Perlahan Bianca kembali sadar. Di samping ranjang yang ia tiduri ada seorang lelaki yang menatap dirinya dengan tajam.
Insting Bianca masih setajam saat dirinya menjadi permaisuri Jia li. Jadi begitu ia sadar, ia langsung memandang lelaki tersebut tak kalah tajam darinya. Hal itu membuat sang lelaki terkejut. Sebab tatapan itu belum pernah ia terima sebelumnya. Bianca biasanya memandangnya dengan tatapan mendamba dan penuh cinta. "Ada apa?" tanya Bianca datar. Dia tahu jika lelaki itu suami pemilik tubuh. Ia akui jika wajah lelaki itu tampan. Tapi cintanya pada kaisar Anming sangat tulus. Tidak mudah baginya untuk menjalin kasih lagi. "Aku ingatkan sekali lagi. Kamu bukanlah istri yang aku inginkan. Jika bukan karenamu... aku sudah menikah dengan kekasihku. Jadi jangan harap aku bersikap baik denganmu, " ucap Adrian dengan arogan. "..." "Kamu punya telinga kan!" bentak Adrian dengan suara yang agak tinggi. Entah kenapa dia merasa kesal diacuhkan oleh Bianca. Rasanya ada yang sakit di uluh hatinya. Bianca menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Lagian dia bukan lagi Bianca yang ia nikahi. Malahan ia berbahagia mendengarnya. Ia tidak perlu berpura-pura untuk mencintai Adrian seperti yang dilakukan oleh Bianca yang asli. "Ha? " Adrian merasa kaget dengan reaksi Bianca Padahal dia sudah bersiap jika Bianca mendebatnya. "Jangan pernah mengganggu Alisha. Jika tidak _" "Haus," ucap Bianca memotong ucapannya. "Aku belum selesai ngomong ,kamu _" "Haus..." Bianca tidak berbohong dengan ucapannya . Kerongkongannya terasa kering. Adrian mencoba mereda kemarahannya. Dengan kaku ia mengambil gelas yang berisi air dan memberikannya pada Bianca. Jika berpikir Adrian akan memberikan gelas pada Bianca maka salah besar . Bukan gelasnya yang ia berikan, namun air yang berada didalam gelas, ia tumpahkan di wajahnya. Byur! "Mau minum? ha ha ha ambil sendiri!" ucap Adrian sambil berdiri. Bianca tidak menyangka jika Adrian akan bersikap seperti itu. Apalagi tanpa rasa bersalah lelaki itu langsung keluar begitu saja. Jika itu Bianca yang sebelumnya pasti dia sudah mengumpat dengan kasar. Namun dia merupakan permaisuri Jia li. Pantang baginya untuk bersikap seperti itu. Bianca duduk dan mengusap wajahnya yang basah dengan selimut yang ia pakai. Kemudian melepas jarum infus yang menempel di tangannya. Rangga yang tak lain asisten dari Adrian merasa terkejut dengan tindakan Bianca. Dia yang baru saja masuk langsung berlari kearahnya. "Apa yang nona lakukan?" tanya Rangga dengan panik. "Aku ingin pulang," jawab Bianca dengan santai. Dia mengenal Rangga dari ingatan si pemilik tubuh. Menurutnya Rangga sudah seperti Jeung yang merupakan pengawal pribadi kaisar Anming. Hal itu membuatnya teringat dengan mendiang suaminya. Rangga yang sedari tadi memperhatikan Bianca merasa kaget dengan perubahan ekspresinya yang cukup cepat. "Tapi nona _" "Apa kamu bisa mengantar ku pulang?" pinta Bianca dengan sendu. "..." Rangga bingung menjawabnya. Sebab dia hanya ditugaskan untuk menjaga selama masa perawatan di rumah sakit. Bianca merupakan istri yang tidak diharapkan oleh Adrian. Dia merupakan putri dari sahabat papa Adrian. Kedua orang tua Bianca meninggal setelah mengalami kecelakaan. Sebelum meninggal papa Bianca meminta Abraham yang tak lain papa Adrian untuk menjaganya. Untuk itulah Abraham menikahkan Adrian dengannya. Sebelum pernikahan dilaksanakan, Bianca sudah tinggal bersama keluarga Adrian. Entah kenapa dia sangat protektif dengan Adrian. Sebelumnya Adrian sudah mentolelir segala tindakannya. Namun Adrian tidak akan tinggal diam saja jika sang kekasih yang diganggu. Meskipun Bianca sudah menjadi istrinya