Ana menghela napas saat kejadian beberapa hari yang lalu kembali berputar di otaknya. Keningnya mengernyit saat mengarahkan pandangan ke samping karena tidak menemukan laki-laki yang tadi pagi resmi menjadi suaminya.
Hanya pernikahan sederhana yang mereka jalani. Akad nikah dilakukan di masjid dekat penjara. Entah bagaimana Arjuna berhasil membuat ayah Ana menjadi wali pernikahan mereka.
Akad nikah itu hanya dihadiri oleh kakek Arjuna, seorang pengacara yang bertugas sebagai saksi dan juga petugas KUA, serta orang-orang yang mengawal ayah Ana.
Ana sendiri tidak mempermasalahkan hal itu. Toh, yang penting mereka sudah sah. Meski sehari sebelumnya, Arjuna menawarkan sebuah perjanjian yang langsung ditolak Ana. Sebuah pernikahan kontrak.
Kenapa? Jelas karena Ana tidak mau mempermainkan sebuah ikatan suci. Seperti apapun sikapnya, dia tetaplah seorang hamba yang takut dosa. Untuk saat ini biarlah nantinya pernikahan ini mengalir dengan sendirinya.
Ana berdecak kesal saat tiba-tiba rasa haus menyerang. Membuatnya mau tidak mau harus meninggalkan kamar super luas dengan dinding berwarna putih ini, menuju ke lantai bawah.
Menapaki tangga berwarna coklat, Ana mengamati ruangan bawah yang tampak sepi. Tentu saja waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam, jadi bisa dipastikan semua orang telah tertidur.
Mata Ana menyipit saat melihat cahaya dari kamar yang pintunya sedikit terbuka. Awalnya dia tak mau peduli. Sampai kemudian mendengar suara yang cukup familiar di telinganya.
Pelan, Ana melangkahkan kaki ke arah itu. Samar-samar terdengar orang berdebat saat langkah kakinya semakin dekat. Dia tau ini salah. Namun, dia merasa ada dorongan untuk melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu.
"Sampai kapan kalian menikah?"
Telinga Ana menangkap suara perempuan yang terdengar penuh amarah. Sepertinya akan ada hal besar yang akan dia ketahui.
"Entahlah."
"Entahlah kamu bilang?!"
Ana terpaku, saat dari celah pintu melihat suaminya berada di sana bersama perempuan cantik—si pemilik kamar.
"Dia ngga mau membuat perjanjian apapun. Jadi aku ngga bisa mastiin kapan pernikahan ini akan berakhir."
Ana berdecak pelan kala suaminya menjelaskan dengan lembut pada wanita di depannya. Tanpa perlu menjadi cerdas, dia tentu bisa menebak apa hubungan di antara keduanya.
Tanpa sadar bibirnya mencebik. Pria yang setiap hari menunjukkan raut tak ramah, ternyata bisa bersikap manis juga. Dasar bucin!
"Kamu harus membuat target kapan pernikahan kalian berakhir. Dan itu harus secepatnya!"
"Tenanglah. Setelah aku mendapatkan warisan kakek, ini semua akan berakhir. Kamu jangan kuatir."
Ana terpaku, menatap suaminya memeluk wanita berambut panjang itu. Dari awal dia tau, pasti ada sesuatu yang membuat laki-laki itu melamarnya. Namun, tidak menyangka kalau dirinya harus terlibat drama ala-ala sinteron yang biasanya ditonton oleh pekerja di sini.
Membalik tubuh, Ana menatap cincin berlian yang melingkar di jari manisnya, senyum misterius tergambar di bibirnya. "Baiklah. Akan aku ikuti permainan kalian. Dan kita lihat, siapa nanti yang akan menang."
***
Arjuna terkejut saat melihat istrinya tengah bersandar di kepala ranjang, dengan rambut legamnya terurai indah. Ya, ini memang untuk pertama kalinya dia melihat wanita itu tidak menutup kepala, karena sehari-hari Ana selalu menggunakan kerudung. Tadi saja setelah akad selesai, wanita itu tidak melepas kerudungnya.
