Aku mengusap mataku yang basah lalu mencoba berdiri dari posisiku saat ini. Kulangkahkan kaki secara perlahan menuju daun pintu.Terkunci?Aku mencoba memutar-mutar handle pintu kembali, tapi hasilnya sama saja, pintu kamar mandi benar-benar tidak dapat terbuka.Maksudnya, aku dikunci di dalam kamar mandi? Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diriku sendiri. Aku yakin, Samuel akan segera membukakan pintu jika urusannya dengan wanita itu selesai.Namun, lama-lama aku menjadi kesal sendiri. Entah sudah berapa lama aku menunggu, dia tak ada tanda-tanda untuk membukakan pintu.Dia tidak lupa kalau aku berada di kamar mandi, ‘kan?Aku mencoba tenang kembali. Barangkali, pembicaraannya dengan Mawar teramat panjang sehingga belum ada waktu untuk membukakan pintu.Aku kemudian duduk di sudut kamar mandi yang kering. Aku lelah dengan rentetan kejadian yang menimpaku hari ini. Hingga tanpa terasa, mataku terpejam dengan sendirinya.***Aku terbangun saat merasakan sesak di dada. Kondisi
"Ap-apa maksudmu?”“Nanti kamu juga tahu!” Samuel beranjak dari posisi duduknya dan berlalu meninggalkanku begitu saja. Sebenarnya apa maksud ucapannya? Rizal memangnya kenapa?“Jangan pernah berpikir untuk kabur!” ancamnya sebelum melangkahkan kakinya ke luar dari apartemen ini.Aku menatap punggungnya yang telah berlalu. Selama dia pergi, sepertinya aku harus mencari jawaban atas pertanyaan di benakku ini seorang diri.Tiba-tiba, aku kepikiran tentang bekas sayatan panjang berwarna hitam di pinggang Samuel yang sama persis dengan milik Rizal. Walaupun mereka kembar atau walaupun mereka dilukai oleh penjahat yang sama, aku rasa bekasnya tidak akan sama dan semirip itu. Jangan-jangan ….“Jangan-jangan Rizal mempermainkanku dengan mengganti nama menjadi Samuel?”“Tapi, aku bisa merasakan jika mereka memang seperti orang berbeda. Namun, dalam bentuk fisik yang sama!”Tunggu! Tunggu! Barusan aku berbicara apa?“Seperti orang yang berbeda. Namun, dalam bentuk fisik yang sama?”Itu dia!
"Keluarlah! Aku tidak suka siapapun memasuki ruangan itu!”“Ba-baik.” Aku segera berdiri dan ke luar dari ruangan tersebut dengan perasaan campur aduk. Ketika aku sampai di depan Samuel, tiba-tiba aku merasakan nyeri di telapak kaki akibat tertusuk pecahan kaca tadi. Kuangkat kakiku yang nyeri tersebut. Namun, tubuhku terasa limbung dan akhirnya aku terjatuh dalam posisi tengkurap.Aku merasa aneh, bukankah kalau jatuh itu sakit? Sekarang, aku kok tidak merasakan apapun. Lantai keras yang sempat kupijak tadi mendadak empuk.Tunggu! Empuk? Aku segera mendongakkan kepalaku dengan takut-takut. Jangan-jangan aku—“Huwaaa!!!” Aku langsung berteriak histeris ketika menyadari saat ini bukan jatuh di atas lantai, melainkan sedang jatuh di atas tubuh Samuel.Astaghfirullah, kenapa aku ceroboh sekali?Aku buru-buru mengubah posisiku menjadi duduk. Aku sangat takut jika Samuel marah karena kelakuanku.“Ma-maaf, a-aku tidak sengaja,” kataku takut-takut sambil menundukkan kepala–tak berani menata