namun Alisha tetap kekasih tercintanya. Mau tidak mau Rangga menelpon Adrian. Namun sayang nomernya sedang tidak bisa dihubungi. Jadi dia bingung apa yang harus ia lakukan. Bianca berjalan menghampiri Rangga yang masih sibuk dengan ponsel ditangannya. "Mau mengantarkan aku tidak?" "Nona bisa tidak... sekali saja tidak membuat keributan! " bentak Rangga tidak sengaja. Ia yang sedang bingung tidak bisa mengontrol emosinya. "Apa maksud ucapanmu Rangga?" ucap seseorang yang baru saja masuk kedalam ruangan itu. Seorang pria paruh baya datang dengan raut wajah yang tegas. Dia merupakan Abraham yang tak lain ayah dari Adrian. Wajah Rangga langsung pucat pasi. Dia harus siap merasakan kemarahan tuan besar. "Maafkan saya tuan besar," ucap Rangga sambil menunduk. "Pergilah! "Tapi tuan saya_" "Pergilah!" "Baik tuan." Dengan terpaksa Rangga keluar dari ruangan tersebut. Meninggalkan Bianca dan juga Abraham. "Bagaimana keadaanmu? Maafkan papa yang tidak bisa melindungimu," ucap lelaki paruh baya itu dengan penuh sesal. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menjaga amanat mendiang sahabatnya. Karena keputusannya yang gegabah membuat hidup Bianca jadi seperti ini. "Papa sudah tahu kan yang terjadi?" "Maafkan papa. Tapi papa yakin lambat laun Adrian akan menyukaimu. Tolong bersabarlah sedikit lagi, " pinta tuan Abraham. "Kalau boleh saya tahu...apa yang membuat Papa menikahkan saya dengan Adrian?" "Papa berjanji kepada papamu untuk melindungi dan membahagiakan mu." "Apa dengan saya menikah dengan Adrian kebahagian akan menghampiriku?" Deg! "Saya akui bahwa aku mencintainya bahkan dengan tidak tahu menempel padanya. Saya berharap Adrian bisa menerima cinta saya. Tapi..dimalam pertama yang seharusnya sepasang suami istri menghabiskan waktu berdua. Tapi apakah papa tahu? putra kesayangan papa lebih suka menghabiskan malam pertamanya dengan kekasihnya, " ucap Bianca mengungkapkan unek-uneknya. "Pasti papa tahu kan penyebab keberadaan ku disini?" Bianca mengungkap semua unek-unek yang ada dalam benak Bianca yang asli. Dia tidak membiarkan Abraham untuk menyela. "Apa menurut papa, Adrian akan menurut begitu saja saat papa menyuruhnya untuk menerima pernikahan kami?" "Tolong...jangan paksa kami untuk menerima pernikahan ini lagi. Saya tidak ingin lagi melanjutkan pernikahan," pinta Bianca dengan wajah menghiba. "Tapi aku sudah berjanji untuk membahagiakanmu." "Banyak hal yang bisa membuat saya bahagia. Tidak harus hidup dengan orang yang tidak mengharapkan kehadiran saya sama sekali." "Tapi kalian sudah menikah." "Pernikahan apa yang akan kami jalani nanti? disaat Adrian sendiri masih berhubungan dengan kekasihnya. Bahkan ia lebih memilih kekasihnya dari pada saya istrinya. " Abraham terdiam. Ucapan Biancabenar-benar membuatnya tertohok. "Kalau begitu apa yang kamu inginkan?" "Saya ini kembali ke rumah mendiang orang tua saya. Tolong penuhi keinginan saya." Abraham merasa dilema. Disatu sisi dia ingin tetap Bianca tinggal di rumahnya. Disisi lain dia juga tidak tega melihat wajah melas Bianca.. "Baiklah. Papa akan mengantar mu pulang kesana," ucap Abraham yang akhirnya menyerah dengan keputusannya. "Terimakasih, Pak," ucap Bianca dengan tulus. "Bagaimana dengan pernikahan kalian?" "Entahlah. Jika Adrian menginginkan pernikahan ini maka tidak ada perpisahan. Namun seandainya dia ingin menikah dengan kekasihnya...tolong suruh ia urus perceraian kami." "Tenang saja. Akan aku pastikan kalian tidak akan pernah bercerai." "Maafkan saya Pa. Tapi saya pinta tolong untuk kali ini saja biarkan Adrian dengan pilihannya. Sebab jika dengan terpaksa maka kami tidak akan pernah bahagia." Deg! Abraham merasa