa terasa, mataku terpejam dengan sendirinya.***Aku terbangun saat merasakan sesak di dada. Kondisi
"Ap-apa maksudmu?”“Nanti kamu juga tahu!” Samuel beranjak dari posisi duduknya dan berlalu meninggalkanku begitu saja. Sebenarnya apa maksud ucapannya? Rizal memangnya kenapa?“Jangan pernah berpikir untuk kabur!” ancamnya sebelum melangkahkan kakinya ke luar dari apartemen ini.Aku menatap punggungnya yang telah berlalu. Selama dia pergi, sepertinya aku harus mencari jawaban atas pertanyaan di benakku ini seorang diri.Tiba-tiba, aku kepikiran tentang bekas sayatan panjang berwarna hitam di pinggang Samuel yang sama persis dengan milik Rizal. Walaupun mereka kembar atau walaupun mereka dilukai oleh penjahat yang sama, aku rasa bekasnya tidak akan sama dan semirip itu. Jangan-jangan ….“Jangan-jangan Rizal mempermainkanku dengan mengganti nama menjadi Samuel?”“Tapi, aku bisa merasakan jika mereka memang seperti orang berbeda. Namun, dalam bentuk fisik yang sama!”Tunggu! Tunggu! Barusan aku berbicara apa?“Seperti orang yang berbeda. Namun, dalam bentuk fisik yang sama?”Itu dia!
"Keluarlah! Aku tidak suka siapapun memasuki ruangan itu!”“Ba-baik.” Aku segera berdiri dan ke luar dari ruangan tersebut dengan perasaan campur aduk. Ketika aku sampai di depan Samuel, tiba-tiba aku merasakan nyeri di telapak kaki akibat tertusuk pecahan kaca tadi. Kuangkat kakiku yang nyeri tersebut. Namun, tubuhku terasa limbung dan akhirnya aku terjatuh dalam posisi tengkurap.Aku merasa aneh, bukankah kalau jatuh itu sakit? Sekarang, aku kok tidak merasakan apapun. Lantai keras yang sempat kupijak tadi mendadak empuk.Tunggu! Empuk? Aku segera mendongakkan kepalaku dengan takut-takut. Jangan-jangan aku—“Huwaaa!!!” Aku langsung berteriak histeris ketika menyadari saat ini bukan jatuh di atas lantai, melainkan sedang jatuh di atas tubuh Samuel.Astaghfirullah, kenapa aku ceroboh sekali?Aku buru-buru mengubah posisiku menjadi duduk. Aku sangat takut jika Samuel marah karena kelakuanku.“Ma-maaf, a-aku tidak sengaja,” kataku takut-takut sambil menundukkan kepala–tak berani menata
Seketika semua pikiran memenuhi kapasitas otakku. Berbagai macam pertanyaan muncul di benakku. Aku mencoba mengontrol rasa takutku. Dengan ragu, aku segera mengambil buku tersebut.Aku beringsut duduk bersandar pada dipan kasur berukuran king size di kamar ini. Tanganku bergerak membuka perlahan lembaran buku usang itu. Jantungku berdegup kencang, lembaran pertama dan kedua, sama persis dengan yang pernah aku baca ketika berada di kontrakan.Berarti, ini memanglah buku Rizal.Namanya, Mbak Rara. Aku mulai menyukainya ketika sering bermain ke rumahnya. Dia adalah kakak temanku–Yuda.Wajahnya cantik, orangnya baik, meskipun sedikit judes tapi hatiku merasa nyaman bila dekat dengannya. Aku suka wanita itu, meskipun umur kami berbeda jauh.Deg!Mataku membelalak sempurna membaca halaman ketiga lembaran buku usang tersebut. Jadi, Rizal menyukaiku sudah lama?Sepulang sekolah, aku selalu mampir ke rumah Yuda hanya untuk melihat Mbak Rara.Aku dengar, dia bekerja di kampung sebelah menjadi a
“Wanita lain?” Rizal terkekeh menatapku. “Mana mungkin aku punya wanita lain, Mbak!”“Lha itu Mawar.”Rizal lagi-lagi terkekeh. “Dia hanyalah mantan tunangannya Samuel.”“Mantan, tapi masih cium-ciuman.”“Oooh … yang waktu itu? Yang kamu kabur dari mansion itu, Mbak?”Aku terdiam. Aku tak mungkin berkata pada Rizal, jika hatiku saat itu benar-benar panas.“Kamu harus tahu yang sebenarnya, Mbak. Perempuan itulah yang terlebih dahulu mencium Samuel—dia memaksa Samuel untuk balikan. Namun, Samuel menolaknya. Samuel benci penghianatan.”Lagi-lagi, aku hanya bisa terdiam. Berarti … aku salah menilai Samuel? Rasa bersalah tiba-tiba menelusup jiwaku. Andai aku tidak kabur saat itu, bukankah semuanya akan baik-baik saja?Aku mengusap perutku yang kempes. Bulir-bulir bening tiba-tiba membasahi kedua pipiku. “Lho, kenapa malah menangis, Mbak?”Aku menggelengkan kepalaku seraya menyeka air mataku yang sudah mengucur dengan deras.“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Mbak.” Rizal kemudian menarikku