Seketika semua pikiran memenuhi kapasitas otakku. Berbagai macam pertanyaan muncul di benakku. Aku mencoba mengontrol rasa takutku. Dengan ragu, aku segera mengambil buku tersebut.Aku beringsut duduk bersandar pada dipan kasur berukuran king size di kamar ini. Tanganku bergerak membuka perlahan lembaran buku usang itu. Jantungku berdegup kencang, lembaran pertama dan kedua, sama persis dengan yang pernah aku baca ketika berada di kontrakan.Berarti, ini memanglah buku Rizal.Namanya, Mbak Rara. Aku mulai menyukainya ketika sering bermain ke rumahnya. Dia adalah kakak temanku–Yuda.Wajahnya cantik, orangnya baik, meskipun sedikit judes tapi hatiku merasa nyaman bila dekat dengannya. Aku suka wanita itu, meskipun umur kami berbeda jauh.Deg!Mataku membelalak sempurna membaca halaman ketiga lembaran buku usang tersebut. Jadi, Rizal menyukaiku sudah lama?Sepulang sekolah, aku selalu mampir ke rumah Yuda hanya untuk melihat Mbak Rara.Aku dengar, dia bekerja di kampung sebelah menjadi a
Lama-lama, aku merasakan dadaku yang semakin sesak. Bahkan, aku hampir seperti kekurangan oksigen gara-gara bersembunyi di balik selimut yang tebal sedari tadi.Sebenarnya, apa yang sedang di bahas Samuel di telepon itu? Sudahlah lama, pakai bahasa Inggris pula, aku mana paham.Tubuhku semakin kaku, tidak bergerak sedari tadi membuat kakiku jadi kesemutan. Aduh, bagaimana ini? Aku benar-benar sudah tak tahan.“Ya, Dad. Aku akan mengurusnya nanti.”Seketika aku bernapas dengan lega ketika mendengar Samuel menyudahi sambungan teleponnya. Terdengar, ia meletakkan ponselnya di atas meja, di samping tempat persembunyianku ini."Perasaan, tadi selimutnya di atas," ucapnya yang dapat aku dengar. Jantungku berpacu dengan cepat. Kalau sampai Samuel mengetahui keberadaan aku di sini. Mungkin, riwayatku akan tamat.Aku memejamkan kedua mataku dengan takut. Rasa takut itu memudar ketika terdengar langkah kaki Samuel semakin menjauh. Sepertinya, sekarang dia sedang ke kamar mandi karena aku mend
"Rizal ... kamu benar Rizal?" "Benar, Mbak. Aku Rizal. Aku suamimu." Rizal segera menghampiriku, ia berjongkok di depanku seraya memelukku yang kini sedang menangis. "Maafkan aku, Mbak. Kumohon maafkan aku membuatmu berada di posisi ini." Dia ikutan menangis, tangisan pilu yang cukup menyayat hatiku. Sebenarnya, Rizal tidak bersalah. Samuel adalah pelakunya, tapi Rizal terus meminta maaf seakan ini semua adalah kesalahannya. "Ayo, Mbak, kita bangun dulu." Rizal membantuku berdiri dengan hati-hati, lalu memapahku untuk duduk di sofa ruang tamu. "Aku ambilkan minum dulu, ya." Aku menahan pergelangan tangan Rizal yang hendak pergi. "Duduklah, aku enggak haus."Rizal menurut, ia lantas duduk di sebelahku dengan pandangan yang menunduk ke bawah."Akhirnya, kamu sudah tahu rahasiaku, Mbak," katanya setelah kami terdiam cukup lama. "Kamu pasti menganggapku aneh."Ia kemudian menyadarkan tubuhnya di sofa, pandangannya menerawang jauh ke atas. "Sekarang, keputusan aku serahkan padamu, M
"Ustaz sudah punya calon istri belum?"Aku hanya bisa ternganga ketika mendengar pertanyaan dari perempuan paruh baya yang suaranya sangat aku kenali itu.Ya, suara perempuan paruh baya itu adalah orang yang sudah melahirkanku tiga puluh tiga tahun yang lalu atau yang biasa kupanggil dengan sebutan Ibu.Lagi-lagi, Ibu bertanya hal yang memalukan lagi. Kemarin, beliau bertanya hal demikian kepada Juragan tanah, Juragan minyak, bahkan Juragan beras. Dan sekarang, Ibuku bertanya kepada ustad