tertampar ucapan Bianca. Dia memang berencana untuk memaksa Adrian menerima pernikahannya. Sekarang ia sadar bahwa apa yang diucapkan Bianca ada benarnya. Seandainya sejak awal ia tidak memaksa mereka untuk menikah, maka kejadian semalam tidak akan pernah terjadi. "Baiklah, tapi tidak mungkin mengurus perceraian sekarang. Paling tidak tunggu sampai usia pernikahan kalian enam bulan atau satu tahun." "Terserah... asal saya tetap tinggal di rumah orang tua saya. " Abraham menyetujuinya.Kemudian Abraham menyelesaikan semua administrasi sebelum pulang. "Ayo pulang, " ajak tuan Abraham setelah administrasi selesai di urus. Bianca mengangguk. Dia mengikuti tuan Abraham keluar dari ruangan yang ia tempati. Bianca memperhatikan kondisi sekitar sambil berjalan. Bianca dan Abraham menunggu sopir di depan lobi. Mata Bianca tidak henti berbinar melihat kemewahan rumah sakit itu. Andai di kerajaannya dulu seperti itu. Saat sopir menghentikan mobilnya di depan Bianca, dia merasa terkejut. Benda apa yang berhenti di depannya. Namun dari ingatan si pemilik asli membuatnya mengetahui benda apa itu. "Silahkan, Nona," ucap sang sopir sambil membukakan pintu belakang mobil. "Terimakasih pak." Sopir itu tersenyum mendengar keramahan Bianca. Setelah itu membukakan pintu untuk Abraham. "Silahkan, Tuan." "Hemm." Setelah Abraham masuk, sang sopir berlari ke bangku kemudi. Kemudian menyalakan mobilnya sebelum melaju dengan kecepatan sedang. Suasana mobil cukup sunyi. Tidak ada yang berbicara sama sekali. Bianca tidak melepaskan pandangannya dari pemandangan di luar mobil. "Ternyata kendaraan di zaman ini sangat maju," gunanya Bianca tanpa mengalihkan pandangannya.Mobil yang dinaiki Bianca dan tuan Abrahamkini sudah berada di depan rumah mendiang orang tua Bianca. Rumahnya nampak kotor. Sebab lebih dari sebulan rumah itu tidak ada yang menempati. "Apa kamu yakin akan tinggal disini?" tanya Abraham kepada sang menantu. Dia masih tidak rela jika Bianca harus kembali ke rumahnya. "Yakin Pa." "Bagaimana kalau rumahnya dibersihkan dulu saja. Setelah bersih barulah kamu kembali kesini, " bujuk tuan Abraham dengan lembut. "Terimakasih. Tapi biar Bia yang membersihkan sendiri, " tolak Bianca tak kalah lembut. Abraham pun tidak lagi memaksa. Dia membiarkan Bianca keluar dari dalam mobil. Sedangkan tuan Abraham masih tetap di dalam mobil. "Maafkan Papa tidak bisa ikut turun. Papa harus segera berangkat ke kantorkantor, " ucap tuan Abraham setelah Bianca sudah keluar dari mobil. "Tidak masalah Pa. Terima kasih sudah mengantar Bia sampai rumah dengan selamat. " "Sama-sama. Kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi Papa." Bianca mengangguk
Adrian menghidupkan ponselnya yang baru saja terisi daya. Banyak panggilan tak terjawab dari Rangga membuatnya penasaran. Namun belum sempat membuat panggilan, Rangga sudah lebih dulu menelpon. Adrian segera menjawabnya. "Halo. Ada apa? " tanya Adrian. ".... " Adrian mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Rangga di seberang telpon. "Kamu yakin? " "... " "Baiklah." Adrian menutup telponnya begitu saja. Kemudian dengan langkah terburu-buru keluar dari kamar. Tujuannya saat ini hanya satu yakni kamar yang biasa ditempati oleh Bianca. Brak!!! Adrian membuka kamar itu dengan kasar. Namun kamar itu terlihat kosong. Bahkan tempat tidurnya juga terlihat rapi. Tidak seperti baru ditempati. Meski begitu ia masih tidak puas. Adrian mencari keberadaan Bianca di dalam kamar mandi. "Dimana tuh anak?" gumam Adrian lirih. Kemudian Adrian keluar dari kamar dan mencari keberadaan pembantu rumah tangganya. Dari pada harus bertanya pada sang Papa lebih baik bertanya pada mereka.
