“Mas Abian—aku dan dia suka lupa semuanya kalo udah mulai. Lagian dia lagi visit, Van, aku gak mau ganggu dia kerja. Aku mohon kamu bantu aku hilangin efek obat ini, aku mohon. Kamu mungkin tahu aku harus ngapain untuk menghentikan ini.” Irvan mengangguk, “Iya, aku tahu. Ayo ikut aku ke ruangan.” Natasya pasrah dituntun Irvan. Ia yakin sahabat suaminya itu tidak akan berani macam-macam, ia kenal baik siapa orang yang ia mintai bantuan. Irvan mempersilakan Natasya duduk. Ia menurunkan suhu AC dan memberikan air mineral dingin, “Minum, Sya.” Natasya meminum air itu. “Sebentar, aku ambil obatnya.” Irvan membuka laci meja, ia mencari obat yang semoga saja bisa membantu Natasya, “Sya, kamu minum ini. Kita coba ya, semoga berhasil.” Natasya mengangguk. Ia akan melakukan apapun untuk membuat dirinya lepas dari reaksi obat terkutuk ini. “Kita tunggu reaksi obatnya. Kalau gak berhasil kamu bisa mandi.” Natasya bangkit, ia berlari ke toilet untuk mandi. “Sya?” Kucuran shower
Semua orang mengerubungi Abian dan Irvan. Dokter Farhan yang akan mengambil ponsel di ruangannya, berusaha memisahkan dua sahabat yang entah kenapa malah saling pukul disini. “Bi, Van, lepas!” “Gue gak terima lo khianati gue begini, Van!” “Gue gak mengkhianati lo, Bi!” Abian memberikan satu pukulan lagi di rahang Irvan. “Abian! Jaga kewarasan lo!” teriak dokter Farhan, “Lo bisa dapet pendisiplinan!” “Gue gak peduli!” Abian menunjuk Irvan, “Inget ya, gue gak sudi temenan lagi sama lo, bajingan!” Irvan diam saja. Ia tentu ingin sekali membalas ucapan Abian, tapi tidak enak dengan yang lain. Ia juga tidak ingin mendapatkan pendisiplinan. Natasya yang pikir Abian pergi sudah pergi, mendapat laporan kalau suaminya bertengkar dengan Irvan sampai main pukul. Ia yang sudah ganti baju jaga, berlari mendekati TKP. “Mas?” Abian membuang nafas kasar melihat Natasya. Pikirannya melayang, mengingat Natasya dan Irvan bermain gila dibelakangnya. Ia pergi begitu saja meninggalkan l
Natasya turun dari taksi ketika sampai depan rumah. Ia memukul-mukul pundaknya yang terasa pegal. Mama menyambutnya. “Kamu mandi terus istirahat ya. Atau mau makan dulu?” “Aku tidur dulu deh, ma.” “Oh ya udah, nanti kita makan sama-sama ya.” “Mama duluan aja, ‘kan mama harus minum obat.” “Gak papa, tadi mama udah makan kue basah, jadi minum obatnya udah. Yaudah gih, istirahat.” Natasya masuk ke dalam rumah. Ia berlari menaiki tangga agar cepat sampai ke kamar Abian yang jadi kamarnya juga. Pintu kamar dibuka. Natasya terkejut melihat ada Abian, “Mas?” Abian yang sedang tiduran di ranjang, bangkit. Ia tengah memakai baju rumahan. “Mas, kamu—” “Iya, saya kena diskors. Puas kamu?” Natasya membuang nafas pelan, “Ya lagian, siapa suruh berantem sama Irvan di rumah sakit. Kayak baru pertama jadi dokter aja.” “Kamu nyalahin saya?” “Bukan nyalahin, tapi mengingatkan, kenapa bisa-bisanya dokter berantem? Terus kalau sekarang dokter dapet hukuman, emang itu salah aku