Sudah berminggu-minggu aku terkurung di dalam rumah sakit ini. Sesekali aku keluar hanya untuk berjemur. Itu pun harus dengan penjagaan yang super ketat. Bibi Pram tiba-tiba memasuki ruangan yang kuhuni dengan tergopoh-gopoh. Kalau sudah seperti itu, ia pasti akan menyampaikan sesuatu yang penting.“Nyonya, Anda harus melihat berita hari ini di televisi!” katanya yang kini sedang sibuk mencari remote tv.“Ada apa, Bi?”Tanpa menjawab pertanyaanku, Bibi Pram yang sudah menemukan remote tiba-tiba segera menyalakan televisi dan mencari channel yang diinginkannya.Begitu mendapatkan channel tersebut, Bibi Pram langsung menyuruhku untuk melihatnya.“Pimpinan William Group telah diambil alih oleh anak semata wayangnya yang bernama Afrizal Samuelim Exel.”Aku terbelalak membaca line berita dalam channel televisi tersebut.Jadi, Samuel sudah berhasil mengambil alih pimpinan William Group?Aku segera menyimak isi berita tersebut, tampak sang pembawa acara menyampaikan isi beritanya dengan lug
Kehilangan buah hati ternyata menimbulkan luka yang dalam bagiku. Aku sudah seperti orang kehilangan arah dan tidak tahu harus melakukan apa.Aku merasa hidupku seperti tidak ada artinya lagi. Duniaku runtuh, benar-benar runtuh dan tak berbentuk lagi.Andai aku tidak dikurung, andai Samuel mau menyelesaikan setiap masalah tanpa amarah yang meledak. Aku rasa, kejadian buruk ini tidak akan terjadi.Bolehkah aku membencinya yang telah membuatku seperti ini?Pintu kamar rawat yang kuhuni tiba-tiba terbuka.Kukira yang datang adalah Bibi Pram. Namun, ternyata yang datang adalah laki-laki yang membuatku menjadi hampir gila seperti ini.Aku membuang muka. Aku benar-benar muak melihatnya.“Bagaimana keadaanmu?”“Puas kamu membuatku seperti ini?” tanyaku dengan intonasi meninggi. “Kalau perlu bunuh saja aku sekalian!”Ia hanya diam. Namun, suara langkah kakinya seperti sedang menuju ke arahku. Dan secara mengejutkan, ia tiba-tiba memelukku dengan erat.Aku meronta-ronta. Untuk apa memelukku? D
Aku merasakan tubuhku diangkat seseorang yang berlari entah menuju ke mana.Dari nada teriakannya, ia terdengar panik dengan keadaanku saat ini.“Tolong selamatkan istri saya, dok!”Istri? Apa yang dimaksud adalah aku?Seseorang yang menggendong tubuhku ini terus berlari.Hingga beberapa saat kemudian, aku merasa diletakkan di sebuah tempat tidur lalu ditarik dengan tergesa-gesa oleh suara riuh orang yang tidak aku ketahui mereka itu siapa.Mataku benar-benar tidak bisa terbuka seakan ada beban berat yang menimpanya.“Bapak tunggu di luar ruangan. Kami akan berusaha menyelamatkan istri dan anak Anda!”“Lakukan yang terbaik, dok! Saya tidak mau kehilangan mereka!”Tubuhku terasa dibawa menuju ke sebuah ruangan. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, yang jelas … perutku rasanya seperti sedang diremas-remas.***“Mama … Mama … bangunlah ….” kata seorang anak kecil membangunkanku yang sedang terlelap.Aku mengedarkan pandanganku. Di mana aku berada? Kenapa tempat ini semuanya berwarn
Keinginan tinggal di rumah Nenek Nur selamanya dan juga keinginan membangun tempat ini nyatanya hanyalah menjadi angan-angan semata.Pagi-pagi sekali—lebih tepatnya sehabis subuh, rumah Nenek Nur di gedor-gedor pintunya hingga mau roboh.Ketika aku membuka pintu, tampak orang-orang berpakaian serba hitam yang aku ketahui mereka itu siapa langsung menyeretku agar pergi dari rumah Nenek Nur. Tidak ada yang bisa menolongku meskipun para warga yang berada di sana ingin melakukannya. Orang-orang yang membawaku ini membawa senjata tajam dan sengaja digunakan untuk menakut-nakuti mereka.Begitu hampir tiba di mobil, aku melihat sesosok laki-laki yang aku hindari tengah bersandar pada pintu mobil dengan sepuntung rokok yang berada di jemarinya.Dia menatapku tajam bak perisai yang siap menembus lawannya.Dia pikir, aku akan takut ditatap seperti itu? Tidak akan! Aku bukan Rara yang lemah seperti dulu kala! Bahkan, jika aku mati hari ini, aku siap!“Kenapa kabur?” tanyanya dingin melebihi din
