Selepas makan siang dengan Arsya membahas persidangan mama yang akan digelar sebentar lagi karena dituduh menggelapkan aset perusahaan keluarga Alan, Natasya kembali ke ruang ICU. Setelah kondisi pasien stabil, ia duduk di meja jaga membaca pesan dari seseorang yang jadi satu-satunya harapan untuk bisa berpisah dengan Abian.
“Nat, temenin makan yuk.” ajak Vina. Natasya menutup mulutnya saat membaca pesan itu, matanya juga berkaca-kaca. “Nat, kenapa?” Natasya menatap Vina, “Vin, ajak Irvan, gue mau ada yang di omongin sama kalian.” “Soal—apa?” tanya Vina waspada. “Rahasia besar gue dan mas Abian.” Sekarang Vina yang menutup mulutnya. “Buruan! Lo telpon Irvan, kita kumpul di markas. Gue mau angkat telpon dulu.” Natasya menaruh ponsel di telinganya, “Iya, halo, om? Nggak, kok, aku gak sibuk. Om apa kabar?” ia pergi menjauhi Vina yang masih melongo. “Om? Dia—telpon siapa?” Selesai shift, Vina dan Irvan langsung ke rooftop lantai tiga unVina pamit pulang setelah Natasya selesai bercerita. Ia tampak dingin dan tak seperti biasanya. Sedang Irvan yang tidak jaga malam, memilih tetap diam disini menemani Natasya.Natasya mengenadah, menatap langit yang menampilkan bulan sabit, “Untung gak hujan. Markas kita jadi kering.”“Sya?”“Hm?”Irvan mengganti posisinya menghadap Natasya, “Aku nyesel.”Natasya menatap Irvan, “Nyesel kenapa?”“Kenapa kamu gak bilang sama aku kalo—ada hal seperti ini? Istri sewaan.”Natasya tersenyum.“Sya, serius. Kalo aku tahu selain jadi pacar sewaan, kamu bisa jadi istri sewaan juga, aku yang akan teken itu lebih dulu dari siapapun, apalagi itu Abian.”“Kenapa?”“Karena aku sayang sama kamu.”Natasya kiceup, “Bukannya—udah nggak?”“Bohong kalo aku bisa buang rasa sayang itu cepet-cepet. Aku masih sayang sama kamu, Sya.”Natasya membuang nafas pelan.“Kamu gak menyayangi Abian, kamu bahkan benci sama dia. Tapi kamu bersedia ja
Natasya yang masih memeluk Vina sambil menangis, menghentikkan tangisnya ketika Abian datang membawa kopi. Sepertinya ia tidak tahu ada mereka disini. Vina melepaskan pelukkan begitu sahabatnya berhenti menangis. Ia menoleh, “Dokter Abian?” “Maaf kalau saya ganggu.” Abian membalikkan badan. “Dok.” Vina menyeka air matanya. Ia bangkit, “Saya mau pulang. Kalau dokter mau ngobrol sama Natasya, silakan.” Natasya menyeka air matanya. “Nat, gue balik ya?” Natasya mengangguk. Setelah Vina pergi, Abian duduk disamping Natasya. Ia menaruh gelas kopi dan memainkan jarinya, “Maaf kalau—masalah kita bikin kamu sesedih ini sampe bikin kamu nangis.” “Aku—nangisin mama, mas.” Abian menoleh, “Mama?” “Mama aku. Mama—di laporkan keluarga mantan suaminya karena tuduhan penggelapan aset perusahaan milik bersama. Mama akan menjalani persidangan minggu depan.” Natasya terpaksa berbohong. Tapi m