Natasya merasa lega setelah mendapatkan hati mama kembali. Ia senang kalau Abian akan mendapatkan masalah dari perbuatannya sendiri. “Salah sendiri. Siapa suruh nuduh gue selalu milih Irvan? Dia tuh keterlaluan tahu gak! Harusnya di surat kontrak tertulis kalau pihak pertama gak bisa seenak jidat sama pihak kedua. Tapi gue puas, karena mama sekarang udah kembali ada dipihak gue.” Natasya berjalan menuju ruang operasi. Ia akan jadi asisten utama operasi kali ini. Menjelang ujian dan ia akan menjadi dokter bedah utama, ia menyibukkan diri di ruang operasi. “Dokter Farhan udah dateng?” tanyanya pada perawat. “Belum. Dia lagi ngobrol sama suami dokter.” “Dimana?” Natasya sedikit penasaran karena suami bayarannya ternyata masih ada disini. “Di depan. Dokter Abian dapat diskors selama tiga hari dari komisi disiplin, eh beliau malah nawar jadi satu minggu. Dokter Abian tuh aneh banget. Cuma dia yang berani nawar durasi diskors.” “Hah?” Natasya mematikan kran ketika melakukan as
Natasya yang masih keukeuh tidak mau pulang, memutuskan untuk tidur di ruang piket. Tak ada yang mau digantikan shift olehnya, membuatnya ia uring-uringan sendiri. Ia pikir, berdiam diri diruang piket akan membuatnya senang dan nyaman. Nyatanya justru stress. Ia sudah biasa bekerja keras bagai Kuda, sehingga tidak cocok mode bermalas-malasan bagai Koala. Pintu ruang piket terbuka dan tak tertutup lagi. “Tutup lagi pintunya!” seru Natasya kesal. Beberapa dokter residen yang sedang menghapal dan hanya main ponsel, langsung berdiri. Mereka tak bicara apapun karena diminta diam oleh si orang yang baru masuk itu. Natasya mendengus kesal, “Kan udah dibilangin, tutup pintunya!” Tak ada pergerakkan pintu ditutup atau jawaban. Natasya bangkit dari kasur lantai atas. Ia yang sudah siap mengamuk, langsung diam saat Abian menatapnya tanpa bicara, “Dok?” “Ayo pulang.” “Tapi—” “Kamu lagi gak jaga malam ‘kan?” Natasya menatap dokter residen yang memperhatikan percakapan merek
Pov Abian Abian mendekati mama yang sedang membuka kotak obat. Perawat sudah tak lagi menemani disini, karena mama merasa sudah lebih sehat dan bisa melakukan aktivitas seperti biasa. “Mau kemana, Bi?” “Aku—ada yang mau dibeli, ma, buat besok.” “Udah, besok aja. Atau kamu pesen online. Udah malem.” “Barangnya agak susah kalo beli online atau besok.” Mama melirik keseluruhan ekspresi anaknya, “Kamu mau beli apa sih?” “Hm..” ia menyentuh lehernya, “Anu, ma.” Mama menarik lengan Abian agar duduk, “Kamu bukan mau kabur ketemu Aca ‘kan?” “Aca? Mama apa sih, aku udah janji sama mama gak akan ketemu dia lagi. Aku ngaku salah kemarin. Aku gak akan mengulangi kesalahan yang sama.” “Mama bisa pegang omongan kamu ‘kan?” “Iya dong. Mama tahu aku.” Mama mendecek, “Karena mama tahu kamu, makannya mama gak langsung percaya.” Abian menggenggam tangan mama, “Ma, aku ambil cuti ke Bali untuk memperbaiki hubungan aku sama Natasya. Aku emang belum mencintainya, tapi aku berusah
Pov Abian Abian menurunkan tubuh Aca perlahan, “Mana mungkin aku ngelakuin itu sama Natasya. Aku udah bilang, kalau kita—gak pernah tidur satu ranjang.” “Tapi ucapan kamu menjurus ke sana, Bi. Kamu seolah cuma bisa ngelakuin itu sama dia.” Aca pura-pura ngambek. “Sayang, maksud aku itu kamu. Aku harus menikahi kamu dulu sebelum ngelakuin itu.” Aca mengelus pelan rahang Abian, “Tapi aku mau memberikannya secara suka rela, Bi, aku ikhlas.” “Ini bukan masalah ikhlas atau nggak. Aku punya adik perempuan, aku—mana mungkin ngerusak kamu? Aku juga gak mau kalo adikku—diperlakukan sama.” Aca mendelik, “Gak akan ada yang ngelakuin itu sama adik kamu, Bi.” Abian bangkit dari ranjang. Ia baru ingat, kalau sedang mencari tahu kenapa ada parfum lelaki disini, “Kenapa tadi kamu kaget waktu aku bilang mau kesini?” Aca berdiri. Ia menghentakkan kakinya, “Kamu tuh kenapa sih? Kamu curiga sama aku, iya?” “Aku cuma tanya. Kenapa sekarang kamu malah marah?” “Ya habis kamu aneh banget