yang sedang mengadakan sesi tanya-jawab setelah ceramah yang disampaikannya selesai."Kalau belum punya calon istri, apa mau saya jodohkan dengan putri saya? Dia cantik lho, Taz."Aku langsung menutup wajahku menggunakan masker yang berada di saku gamisku.Mungkin niat Ibu baik, agar diriku yang dicap sebagai perawan tua ini segera bertemu jodohnya. Tapi, apa harus sampai segitunya? Menjadi perawan tua bukanlah tindakan kriminal, ‘kan?Terkadang, aku ingin menangis meratapi nasib. Hal seperti ini buk
Aku terus mondar-mandir di dalam rumah dengan gelisah. Kalau sampai nanti malam Ibu menyeretku ke sungai agar mandi kembang tujuh rupa bagaimana? Ibu, 'kan orangnya nekat.Apa aku kabur saja?Tapi kalau kabur, nanti aku dicap sebagai anak yang durhaka bagaimana?Di saat pikiran sedang buntu begini, suara pintu diketuk berulangkali mengalihkan perhatianku.Aku segera ke luar dari kamar untuk membuka pintu rumah yang sedang diketuk itu."Yuda ke mana?" tanya seorang pemuda ketika aku sudah membuka pintu yang diketuknya tadi. Pemuda itu bernama Rizal. Dia adalah teman adik laki-lakiku. "Dari kemarin Yuda nggak ada di rumah," jawabku kemudian.Rizal membuang puntung rokok yang berada di tangannya dan langsung menerobos masuk saja ke dalam rumah dengan tidak sopan."Lho, kok kamu malah main masuk aja? Yuda beneran nggak ada!" Aku mengikuti Rizal, dengan harapan bocah itu segera keluar dari dalam rumah. Sebenarnya, dari dulu aku tidak suka kalau Yuda berteman dengan Rizal. Rizal ini band
"Rizal ... kamu benar Rizal?" "Benar, Mbak. Aku Rizal. Aku suamimu." Rizal segera menghampiriku, ia berjongkok di depanku seraya memelukku yang kini sedang menangis. "Maafkan aku, Mbak. Kumohon maafkan aku membuatmu berada di posisi ini." Dia ikutan menangis, tangisan pilu yang cukup menyayat hatiku. Sebenarnya, Rizal tidak bersalah. Samuel adalah pelakunya, tapi Rizal terus meminta maaf seakan ini semua adalah kesalahannya. "Ayo, Mbak, kita bangun dulu." Rizal membantuku berdiri dengan hati-hati, lalu memapahku untuk duduk di sofa ruang tamu. "Aku ambilkan minum dulu, ya." Aku menahan pergelangan tangan Rizal yang hendak pergi. "Duduklah, aku enggak haus."Rizal menurut, ia lantas duduk di sebelahku dengan pandangan yang menunduk ke bawah."Akhirnya, kamu sudah tahu rahasiaku, Mbak," katanya setelah kami terdiam cukup lama. "Kamu pasti menganggapku aneh."Ia kemudian menyadarkan tubuhnya di sofa, pandangannya menerawang jauh ke atas. "Sekarang, keputusan aku serahkan padamu, M
Lama-lama, aku merasakan dadaku yang semakin sesak. Bahkan, aku hampir seperti kekurangan oksigen gara-gara bersembunyi di balik selimut yang tebal sedari tadi.Sebenarnya, apa yang sedang di bahas Samuel di telepon itu? Sudahlah lama, pakai bahasa Inggris pula, aku mana paham.Tubuhku semakin kaku, tidak bergerak sedari tadi membuat kakiku jadi kesemutan. Aduh, bagaimana ini? Aku benar-benar sudah tak tahan.“Ya, Dad. Aku akan mengurusnya nanti.”Seketika aku bernapas dengan lega ketika mendengar Samuel menyudahi sambungan teleponnya. Terdengar, ia meletakkan ponselnya di atas meja, di samping tempat persembunyianku ini."Perasaan, tadi selimutnya di atas," ucapnya yang dapat aku dengar. Jantungku berpacu dengan cepat. Kalau sampai Samuel mengetahui keberadaan aku di sini. Mungkin, riwayatku akan tamat.Aku memejamkan kedua mataku dengan takut. Rasa takut itu memudar ketika terdengar langkah kaki Samuel semakin menjauh. Sepertinya, sekarang dia sedang ke kamar mandi karena aku mend
