Ditambah lagi, Chintya memperlakukan Bram seperti seorang teman biasa. Oleh karena itu, saat terakhir kali datang ke sini Bram sudah langsung dikeluarkan dari daftar calon menantu keluarga Baruna.Lana tersentak, lalu dia mengambil kembali ponselnya dan berkata, “Lihat besok saja. Kalau Bu Sari nggak telepon dan batalkan pertemuan, kamu baru ke sana. Lagi pula, tempat janjiannya nggak jauh dari sanggar kita.”“Besok kamu pergi kerja sekalian bawa rok dan sepatu hak tinggi. Kalau orang itu nggak batalkan, kamu ganti baju dengan rok dan pakai sepatu hak tinggi ke sana. Begitu baru mirip perempuan. Jangan setiap hari berpenampilan seperti seorang pengawal. Begitu lihat kamu, orang lain takut bakal dipukul kamu kapan saja.”“Ma, di cuaca begini suruh aku pakai rok? Mama mau aku masuk angin?” ujar Chintya sembari melirik gelas Bram, ingin rasanya menghabiskan minuman pria itu.“Siapa yang suruh kamu pakai rok musim panas? Pakai rok musim dingin kan bisa.”“Ma, di lemari bajuku nggak ada rok
Rama masih risih, merasa pria yang dikenalkan biro jodoh terlalu jelek juga gemuk. Sudah pasti tidak akan berhasil.Firul tidak menghentikan mereka. Lana mengomeli Chintya sebentar, lalu menyuruh Rama harus mengalah pada Bram. Bram adalah tamu mereka, jangan sampai melukai Bram.Di dalam keluarga Baruna, semua orang menguasai ilmu bela diri kecuali Lana. Orang yang menyukai seni bela diri ingin bertanding saat bertemu dengan seseorang yang juga menguasai seni bela diri. Itu hal yang wajar.Sementara itu, Bram sedang berpikir saat bertanding nanti, apakah dia mengeluarkan seluruh jurusnya, atau harus menahan diri? Saat teringat kalau Chintya kagum dengan orang kuat, Bram pun memutuskan untuk menggunakan keahliannya yang sebenarnya dan mengalahkan Rama dengan mudah. Dengan begitu, Chintya akan terkagum-kagum padanya. Semoga saja calon kakak iparnya itu tidak menyalahkannya.Selesai makan, Bram ingin membantu membersihkan piring dan peralatan makan lainnya. Lana segera menghentikannya dan
Sepuluh menit kemudian.Bram dan Chintya berjalan berdampingan, yang diikuti kedua kakaknya di belakang. Mereka berempat berjalan menuju sanggar bela diri sambil mengobrol. Suasana Kota Malinjo lebih ramai di malam hari dibandingkan siang hari. Meskipun tidak semakmur Kota mambera, tetap saja dipenuhi dengan berbagai hiburan karena tempat ini juga merupakan kawasan perkotaan.“Bram, nanti kamu tanding denganku dulu. Kami bertiga semuanya belajar dari papaku. Kami pakai jurus yang sama. Kalau kamu bisa kalahkan aku, kamu akan punya peluang menang lebih besar kalau kamu tantang Kak Rama. Kak Rama belajar lebih awal beberapa tahun dariku. Dia akan lebih kuat dan lebih cepat sedikit dari aku. Murid yang dia ajar rata-rata yang sudah hebat. Kalau aku hanya mengajar anak-anak. Mau bagaimana lagi, aku masih muda. Belum setenar Kak Rama.”Di dunia seni bela diri Kota Malinjo, kedua kakak Chintya cukup terkenal. Bram pun berkata, “Kalau begitu, itu nggak adil bagi Kak Rama. Nggak apa-apa. Aku l
“Terlebih lagi, kebanyakan orang nggak ingin provokasi Nenek Sarah. Dia punya koneksi banyak. Tunggu kamu lebih sering berinteraksi dengan Olivia dan jadi lebih akrab dengannya, kamu akan tahu orang-orang dalam lingkar pertemananku itu semuanya bukan orang biasa.”Sebagian besar keluarga besar saling mengenal dan memiliki kontak satu sama lain. Bahkan ada beberapa yang menjadi sekutu.“Chintya, jika suatu hari kamu jadi terlibat karena aku, apakah kamu masih mau berteman denganku? Apakah kamu akan putus kontak denganku?” tanya Bram.Rama yang mendengarnya langsung berkata, “Kamu anggap Chintya apa? Adikku sudah lama anggap kamu sebagai temannya. Dia sangat tulus dalam berteman. Begitu dia sudah anggap kamu temannya, saat teman ada kesulitan, dia akan bantu sekuat tenaga. Bagaimana mungkin dia putus kontak denganmu.”“Tapi masalahnya kamu nggak boleh lakukan sesuatu yang ilegal dan melibatkan Chintya. Kalau nggak, kami semua nggak hanya putuskan semua kontak denganmu, kami juga akan haj
