“Saya ke kamar. Tolong nanti bawain teh hangat ya. Saya mau review beberapa thesis temen kelompok kamu.” “Siap, dok.” Abian menaiki tangga dengan cepat. Ia langsung membicarakan teknik operasi dengan dokter Farhan melalu telpon. Natasya jadi curiga ia akan ketiban sibuk itu dan akan berjaga malam ini. Natasya membuka kulkas, mencari sisa cake stroberi kesayangannya. Sebelum membuat teh pesanan Abian, ia memakan hampir seluruhnya, takut keburu tak ada waktu karena akhir pekan sudah berakhir. “Gilaaa, ini enak bangeeet.” Natasya mengambil gelas, “Seret. Minum mana minum?” Selesai minum, sebelum memakan kembali sisa kue, Natasya menggaruk perutnya yang tertempel karet hamil palsunya, “Duh, gatel lagi. Semenjak pake ini kulit perut jadi ruam. Sebenernya dokter Abian cuci karetnya gak sih? Curiga enggak deh.” Natasya melirik sana-sana melihat situasi aman. Ia akan melepas perut karet itu, karena lemnya pun sepertinya sudah tidak selengket tadi pagi. Begitu ia menarik perut karet
Natasya mengendap-endap mendekati pintu ruangan Abian. Ia membuka pintu perlahan dan masuk. “Oke, aman. Kayaknya dia lagi visit. Akhirnya gue bisa istirahat sejenak dan bebas dari amukkan dia. Dia pasti kesinggung gue gak mau pulang dan ketemu mama. Bodo amat lah.” Natasya mengambil posisi di sofa. Ia duduk memanjang dan memainkan ponselnya, “Udah lama gue gak nonton bioskop. Gue ajak siapa ya, kesana? Vina gak mungkin. Alan apalagi. Dokter Abian—ah, dia mana mau.” Ceklek. Pintu terbuka. Natasya melotot, “Dok?” “Kamu ngapain disini?” Natasya duduk tegap, “Aku—ikut tidur disini ya, dok? Aku berharap bakal dapet jadwal shift malem sih, tapi ternyata nggak.” “Kenapa gak pulang atau nginep di rumah papa?” Abian duduk disamping Natasya. “Papa—sama kecewanya kayak mama. Papa juga suruh aku pulang, tapi aku takut ganggu mama. Tolong izinin aku tidur disini, dok. Plisss.” Abian mengangguk, “Kalo jadi kamu juga saya—gak akan tidur di rumah.” Ia melirik Natasya sambil bangkit,
Natasya membeli banyak hadiah untuk mama. Mulai dari baju, parfum sampai makanan kesukaannya. Tentu yang mendanai semua adalah Abian. Ia juga jadi korban kemarahan mama, sehingga akan menyumbangkan semua yang bisa diberikan agar mama kembali memberikan hatinya untuk mereka.“Udah semua?” tanya Abian sebelum mereka pulang setelah berganti shift.“Udah, dok. Mama—akan luluh dengan cara begini emangnya?” Natasya pesimis. “Ya kita coba aja.”Vina baru turun dari taksi. Ia membawa dua tas sekaligus. Ia menunduk sopan pada Abian yang tengah memasukkan semua hadiah untuk mama ke dalam mobil, “Malam dokter Abian.”“Malam.”Vina melirik semua barang itu.Natasya tahu Vina pasti bertanya-tanya mengenai banyaknya barang yang diterima Abian dari kurir paket kilat, “Sana masuk.”“Ada apa?” tanyanya tanpa suara.“Buat nyokap.”Vina mengerling curiga, “Lo bikin masalah ya, dan itu sogokkan?”Natasya dan Abian saling lirik.“Hehehe, saya
