“Sebagai bagian dari keluarga ini, kalian harus bantu Olip. Jika kesulitan … bagaimana kalauIbu minta uang hasil hajatan kemarin dulu?”Mika tidak habis pikir dengan ucapan Bu Tuti, sampai-sampai akhirnya wanita itu tertawakecil.Keluarganya sungguh lucu! Kenapa baru sekarang Mika menyadarinya ya?Atau sebenarnya ia sudah sadar sejak dulu, tapi karena dirinya haus pengakuan dan kasihsayang, ia jadi pasrah-pasrah saja ditindas oleh mereka berkali-kali.“Bagaimana, Mika?” kejar Bu Tuti, tidak akan menyerah sebelum Mika menyanggupinya.“Kemarin tamu kamu banyak itu, bermobil juga kan beberapa? Pasti sumbangannya besar.”“Oh ya, aku juga mau pakai WO Kakak kemarin,” imbuh Olip tiba-tiba. Ia berpikir, iamemiliki celah karena tawa kakaknya. Toh, Mika selalu akan mengalah dan menuruti jika iasudah tantrum begini. “Kirimi nomornya, Kak.”Masih dengan senyum terkulum, Mika menoleh pada Noval, yang kemudian mengangguk.“Setelah ini, kita cari makan,” ucap pria itu kemudian dan
“Diam! Ini gara-gara mataharinya mulai tinggi, jadinya panas.”Alasan itulah yang digunakan Mika untuk menjelaskan wajahnya yang memerah. Lagian,kenapa tiba-tiba Noval menggandeng tangannya? Di sini kan tidak ada Olip maupun Ridwan!Aneh-aneh saja.Berkat kejadian tiba-tiba itu juga, Mika tidak banyak bicara selama mereka makan di warungdekat jalan raya. Sementara Noval yang memang sejak awal orang yang kaku dan pendiam,jelas tidak bisa memulai obrolan seperti yang dilakukan Mika biasanya.Baru ketika mereka selesai makan, Noval bertanya, “Mau pulang sekarang?”Mika menghela napas. “Mereka masih ribut soal pesta tidak ya,” gumamnya. “Aku malasbertemu Ridwan juga.”“Hm.” Noval memandang istri yang baru kemarin dinikahinya. “Cemburu? Masih sayang?”“Hus,” tukas Mika, langsung cemberut. “Kamu tidak dengar bagaimana dia menyombongkandiri? Mana mungkin aku masih ada perasaan pada pria seperti itu.”Itu benar. Sekalipun masih sakit hati karena dikhianati, Mika sama sekali
Mika dan Noval kembali ke rumah setengah tujuh setelah mereka mencari sarapan bersama. Baru memasuki rumah, mereka sudah mendapat ocehan Olip. "Kalian ini cari sarapan lama banget sih? Aku sudah lapar nih." Sudah dengan seragam kuliahnya, Olip berdiri di hadapan Noval dan Mika.Dia menatap tangan Mika dan Noval yang tidak membawa apa pun. "Mana makanannya?" tanya Olip bingung.Detik kemudian dia melotot dan menganga. "Kalian tidak membelikan kami makanan?" tanya Olip dengan suara meninggi.Bu Tuti yang ada di belakang pun langsung keluar. "Ada apa sih, Lip? tanya Bu Tuti."Ini, Bu. Mereka tidak membelikan makanan untuk kita." Olip menunjuk ke arah Mika dan Noval.Bu Tuti melotot. "Astaga. Kami sudah menungu dari tadi.""Kalian tidak bilang kalau mau nitip," ujar Mika dengan ekspresi polosnya.Bu Tuti dan Olip sama-sama mendelik. "Kalian, kan tadi pergi beli sarapan? Kalian tidak membelikan kami juga?""Saya tidak pernah merasa mengatakan kalau akan membelikan kalian makanan." Noval be