Pertemuan sudah terlaksana setengah jalan. Selama itu pula, Natasya terus waspada menanti hal apa yang akan terjadi. Ia terus melirik para reporter yang terus menerima telpon, entah dari siapa. Setiap keluar masuk tamu pun, ia memantaunya dengan baik.“Sebelum lanjut pada acara selanjutnya, kami memberikan waktu pada hadirin sekalian untuk coffee break. Silakan dinikmati suguhan yang sudah kami sediakan.” tutur MC acara.Suasana ballroom jadi ramai. Orang-orang berhambur keluar dari kursi kebangsaan mereka dan mendekati meja suguhan.“Kamu mau sesuatu? Aku ambilin.” Abian menawari.“Enggak, mas. Kamu aja.”“Aku mau tanyain kondisi pasien ICU dulu sama Tika.”“Iya, mas.”Abian memainkan ponselnya. Sedang Natasya masih bersiaga. Posisi duduknya yang membelakangi pintu, membuatnya harus menoleh. Ia melongo ketika mendapati kedatangan Aca yang mencari seseorang disana.Natasya mengguncang paha Abian, “Mas, Aca.” Abian melirik Natasya la
Natasya menandatangani absensi dengan wajah super mendung saat selesai jaga malam. Rasanya tak mau pulang setelah Aca dengan sombong mengklaim rumah mertuanya akan segera jadi miliknya. Mama memang terlihat tak terganggu sama sekali karena ulah Aca, ia hanya mengkhawatirkan kesehatan mama.Vina menyikut Natasya ketika sama-sama menandatangani absensi, “Ada om-om nyariin lo tuh di lobi.”“Gak kenal om-om gue.” jawab Natasya dengan nada malas.“Dih, serius. Namanya om Yudistira. Buruan.”“Salah orang kali.”“Nat, liat dulu aja orangnya, kalo salah orang ya lo tinggal pergi. Buruan, kasian tahu om-omnya kayak sakit gitu, soalnya pake tongkat.”Natasya menatap Vina. Sedetik kemudian ia berlari, “Vin tolong beresin tas gue. Makasiiiih.”“Kambuh lagi dia.”Natasya memencet lift beberapa kali sangking paniknya. Ia baru ingat kalau om Yudistira adalah papa Alan. Ia juga baru ingat sudah buat janji sedari malam.Saat lift tak kunjung terbuka
Natasya dan Abian keluar dari mobil saat mereka pulang dari jaga malam. Tak terlihat ada mobil lain, tapi ada tamu tak di undang yang tengah berdiri sombong di depan pintu.“Aduh ini mantan tuan rumah baru pulang.” Aca menggerakkan kakinya angkuh.“Aca? Ngapain kamu disini?” Abian tak bisa menahan diri bersikap lembut pada mantan kekasihnya.“Menurut kamu ngapain? Aku mau ambil rumah ini.”Abian tertawa, “Ambil rumah ini?”Aca melepaskan lipatan tangan dan mendekati Abian, “Bi, jangan lupa, kamu udah menandatangani surat alih aset itu sama aku.”“Tapi gak sama rumah ini!”“Ya sama rumah ini dong. Kamu gak baca baik-baik, ya? Aset yang dipindahin atas nama aku itu—semuanya, jadi aku harap kalian berkenan angkat kaki dari rumah ini, kecuali orang-orang yang kerja disini, karena aku gak mau repot cari pegawai baru.”Natasya melirik Abian yang terlihat akan melempar sesuatu. Ia menggenggam tangan suaminya, “Mas, tahan.”“Mana mungkin aku diem
“Mas, om-om tadi itu—”“Apa? Kamu mau bilang kalo kamu mau menggugat cerai aku dan nikah sama om-om tadi? Nat, dia udah tua meskipun terlihat masih tampan dan sehat. Kamu gak kasian sama diri kamu sendiri atau—papa? Usianya bahkan lebih tua dari papa.”“Mas, dengerin dulu dong, om-om tadi itu—”“Kenapa kamu bilang rahasia kita sama Vina dan Irvan? Lengkap sama uang lima ratus juta itu lagi. Kamu berniat mau pinjem uang sama mereka agar bisa bayar uang penalti dan gugat cerai aku? Iya?”Natasya menggeleng, “Dengerin aku dulu dong, mas.”“Dengerin apa lagi? Nat, kesalahan aku sama kamu emang besar, banyak, soal Aca ‘kan? Setelah apa yang terjadi, aku gak mungkin balikkan lagi sama dia.”Natasya tertawa, “Jadi kalo Aca gak main gila sama papa kamu, ada tempat buat dia di hati kamu? Gitu?” ia menarik lengannya kasar dari cengkraman Abian, “Aku selalu jadi nomor dua di hati kamu. Kesalahan apapun yang dibuat sama Aca, selalu kamu maafkan.”“Apa bedanya