Bianca Anastasya merupakan putri dari mendiang Rinda dan Andhika. Keduanya menikah tanpa mendapatkan restu dari kedua orang tua Andhika. Kedua orang tua Andhika merupakan pengusaha sukses di kotanya. Sedangkan Rinda hanya seorang anak panti asuhan yang tidak diketahui asal usulnya . Itulah yang menjadi penyebab Andika dan Rinda tidak mendapatkan restu dari orang tua Andhika. Andhika dicoret sebagai keluarga Sebastian yang tak lain ayah dari Andhika. Kumudian ia diusir dari rumahnya yang mewah. Ia diusir tanpa membawa apapun kecuali baju yang ia pakai. Kini Bianca hidup sendiri tanpa sanak saudara. Kadang kala ia mengingat kehidupan sebelumnya. Ia akan menangis saat mengingat suami dan kedua anaknya. Seperti saat ini ia tidak bisa tidur karena mengingat mereka. Namun bukannya menangis di dalam kamar, Bianca malah memilih menangis diatas pohon mangga yang ada di samping rumahnya. Dia tidak mengetahui jika tindakannya itu membuat para warga takut. "Hiks...hiks...." Tiga orang
Zeta menghentikan motornya di parkiran kampus. Lagi-lagi Bianca merasakan kekaguman di dalam hatinya. Tempat ini lebih besar dari yang ia bayangkan sebelumnya. Di Kerajaannya dulu juga ada akademi untuk belajar. Tetapi tempatnya tidak sebesar ini. Bianca melihat banyak mahasiswa yang hilir mudik. Dari ingatan Bianca yang asli tidak banyak mahasiswa yang ia kenal. Mungkin hanya beberapa mahasiswa yang berasal dari jurusannya saja. Itupun yang sekelas dengannya. Kelas Bianca berada di lantai tiga Fakultas Ekonomi. Bianca mengambil jurusan administrasi bisnis. Sejak dulu Bianca mempunyai cita-cita menjadi seorang sekretaris. Tibalah Bianca dan Zeta di kelas mereka. Sudah banyak mahasiswa yang telah datang. Ada seorang mahasiswa yang menghampiri mereka. "Akhirnya kamu datang juga. Sudah lama kamu tidak masuk. Pak Djarot meminta kamu untuk datang ke ruangannya, " ucapnya memberitahu. Pak Djarot merupakan salah satu dosen yang mengajar Bianca. "Kenapa? " tanya Bianca sambil meng
"Terimakasih tumpangannya, " ucap Bianca dengan tulus. "Tidak masalah. Lagian tujuan kita juga searah." "Mampir dulu yuk, " ajak Bianca. "Nggak deh lain kali saja. Hari ini sudah janji sama Mama mau pulang cepat, " tolak Zeta dengan jujur. "Oke deh kalau begitu. lain kali harus mampir loh! " "Sip! " Bianca tidak memaksa. Lagi pula dia tidak mempunyai makanan untuk disuguhkan. Namun ia tidak lupa berterimakasih karena sudah diantar jemput oleh Zeta. "Besok barengan lagi apa tidak? " tanya Zeta sebelum menyalakan motornya. "Boleh. Asal tidak merepotkan." "Ok! " "Hati-hati! " "Sip! " Zeta meninggalkan rumah Bianca bersama motornya. Setelah Zeta hilang dari pandangannya , Bianca pun melangkah ke rumah dengan malas. Hari ini merupakan hari yang berat bagi Bianca. Bukan hanya harus beradaptasi dengan lingkungan kampus, tapi juga harus belajar dengan materi yang belum pernah ia pelajari sebelumnya. Untungnya Bianca yang asli termasuk mahasiswa yang pandai. Jad