"Kamu---" Olip yang merasa tidak terima pun bangkit dan hampir berteriak pada Noval. "Sudah-sudah. Kita sedang makan," ujar Pak Purnomo. Dia menatap Noval. "Kamu juga Noval. Kenapa harus menjawab seorang perempuan." "Iya nih. Laki-laki kok berdebat sama perempuan. Memalukan." Ridwan ikut mencemooh Noval. Noval masih tetap sama pada ekspresinya. "Lebih memalukan mana? Laki-laki yang membalas perkataan perempuan yang memang kata-katanya perlu dibalas, atau laki-laki yang kuliahnya dibiayai pacarnya tapi sampai saat ini belum bayar uang itu padahal mereka sudah tidak memiliki hubungan lagi," ujar Noval panjang lebar. Sontak saja perkataan Noval membuat Ridwan tersedak makanan. Olip yang melihat itu langsung memukul punggung Ridwan setelah memberikan minuman. "Hati-hati kalau makan, Kak." Dia menatap tidak suka ke arah Noval. Sedangkan Pak Purnomo dan Bu Tuti mendelik karena ucapan itu. Keduanya bukan orang bodoh yang tak paham dengan kalimat yang diucapkan oleh Noval. Nov
"Paket!" teriak seorang pria di depan rumah Mika. Sebuah kotak berada di tangan.Olip dan Bu Tuti yang kebetulan ada di rumah mendengar itu. "Lip. Paketmu itu." Bu Tuti berujar, tangannya tengah sibuk mengganti chanel tivi.Olip yang tengah asyik bermain dengan ponselnya menjawab tanpa mengalihkan pandangan. "Bukan paket punya Olip," ujarnya."Paket!" teriakan itu kembali terdengar."Udah sana lihat dulu." Bu Tuti memaksa.Olip mendengus. Dia merasa kesal waktu santainya diganggu. Namun, dia akhirnya bangun juga lalu keluar melihat tukang paket yang datang. "Paket siapa, Pak?" tanya Olip dengan malas."Dengan Mas Noval, Mbak." Pria itu menyebut nama Noval.Tatapan Olip memicing. "Sudah bayar Belum?" tanyanya kemudian. Tentu saja dia tidak mau membayarkannya lebih dulu. Iya kalau Noval mau mengganti. Kalau tidak, dia yang rugi.Pria itu kembali mengangguk. "Sudah, Mbak." Dia memberikan paket itu pada Olip.Olip menerimanya. Dia menatap kepergian sang kurir dengan kening mengerut. Pasal
Mika yang melihat itu melotot seketika. "Olip. Apa yang kamu lakukan!" Sedangkan yang diteriaki hanya tertawa saja. Noval sendiri menatap ponsel yang sudah tak berbentuk di bawah sana dengan terpaku. Kemarahan pria itu semakin memuncak melihat semua ini. Dia pun segera mengalihkan pandangan ke arah Olip dengan tajam. "Ganti ponsel itu," ujarnya dengan menunjuk ke arah ponsel yang berserakan di bawah "Kalau aku tidak mau ganti bagaimana?" tanya Olip dengan mengangkat dagunya. Dia benar-benar menantang seorang Noval. "Ganti atau aku akan melaporkan kamu ke kantor polisi?" tanya Noval. Olip malah semakin mengencangkan tawanya. "Uh ... takut. Nggak mau." Dia berujar dengan penuh penekanan dan gelengan kepala pelan. Tiba-tiba saja semua orang yang ada di sana dibuat melotot dengan apa yang dilakukan oleh Noval. Semuanya terjadi begitu cepat. Tanpa aba-aba pria itu bergerak dengan tangan kanan yang meraih gunting di atas meja dan tangan kiri yang menarik kerah pakaian Olip secar
23. ***Noval terbangun ketika mendengar suara kokok ayam. Dia membuka mata dan melihat Mika yang sedang mencepol rambutnya asal. "Mau ke mana kamu?" tanya Noval."Mau masak," jawab Mika."Ngapain? Kita beli saja sudah," ujar Noval kemudian."Udahlah. Mau sampai kapan kita beli?" tanya Mika yang masih sibuk dengan rambutnya. Detik kemudian dia menoleh ke arah Noval. "Memangnya kamu nggak mau makan masakan aku?"Noval mengalihkan pandangan lalu membuka selimut yang menutupi kakinya. "Terserah kamu saja." Pria itu lebih dulu keluar dari kamar dan mendapati Pak Purnomo yang sudah menikmati kopi di ruang tamu.Noval memilih untuk mencuci mukanya lebih dulu. Ketika selesai, dia sudah mendapati Mika yang berkutat di dapur bersama Bu Tuti. Akan tetapi, dia tidak melihat keberadaan Olip di sana.Ridwan melanjutkan langkah dan seperti biasa dia menemukan Olip sedang bersantai sembari bermain ponsel. "Bukankah kau mengat