“Dokter Natasya tolong segera ke UGD!” teriak perawat ketika mendapat panggilan darurat.Natasya baru menyuap karena belum makan siang, padahal hari sudah sore. Ia menutup nasi box yang dikirim kantin rumah sakit. Ia berlari kencang mencari lift yang kosong. Nihil. Semua lift akan lama terbuka, sehingga ia menuruni tangga dari lantai lima.Begitu sampai UGD, ia yang akan mendekati ranjang pasien langsung berhenti karena ada Abian yang baru membalikkan badan.“Pasien sudah saya tangani.”Natasya ngos-ngosan. Ia mengangguk, “Terima kasih dokter.”Abian menunjuk satu buah nasi yang menempel diujung bibir Natasya, “Itu—”Natasya mengambilnya, “Saya belum makan dari siang. Operasi selesai lebih lama dari dugaan.”“Ya udah, makan di ruangan saya biar gak ada yang ganggu selama kamu makan. Disana ada makanan saya, ambil aja.”Natasya mengangguk, “Makasih ya, dok.”Langkahnya yang gempor, membuat Natasya berhenti sejenak. Ia menyeka keringat yang
Anak lelaki itu mengulurkan tangannya, “Aku Haikal, panggil aja Ical.”Abian menerima uluran tangan itu. Haikal salim padanya, “Saya Abian.”“Aku tahu.” Haikal mengulurkan tangan pada Natasya, “Hai mamih, aku Ical.”“Tante—Natasya.”“Mamih!”Natasya melirik Abian.“Dia anak kamu?”“Aku belum punya anak, dok!”“Terus kenapa dia tiba-tiba panggil kamu mami?”“Dia juga manggil dokter papi! Dia anaknya Aca kalik!”“Aca siapa?” tanya Haikal.Abian dan Natasya sama-sama diam.“Aku udah bilang aku anak kalian, mami Natasya dan papi Abian.”Abian tertawa, “Kamu anak hilang ya? Saya akan antarkan ke panti sosial atau ke rumah sodara kamu. Pasti ada alamat yang kamu inget ‘kan?”Haikal malah masuk ke dalam ruangan Abian, “Capek banget gak percaya sama omongan aku.”Abian melotototi Natasya, “Dia siapa sih?”“Aku gak tahu! Bukannya dokter yang pertama ke ruangan? Kenapa malah tanya aku?”“Dia udah ada sebelum saya dateng, lagi tiduran di sofa sambil liatin foto pernikahan kita yang gak tahu ken
Sedari pagi rumah sangat ramai dengan suara nyanyian berbagai genre yang dinyanyikan Haikal. Mama tampak senang mendengarnya. Abian dan Natasya yang mau marah, tidak jadi. Karena mama akhirnya kembali seperti semula.“Ayo cepet sarapannya, Cal, biar gak kesiangan ke sekolahnya.”“Siap, oma.” Haikal sangat lahap menikmati sop ayam dan berbagai macam sayurnya.“Bi, Nat, sebelum ke rumah sakit, kalian anterin Ical ke sekolah dulu, ya.”“Tapi, ma—” protes Abian.“Kenapa?” mama bertanya dengan nada ketus.Natasya menggenggam tangan Abian, “Iya, ma, kita anterin Ical.”Mama tersenyum, “Bagus.”Abian hanya makan sedikit. Nafsu makannya hilang melihat keberadaaan Haikal disini.“Papi kok gak makan?”Semua menatap Abian yang hanya membuang nafas pelan.“Mungkin harus mami suapin.” Ical melirik Abian, “Iya, ‘kan, pi?”Natasya berusaha memberikan jawaban, “Eum—papi masih kenyang kayaknya, biarin a—”“Boleh, suapin deh, mami Natas
Natasya melirik tidak enak pada Vina, “Lo beneran gak papa lanjut shift gantiin gue?”“Gak papa. Lo kayak sama siapa aja.”Natasya membuang nafas pelan, “Gue janji gak akan minta lo begini lagi. Gue cuma kasian sama Ical.”“Iya, gue ngerti. Mumpung lo ada kesempatan buat deket sama anak adopsi lo, ya udah.”Natasya bergerak memeluk Vina, “Makasih ya.”“Iyaaa. Ya udah balik sana, suami lo juga udah nungguin. Kasian Ical kalo lo kelamaan jemput.”Pelukkan mereka terlepas. Natasya mengangguk, “Gue duluan ya. Nanti gue kirimin cemilan buat nemenin jaga malem.”“Oke.”Setelah memastikan Natasya benar-benar pergi, Vina cekikikkan sendiri. Ia mengeluarkan segepok uang dari Abian, “Enak juga kerja sama dengan konsulen kaya. Gantiin jaga malem istrinya dapet lima juta. Lumayan buat ke luar kota pas weekend.”Natasya mendekati Abian yang menunggunya depan ruangan pribadi para dokter poli bedah. Mereka sudah sama-sama berganti baju.“Kan mau ti