Pesawat baru mendarat di bandara internasional i Gusti Ngurahrai, Bali. Natasya tak berhenti tersenyum dan tertawa saat matanya menangkap keindahan langit Bali yang biru terang. Ia cepat-cepat mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan momen, sekalian pamer pada sahabatnya, Vina, yang pasti kelelahan karena akan menjadi asisten dua operasi. “Cepet dong, Nat. Kasian jemputannya nunggu lama.” “Iya, dok, sabar dong.” Natasya menarik kopernya cepat, “Dok, kopernya dong, berat nih.” “Manja banget. Kamu disini gak usah menye-menye. Saya gak akan bantuin kamu sama sekali.” Natasya manyun, “Ih dokter, tega banget sih sama istrinya!” “Istri bayaran.” selak Abian cepat. Begitu bertemu pak Ketut sebagai supir jemputan, Abian nyelonong masuk ke dalam mobil, meninggalkan Natasya yang memberikan kopernya pada pak Ketut. “Dasar nyebelin! Awas ya, aku aduin mama loh!” “Masuk aja, gek (mbak), ini biar bli (bapak) yang bawa ke bagasi.” Natasya menaikkan bibir atasnya ketika melirik Abian
Sejak pagi setelah selesai shift, Natasya terus berada dekat dengan Abian. Ia tak mau jauh-jauh dari suaminya.“Gak ada yang ketinggalan?”“Gak, mas, aman. Yuk.” Natasya menggandeng lengan Abian.Jika tak memakai baju dinas, mereka terlihat seperti pekerja kantoran. Penampilan Abian yang mengikuti zaman dan Natasya yang mulai mengubah penampilan, membuat mereka jadi idola baru di kalangan dokter ko-as.“Mau beli sesuatu dulu gak sebelum pulang?” tanya Abian.“Gak ah, aku capek, mau tidur.”“Kalo aku order diterima gak?”Natasya menggebug lengan Abian, “Jangan kenceng-kenceng ngomongnya.”Abian berbisik, “Aku mau order, bisa gak?”Natasya tertawa. Ia mendorong tubuh Abian yang tertawa juga, “Nyebelin!”Vina yang melihat kemesraan mereka dari kejauhan tersenyum, “Natasya udah menemukan kebahagiannya. Artinya Alan udah gak punya celah untuk masuk lagi ke hati elo, Nat.”Di parkiran basement, Abian membuka kan pintu mobil untuk Natasya, “Silakan masuk, nyonya Abian.”“Mas, jan
Natasya berjalan buru-buru setelah melakukan visit ke ruang ICU dan bangsal menuju ruangan Abian. Ia lupa pada titah suami kontraknya dan malah ngobrol ngalor-ngidul dengan Arsya di telpon. Ceklek.“Mas, hehe, maaf ya lama.”“Satu jam lebih bukan telat lagi sih.”Natasya manyun, “Segini juga dateng. Aku sibuk tahu.”“Sibuk apa? Bukannya yang jaga malam banyak?”Natasya menjatuhkan dirinya di sofa, “Aduh enaknya.”Abian bangkit dari kursi kerja dan duduk disebelah Natasya. Ia mengendus bau istrinya.“Mas, apaan sih.” Natasya menggeser tubuhnya karena risih.“Aku mau.”Natasya melotot, “Mas, ini di rumah sakit!”“Kita bisa kunci ruangannya."“Nggak!”“Aku bayar.”“Nggak mau.” Natasya berdiri, “Kalo aku diminta kesini buat ini, aku pergi.”“Oke-oke, nggak akan. Aku cuma mau kamu disini. Aku butuh temen ngobrol.”Natasya kembali duduk di sofa.“Gak mau semakin deket duduknya?”Natasya menggeleng.“Aku disini sampe lusa loh.”Mendengar itu, Natasya menatap Abian lama.