Sejak melihat Mika yang tampak berbeda tadi pagi, hari Ridwan dalam mengajar terasa tidak tenang, dia tidak bisa fokus. Pria itu terus saja memikirkan mengenai mantan kekasihnya yang terlihat semakin cantik dan glowing setelah menikah."Kenapa bisa begitu?" tanya Ridwan dengan berbisik. "Kok bisa Mika jadi cantik?" Ridwan masih merasa heran."Kenapa dia cantiknya setelah menikah? Dulu, kan nggak gitu. Sederhana banget lagi." Dia bertanya lagi."Pak. Pak Ridwan." Ridwan tersentak. Dia menggeleng pelan lalu tersadar dari lamunan. Di depannya terlihat salah satu muridnya yang menatap dia bingung."Pak Ridwan nggak papa?" tanya seorang pemuda berkaca mata.Ridwan menggeleng. "Tidak. Tidak apa-apa." Dia merutuki diri. "Ada apa!" tanyanya kemudian."Ini, Pak. Saya mau ngasih tugas saya ke Bapak," ujar murid Ridwan sembari mengulurkan buku pada Ridwan.Ridwan menunduk menatap buku yang diulurkan padanya. Dia mene
Setelah menutup panggilan telepon dari ibunya beberapa menit lalu, itu membuat Olip termenung. Perempuan itu berpikir cukup lama dengan acara syukuran di rumah baru Mika."Datang nggak ya?" tanyanya pada diri sendri. Tentu kita tahu apa yang dikatakan oleh Olip pada ibunya tadi di telepon kalau dia tidak mau datang ke acara itu.Ya. Kita tahu kalau Olip semakin merasa kesal dengan apa yang dicapai oleh kakanya, apalagi kelakuan Ridwan akhir-akhir ini yang memperlihatkan seperti dirinya tida ada artinya lagi untuk Ridwan.Olip menggigit bibir bawahnya dengan ekspresi gelisah. Dia menunduk melihat perutnya yang rata. Dia mengelusnya pelan dengan ekspresi sedih."Pasti di sana sekarang banyak makanan. Pasti banyak yang enak-enak juga." Olip membayangkan makanan yang kini ada di rumah Mika. Ayam, daging, sayur, buah dan juga jajanan. Belum lagi kue-kuenya."Apa aku ke sana saja, ya? Sudah lama banget nggak makan enak. Udah berapa hari ini makanya cuma emi," ujarnya sekali lagi. Dia masih
Keluarga Noval dan juga neneknya Mika saling mengobrol bersama di sebuah ruangan yang terpisah dengan tempat acara syukuran berjalan. Kedua keluarga berkenan dan bercerita mengenai kilas balik.Mika dan Noval memasuki ruangan. "Maaf, ya. Kami baru bisa menemani," ujar Mika merasa bersalah."Tidak apa. Namanya juga lagi punya hajatan. Pasti sibuk ngurusin para tamu." Nenek Saseka berujar dengan senyuman.Nyonya Maysa tersenyum. Dia menepuk punggung tangan Mika. "Semoga di rumah baru ini hubungan kalian semakin erat," ujarnya mendoakan yang terbaik."Dan yang pasti, semoga kalian segera mendapat momongan," lanjutnya dengan senyuman mengembang.Noval yang mendengar itu langsung menatap papanya di mana sang papa hanya memberikan senyum miring di sana."Benar tidak Nyonya Saseka?" tanya Nyonya Maysa pada nenek Mika."Betul itu. Saya juga pengen segera dapat cicit dari Mika. Saya sudah tua. Harus cepet. Takutnya keburu diambil sama yang maha kuasa." Nyonya Saseka berujar.Mika yang mendenga