Tiga hari kemudian...Di pagi yang tenang, saat Natasya masih harus berakting menjadi istri yang baik untuk Abian didepan mama, padahal saat berdua mereka hanya saling diam, pintu utama rumah di buka dengan kasar. Natasya, mama dan Abian yang sedang sarapan terpaksa ke depan rumah bersama para asisten rumah tangga.“Non, non Aca gak bisa masuk gitu aja.” cegah pak satpam dibantu dua supir rumah.Aca menatap mereka penuh intimidasi, “Mulai hari ini, saya adalah majikan kalian. Berani kalian melarang saya masuk pada rumah saya sendiri?”Semua pekerja rumah saling tatap.“Bukan begitu, tante Mira?” tanya Aca dengan senyuman menyebalkannya.Mama tersenyum, “Silakan masuk dan duduk, Aca.”Aca manggut-manggut, “Sekarang tante bisa sebut nama aku dengan baik?”“Bukannya harusnya begitu?”“Bagus kalo tante tahu caranya bersikap.” Aca melirik para pekerja, “Tolong bawa semua koper saya, sisanya ada di mobil. Bawa koper ke kamar utama.”Tidak
Natasya berlari mendekati Aca yang mengaduh kesakitan dan jongkok memegangi perutnya, “Ca, gue bantu. Kita ke rumah sakit sekarang.”Aca melirik Natasya.“Gue gak akan macem-macem. Gue udah di sumpah untuk tetap bantu orang picik kayak lo! Ayo bangun.”Karena tak tahan dengan sakit yang menjalari perutnya, Aca menurut. Ia masuk ke dalam mobil yang Abian siapkan.Di dalam mobil, Natasya terus memperhatikan wajah Aca, “Sabar ya, sebentar lagi kita sampe.”Aca tak menjawab apapun. Ia terlalu malu untuk bicara.Begitu sampai depan UGD, Natasya membuka pintu mobil, “Sus, tolong kursi roda!”Perawat berlari membawakan kursi roda.Natasya dan Abian membantu Aca duduk di kursi roda.“Sus, keluar darah dari vagina. Pasien sedang hamil muda.” Natasya memberi penjelasan singkat.“Baik, mbak, saya akan langsung bawa ke ponek.”Seperginya Aca, Natasya melirik Abian, “Kamu mau tunggu disini? Aku harus ke rumah sakit.”“Kamu pikir cuma k
Mama dan Abian membuang nafas kesal ketika tahu yang datang adalah papa. Sedang Natasya hanya mengeratkan tubuh Haikal pada tubuhnya karena takut terjadi pertengkaran antara papa dan mama.“Mau apa lagi kamu kesini?” tanya mama lugas.“Mira, maafkan aku. Setelah resmi bercerai, aku merasa—tidak bisa kehilanganmu. Aku yakin kamu dan Abian juga begitu. Apa tidak sebaiknya kita kembali?”Mama tertawa, “Kembali? Jangan mimpi kamu! Aku dan Abian sangat baik-baik saja setelah kita tidak lagi terikat pernikahan. Berani sekali kamu menginjakkan kaki di rumahku lagi. Pergi!”Papa bersimpuh di kaki mama, “Tolong berikan kesempatan kedua, Mir. Aku tidak punya apa-apa lagi sekarang.”Mama tertawa lagi, “Bukankah kamu punya perempuan itu? Tinggallah bersamanya dan jangan ganggu kami lagi!”“Mir, Aca menjual semua asetku tanpa diketahui. Kamu benar, dia memang perempuan ular. Aku mohon terima aku kembali.”Mama melirik Abian sebelum pergi, “Mama mau istirahat.”