Seketika semua pikiran memenuhi kapasitas otakku. Berbagai macam pertanyaan muncul di benakku. Aku mencoba mengontrol rasa takutku. Dengan ragu, aku segera mengambil buku tersebut.Aku beringsut duduk bersandar pada dipan kasur berukuran king size di kamar ini. Tanganku bergerak membuka perlahan lembaran buku usang itu. Jantungku berdegup kencang, lembaran pertama dan kedua, sama persis dengan yang pernah aku baca ketika berada di kontrakan.Berarti, ini memanglah buku Rizal.Namanya, Mbak Rara. Aku mulai menyukainya ketika sering bermain ke rumahnya. Dia adalah kakak temanku–Yuda.Wajahnya cantik, orangnya baik, meskipun sedikit judes tapi hatiku merasa nyaman bila dekat dengannya. Aku suka wanita itu, meskipun umur kami berbeda jauh.Deg!Mataku membelalak sempurna membaca halaman ketiga lembaran buku usang tersebut. Jadi, Rizal menyukaiku sudah lama?Sepulang sekolah, aku selalu mampir ke rumah Yuda hanya untuk melihat Mbak Rara.Aku dengar, dia bekerja di kampung sebelah menjadi a
"Keluarlah! Aku tidak suka siapapun memasuki ruangan itu!”“Ba-baik.” Aku segera berdiri dan ke luar dari ruangan tersebut dengan perasaan campur aduk. Ketika aku sampai di depan Samuel, tiba-tiba aku merasakan nyeri di telapak kaki akibat tertusuk pecahan kaca tadi. Kuangkat kakiku yang nyeri tersebut. Namun, tubuhku terasa limbung dan akhirnya aku terjatuh dalam posisi tengkurap.Aku merasa aneh, bukankah kalau jatuh itu sakit? Sekarang, aku kok tidak merasakan apapun. Lantai keras yang sempat kupijak tadi mendadak empuk.Tunggu! Empuk? Aku segera mendongakkan kepalaku dengan takut-takut. Jangan-jangan aku—“Huwaaa!!!” Aku langsung berteriak histeris ketika menyadari saat ini bukan jatuh di atas lantai, melainkan sedang jatuh di atas tubuh Samuel.Astaghfirullah, kenapa aku ceroboh sekali?Aku buru-buru mengubah posisiku menjadi duduk. Aku sangat takut jika Samuel marah karena kelakuanku.“Ma-maaf, a-aku tidak sengaja,” kataku takut-takut sambil menundukkan kepala–tak berani menata
"Ap-apa maksudmu?”“Nanti kamu juga tahu!” Samuel beranjak dari posisi duduknya dan berlalu meninggalkanku begitu saja. Sebenarnya apa maksud ucapannya? Rizal memangnya kenapa?“Jangan pernah berpikir untuk kabur!” ancamnya sebelum melangkahkan kakinya ke luar dari apartemen ini.Aku menatap punggungnya yang telah berlalu. Selama dia pergi, sepertinya aku harus mencari jawaban atas pertanyaan di benakku ini seorang diri.Tiba-tiba, aku kepikiran tentang bekas sayatan panjang berwarna hitam di pinggang Samuel yang sama persis dengan milik Rizal. Walaupun mereka kembar atau walaupun mereka dilukai oleh penjahat yang sama, aku rasa bekasnya tidak akan sama dan semirip itu. Jangan-jangan ….“Jangan-jangan Rizal mempermainkanku dengan mengganti nama menjadi Samuel?”“Tapi, aku bisa merasakan jika mereka memang seperti orang berbeda. Namun, dalam bentuk fisik yang sama!”Tunggu! Tunggu! Barusan aku berbicara apa?“Seperti orang yang berbeda. Namun, dalam bentuk fisik yang sama?”Itu dia!