Baru dua hari Haikal berada di rumah, mama merasa rencananya akan berhasil, karena anak dan menantunya terlihat jadi lebih dekat dari sebelumnya. Kabar itu pun disampaikan pada papa Natasya.“Nat, karena Abian udah ke rumah sakit duluan, Ical biar ke sekolah sama mama. Kamu langsung aja ke rumah sakit sama supir ya.”“Oh ya udah, ma. Maaf ya, ma, ngerepotin.”“Ah, enggak kok. Ya meskipun Ical jadi cemberut sih karena gak berangkat sama papi maminya, tapi ya gimana. Dia harus ngerti kalau kalian itu dokter.”“Biar aku tenangin Icalnya dulu deh, ma. Aku kasih pengertian, kalo besok atau lusa aku sama mas Abian usahain untuk nganterin dia ke sekolah.”“Anaknya lagi ngambek di mobil.”Natasya salim dan mencium kedua pipi mama, “Aku bujuk dia terus langsung berangkat ya, ma. Mama hati-hati di jalan.”“Kamu juga.”Natasya mengeluarkan coklat yang selalu jadi moodboosternya ketika stress dan lelah di rumah sakit. Ia mengetuk pintu mobil, “Ical?”Kaca mobil terbuka, “Ada apa?”“Nih.
Sejak pagi setelah selesai shift, Natasya terus berada dekat dengan Abian. Ia tak mau jauh-jauh dari suaminya.“Gak ada yang ketinggalan?”“Gak, mas, aman. Yuk.” Natasya menggandeng lengan Abian.Jika tak memakai baju dinas, mereka terlihat seperti pekerja kantoran. Penampilan Abian yang mengikuti zaman dan Natasya yang mulai mengubah penampilan, membuat mereka jadi idola baru di kalangan dokter ko-as.“Mau beli sesuatu dulu gak sebelum pulang?” tanya Abian.“Gak ah, aku capek, mau tidur.”“Kalo aku order diterima gak?”Natasya menggebug lengan Abian, “Jangan kenceng-kenceng ngomongnya.”Abian berbisik, “Aku mau order, bisa gak?”Natasya tertawa. Ia mendorong tubuh Abian yang tertawa juga, “Nyebelin!”Vina yang melihat kemesraan mereka dari kejauhan tersenyum, “Natasya udah menemukan kebahagiannya. Artinya Alan udah gak punya celah untuk masuk lagi ke hati elo, Nat.”Di parkiran basement, Abian membuka kan pintu mobil untuk Natasya, “Silakan masuk, nyonya Abian.”“Mas, jan
Natasya berjalan buru-buru setelah melakukan visit ke ruang ICU dan bangsal menuju ruangan Abian. Ia lupa pada titah suami kontraknya dan malah ngobrol ngalor-ngidul dengan Arsya di telpon. Ceklek.“Mas, hehe, maaf ya lama.”“Satu jam lebih bukan telat lagi sih.”Natasya manyun, “Segini juga dateng. Aku sibuk tahu.”“Sibuk apa? Bukannya yang jaga malam banyak?”Natasya menjatuhkan dirinya di sofa, “Aduh enaknya.”Abian bangkit dari kursi kerja dan duduk disebelah Natasya. Ia mengendus bau istrinya.“Mas, apaan sih.” Natasya menggeser tubuhnya karena risih.“Aku mau.”Natasya melotot, “Mas, ini di rumah sakit!”“Kita bisa kunci ruangannya."“Nggak!”“Aku bayar.”“Nggak mau.” Natasya berdiri, “Kalo aku diminta kesini buat ini, aku pergi.”“Oke-oke, nggak akan. Aku cuma mau kamu disini. Aku butuh temen ngobrol.”Natasya kembali duduk di sofa.“Gak mau semakin deket duduknya?”Natasya menggeleng.“Aku disini sampe lusa loh.”Mendengar itu, Natasya menatap Abian lama.
