Sebagai seorang dokter di salah satu rumah sakit ternama di Seoul membuat Irene tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan apapun selain bekerja, bekerja, dan terus bekerja. Belum lagi, sebagai seorang dokter, terkadang shift nya tidak menentu, jam malam, dan juga ponsel yang harus siap 24 jam non-stop.
Apakah Lelah? Sangat, tapi Irene ingat perjuangan orang tua tunggalnya yang menaruh banyak harapan kepada anak perempuan satu-satunya. Keputusan sang mama untuk pindah ke negara gingseng ini ada kaitan dengan luka yang tak akan pernah sembuh, bahkan seiring berjalannya waktu.Secerah cuaca Seoul siang hari ini, Irene sedang menikmati kegiatan bersantainya di salah satu café yang terletak di Gangnam-gu. Tidak ada panggilan dari rumah sakit karena hari ini merupakan hari liburnya—setelah sekian lama dia tidak mengambil hari libur.“Hei, kau tidak mengatakan apapun jika kau ingin mampir ke café.”Suara lembut tersebut sangat familiar. Irene yang sedang menoleh ke jendela dan melihat-lihat orang berjalan pun mendongak. Di hadapannya telah berdiri seorang perempuan berambut ginger panjang sepunggung, menggunakan crop-top putih yang dipadukan dengan celana jeans, tangan sebelah kirinya pun menenteng tas Channel.Tersenyum. “Hanya kunjungan biasa, Jennie. What did you expect to?”“We can enjoy the weather together and going to the beach I guess?” Jennie memanggil salah satu pelayan di café ini, kemudian memesan salah satu menu kesukaannya, ice blue sky.“Ah, benar juga.” Irene tampak baru memikirkan kalimat dari sahabatnya. “Maafkan, aku terlalu sibuk hingga melupakan waktu ku untuk bersama mu.”“Tidak masalah, sebenarnya,” sahut Jennie seraya mengangkat kedua bahu, “Namun Irene, aku berharap kau lebih meluangkan waktu mu untuk dirimu sendiri. Jangan terlalu bekerja terlalu keras, rumah sakit tempat mu bekerja bisa saja mengantikanmu kapanpun yang mereka mau. Akan tetapi, kesehatan mu adalah prioritas utama. Okay?”Perempuan berambut hitam panjang ini tersenyum cerah. Dibandingkan dengan kehidupan serba sibuknya yang monoton, Irene merasa Jennie merupakan sosok perempuan bebas yang mampu mengekspresikan apa yang dia inginkan. Terkadang, Irene sungguh iri dengan batapa mudahnya Jennie mengekspresikan dirinya sendiri.“Thank you, bestie.”Pelayan datang dengan membawa pesanan Jennie. Gadis itu meminum es nya dari sedotan, kemudian tersenyum cerah, “No worries, baby.”“Café mu semakin ramai, aku senang melihatnya.” Irene berusaha mengalihkan topik pembicaraan mereka yang terkesan membosankan.“Sesuatu yang aku cita-cita sejak dulu.” Jennie menjawab acuh, “Aku tidak menyesal masuk jurusan bisnis jika café ini adalah hasil dari jerih payah ku. Akan tetapi, aku sangat berharap bahwa aku bisa masuk jurusan fashion designer untuk memuaskan hasrat ku.”Irene tentu tahu betapa Jennie begitu menggilai fashion. Sayang, semua itu harus kandas karena beberapa hal yang tidak Jennie sebutkan. Keduanya merupakan mahasiswa universitas ternama di Seoul, bertemu saat pembinaan ospek, dan dipisahkan oleh jurusan yang berbeda; Irene jurusan kedokteran umum, sementara Jennie masuk ke dalam jurusan bisnis internasioal.“Oh, bagaimana dengan dia.”Irene mengerenyitkan kening. “Dia siapa?”“Pria yang mengejarmu, siapa namanya?” tanya Jennie.“Ah, dokter Jungwoon,” ucap Irene. “Entahlah, aku tidak tahu. Memangnya dia mengejarku?”“….” Jennie tersedak es balok yang sedang digigitnya. Dia menggaruk pipinya yang tak gatal, “Eerr—bagaimana ya, kau sama sekali tidak tahu?”“Hah?”Melihat wajah clueless sahabatnya, Jennie hanya bisa menepuk kening. Wajah Jennie jelas menunjukan bahwa dia sedikit frustrasi dengan perempuan cantik di depannya.“Kau—ah, sudahlah. Intinya, dari pengamatan ku sebagai sahabat mu, tampaknya Jungwoon ingin dekat denganmu.”