Aku mengusap mataku yang basah lalu mencoba berdiri dari posisiku saat ini. Kulangkahkan kaki secara perlahan menuju daun pintu.Terkunci?Aku mencoba memutar-mutar handle pintu kembali, tapi hasilnya sama saja, pintu kamar mandi benar-benar tidak dapat terbuka.Maksudnya, aku dikunci di dalam kamar mandi? Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diriku sendiri. Aku yakin, Samuel akan segera membukakan pintu jika urusannya dengan wanita itu selesai.Namun, lama-lama aku menjadi kesal sendiri. Entah sudah berapa lama aku menunggu, dia tak ada tanda-tanda untuk membukakan pintu.Dia tidak lupa kalau aku berada di kamar mandi, ‘kan?Aku mencoba tenang kembali. Barangkali, pembicaraannya dengan Mawar teramat panjang sehingga belum ada waktu untuk membukakan pintu.Aku kemudian duduk di sudut kamar mandi yang kering. Aku lelah dengan rentetan kejadian yang menimpaku hari ini. Hingga tanpa terasa, mataku terpejam dengan sendirinya.***Aku terbangun saat merasakan sesak di dada. Kondisi
“Halo, Ra. Kamu di mana? Aku mencarimu ke mana-mana, kok, nggak ada?” tanya Mila panik begitu aku berhasil mengangkat teleponnya secara sembunyi-sembunyi.“Aku-aku dalam masalah.” Aku berbicara dengan sangat lirih, takut dua orang yang sedang bercumbu di depan sana memergokiku.“Dalam masalah apa?”“Aku—”Praaang!Tiba-tiba, aku mendengar suara barang yang dilempar dengan sangat kencang.“Halo, Ra. Ada apa? Kamu baik-baik saja?”“Nan-nanti aku telpon lagi, Mil.” Buru-buru kumatikan ponselku dan mengantonginya ke dalam saku celana.Aku mengintip dari tempat persembunyianku untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.Di depan sana, nampak Mawar tengah berkacak pinggang di depan Samuel dengan ekspresi marah.“Aku curiga!” teriak Mawar yang membuatku tercengang.“Curiga apa? Semuanya sudah kuberikan padamu. Apapun maumu sudah kuturuti, kurang apa lagi, Mawar?”“Aku benci dengan perempuan itu! Aku mau dia menghilang dari kehidupan kita!”Seketika aku memegangi jantungku yang berdegup kencan
Tubuhku seketika menegang mendengar suara orang yang bertanya padaku barusan. Nada dingin yang terasa menusuk kuping membuatku mengingat tentang kekejaman seseorang.Tidak mungkin dia, 'kan?“Hei, kamu tuli?”Dengan takut-takut, aku membalikkan badanku. Bola mataku hampir ke luar dari peraduannya ketika mengetahui yang berdiri di belakangku saat ini adalah Rizal.Sorot mata tajam diiringi dengan seringai yang menakutkan, aku yakin sekali, dia bukanlah Rizal suamiku.“Ikut aku!”Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. “Aku tidak mau!”“Kamu berani menolak ajakanku!?”“Kamu bukan suamiku!”Laki-laki yang sangat mirip sekali dengan Rizal itu mengeraskan rahangnya, tangannya terkepal erat, tatapannya semakin tajam menghunus jantungku.Sejurus kemudian, ia tiba-tiba menarik tanganku dengan paksa. Aku mengedarkan pandanganku. Tempat yang semula ramai kenapa mendadak sepi?“To—” Belum sempat aku berteriak, tangannya sudah terlebih dahulu membekap mulutku dan membawaku menuju ke sebuah mobi
“Gimana rasanya disuapin cewek cantik, Zal?” tanyaku pada Rizal begitu kami sudah pulang dari rumah Bu Yuli. Sejujurnya, tadi aku merasa kesal melihatnya pasrah disuapin oleh Adel. Bukankah dia bisa menolak untuk menghargaiku sebagai istrinya? Rizal malah menikmatinya tanpa memperdulikan keberadaanku.Bukannya cemburu, hanya saja ... aku merasa tidak nyaman.“Adel memang istri idaman sekali, kan? Sudah perhatian, pintar masak, cantik lagi, pokoknya sem—aaawww!” Aku langsung menjerit begitu saja ketika Rizal tiba-tiba menarik pinggangku dan memelukku dari belakang.“Kamu lagi cemburu ya, Mbak?” Dia mengencangkan pelukannya lalu mendaratkan dagunya di bahuku.“Ap-apa, sih? Ke-kenapa aku harus cemburu?" "Kan, aku suami kamu." Rizal berbisik di samping telingaku dengan lembut. Hembusan napasnya membuat tubuhku seperti disengat aliran listrik bertegangan tinggi."Bi-bisa lepasin aku, nggak?" tiba-tiba hawa panas menjalar ke seluruh tubuhku."Memangnya kenapa? Aku suka posisi ini. Apalagi