Malam ini, sambil diiringi hiruk piruk kota Loss Angeles, dengan gaun krem selutut, Irene memasuki ke dalam gedung yang telah disewa oleh keluarga Lexander. Wanita ini begitu cantik dengan rambut tergerai, dibagian belakang rambutnya terdapat pita putih yang terbuat dari kain satin. Sementara sebelah kiri memegang clucth nya, tangan kanan wanita cantik tersebut memegang sebuket bunga kecil dengan warna pastel yang indah. Seperti malaikat yang hilang di kota Loss Angeles. Setelah mengisi daftar hadir dan pihak wedding organizer mengantarnya ke meja keluarga Lexander. Hanya sedikit orang yang duduk di meja keluarga Lexander. Dalam pesta pernikahan, meja kedua keluarga berada di belakangㅡini adalah konsep yang Jennie inginkan. Ia hanya ingin keluarga Joshua dan keluarganya nyaman dari gangguan kolega yang ingin membangun 'koneksi' dengan orang tertentu. "Lissabeth, selamat datang, nak!" seru mama Jennie seraya memberikan sebuah senyuman manis. Wanita setengah baya itu menghampiri pere
Pagi ini cahaya mentari menyinari bumi, memberitahu kepada manusia di bawah bahwa ialah yang berkuasa di muka bumi. Sinarnya yang terang, memasuki celah-celah sempit tirai di salah satu hotel bintang lima di Loss Angeles. Irene Lissabeth Levebvè, terbangun karena sinar mentari terasa begitu menyangat kelopak mata. Perempuan itu hendak bergerak ketika pelukan dipinggang sempitnya mengerat. Sementara kepala pria di atasnya mengirupi harum wangi rambut sang wanita yang berada dalam dekapannya. "Sudah jam 8, Mino. We're late for breakfast." "Just a moment." Irene tidak menolak. Tubuhnya begitu sakit seperti tertindas mobil. Untuk pertama kalinya, Irene akan memikirkan ulang perihal angry sex bersama Mino. Pria ini sungguh keterlaluan. Marah hanya karena dia tidak memberitahu bahwa Jennie adalah sahabatnyaㅡoke, yang ini Irene mengakui jika salah. Akan tetapi, cemburu karena adiknya, Marcus, berdansa dengan dirinya? Tolong, tidakan pria yang menjadi suaminya ini waras? Entahlah, terkad
Mansion keluarga Levebvè memang tidak begitu besar atau semegah mansion keluarga konglomerat lainnya. Hanya saja, pemilik rumah lebih menyukai taman yang luas untuk dipandangi kala rasa lelah menyergap. Namun, tampaknya tidak untuk beberapa hari terakhir ini.Mansion keluarga Levebvè dipenuhi dengan kabut hitam, mencekam, dan seolah hendak menikam. Benar-benar perang dingin luar biasa di antara keluarga besar. Clara, yang sedang duduk menyandar di sofa ruang tamu, menatap sosok pria berabut hitam, yang beberapa rambutnya telah menunjukan tanda penuaan dengan tatapan tajam. Dadanya naik turun seolah ia tidak bisa menahan gejolak emosi yang membara. Pria tua itu terdiam. Membalikan koran, seraya melirik singkat ke arah perempuan di hadapannya, anak dari istri ia nikahi. "Di mana poker face mu, Clara? Tidak baik menunjukan emosi mu di hadapan musuh secara terang-terangan." "Papa!" tegur perempuan itu. "Kali ini apa lagi?" "Apa lagi, papa bilang?" Tersenyum skeptis, "Ke mana saja saa
Memutuskan untuk mengikuti Mino bukanlah keputusan yang mudah. Perempuan berpupil hazel sudah pernah memikirkan hal seperti ini akan terjadi. Bagaimanapun juga, sesukses apapun seorang wanita, mengikuti suami adalah sebuah kewajiban yang tidak terbantahkan. Terutama ketika tempat pekerjaan mereka berbeda. Wahsington DC dan New York memakan banyak waktu dan uang. Sebenarnya uang bukan menjadi masalah, effort yang dikeluarkan oleh pasangan dan saling mengerti serta komunikasi adalah kuncinya. Masalahnya adalah lelah yang menghantam tubuh. Jika menggunakan kendaraan pribadi bisa mencapai 4 Jam, maka dengan pesawat hanya membutuhkan 1 jam perjalanan. Rasa lelah ketika selesai kerja, jelas tubuh memerlukan tempat istirahat alih-alih terus memaksakan hingga sampai di rumah. Irene mengerti hal itu, dan ia coba mengambisll resiko. Sehingga di sinilah ia sekarang, di salah satu lokal coffee shop yang ada di mall terdekat. Memiliki banyak waktu luang sehingga terkadang ia merasa bosan di man