“….” Irene menggigit bibir bawah, tidak tahu harus menjawab apa untuk kalimat tersebut. Sejak lahir, dia memang belum pernah ‘mengenal’ pria, dalam artian bahwa sampai dekat dan kejenjang hubungan. Jangankan dekat, peka saja ia tidak—tidak heran sebenarnya apabila Jennie terkadang gemas sendiri.Menghela napas. “You really … sudahlah, lupakan. Setelah ini, apa jadwal kegiatan mu?”“Tidak tahu. Aku berniat pergi ke perpustakaan kota.”“Tumben sekali, tidak biasanya kau ke sana—maksud ku, ya, kau gemar membaca. Akan tetapi, tidak sampai pada tahap di mana kau akan mengunjungi perpustakaan kota.”Irene tidak mengatakan apapun dan hanya tersenyum. “So, any idea?”“Ayo jalan-jalan ke mall?”“Jennie and her little obsession, eh?”Sementara, perempuan yang merasa tersindir hanya memberikan senyuman lima jari.> ••• <Irene memasukan kode apartemen secara perlahan. Dia membuka pintu, dan masuk ke dalam. Melepas sepatunya dan mengganti dengan sandal rumahan berbentuk kelinci yang terbuat dari kain lembut. Kulit Irene sedikit sensitif untuk beberapa hal.Sesampainya di ruang tamu, Irene memiliki kebiasaan. Yakni, memandangi foto sang ibu dan dirinya di masa kecil yang terpajang apik di dinding ruang tamu. Menyatukan kedua telapak tangan seraya memejamkan mata, Irene berdoa untuk kebaikan ibunya yang telah tiada.Hidup sendirian selama lima tahun membuat Irene terbiasa dengan suasana sepi, sekaligus tidak familiar dengan sumber kehangatan yang tak mampu ia raih lagi.Rasanya sungguh berbeda. It’s been awhile, but Irene feels like forever—well, indeed forever since her mother already gone.“Hari ini aku dan Jennie pergi berjalan-jalan. Dia cerewet seperti biasanya, dan tentu saja ceria seperti yang seharusnya.” Sudah menjadi kebiasaan Irene untuk menceritakan kegiatan kesehariannya tepat di depan foto sang ibu dan dirinya yang tengah tersenyum bahagia.“Don’t ever meet your father, even once in your life, Irene. Mommy begs you, mommy only has you.”Kalimat itu merupakan kalimat terakhir sebelum sang malaikat penjaga pergi meninggalkan Irene.“Di mana daddy tinggal, mommy? Apakah beliau sejahat itu pada kita?”“Mommy will tell you, but first, Irene has to promise—you wouldn’t go there, alright?”“Maaf, mommy. Aku mengingkari janji.” Irene menelan salivanya, mencoba menghalangi pandangan matanya yang semakin mengabur. Menghembuskan napas dari mulut, Irene beranjak dari tempatnya.Memasuki kamar, perempuan berambut hitam legam ini mulai memasukan semua pakaian yang ia punya ke dalam koper. Dia juga mulai menyelimuti beberapa ruangan di apartemen ini dengan kain putih.Ponsel nya bergetar, Irene menoleh sedikit. Dia meraih ponsel layar sentuhnya, dan segera mengangkat telepon tersebut.“Hallo, dokter.”“Iya, baik. Terima kasih atas pemberitahuannya dokter Park. Sampai jumpa.”Wajah yang ditunjukan oleh perempuan itu terlihat lelah, seolah dia telah menekan titik pemasalahan hingga tidak lagi bisa ditampung oleh hatinya.Alasan kenapa ia bisa membil cuti hari ini adalah tidak lain karena dia telah dipecat, dan dipindah tugaskan ke negara lain. Irene tidak tahu apa yang terjadi tapi, ia berharap semoga negara itu bisa membuatnya berdamai dengan dunia yang gelap ini.Irene mengelus lembut frame foto, tersenyum miris, dan memasukan ke dalam tas kecil. Sementara sisanya, dia selimuti dengan kain putih. Pelahan, seraya membawa dua koper besar, satu tas ransel, dan satu tas kecil, Irene perlahan meninggalkan kenangannya di dalam."Irene pamit, mommy. Wish me luck."Lalu, ia kunci segala kenangan di dalam sana. Berharap, dengan begitu tidak ada lagi kenangan menyakitkan yang akan terkenang dan terekam oleh otaknya. Dan dia, melangkah dengan pasti meninggalkan semuanya di belakang.Bandara intermasional Washington Dallas, kebanyakan orang Amerika, khususnya wilayah Virginia menyebut bandara tersebut sebagai bandara Dallas, merupakan bandara terbaik yang ada di area Washington.Perempuan berambut panjang dengan hoodie putih tampak menarik dua koper besarnya. Dia tampak kelimpungan karena ukuran tubuh yang sesungguhnya tidak memungkinkan untuk membawa banyak barang. 