Lalu sekarang entah mengapa, matanya seperti enggan beralih. Bahkan panca indranya terus memperhatikan gerakan Ana yang sedang menggulir ponsel, gerakan wanita itu yang menyampirkan rambut di belakang telinga juga tidak luput dari penglihatannya.
Sial! Dia kenapa? Tidak mungkin 'kan dia terpesona?
Menggeleng kasar untuk mendapatkan kesadaran, Arjuna berjalan mendekati ranjang. "Kamu tidur di sana?" tanyanya sambil menunjuk tempat tidur super luas yang kini di tempati Ana.
"Tentu saja," jawab Ana tenang. Entah mengapa hal itu justru membuat Arjuna tiba-tiba kesal.
"Tidurlah di sofabed! Aku yang akan tidur di kasur!" perintahnya.
Ana tersenyum tipis, yang terasa menyeramkan di mata Arjuna. "Kenapa harus saya yang pindah? Bukan Anda?"
Jawaban sang istri membuat kekesalan Arjuna memuncak. Rasanya dia ingin mengumpati kakeknya saat ini, bagaiamana bisa pria tua itu malah memilihkan perempuan tak tahu diri sebagai istrinya?
"Ini kamarku! Jelas aku berhak tidur di sana!"
"Kalau Anda lupa, kita sudah menikah tadi pagi. Jadi tidur di sini juga merupakan hak saya. Bukan begitu Mas Arjuna?" balas Ana dengan menyebutkan nama sang suami dengan penuh penekanan.
Arjuna mendengkus kencang, tapi tidak membalas membalas ucapan istrinya. Malas jika harus berdebat saat tubuhnya sudah lelah.
Laki-laki itu justru naik ke tempat tidur. Merebahkan diri, lalu tidur membelakangi sang istri. "Awas kalau kamu macam-macam!" peringatnya, sebelum menutup seluruh tubuh dengan selimut.
Ana menggeleng pelan, tidak habis pikir dengan sikap sang suami. Benar-benar seperti bocah!
Tidur dengan posisi yang sama dengan Arjuna, Ana merasa matanya enggan terpejam kembali. Karena kini pikirannya sedang merancang rencana, bagaimana melawan Arjuna dan kekasih gelapnya itu.
Entah pukul berapa mata Ana terpejam, yang jelas saat terbangun waktu sudah menunjukkan jam empat pagi. Dengan kepala yang masih terasa penuh akibat banyaknya hal yang terpikirkan sejak semalam, wanita cantik itu meregangkan tubuh. Akan tetapi, begitu menoleh ke belakang, bibir Ana otomatis mencibir laki-laki yang ternyata sudah pindah posisi jadi menghadapnya, "dasar bocah! Siapa kemarin yang sok-sokan tak mau memandangku?"Ana memandang wajah laki-laki yang berusia lima tahun di bawahnya. Wajahnya terlihat polos saat tidur, tidak ada kesan menyebalkan sama sekali. Berbeda ketika bangun, suaminya ini selalu memperlihatkan wajah arogan seakan-akan bisa menguasai segala hal yang pria itu mau."Baiklah, mulai nanti permainan akan dimulai," bisik Ana sebelum beranjak dari tempat tidur.Ya, semalam dia sudah memikirkan apa saja yang akan dilakukannya. Pertama dia akan membuat hubungan suami dan kekasih gelapnya itu merenggang. Kenapa? Tentu saja karena dia tidak mau mengalah! Dia adalah