Bu Tuti yang kepikiran mengenai Olip setelah mendapat pertanyaan dari beberapa tetangganya tadi gegas menuju tempat paling belakang agar tida diketahui orang. Tidak. Dia bukannya ingin berbuat curang. Dia hanya ingin mencoba menghubungi Olip karena merasa heran putrinya itu bum datang juga. Padahal, dia sudah memberitahu mengenai acara ini."Jangan-jangan dia beneran tidak mau datang lagi. Kemarin, kan dia bilang gitu." Bu Tuti mulai berkutat dengan ponsel miliknya, mencari nomor milik Olip dan mencoba untuk menghubunginya.Panggilan pertama tidak mendapat jawaban meski dia tahu kalau nomor Olip aktif. Hingga percobaan ketempat, dia pun akhirnya bisa mendengar suata Olip. Bu Tuti terlihat lega akan hal itu."Olip. Kamu ini ke man aja sih? Dihubungi dari tadi coba," ujar Bu Tuti yang langsung mengomel. Padahal beberapa saat lalu dia terlihat khawatir."Maaf, Bu. Tadi Olip dari kamar mandi. Ibu tahu sendiri kalau kamar mandi di kontrakan ini harus antre." Olip berujar dari seberang sana
Acara syukuran rumah Mika berlangsung. Jika siang ini diperuntukan untuk para ibu-ibu, naka di acara malam nanti akan diperuntukan untuk para bapak-bapak. Biar tidak tercampur begitu. Terlihat Bu Tuti yang tampak sibuk dan juga kerepotan karena perempuan itu memang diserahi tugas untuk mengatur makanan oleh Mika. Bukan karena semangat, tetapi diahanya tidak ingin kalau acara ini apan memiliki masalah pada makanannya karena itu akan menjadi hal yang tidak baik nantinya. Para tamu sudah datang. Mereka mulai pengajian dengan seseorang yang memimpin. Namun, kita tahu kalau seperti ini pasti ada saja beberapa orang yang tidak fokus. "Bu Tuti tumben giat gitu bantuin Mika." Ya. Beberapa ibu-ibu malah salfok sama keberadaan Bu Tuti yang terlihat sangat sibuk mengatur menu yang ada di acara syukuran ini. "Iya. Dia seperti paling sibuk ngatur menu sejak tadi." 'Tumben. Kan ini acaranya Mika." "Memang kenapa kalau acaranya Mika?" tanya salah satu ibu-ibu yang sejak tadi mendengar pembicar
Olip meringkuk ketakutan. Dia menunduk sembari menangis, sesekali melirik ke arah keberadaan suaminya dengan tubuh bergetar. Bagamana tidak? Ridwan yang biasanya akan selalu menurutmu kemauannya, selalu mengalah kikadia marah, kini berubah seratus delapan pukul derajat. Bahkan kini Olip sangat ketakutan melihat suaminya itu. "Enak?" tanya Ridwan dengan senyum miring. Pria itu pun bangkit lalu mengenakan pakaianya secara cepat semampu melirik sinis ke arah Olip. Terlihat ekspresi penuh kepuasan di wajah pria itu. Setelah mengenakan pakaiannya dengan lengkap, dia pun mendekati Olip. Hal itu membuat Olip kembali merasakan takut. Dia menarik tubuhnya untuk semakin merapat ke dinding yang ada di belakangnya. Sedikit gerakan saja dia sudah berdesis. Olip merasakan kesakitan di sekujur tubuhnya karena mendapat penyiksaan dari Ridwan. Yang paling parah adalah bagian intinya karena Ridwan sudah menggangg*hinya secara brutal dan kasar. "Jangan," bisik Olip. Ridwan pun hanya terkekeh. Tak
Ridwan merasa marah dan kesal dengan insiden yang terjadi padanya di warung kopi tadi. Niat hati bertemu teman lama yang dulunya sama-sama bekerja mejadi guru, dia malah dipermalukan oleh ibu mertuanya. "Sial*n! Kurang ajar sekali orang tua itu. Berani-beraninya dia mempermalukan aku di tempat umum," ujar Ridwan yang terus menggerutu sepanjang perjalanan tadi. "Mana pukulannya sakit semua lagi?" Dia masih di atas motor menuju kontrakannya. Sesekali Ridwan melihat lengannya yang tadi juga terkena pukulan dari Bu Tuti. Terlihat beberapa ruam di sana akibat cubitan juga. Tiba-tiba pandangannya menajam lurus ke arah depan. Giginya bergemerut satu sama lain menandakan amarah pria itu. "Olip" Dia mengucapkan nama istrinya dengan suara menggeram. Kilat emosi terpancar di sorot matanya. Entah seberapa marah pria itu saat ini. "Awas saja kau Olip. Kau sudah membuat aku dipermalukan oleh ibumu di tempat umum. Tungu saja pembalasanku," ujarnya kemudian. Meski sejak dipukuli tadi dia terus