158 cm mungkin merupakan tinggi badan ideal untuk beberapa negara, akan tetapi di Amerika, ukuran tubuhnya membuat ia tampak lebih mungil.Menurut Dokter Park, seseorang seharusnya menjemput Irene. Oleh sebab itu, perempuan ini tampak melihat ke kanan dan ke kiri barangkali melewatkan tanda atau seseorang yang sedang menunggu.Irene menunggu cukup lama, tapi tak ada satupun tanda-tanda seseorang akan datang menjemput. Dia menghela napas, sedikit kesal dengan koordinasi afiliasi dari rumah sakit yang akan menjadi tempatnya bekerja nanti.Dia meraih ponsel, mencari toko terdekat di bandara yang mungkin s
Tempat rumah sakit Irene bekerja merupakan George Washington University Hospital. Tempat barunya ini lebih nyaman daripada rumah sakit sebelumnya ia bekerja. Rata-rata residen di rumah sakit ini cukup baik, walau beberapa mungkin merasa lebih superior. Seperti Dokter Hans, dokter senior ini sudah berusia 55 tahun. Beliau merupakan orang yang baik dan memberikan Irene banyak pembelajaran di hari pertamanya bekerja di rumah sakit ini. Banyak dari pengalaman beliau yang sebenarnya diluar jangkauan kebiasaan Irene ketika menjadi dokter rumah sakit di Korea Selatan. Mungkin karena dari budaya bekerja di Amerika dan Korea yang berbeda, sehingga ada beberapa hal yang harus Irene lakukan untuk beradaptasi sepecepat mungkin. Pekerjaan di sini dilakukan dengan sangat profesional, mereka tidak mengambil keputusan secara asal-asalan tanpa adanya rapat keputusan. "First time here, in The US?" tanya Dokter Hans. Irene menjawab. "Tidak, dokter." Seraya menggelengkan kepala, "Saya pernah tinggal
Irene menghentikan mobil nya tepat dipintu masuk perumahan mewah yang terlihat sepi. Apalagi dengan hari yang mulai malam, selain lampu yang menyala, dan penjaga perumahan di pintu masuk utama, hanya keheningan yang melanda. Jendela mobilnya diketuk. Menurunkan kaca jendela, mata jernih Irene yang berwarna hazel menatap pria yang sedang memberikan tatapan curiga kepadanya. Irene bersikap tenang, dia tersenyum seraya menunjukan kalung name tag George Washington University Hospital. "Saya menggantikan dokter Hans menemui pasien di salah satu unit perumahan ini." Tidak lupa, dia menyebutkan nomor unit perumahan yang hendak ditujunya. Penjaga itu segera membukakan pintu seraya mengucapkan kata maaf. Irene hanya memberikan senyuman yang menandakan bahwa ia sama sekali tidak keberatan. Baru setelahnya, dia mengendarai mobil SUV milik dokter Hans ke salah satu unit perumahan mewah di sini. Irene berhenti di depan gerbang berwarna cokelat tua yang menjulang tinggi. Perempuan itu menekan kl
Malam ini, di apartemen Irene yang sunyi. Suara musik klasik yang berasal dari Vinyl mengalun halus, dengan lembut membelah keheningan dalam ruangan. Sementara, sosok perempuan dengan dress tidur selutut tengah menari pelan. Irene sangat menyukai menari dan menyanyi. Perempuan itu selalu membuat ibunya tersenyum ketika dia menyanyi, sementara menari merupakan kegiatan selingan yang ia lakukan bersama ibunya. Tarian yang Irene lakukan merupakan dansa, tampak aneh karena dia tidak memiliki pasangan pria. Tetapi, dalam gelapnya pejaman mata, Irene hanya ingin berdua bersama kenangan. Kakinya menghentak, gerakannya gemulai, sesekali memutar tubuhnya. Seolah, ia tengah merasakan keberadaan sang ibu. Sejak keluar dari rumah keluarga Levebvè, pikiran Irene tidak lagi waras. Dia kehilangan konsentrasi, terus mengulik apa yang terjadi dengan keluarga Levebvè 18 tahun silam. Sayang, Irene belum memiliki cukup uang untuk menyewa detektif guna mencari tahu. Irene membenci kebisingan, di sanga