Dari sudut matanya Ana bisa melihat ekspresi kaget yang tergambar jelas di wajah wanita-wanita di ruangan ini. Namun, siapa peduli?Tujuannya satu, memberi pelajaran pada perempuan yang baru saja bersikap songong dengan seenak jidat menyuruhnya ini itu. Memangnya mereka siapa?Masa bodoh jika pada akhirnya ibu dan anak tersebut semakin membencinya. Toh, dia masih punya kakek yang selalu berada di pihaknya. Dan itu lebih dari cukup karena kakek adalah sosok yang paling berkuasa di rumah ini."Mas Arjuna mau minum?" tanya Ana dengan nada manja. Sebenarnya dalam hati Ana merasa geli dengan tindakannya, tapi dia harus tetap bermain peran, 'kan?Ana menahan senyum merasakan tubuh Arjuna membeku, saat dia melingkarkan kedua tangan di lengan pria itu. Wanita berkulit putih itu tidak menyangka laki-laki yang biasanya sangat sombong, bisa juga terlihat polos seperti ini. Dipegang lengan saja sudah kaku seperti kanebo!Sungguh lucu!"Apa maksudmu?" desis Arjuna di telinga sang istri sembari mel
"Apaan sih? Ngga ada, ya!" bantah Ana setelah beberapa detik terdiam memikirkan kemungkin jatuh cinta pada Arjuna."Ndak boleh ngomong gitu!" Eka memukul pundak sahabatnya. "Cinta itu yang ngasih Gusti Allah, yang juga bisa membolak-balikkan hati manusia. Mungkin sekarang kamu dan Mas Arjuna belum ada rasa. Tapi siapa tau, setelahnya Gusti Allah membalikkan hati kalian. Terus akhirnya jatuh cinta," ujar ibu satu anak itu memberi petuah dengan logat jawa yang kental."Tuh, dengerin!" Mirna ikut memukul bahu Ana, wanita itu merasa senang karena pendapatnya mendapat dukungan Eka. Sebagai penyuka drama dia sampai histeris karena sang sahabat menikah dengan majikannya. Bukan karena iri, tapi merasa itu adalah hal romantis. Dan berharap kisah Ana seperti kebanyakan drama, benci berubah menjadi cinta.Menghela napas, Ana kembali menatap sahabatnya malas. "Terserah kalian lah!" Bukan saat yang tepat untuk berdebat masalah cinta. Lagipula dia takut ada yang mendengar. Setiap tembok di rumah in
"Papa ngga serius 'kan?"Ana menatap Rita, jelas sekali tergambar raut tak terima di wajah wanita paruh baya itu. Lalu pandangannya beralih pada Barata yang tetap terlihat tenang. Meski ketiga orang di sini dengan jelas memperlihatkan rasa tidak suka pada keputusan laki-laki tua itu.Jangan tanyakan perasaannya sebab sejujurnya dia pun bingung dengan keputusan mendadak ini. Baru saja beberapa hari menjadi bagian keluarga Wijaya, tapi hidupnya sudah jungkir balik seperti ini. Meski dalam sudut hatinya dia merasa senang.Bekerja di kantor merupakan keinginannya. Tak hanya itu dia berharap bisa memberi kehidupan yang layak untuk ayahnya jika nanti keluar dari penjara."Tentu saja aku serius," jawab Barata tegas. Satu per satu dia tatap wajah di sekelilingnya. Tak ada raut berarti, tapi ketenangan itu tentu berhasil menciptakan keresahan di hati orang-orang."Tapi dia bukan wanita berpendidikan!" geram Rita. Wanita itu bahkan sudah melayangkan tatapan tajam pada Ana. Bagaimana bisa sosok
Suasana pusat perbelanjaan tampak lumayan ramai. Mengingat ini adalah akhir pekan. Keempat orang yang semuanya tidak menunjukkan raut bersemangat itu, berjalan bersama-sama.Masih jelas di ingatan Ana, bagaimana mata Rena yang memakai kontak lensa warna abu-abu itu memelotot, saat melihatnya dengan berani menggandeng lengan Arjuna. Sementara Arjuna sepertinya hanya bisa pasrah, mengingat Yuda—asisten pribadi Barata—ikut bersama mereka. Kalau dia macam-macam, sudah pasti Yuda akan melapor pada sang kakek. Dan mengingat Ana saat ini kesayangan Barata, bisa habis dia dimarahi.Langkah Ana terhenti begitu Rena akan mengajaknya masuk ke salah satu gerai pakaian. Wanita cantik itu menampilkan raut enggan yang begitu kentara."Kenapa?" tanya Arjuna yang ikut berhenti. Dia kesal karena Ana terus-terusan membuat ulah."Aku gak mau ke situ, aku mau ke sana." Ana menunjuk gerai yang terkenal mahal. Dia sering mendengar Mirna menceritakan artis yang memakai brand tersebut. Salah satu bajunya yan