Pov AbianHari ini Natasya mengikuti operasi bersama profesor Indra, sehingga yang jadi asisten poli adalah Vina. Sudah hampir seluruh pasien melakukan konsultasi. Ketika pasien terakhir belum masuk karena sedang pergi ke toilet, Abian jadi mengingat sesuatu yang ingin ditanyakan pada Vina.Di putar kursinya ke arah Vina. Suster Anna sedang berdiri di lawang pintu karena berbincang dengan perawat lain.“Vin?”“Iya, dok?”“Selesai praktek, kita bisa bicara?”“Bisa, dok. Soal—Natasya, ya?”Abian mengangguk, “Natasya gak akan selesai operasi secepatnya ‘kan?”“Kayaknya masih lama, dok. Pasiennya mengalami pelengketan serius, pasti butuh waktu lama.”“Oke, bagus.”“Pasien datang, dok.” seru suster Anna.Abian membaca hasil tes dengan wajah sangat serius, membuat pasien, suster Anna dan Vina jadi cemas.“Kenapa, dok?” tanya anak pasien, “Apa hasil tesnya—buruk?”Abian menatap pasien dan wali silih berganti, “Apa ibu sering mengalami serangan jantung?”“Saya baru datang dari
Abian menatap Aca penuh pengertian, “Kamu masuk. Biar Natasya jadi urusan aku.”“Oke, sayang.” Aca tersenyum sinis ke arah Natasya sebelum menutup pintu.Natasya pergi. Ia sungguh tak habis pikir suaminya tega membohonginya berkali-kali mengenai Aca.“Nat, tunggu.” Abian mengejar Natasya yang berjalan amat cepat.Natasya tak menggubris panggilan Abian.“Nat!” Abian menarik lengan Natasya, “Dengerin aku dulu, dong.”Natasya terpaksa membalikkan badan, “Dengerin apa? Berkali-kali, mas, kamu bohongin aku dan ketemu Aca diem-diem. Aku harus dengerin apa lagi?” “Aku cuma gak tega Aca luntang-lantung karena kasus kemarin.”“Itu salah dia. Siapa yang suruh dia pura-pura hamil, labrak aku dan hancurin karirnya sendiri?”“Nat, kamu gak punya hati? Aca gak pernah berniat begitu. Dia cuma—”“Bercanda?”Abian membuang nafas pelan, “Kamu aneh. Kamu gak mau melanjutkan pernikahan kita dan terus memilih Alan, tapi kamu cemburu sama Aca. Apa bener yang Ical bilang, kalo kamu mencintai dua
Tersisa dua hari lagi Abian bertugas di rumah sakit sebelum dipindahkan ke daerah. Natasya memakai waktu ini sebaik-baiknya untuk jadi istri sekaligus residen yang berbakti. “Ada lagi yang mau mas makan?” tanya Natasya ketika ia dan Abian baru bisa makan siang di malam hari, berdua di ruangan pribadi Abian.“Udah cukup. Ini aja banyak banget.”“Hehehe, aku lagi ngidam pengen semua ini.”“Kirain ngidam hamil.”Natasya melirik Abian sinis, “Jangan mulai deh.”“Nanti pulangnya gak bisa bareng. Aku ada perlu.”“Gak papa, aku juga ada perlu.”“Perlu apa?”“Jangan tanya, aku juga gak tanya mas ada urusan apa sama siapa.”Abian mendecek.Natasya menatap Abian, “Mas, nanti janji harus sering kesini. Aku juga janji bakal jengukin mas ke rumah sakit baru.”“Hm.”“Telinga dan jantung aku pasti akan kaget gak lagi mendengar bentakkan dan ucapan sarkasme mas.”“Kamu ini muji atau ngehina sih?”Drrrrt~Natasya merogoh ponselnya. Ia berhenti makan ketika membaca pesan yang entah di
Kedatangan Natasya dan Abian disambut hangat oleh perawat dan dokter yang sudah lebih dulu tiba di balroom hotel. Vina dan Irvan pun ada disana. Suasana sangat meriah dengan dekor yang dibuat sedemikian rupa. Namun yang tak ditemukan Natasya adalah tulisan ‘Farewell Party’ atau ‘Selamat Bertugas ditempat Baru’, seperti yang sering ia lihat di acara perpisahan dokter lain. Meski begitu ia berusaha menikmati acara.“Dokter Abian, selamat ya.” dokter bedah umum senior menyalami Abian, “Saya tahu semua akan terjadi. Berkat dokter Abian, rumah sakit kita kembali mendapat penghargaan.”“Saya hanya melakukan tugas, dok.”“Meski begitu kami para dokter bedah sangat berterima kasih karena mendapat sumbangan alat-alat terbaru dari pak Waluyo, semua berkat dokter Abian.”Rumah sakit mendapat sumbangan dari pak Waluyo? Natasya mengernyit. Jadi pak Waluyo sudah di operasi? Oleh siapa? Ia terlalu fokus pada masalah Aca, Haikal dan Alan, sehingga tak pernah punya waktu untuk menanyakan hal ini