Terik mentari di Korea Selatan membuat temperatur suhu setempat naik menjadi 38°C. Orang-orang berbondong-bondong mendatangi halte bus yang dilengkapi dengan AC, beberapa memutuskan untuk tidak peduli dan berjalan dibawah terik Matahari dengan menggunakan payung. Jennie bukan salah seorang diantara mereka, dia menaiki mobil Audi. Membelah kota Seoul dengan perasaan marah luar biasa. Sudah sebulan sejak sahabatnya pergi dari tanah kelahirannya, tapi dia sama sekali belum menghubungi Jennie. Benar-benar menjengkelkan.Dia menyumpah perapahi siapapun yang membuat sahabatnya menjauh. Sejauh yang Jennie pahami dari polemik permasalahan pekerjaan Irene, perempuan itu bekerja dengan sangat tekun di Seoul University Hospital. Jika saja Irene bertahan sedikit lagi, Jennie yakin sahabatnya itu akan mendapatkan jabatan kepala instansi rawat inap.Sayang, nepotisme di sana masih terlalu kuat. Sehingga, mereka yang kompeten terkadang dibuang dan tidak diapresiasi, sementara mereka yang hanya moda
Irene masih mengamati punggung Jennie yang perlahan menghilang di antara kerumunan banyak orang. Perempuan dengan dress hitam motif ini masih menyesap es cokelatnya dengan tenang. Dia tidak terburu-buru untuk pergi dari cafe ini. Masih banyak waktu, dan ia ingin mengekplor kota New York. Ini masih terlalu siang, dan cuaca sangat panas. Irene mencari destinasi wisata atau tempat hits di sini dengan bermodalkan ponsel. Zaman semakin canggih, dan tranportasi umum di New York pun cukup memadai, sehingga cukup memudahkan Irene untuk tidak mati kebingungan di kota ini. Setelah membayar bill dan memberikan tips sebesar 20% dari harga yang dibayar kepada pelayan, Irene perlahan beranjak dari tempatnya. Berjalan sejauh 20 menit menuju New York Time Square. Tempat ini selalu ramai seperti yang ia lohat di televisi. Akan tetapi, keindahan tempat ini kurang memikat kala mentari masih menyinari. Mungkin, jika Irene pergi pada malam hari, suasananya akan berbeda. Orang-orang berjalan terlalu cepa
"Bagaimana, apakah ada yang mendaftar?" Mino pasti bercanda. Walau menggunakan namanya, dengan adanya data tertulis sebagai Sekretaris perusahaan Next In, sudah tentu banyak wanita yang berbaris menginginkan. Mau bagaimanapun juga perusahaan Next In juga bisa menjadi daya tarik bagi mereka yang ingin mencari pasangan. Memijat pangkal hidungnya, Albert sungguh tidak tahu harus bagaimana dia menyortir 100 berkas yang masuk ke dalam email. "Ada seratus berkas yang masuk. Kau pilihㅡ""Sortir terlebih dahulu. Aku tidak mungkin membaca semuanya," potong Mino. Dia kembali menyibukan dengan dokumen kantornya. Albert memberikan tatapan kau pikir aku memiliki waktu untuk menyortir berkas ini? Tetapi, dia tahu watak atasannya ini. Sehingga dia hanya menghela napas dan kembali ke ruangannya tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia melihat setiap profile wanita yang 'mendaftar' untuk menjadi 'calon istri'nya. Dari 100 orang, hanya beberapa orang yang menarik perhatian Albert. Itupun, 6-8 poin y
Sebenarnya mencari kebenaran sama dengan mencari kematian. Diantara kedua hal tersebut, tidak ada yang memberikanmu sedikit rasa sakit. Kematian selalu dibenci karena kebanyaka manusia tidak ingin berjumpa dengan nya. Sementara kebenaran selalu dihindari karena akan membuat terluka banyak pihak; entah apakah sebuah kebenaran untuk hal baik, ataukan kebenaran yang sesungguhnya, tidak ada yang tidak memberikan luka. Hidup bersama single parent, Irene tidak pernah sekalipun meragukan alasan ibunya untuk pergi. Akan tetapi, entah apakah memang suratan takdir yang berkata, saat pertama kali kedatangannya ke sini, ia sudah disuguhkan dengan beberapa jejak kecil. Lalu, beberapa saat setelahnya, dia menjadi dokter pribadi sementara menggantikan dokter Hans ke rumah keluarga Levebvè. Belum lagi dengan ekspresi dari keluarga itu yang semakin menaruh rasa curiga. Apakah ini yang dinamakan sebaik apapun bangkai ditutupi, baunya akan tercium juga? Entahlah. Semua terasa samar bagi Irene. Selama