"Astaga, ini bener kalian? Tadinya aku takut salah orang." Ana masih memperhatikan ketiga orang itu. Terlihat jelas Arjuna dan Rena beberapa kali melirik ke arahnya, seperti orang yang salah tingkah. Hal itu semakin membuat Ana yakin, ada sesuatu yang mencurigakan. Dia masih tetap mempertahankan. Menunggu drama apa lagi yang akan terjadi. Meski rasanya ingin tertawa melihat kepanikan pasangan itu. Heran, kadang dia merasa Rena itu terlalu mudah dibaca. Lantas kenapa harus susah-sudah menyembunyikan hubungan? Toh, kalau diperhatikan dengan jelas interaksi keduanya terlalu kentara. Apalagi Arjuna, sepertinya kesulitan berpura-pura tak menyukai siapapun. Karena baginya Cara sang suami menatap Rena itu berbeda. Jelas ada cinta di sana. "Oh, iya. Apa kabar Yuna?" Rena lebih dulu menjabat tangan wanita yang dia panggil Yuna. Namun, setelahnya dia lagi-lagi melirik Ana. Ingin tau ekspresi perempuan itu, sebagai antisipasi tindakan selanjutnya. Bukannya apa, Ana selalu tidak tertebak.
Mata Yuna membeliak. Tangannya masih menggenggam tangan Ana dengan erat, mungkin efek dia terlalu kaget dengan info yang didapatkannya. Hingga akhirnya Ana memilih menarik tangannya, membuat Yuna juga buru-buru melakukan hal yang sama.Yuna berdeham. "Maaf, ya, aku baru tau. Arjuna, sih, gak ngundang-ngundang," ujarnya dengan tertawa canggung."Memang kami tidak mengundang banyak orang, hanya keluarga saja."Ana membalas senyum kecil Yuna yang terlihat begitu canggung. Ya, dia bisa mengerti dengan sikap wanita itu. Siapa juga yang tidak canggung, jika salah mengartikan hubungan seseorang."Lho? Kenapa?" Yuna menatap Arjuna. "Teman kita banyak, lo.""Karena aku ingin sesuatu yang sederhana saja," jawab Arjuna. Matanya melirik kesal pada wanita bergamis toska yang tampak berdiri santai di sebelahnya. Apa maksud wanita itu membocorkan hubungan mereka? Sepertinya sang istri sengaja menguji kesabarannya."Arjuna? Sederhana?" cibir Yuna, bibir wanita itu mencebik seolah mengejek pernyataan
"Memangnya ada yang tak jelas?" Ana mengedikkan bahu."Jadi kamu mencurigai kami ada hubungan begitu?" desis Rena tajam.Ana tersenyum tipis. "Aku gak bilang begitu, bukankah teman kalian yang bilang seperti itu?" "Sudah hentikan! Makan!" perintah Arjuna.Kedua wanita itu langsung terdiam. Ya, Ana menyadari dibalik sikap suaminya yang terkadang masih kekanak-kanakan, ada sisi menyeramkan ketika laki-laki itu sudah marah.Karena dulu dia sempat beberapa kali mendapati Arjuna marah pada para pekerja, dan itu begitu menyeramkan. Mungkin efek mempunyai kuasa hingga laki-laki tak punya rasa takut menyuarakan pendapat.Selama makan siang kali ini, sama sekali tidak ada percakapan di antara mereka. Sepertinya semua enggan memancing amarah Arjuna, yang masih suka meledak-ledak.Waktu menunjukkan pukul dua siang, saat keempat orang itu keluar dari pusat perbelanjaan. Ketika sampai di parkiran, Ana segera beranjak ke pintu belakang mobil. Namun, gerakannya yang akan meraih gagang pintu terhent