Pov AbianHari ini Natasya mengikuti operasi bersama profesor Indra, sehingga yang jadi asisten poli adalah Vina. Sudah hampir seluruh pasien melakukan konsultasi. Ketika pasien terakhir belum masuk karena sedang pergi ke toilet, Abian jadi mengingat sesuatu yang ingin ditanyakan pada Vina.Di putar kursinya ke arah Vina. Suster Anna sedang berdiri di lawang pintu karena berbincang dengan perawat lain.“Vin?”“Iya, dok?”“Selesai praktek, kita bisa bicara?”“Bisa, dok. Soal—Natasya, ya?”Abian mengangguk, “Natasya gak akan selesai operasi secepatnya ‘kan?”“Kayaknya masih lama, dok. Pasiennya mengalami pelengketan serius, pasti butuh waktu lama.”“Oke, bagus.”“Pasien datang, dok.” seru suster Anna.Abian membaca hasil tes dengan wajah sangat serius, membuat pasien, suster Anna dan Vina jadi cemas.“Kenapa, dok?” tanya anak pasien, “Apa hasil tesnya—buruk?”Abian menatap pasien dan wali silih berganti, “Apa ibu sering mengalami serangan jantung?”“Saya baru datang dari
Abian menatap Aca penuh pengertian, “Kamu masuk. Biar Natasya jadi urusan aku.”“Oke, sayang.” Aca tersenyum sinis ke arah Natasya sebelum menutup pintu.Natasya pergi. Ia sungguh tak habis pikir suaminya tega membohonginya berkali-kali mengenai Aca.“Nat, tunggu.” Abian mengejar Natasya yang berjalan amat cepat.Natasya tak menggubris panggilan Abian.“Nat!” Abian menarik lengan Natasya, “Dengerin aku dulu, dong.”Natasya terpaksa membalikkan badan, “Dengerin apa? Berkali-kali, mas, kamu bohongin aku dan ketemu Aca diem-diem. Aku harus dengerin apa lagi?” “Aku cuma gak tega Aca luntang-lantung karena kasus kemarin.”“Itu salah dia. Siapa yang suruh dia pura-pura hamil, labrak aku dan hancurin karirnya sendiri?”“Nat, kamu gak punya hati? Aca gak pernah berniat begitu. Dia cuma—”“Bercanda?”Abian membuang nafas pelan, “Kamu aneh. Kamu gak mau melanjutkan pernikahan kita dan terus memilih Alan, tapi kamu cemburu sama Aca. Apa bener yang Ical bilang, kalo kamu mencintai dua
Tersisa dua hari lagi Abian bertugas di rumah sakit sebelum dipindahkan ke daerah. Natasya memakai waktu ini sebaik-baiknya untuk jadi istri sekaligus residen yang berbakti. “Ada lagi yang mau mas makan?” tanya Natasya ketika ia dan Abian baru bisa makan siang di malam hari, berdua di ruangan pribadi Abian.“Udah cukup. Ini aja banyak banget.”“Hehehe, aku lagi ngidam pengen semua ini.”“Kirain ngidam hamil.”Natasya melirik Abian sinis, “Jangan mulai deh.”“Nanti pulangnya gak bisa bareng. Aku ada perlu.”“Gak papa, aku juga ada perlu.”“Perlu apa?”“Jangan tanya, aku juga gak tanya mas ada urusan apa sama siapa.”Abian mendecek.Natasya menatap Abian, “Mas, nanti janji harus sering kesini. Aku juga janji bakal jengukin mas ke rumah sakit baru.”“Hm.”“Telinga dan jantung aku pasti akan kaget gak lagi mendengar bentakkan dan ucapan sarkasme mas.”“Kamu ini muji atau ngehina sih?”Drrrrt~Natasya merogoh ponselnya. Ia berhenti makan ketika membaca pesan yang entah di
Kedatangan Natasya dan Abian disambut hangat oleh perawat dan dokter yang sudah lebih dulu tiba di balroom hotel. Vina dan Irvan pun ada disana. Suasana sangat meriah dengan dekor yang dibuat sedemikian rupa. Namun yang tak ditemukan Natasya adalah tulisan ‘Farewell Party’ atau ‘Selamat Bertugas ditempat Baru’, seperti yang sering ia lihat di acara perpisahan dokter lain. Meski begitu ia berusaha menikmati acara.“Dokter Abian, selamat ya.” dokter bedah umum senior menyalami Abian, “Saya tahu semua akan terjadi. Berkat dokter Abian, rumah sakit kita kembali mendapat penghargaan.”“Saya hanya melakukan tugas, dok.”“Meski begitu kami para dokter bedah sangat berterima kasih karena mendapat sumbangan alat-alat terbaru dari pak Waluyo, semua berkat dokter Abian.”Rumah sakit mendapat sumbangan dari pak Waluyo? Natasya mengernyit. Jadi pak Waluyo sudah di operasi? Oleh siapa? Ia terlalu fokus pada masalah Aca, Haikal dan Alan, sehingga tak pernah punya waktu untuk menanyakan hal ini