Bianca mendesak Chiara untuk mengajarinya berjalan melewati dinding. Pasti sangat mengagumkan jika ia bisa melakukannya. Chiara hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar permintaan Biancai yang tidak masuk akal. "Kalau kamu memang ingin melakukan hal tersebut maka kamu harus mati dulu dong " ujar Chiara dengan santai . "Aku sudah pernah mati satu kali, tapi Aku tidak bisa melakukannya, " jawab Biancai dengan jujur. "Ha???? " Chiara langsung terkejut. "Kenapa kamu terkejut seperti itu? Bukankah kamu tadi bilang agar mati dulu biar bisa tembus tembok. Kenyataannya aku tidak bisa melakukannya. " "Kamu pernah mati? jadi kamu mati suri? " "Iyalah...kalau Aku tidak mati, bagaimana mungkin bisa masuk kedalam tubuh ini, " jawab Bianca dengan santai. Entah kenapa ia bisa sesantai itu mengungkap rahasianya. Padahal ia tidak kenal dengan sosok di depannya. Chiara mencerna ucapan Biancai dengan baik. Baru kali ini ia mendengar hal seperti itu. Selama ini ia sering berkeliling di b
"Tuan... Anda harus segera kesini, " ucap Rangga dengan tergesa-gesa. Adrian yang sebelumnya masih mengantuk langsung membuka matanya dengan lebar-lebar. Adrian melihat jam yang ada di nakas. Masih pukul 01.00. Dia baru saja memejamkan matanya. Namun Rangga sudah mengganggu tidurnya. Adrian yakin ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh asisten kepercayaannya itu. "Ada apa? "tanya Adrian penasaran. "Saat ini saya sedang berada di depan apartemen milik Nona Alisha. Tadi anak buah saya memberikan kabar jika Leon akan mendatangi nona Alisha. Jadi Saya pergi kesini. Jika tuan mau memutuskan Nona Alisha, Tuan bisa kesini secepatnya! ""Jadi Leon sudah ada di Apartemen? " tanya Adrian memastikan. "Sudah Tuan." Setelah mendapat kabar dari Rangga, Adrian langsung mematikan sambungan telponnya. Dia bergegas turun dari ranjang. Kemudian mengambil baju secara acak dari dalam lemari. Tiga puluh menit kemudian ia sudah tiba di depan apartemen Alisha. Adrian mengendarai mobilny
"Selamat pagi, ada yang bisa kami bantu? " sapa resepsionis dengan tersenyum ramah. Ada dua orang wanita yang bertugas di meja resepsionis. Salah satu dari wanita itu yang menyapa Bianca. "Selamat pagi Kak. Saya mahasiswa dari Universitas**** datang kesini untuk melakukan magang. Ini surat rekomendasi serta berkasnya, " ucap Bianca sambil menyerahkan berkas yang ada ditangannya. Bianca tidak sendiri. Chiara masih berdiri di sampingnya. Sayangnya tidak ada yang bisa melihat keberadaannya. Chiara dengan patuh berjalan di samping Bianca. "Oh... adik bisa langsung naik ke lantai tiga. Disana nanti sudah ada petugas yang akan memberi tahu Adik, tempat pertemuannya. Berkas ini adik bawa untuk diberikan pada saat wawancara, " ucap resepsionis sambil mengembalikan berkas ditangannya. "Terimakasih informasinya kak." "Sama-sama." Bianca pun pergi ke tempat yang di tunjukkan oleh resepsionis. Bianca berada di depan lift khusus karyawan yang sedang tertutup. Di depannya sudah ada b