Dengan langkah tergesa-gesa, aku menyetop sebuah angkot ketika sudah sampai di luar.Sesekali aku menoleh ke belakang untuk memastikan ada yang mengikutiku tidak.Lagi-lagi aku bernapas lega, syukurlah tidak ada yang mengikutiku sama sekali.Sekarang, tinggal memikirkan aku harus pergi ke mana.Tiba-tiba, nama Mila melintas di pikiranku. Sepertinya, untuk sementara waktu aku akan ke rumahnya dulu.Aku segera mengeluarkan ponselku lalu menghubungi Mila.“Assalamualaikum, Rara? Ya ampuuun … ke mana saja kamu selama ini? Kenapa pesanku nggak pernah kamu balas?” cerocos Mila begitu panggilanku telah diangkatnya.“Waalaykumussallam, Mil. Nanti aku ceritakan semuanya. Kamu ada di rumah?”“Iya, aku ada di rumah. Kan, ini hari liburku!”“Oke, aku akan datang ke rumahmu.”Begitu panggilan terputus, aku segera minta turun dari angkot guna memesan taxi online menuju rumah Mila yang jaraknya sangat jauh.*Setibanya di rumah Mila, dia langsung menyambutku dengan heboh. Apalagi ketika mengetahui p
Aku terlonjak kaget ketika terbangun sudah tidak berada di bawah tiang mansion dekat taman.Kuedarkan pandanganku ke segala penjuru arah. Kamar? Kenapa aku bisa berada di dalam kamar? Siapa yang memindahkanku?Aku beranjak dari atas ranjang ketika menyadari tidak ada Samuel di kamar ini. Sepertinya, aku harus segera pergi sebelum dia kembali.“Mau ke mana lagi?”Deg!Baru beberapa langkah kakiku melangkah, sebuah suara berhasil membuatku tak berkutik sama sekali.Aku menoleh ke arah belakang, tampak ada Samuel yang baru saja muncul dari balik pintu kamar mandi menatapku dengan tajam.“Eh, kamu sudah mendingan?” tanyaku berbasa-basi dan berusaha bersikap tenang seakan tak terjadi apa-apa.“Lumayan.”“Alhamdulillah, aku merasa senang. Kalau begitu aku—”“Ini semua berkat obat manis yang kau berikan.”Aku seketika meringis ke arahnya. Sudah dipastikan wajahku saat ini semerah tomat menahan malu. “Ma-maaf, aku tidak bermak—”“Aku suka.”Kedua mataku langsung melebar melebar sempurna mena
“Nyonya Muda, apa yang sedang Anda lakukan pagi-pagi begini di dapur?” tanya Bibi Pram menghampiriku yang sedang berkutat di dapur mansion seorang diri. Dapur mansion ada dua bagian. Dapur kotor untuk memasak sehari-hari yang dipakai oleh pelayan. Sementara dapur bersih biasanya dipakai oleh tuan rumah ketika ingin memasak sendiri. “Suamiku sedang sakit, Bi. Aku ingin membuatkannya bubur.” Bibi Pram melihat panci yang berada di atas kompor. Sedetik kemudian, perempuan paruh baya itu tersenyum ke arahku. “Apa boleh saya membantu Anda?” tanyanya kemudian. “Aku bisa sendiri, Bi.” “Apa Anda serius?” Aku menoleh ke arah panci sambil garuk-garuk kepala. Jujur saja, aku belum pernah membuat bubur. “Sebenarnya, saya belum pernah membuat bubur sendiri, Bi. Ini saya cuma cari tutorial di sosial media.” Lagi-lagi Bibi Pram tersenyum. “Berarti, saya boleh membantu, kan?” Aku langsung nyengir ke arah Bibi Pram. “Ya sudah, tolong bantuin ya, Bi.” “Baik, Nyonya Muda.” Bibi Pr
Aku meringkuk di sudut ruangan dengan pikiran yang kacau balau. Jiwa Rizal dan Samuel benar-benar hanya dimanfaatkan oleh Tuan dan Nyonya William untuk kepentingan mereka sendiri. Hari nurani mereka sebagai orang tua sepertinya sudah rusak. Bukan rusak lagi, tapi sudah hancur dan tak berbentuk. Anak mempunyai penyakit kepribadian ganda bukannya disembuhkan, tapi malah semakin dimanfaatkan. Bukankah itu sesuatu yang sangat aneh dan tidak manusiawi? Aku mengepalkan kedua tanganku. Tekad dalam hatiku semakin membara untuk menjatuhkan mereka. Hatiku benar-benar sakit raga suamiku diperlakukan seperti itu! Di saat sedang kalut seperti ini, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Dari balik pintu muncullah sosok seorang laki-laki yang aku khawatirkan sedari tadi. Dengan wajah yang babak belur dan baju yang bersimbah darah ia berjalan perlahan memasuki kamar. “Astagfirullah, Samuel!” Aku segera berlari menghampirinya. Melihat kondisi Samuel saat ini membuat air mataku langsung mengucur den