Tepat ketika mobil sampai di rumahnya Bu Tuti langsung turun dan berjalan cepat memasuki rumahnya."Ada apa, Bu?" tanya Pak Purnomo yang melihat istrinya baru datang. Namun, ekspresinya membuat dia bertanya-tanya.Bu Tuti hanya menoleh sekilas pada suaminya lalu kembali membuang muka dan melanjutkan langkah untuk memasuki rumah. Dia kembali merasa kesal pada sang suami kala mengingat kalau suaminy itu duku tidk mau membela Olip ketika mendapat perlakuan tidak baik dari Ridwan.Pak Purnomo semakin merasa bingung dengan keadaan istrinya. "Ada apa sih? Ditanya bukannya jawab malah nyelonong aja." Dia menggeleng pelan sembari berkacak pinggang.Pak Purnomo berniat duduk kembali ketika pandangannya menangkap keberadaan Bu Ane yang sedang menurunkan belanjaan dibantu sopir Mika.Dia pun mengurungkan niatnya untuk duduk dan memilih untuk membantu Bu Ane. "Banyak sekali belanjaannya, Bu?" tanya Oak Purnomo uang terkejut melihat isi bagasi mobil itu.Bu Ane mengangguk. "Iya, Pak. Ini saja belu
"Dasar laki-laki tidak tahu diri. Tidak berguna. Bisanya hanya menyusahkan saja. Laki-laki macam apa kamu. Tidak bertanggung jawab. Pria macam apa kamu? Sukanya main tangan. Kurang ajar!" Bu Tuti terus menyerocos tiada henti untuk meluapkan kekesalannya. Tak lupa tangannya yang terus bergerak memukuli Ridwan."Berani-beraninya kamu, ya. Berani-beraninya kamu menampar putriku. Kurang ajar kamu. Laki-laki kurang ajar kamu," ujar Bu Tuti dengan terus memukuli pundak Ridwan."Apa sih, Bu?" tanya Ridwan yang mencoba menghindari pukulan Bu Tuti. Namun, ibu mertuanya itu terus saja memukulinya."Apa sih, Bu. Apa sih, Bu. Jangan pura-pura kamu. Laki-laki tidak tahu malu. Beraninya main tangan sama perempuan. Kamu laki-laki apa banc*?" Bu Tuti terus memberikan pukulan pada Ridwan.Ridwan yang terkejut akan kedatangan Bu Tuti dan segala tingkah lakunya kini mulai merasa kesal. Dia pun segera menepis tangan ibu mertuanya itu."Apa-apaan sih, Bu? Bikin malu aja," ujar Ridwan. Dia menatap ke seki
"Ke mana sih si Ridwan ini? Udah beberapa hari kok nggak datang. Biasanya datang cari makanan?" tanya Bu Lestari yang merasa bingung karena tidak melihat Ridwan datang beberapa hari ini."Kan mau ada yang aku tanyakan," ujarnya sekali lagi. Dia bahkan mondar-mandir di ruang tamu sembari menggigit jarinya.Suara motor terdengar mendekat. Bu Lestari tahu itu suara motor siapa. "Itu suara motor Ridwan," ujarnya semangat.Bu Lestari pun dengan bersemangat langsung keluar dari rumah. Dia tersenyum melihat putranya memarkirkan motornya."Kamu ini ke mana aja sih, Wan? Kok dua hari ini nggak ke sini?" tanya Bu Lestari.Ridwan yang mendengar perkataan ibunya pun mengerutkan keningnya, merasa heran dengan ibunya. "Ada apa memang, Bu?" tanyanya kemudian."Ada yang mau ibu tanyain," ujar Bu Lestari. Dia langsung meraih tangan Ridwan dan menariknya memasuki rumah dan mengajaknya duduk."Ibu mau tanya," ujar Bu Lestari kemudian.Ridwan berdecak. "Nanti aja deh, Bu. Ridwan laper nih. Pengen makan,"