Tujuh bulan kemudian... Natasya kesusah berjalan, ketika kehamilannya mencapai usia tiga puluh empat minggu. Ia sudah cuti sejak dua bulan lalu karena sempat keluar flek. Abian, mama mertua, papa-mama, serta Vina dan Irvan tentu sangat khawatir dan memintanya untuk cuti. Natasya setuju. Ia rela tak lulus tepat waktu asalkan anaknya baik-baik saja. “Mas, plis aku mau ikut ke rumah sakit.” Natasya mengejar Abian yang bolak-balik membawa laptop dan jurnal di ruang kerja. “Mending kamu istirahat deh, mau ngapain sih ke rumah sakit?” “Aku bosen tahu di rumah terus. Habis keliling poli bedah kardiotoraks aku pulang kok.” Abian tertawa, “Kamu pengen anak kita juga jadi bagian bedah kardiotoraks?” “Oh iya dong, dia harus ikutin jejak kita.” Natasya diam sejenak, “Enggak deh, mending dia ambil spesialis lain. Mas, ya, plisss. Aku gak akan capek-capek kok.” Abian membalikkan badan. Ia mengelus perut bulat
“Nat! Jangan dipukul-pukul! Nat!” Abian berusaha mengambil tangan Natasya yang terus memukul-mukuli perutnya. Pintu terbuka. Semua orang yang semula menunggu di luar ruangan, masuk karena mendengar suara pekikkan Natasya. “Nat?” Vina memanggil lirih. “Vin, tolong panggilin perawat!” Vina mengangguk. Ia berlari keluar ruangan untuk memanggil perawat jaga. Tak lama dua perawat masuk membuntut dibelakang tubuhnya. “Tenang, ya, bu. Yang lain boleh menunggu diluar.” Abian melepaskan pelukannya yang kencang pada tubuh Natasya. Ia terpaksa keluar karena tak mau mengganggu proses pemeriksaan. Setelah pintu ditutup, satu perawat menenangkan Natasya, dan yang lain menyuntikkan obat penenang dosis rendah yang aman untuk wanita hamil pada punggung tangannya. Perlahan, tubuh Natasya yang mengamuk mulai tenang. “Bu, tenang ya. Ibu sedang hamil muda. Stress sedikit pun akan mempengaruhi tumbuh kem
Tok-Tok-Tok“Sya? Papa mohon kita bicara dulu.” Papa mengernyit, “Kok sepi, ya?”Ceklek.“Sya!” papa melotot melihat Natasya pingsan, “Sya, bangun, Sya!”Papa menangis sambil merogoh ponsel di saku celana. Papa langsung menelpon seseorang, “Angkat Abian, angkat.”“Halo, pa?”“Bi, pulang ke rumah, Natasya pingsan.” kata papa dengan panik.“Iya, pa, saya kesana sekarang.”Papa mengangkat tubuh Natasya ke atas ranjang, “Ya ampun, Sya, kamu kenapa begini sih?”Tak lama Abian datang bersama Haikal yang masih bersamanya.“Nat?” Abian mendekati Natasya, “Kapan Natasya pingsan, pa?”“Papa gak tahu. Tadi pulang-pulang dia langsung masuk kamar. Papa gak tahu kenapa Natasya pingsan.”“Tadi Natasya sempet mual dan muntah karena aroma kari. Mungkin asam lambungnya kambuh. Kita bawa Natasya ke rumah sakit, pa.”***Natasya membuka matanya perlahan saat membaui bau obat yang kentara. Kepalanya bergerak ke kanan kiri mencari seseo
“Gimana mungkin aku percaya? Kamu ajak aku sama Ical kesini, dan tiba-tiba ada dia. Kamu pikir aku bisa nyangka semuanya kebetulan?”“Aca lewat depan resto dan gak sengaja liat aku. Begitu ‘kan, Ca?”Aca menatap Natasya, “Gue sama Abian janjian disini, Nat, seperti yang udah-udah. Lo mungkin pernah denger kalo restoran ini adalah tempat pertama kita ketemu. Gue—menyesali perbuatan kemarin dan berniat—”Abian melotot tak percaya pada ucapan Aca, "Ca! Kamu ngomong apa sih? Jelas-jelas kamu tadi bilang gak sengaja liat aku sama Ical ada disini.”.Natasya menggeleng, “Udah cukup, mas, kamu nyakitin aku! Keputusannya udah aku pikirin baik-baik. Aku mau kita pisah!” ia membawa tas tangan dan berjalan keluar dengan cepat.“Mami!” Haikal mengejar Natasya.“Nat, tunggu! Nat, semua gak seperti yang kamu pikirin. Tanya aja sama Ical, dia denger semuanya.” Abian berlari mengejar Natasya yang terus berjalan ke luar pelataran resto.Natasya menemukan taksi yang