“Kerja bagus. Terima kasih untuk semuanya.” tutur dokter Farhan pada semua staf operasi.Natasya jadi orang terkakhir yang keluar setelah membantu perawat membereskan ruang operasi.“Dok, gak papa, ini biar saya yang beresin.”“Gak papa, sus.”“Dokter Natasya lagi seneng itu, sus, biarin aja.” kata perawat lain.Natasya tersenyum, “Enggak kok, biasa aja.”“Dokter Natasya, saya turut senang dengan kabar baik soal dokter Abian.”Natasya berhenti menutup dus kain kasa, “Ada—kabar baik apa soal dokter Abian?”Perawat yang bicara itu disikut perawat lainnya, “Hehehehe, enggak, dok.”“Ada apa?” desak Natasya.“Gak papa, dok. Dokter istirahat aja. Dokter Natasya gak boleh kecapean.” Perawat mendorong tubuh Natasya keluar dari ruang bedah.Natasya membuka sarung tangan karet, “Aneh banget sih. Ada kabar baik apa emang soal mas Abian? Kok gue gak tahu?”Sebelum keluar dari ruang operasi, Natasya membersihkan tangannya. Ia akan segera ke poli untuk menemani suaminya praktek rawat ja
Ponsel Natasya bergetar pendek ketika ia sedang merapikan rekam medis pasien poli di ruang piket sambil menikmati makanan dari mama Vina di jam makan siang. Matanya tertutup ketika membaca pesan dari Abian. From : Dokter Abian Aku mau malam ini. Kalo kamu pulang lebih awal, jangan tidur dulu. Ada yang harus aku urus di rumah sakit Natasya tak membalas pesannya. Ia harus menyiapkan tameng agar Abian tak menanamkan benih dalam rahimnya. Dengan cepat ia memesan alat kontrasepsi untuk Abian, karena ia tidak akan sempat memasang alat kontrasepsi, apalagi kondisinya sedang tidak datang bulan. “Sebut aja ini—hadiah karena dia mau rotasi ke rumah sakit daerah.” Lama Natasya menunggu paketnya datang. Ia cemas sekali Abian memanggilnya untuk menemani visit. Natasya berjalan bolak-balik depan UGD menunggu ojek online mengantarkan pesannnya. Saat ia melirik ke jalan, sebuah motor yang flatnya sama seperti yang ia lihat di aplikasi, berhenti. “Mas Putra?” “Mbak Natasya?” “Iya.
Natasya melambaikan tangan pada Haikal yang mobil keluarganya keluar pelan dari pelataran rumah. Ternyata ia merasakan kehilangan juga ketika Haikal tak akan lagi tinggal disini.Abian merangkul mama dan Natasya, “Ical pasti sesekali kesini.”Mama mengangguk, “Mama masuk dulu.”Natasya menyeka air matanya.Abian tersenyum, “Ical gak akan ngelupain kita kok. Kalo kita ketemu di luar, kita bisa main sama dia.” “Mas, aku mau ngomong sesuatu.”Wajah Abian berubah cerah. Ia merasa akan mendapatkan kabar baik setelah Natasya tahu jika ia dan Aca tidak pernah melakukan apapun.Natasya menatap Abian, “Aku—gak mau pernikahan kita—berubah. Kita—pertahankan aja kontrak itu.”Mata Abian merah, senyumnya luntur, “Ke-kenapa?”“Aku mencintai Alan, dan akan terus begitu.”“Kamu—udah gak perawan.”Natasya tersenyum, “Terus kenapa?”“Emangnya Alan—bisa menerima?”“Bisa. Seperti yang aku bilang, Alan mencintai aku. Apapun yang terjadi sama aku—dia bisa menerimanya.”Abian tak menjawab.“