Dalam ruangan kerja mansion keluarga Levebvè, sosok Clara yang sedang mengenakan dress hitam terduduk di kursi. Matanya menatap datar ke arah layar PC di hadapannya yang sedang memperlihatkan sebuah email. Alamat surel ini jelas merupakan alamat surel yang paling Clara kenal. Dalam dunia bisnis yang kejam ini, seseorang butuh yang lainnya guna memanfaatkan 'kekuatan' yang ada. Kerjasama dan negosiasi menjadi salah satu di antara banyak opsiㅡjelas yang peling sering digunakan karena tingkat keberhasilannya yang tinggi. Bukan tidak memungkin ada seseorang yang mampu bertahan hidup sendirian. Namun, jarang bagi mereka untuk tidak memperlakukan kerjasama. Sebab, para bisnisman membutuhkan 'kekuatan' yang besar untuk mencapai titik di mana mereka mampu bertahan hidup sendirian. Di Amerika, hanya ada dua hingga tiga keluarga konglomerat yang mempunyai kekuatan sebanyak itu untuk bisa tetap berdiri tanpa harus memghiraukan guncangan dasyat dari angin topan. Keluarga yang paling kentara ad
Lee terduduk lemas di dalam mobilnya. Pria itu menatap ke arah layar ponsel dengan tangan yang bergetar. Ia meliril ke arah punggung wanita yang baru saja memasuki wilayah perkantoran Next In Company. Terlepas dari berita yang dia dapat, tiba-tiba pikirannya kembali teringat dengan rencana Son dan tuannya. Sekali lagi, untuk meyakinkan diri, dia menatap ke arah layar ponsel. Siapa yang menyangka bahwa hasilnya akan seperti ini? Menghembuskan napas, seolah mencoba mengeluarkan semua beban yang terasa berat, Lee keluar dari aplikasi dokumen. Mulai membuka salah satu aplikasi chat, dan memberikan pesan kepada madam. Namun, alih-alih merasa exited, Irene, sang atasannya, justru bersikap biasa saja. Ya, nanti sore aku akan melihat data yang telah kau temukan. Terima kasih atas kerja keras mu. Hanya jawaban seperti itu yang ia dapatkan. Pada akhirnya, Lee segera memarkirkan mobil di basement, dan mulai masuk ke dalam markas rahasia pengawal pribadi keluarga Dendanious yang berada di la
Manusia memiliki sekelumit perasaan kompleks yang tidak bisa dijelaskan dalam kat-kata. Terkadang, jalan pikiran dan perasaan selalu berbanding terbalik atas realita yang terjadi. Emosi menjadi salah satu mengapa manusia bisa menjadi lebih unggul daripada makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Manusia diberi emosi untuk merasakan, kecerdasan emosi dan kecerdasan umum tentu sangat berbedaㅡterlihat sama akan tetapi dalam perspektif psikolog, keduanya merupakan seperti koin dengan dua sisi yang berbeda. Terlihat sama tapi ternyata tidak. Perempuan berambut hitam panjang ini sudah berulang kali menghela napas. Setidaknya, dia sudah mencoba sekuat tenaga untuk tidak menangis apalagi mengemis. Perasaan ini, apabila boleh jujur, rasanya sangat menyiksa. "Tolong turunkan aku di sini, Lee." "Maaf, nyonya?" Irene memberikan senyuman tak sampai mata. "Turunkan di sini.""Tapi nyonya, jarak rumah masih jauh, aku rasㅡ""Lee." Kali ini, dipenuhi penekanan. Membuat pria itu segera menepikan mobil. Ire
Pagi hari ini, manor milik putra sulung keluarga Dendanious dipenuhi aura yang gelap. Rera dan Sonia bahkan tidak sanggup bertemu dengan tuan mereka yang tampaknya serang murung. Jangankan Rera dan Sonia, Son sendiri yang awalnya hendak meminta izin menjadi tidak berani masuk ke dalam. Son melangkah keluar dari Manor, menyenggol sosok Lee yang sedang mencuci mobil dengan siku. "Madam ... kapan beliau kembali?" Lee menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, beliau akan datang jika siap." Baru saja Lee mengucapkan kalimatnya, mereka melihat pintu gerbang utama terbuka. Mobil Audi berwarna merah masuk ke dalam pekarangan, dia adalah Eden, pengacara yang bekerja dibawah Mino. Eden, yang baru saja berangkat dari rumahnya, dengan tergepoh membawa banyak sekali dokumen. Pria itu tampak tidak peduli dengan suasana muram sang sahabat. Justru, dia masuk ke dalam ruang kerja Mino, meletakan seluruh dokumen yang dibawannya ke atas meja. "Here, you can take a looㅡwhat the hell?! Mino, are you okay