Selesainya sesi foto dan pembagian hadiah, Natasya langsung memesan taksi online. Ia menatap baju kaos putih yang dikenakannya masih bersih. Matanya mengedar, melihat baju para orang tua dan wali lain—penuh dengan cat. Ia tak bisa mengikuti lomba karena saat baru menuangkan pewarna pada wadah, Abian harus mengangkat telpon dan mereka di diskualifikasi.Natasya membuang nafas berkali-kali saat sadar Haikal marah padanya dan Abian. Semua memang salahnya. Mungkin kalau ia tak membahas rahasia pernikahan kontrak itu, mereka masih bisa sama-sama dan pergi menagih traktiran dari Abian.TAP!Sebuah tangan menempel dibelakang baju Natasya, membuatnya refleks menoleh, “Ical?”Wajah Ical yang cemberut berubah ceria. Mulutnya tersenyum, menampilkan gigi rapinya berderes cantik, “Baju kita bersih, aku gak suka. Mami mau bikin kenang-kenangan gak di baju aku?”Natasya mengangguk.Haikal menuangkan cat warna dari botol pada telapak tangan Natasya, “Tempelin, mi,
Masih banyak perlombaan yang harus di ikuti, tapi Abian terus mendapat telpon darurat. Untungnya ia tak perlu ke rumah sakit, hanya perlu memantau kondisi pasien melalui via telpon.“Mas?” Abian menoleh.Natasya membawakan minuman yang dibagikan pihak sekolah, “Minum dulu.”“Makasih.”Mereka duduk di bawah pohon saat lomba masih berlangsung. Kini tengah di adakan lomba bakiak antar keluarga.“Ical gak ngambek karena kita di diskualifikasi dari lomba?”“Enggak kok. Temen-temennya juga banyak yang gak bisa ikut karena orang tuanya gak dateng.”Abian melirik Natasya, “Kamu seneng hari ini?”Natasya tersenyum, “Banget, mas. Lumayan lah kita menang di dua lomba.”“Pengennya pasti kamu menang di semua lomba.”Natasya melirik Abian dan mengangguk, “Oh iya dong, harusnya semua lomba. Hadiahnya ‘kan lumayan.”“Nanti aku yang akan kasih hadiah buat kamu dan Ical.”Senyum Natasya luntur, “Gak usah, mas, buat Ical aja.”Haik
“Ical kebagian lomba apa? Katanya orang tua atau walinya harus ikutan ya?” Natasya berusaha mengalihkan topik.“Banyak lombanya, mi. Semua anak harus ngikutin semua kegiatan sama orang tuanya. Mama papa aku gak bisa dateng. Untungnya kalian bisa. Makasih ya, mi, pi.”“Sama-sama, Cal.” Abian mengacak-acak rambut Haikal yang sudah tumbuh.“Ya udah kita ke lapang, mi, pi.”Haikal berlari lebih dulu ke tengah lapang. Sedang Abian menarik lengan Natasya yang baru akan melangkah.“Nat, untuk hari ini aja, kita lupain gencatan senjata yang ada di depan Ical.”“Iya, mas.”“Ya udah kita kesana.” Abian menuntun Natasya ke lapang.Sebelum memasuki lapang, panitia memberikan kaos putih berlengan pendek untuk dikenakan semua orang tua atau wali. Siswa sendiri sudah memakai baju itu sedari dari rumah.“Untuk orang tua wali langsung berbaris ya di barisan orang tua sesuai angkatan siswa. Kami sudah memberikan tanda disetiap sudut.” panitia memberikan ar
Natasya baru selesai jaga malam. Sudah tiga hari ia menginap di rumah papa dan tidur berdua dengan mama. Papa mengalah. Papa memilih menginap di rumah temannya karena tidak mungkin satu atap dengan mama meski ada anak mereka. “Balik kemana sekarang?” tanya Vina yang juga baru selesai jaga malam. “Gak balik gue.” Natasya sibuk menalikan sepatunya. “Jangan gila lo. Kita gak tidur semaleman karena bangsal lagi rame. Kita juga bolak-balik UGD terus.” “Gue mau ke suatu tempat.” “Kemana?” Natasya menutup pintu loker dan merapikan bajunya, “Ada aja. Gak mau bilang, takut lo ikut.” “Idih. Gue sibuk kali, mau ngurus bocah. Eh, lo—kapan kasih keputusan sama dokter Abian?” Natasya diam. Vina menyikut, “Jangan lama-lama. Kalo lo emang mau lepasin dia ya udah. Banyak residen tahun pertama yang antre tuh.” “Hah? Mereka gak tahu dia suami gue?!” Vina tertawa, “Lo tuh maruk amat