“Bukannya aku nggak mengerti cinta. Kak Rama ngomong seperti itu, hanya buat aku terdengar seperti orang bodoh saja.” Chintya mengomeli kakaknya.Rama melirik Bram, lalu menatap adiknya yang jelas-jelas tidak mengerti tentang cinta. Namun, Rama tidak berniat menjelaskannya. Ralat, baru saja dia sudah menjelaskan kalau Bram sedang memberitahu Chintya agar Chintya memiliki persiapan hati. Lihat saja reaksi adiknya itu, benar-benar membuatnya khawatir. Sungguh tidak ada reaksi lain sama sekali.“Kak, saat kamu tanding dengan Bram nanti, kamu harus mengalah sedikit. Jangan keras-keras padanya.” Chintya mengingatkan kakaknya, juga untuk mengalihkan topik pembicaraan.“Kami cuma tanding, bukan bertarung antara hidup dan mati. Tenang saja, aku nggak akan terlalu keras padanya.”Bram berterima kasih pada Rama. Mereka berempat berjalan dengan cepat menuju Sanggar Bela Diri Keluarga Baruna. Di malam hari, masih ada pelatih yang mengawasi murid berlatih di sana. Begitu melihat mereka berempat dat
“Kalau Bram kalah, uangku satu juta lebih ini pakai untuk beli makanan buat kalian semua. Kalau Bram menang, semua uang kalian jadi milikku.”Chintya hanya tidak ingin Bram terlihat menyedihkan. Tanpa perlu ditanyakan lagi, semua orang di sana akan memasang taruhan mereka pada Rama.Bram datang dari kota yang jauh. Tidak ada yang tahu kemampuannya. Hanya saja, sikapnya yang beradab, ditambah lagi Rama tadi memanggilnya Pak Bram. Semua orang menebak kalau Bram adalah seorang bos perusahaan.Sekalipun orang seperti itu menguasai ilmu bela diri, paling hanya bisa beberapa jurus mudah. Bagaimana mungkin dia bisa mengalahkan calon penerus Sanggar Bela Diri Keluarga Baruna?Beberapa pelatih yang ada di sana mengeluarkan semua uang tunai yang mereka miliki dan memasang taruhan mereka pada Rama.Meskipun para murid bukan anak-anak, mereka masih remaja belasan tahun. Mereka tidak punya banyak uang. Paling satu anak keluarkan 20 ribu, anak yang lain keluarkan berapa puluh ribu. Setelah terkumpul
“Tapi, Pak Bram datang dari jauh ke sini. Dia tamu kita. Kak Rama juga harus mengalah sedikit.”Jerry sama percaya dirinya dengan Rama. Dia merasa Rama pasti akan menang. Meskipun jumlah taruhan di pihak Chintya sangat sedikit, total hanya 1,8 juta, lebih baik daripada tidak sama sekali.Bram tersenyum, “Nggak perlu. Aku dan Kak Rama hanya bertanding. Nggak perlu sampai bertarung mati-matian. Kak Rama nggak perlu mengalah dariku. Chintya, berapa banyak taruhan kalian berdua?”Chintya membuka telapak tangannya. Di tangannya hanya ada 1,8 juta lebih. Dia ikut tersenyum dan berkata, “Nih, hanya sebanyak ini. Ini semua uang tunai yang aku punya, ditambah uang Willy dua ratus ribu. Bram, kamu harus keluarkan semua kemampuanmu, kalahkan Kak Rama. Hahaha, biar aku dan Willy menang.”“Setiap kali ada yang datang untuk menantang Kak Rama, semua orang akan bertaruh dia menang. Sama sekali nggak seru, nggak ada kejutan. Kamu beri kami kejutan saja. Kalau kamu kalahkan Kak Rama, aku akan masak unt
Mereka merasa Bram tidak memiliki rasa percaya diri sama sekali. Bahkan Willy langsung menyenggol Chintya dan bertanya, “Kak Chintya, kamu bertaruh pada Pak Bram karena kamu sangat percaya padanya, kan? Aku sudah belajar seni bela diri di sini selama enam tahun. Belum pernah aku lihat orang yang bisa kalahkan Pak Rama. Jadi aku penasaran.”Chintya menjawab, “Aku juga nggak tahu. Aku hanya merasa Bram adalah temanku. Kalau nggak ada yang bertaruh dia menang, dia akan malu sekali. Jadi aku pun bertaruh dia menang. Lagi pula, uang tunai yang aku bawa hanya sejutaan. Kalau kalah ya sudah. Anggap aku traktir mereka. Bukannya nggak pernah traktir mereka juga.”Willy, “....”Chintya menatap Willy sebentar, lalu berkata, “Kalau kamu menyesal juga sudah terlambat. Kamu lihat, mereka sudah turun ke arena.”Willy memasang wajah cemberut dan berkata, “Nggak apa-apa. Mamaku kasih aku uang itu memang untuk jajan selama seminggu.”Kalaupun kalah, paling-paling Willy tidak bisa jajan setelah pulang la