“Kerja bagus. Terima kasih untuk semuanya.” tutur dokter Farhan pada semua staf operasi.Natasya jadi orang terkakhir yang keluar setelah membantu perawat membereskan ruang operasi.“Dok, gak papa, ini biar saya yang beresin.”“Gak papa, sus.”“Dokter Natasya lagi seneng itu, sus, biarin aja.” kata perawat lain.Natasya tersenyum, “Enggak kok, biasa aja.”“Dokter Natasya, saya turut senang dengan kabar baik soal dokter Abian.”Natasya berhenti menutup dus kain kasa, “Ada—kabar baik apa soal dokter Abian?”Perawat yang bicara itu disikut perawat lainnya, “Hehehehe, enggak, dok.”“Ada apa?” desak Natasya.“Gak papa, dok. Dokter istirahat aja. Dokter Natasya gak boleh kecapean.” Perawat mendorong tubuh Natasya keluar dari ruang bedah.Natasya membuka sarung tangan karet, “Aneh banget sih. Ada kabar baik apa emang soal mas Abian? Kok gue gak tahu?”Sebelum keluar dari ruang operasi, Natasya membersihkan tangannya. Ia akan segera ke poli untuk menemani suaminya praktek rawat ja
Ponsel Natasya bergetar pendek ketika ia sedang merapikan rekam medis pasien poli di ruang piket sambil menikmati makanan dari mama Vina di jam makan siang. Matanya tertutup ketika membaca pesan dari Abian. From : Dokter Abian Aku mau malam ini. Kalo kamu pulang lebih awal, jangan tidur dulu. Ada yang harus aku urus di rumah sakit Natasya tak membalas pesannya. Ia harus menyiapkan tameng agar Abian tak menanamkan benih dalam rahimnya. Dengan cepat ia memesan alat kontrasepsi untuk Abian, karena ia tidak akan sempat memasang alat kontrasepsi, apalagi kondisinya sedang tidak datang bulan. “Sebut aja ini—hadiah karena dia mau rotasi ke rumah sakit daerah.” Lama Natasya menunggu paketnya datang. Ia cemas sekali Abian memanggilnya untuk menemani visit. Natasya berjalan bolak-balik depan UGD menunggu ojek online mengantarkan pesannnya. Saat ia melirik ke jalan, sebuah motor yang flatnya sama seperti yang ia lihat di aplikasi, berhenti. “Mas Putra?” “Mbak Natasya?” “Iya.
Natasya melambaikan tangan pada Haikal yang mobil keluarganya keluar pelan dari pelataran rumah. Ternyata ia merasakan kehilangan juga ketika Haikal tak akan lagi tinggal disini.Abian merangkul mama dan Natasya, “Ical pasti sesekali kesini.”Mama mengangguk, “Mama masuk dulu.”Natasya menyeka air matanya.Abian tersenyum, “Ical gak akan ngelupain kita kok. Kalo kita ketemu di luar, kita bisa main sama dia.” “Mas, aku mau ngomong sesuatu.”Wajah Abian berubah cerah. Ia merasa akan mendapatkan kabar baik setelah Natasya tahu jika ia dan Aca tidak pernah melakukan apapun.Natasya menatap Abian, “Aku—gak mau pernikahan kita—berubah. Kita—pertahankan aja kontrak itu.”Mata Abian merah, senyumnya luntur, “Ke-kenapa?”“Aku mencintai Alan, dan akan terus begitu.”“Kamu—udah gak perawan.”Natasya tersenyum, “Terus kenapa?”“Emangnya Alan—bisa menerima?”“Bisa. Seperti yang aku bilang, Alan mencintai aku. Apapun yang terjadi sama aku—dia bisa menerimanya.”Abian tak menjawab.“