Berita pernikahan putra sulung keluarga Dendanious, Lousi Mino Dendanious menyebar luas; berbagai awak media berbondong-bondong menjadikan berita ini sebagai headline majalah dan koran, sementara ada juga sebagian jurnalistik yang berdiam diri di depan mansion keluarga Dendanious demi mencari secuil beritaㅡterutama menyangkut hal berupa scandal akan lebih baik. Atau setidaknya mereka pikir seperti itu. Sebab, hingga tiga hari belakangan ini, Mansion keluarga Dendanious cenderung sepi dan hanya ada pelayan atau tukang kebun yang membersihkan halaman dibalik pagar yang menjulang tinggi. Para wartawan dan paparazzi ini sudah berkemah di sini. Dan tepat di saat mereka sudah putus asa, sebuah mobil Misserati terlihat mendekati pagar mansion keluarga Dendanious. Para wartawan ini segera menarik kamera dan mencoba melihat siapa yang datang. Ternyata itu adalah salah satu kerabat Mino, yang datang untuk melihat anggota keluarga baru Dendanious yang dinanti-nanti. "Tuan Dealton, bagaimana pe
Seperti dadu yang dilempar, hari terus bergulir, menggantikan hari-hari sebelumnya yang telah dilewati oleh manusia. Bedanya, jika dadu dilempar oleh manusia, maka hari tidak ditentukan oleh siapapun.Roda berputar, seperti putaran takdir yang tidak bisa diprediksi; kadang di atas, terkadang pula manusia merasakan rasa pedihnya berada di bawah. Semua itu, sungguh Tuhan-lah yang telah mengaturnya. Agar seluruh manusia mengetahui seberapa hebatnya Tuhan menciptakan takdir dan alam semestaㅡagar tidak melupakan bahwa setiap perbuatan selalu ada konsekuensi yang harus dijalani. Mulai dari pertemuan tak terduga, hingga sebuah perpisahan yang telah direncanakan. Mulai dari rasa cinta, hingga rasa benci yang teramat sangat menyesakan hati. Seperti sungai yang mengalir, adem, menghanyutkan, dan membawa berbagai macam emosi di dalamnya; kepedihan, kesenangan, dan kemarahanㅡair sungai terlihat tenang tapi begitu menghanyutkan. Hal ini sama dengan yang tua meninggalkan dunia, dan yang muda terla
Clarissa keluar dari rumah sakit dengan pandangan kosong. Perempuan itu menatap langit biru di atasnya, lalu mengembuskan napas lelah. Tidak heran beberapa minggu terakhir ini dia menjadi lebih cepat lelah, bawaannya ingin pulang ke rumah dan tidur dengan nyaman, belum lagi rasa mual yang cukup mengganggu. Siapa sangka dia akan mengalaminya secepat ini? Takdir terlalu kejam untuknya. Bagaimana dia harus berkata kepada kakaknya, Irene? Belum lagi kakak iparnya yang juga berteman dekat dengan sosok yang belakangan ini terus mengusik kehidupan tenang Clarissa? Terutama, bagaimana dia menjelaskan ini kepada ayahnya? Berbagai sekelumit pemikiran terus bermekaran dalam kepala. Seolah otaknya menolak berhenti untuk tidak berpikir belebihan. Belakangan ini, ayahnya, tuan Levebvè sangat membanggakan dirinya yang sudah berani mengambil langkah kecil untuk melihat sisi lain kehidupan sebagai pekerja kantoran di perusahaan en
Beberapa hari belakangan ini Clarissa merasa dia dilihat oleh banyak orang. Dalam artian pandangan yang menatapnya dengan pandangan menilai, menghakimi, hingga merendahkan. Sebenarnya ini bisa saja hanya sebuah perasaan semata, tapi hal ini semakin membuatnya yakin ketika ia hendak ke kamar mandi untuk memuntahkan rasa mual. "Kau dengar, tidak aku sangka ternyata dia masuk ke Music Blanc menggunakan jalur nepotisme," ujar salah seorang staff. Clarissa menahan rasa mualnya habis-habisan dan berdiri terdiam di depan kamar mandi seraya membekap mulutnya. "Ya, aku yakin dia tidak memiliki prestasi sedikitpun. Apa yang kau harapkan dari seorang anak konglomerat yang manja? Tidakah belakangan keluarga Levebvè juga terkena kasus penculikan?" Menggelengkan kepala, "Sungguh keluarga yang brutal.""Sshh," staff itu melirik ke kanan dan ke kiri, "Jaga ucapan mu, aku dengar bahwa putri keluarga Levebvè yang tersembunyi adalah istri dari CEO Mino, bahaya jika kau ketahuan." Mengangkat bahu acuh
Irene sedang menikmati afternoon tea nya ketika ia mendapatkan kabar dari Marcus tentang alasan sikap murung Clarissa belakangan ini. Sejenak, Irene terdiam. Dia pandangi sosok tampan sang suami yang juga sedang menatapnya dengan pandangan kebingungan. "Aku tidak tahu apapun, sungguh!" "Aku tidak mengatakan apapun." Irene bergumam lembut. Mengembuskan napas, "Albert memang seperti itu sejak dulu. Awalnya dia tidak terlalu into sex, tapi sejak masuk ke persusahaan, ada satu dua hal yang tampaknya membuat dia sering seperti itu." Mata Irene memincing, "Did you do the same?""I do the same," Mino segera melanjutkan, "Aku bersumpah hanya melakukannya beberapa kali untuk stress relief." Irene hanya terdiam. Dia sudah pernah memikirkan ini sebelumnya, tapi mendengar pengakuan ini secara langsung, rasanya sedikit ada yang mencubit dihati. Namun, mengingat kini Mino sudah menjadi miliknya, tampaknya dia mengkhawatirkan hal yang tidak perlu."Yeah, kita tidak perlu meributkan hal yang su
Mentari sudah terbit, sinarnya memasuki cela-cela ventilasi dan menembus tirai. Sayang sekali, mungkin karena mabuk dan terlalu sibuk dengan urusan ranjang, kedua orang yang masih berbaring di atas kasur tersebut lupa untuk menutup tirai jendela. Sehingga kini matahari langsung menyinari dan membangunkan salah satu di antara mereka. Clarissa adalah sosok yang pertama kali terbangun. Perempuan itu langsung menatap wajah tertidur Albert. Dengan tergasa, dia segera bangun dari tidurnya dengan wajah panik. "Akh." Sial, sial, sial! Clarissa ingin mencakar habis pria kurang ajar satu ini. Dalam hati berkata bagaimana bisa Mino berteman baik dengan sosok bejat seperti Albert? Mendengar pekikkan kecil dan suara tergesa, Albert juga bangun dari tidurnya. Pemandangan seperti ini sudah biasa dilihat. Namun, kali ini berbeda. Perempuan yang bersamannya sepanjang malam tampak sangat panik, dan terlihat mencari-cari sesuatu. "Mencari apa?" Suara serak khas bangun tidur membuat Clarissa membek
Clarissa tidak lagi mempedulikan. Perempuan itu segera memesan menu makanan yang ingin ia makan pada malam hari ini kepada bartender. "Do you think I can get closer to him?" Clarissa mengengkat bahu, "Tidak tahu, tergantung metode seperti apa yang ingin kau gunakan? Langsung menggoda, atau mau memasukan aphrodisiac?" Mata Viona melotot, tanpa sadar memukul pelan lengan rekannya, "Pikiran mu sungguh kotor."Wajah Clarissa mencerminkan tanda tanya besar. Di bagian mana dia kotor? Bukankah menggoda secara langsung dan memasukan aphrodisiac ke dalam minuman adalah metode yang biasa sering digunakan oleh banyak orang? Menganati wajah Viona yang memerah parah, Clarissa memutar bola matanya jengah. Jangan katakan ladanya bahwa Viona adalah gadis polos yang denial atas hal-hal kotor? Menghela napas, "Lalu, kau ingin dia menotis mu seperti apa?" Menundukan kepala, "Tidakkah aku cantik?" Clarissa seketika itu juga ingin sekali bernajak pulang. Siapa yang menyangka bahwa Viona merupakan g
Albert Ventagio, orang-orang selalu mengenalnya sebagai sosok ramah dan sopan. Ditambah dia adalab sekretaris sekaligus asisten pribadi seorang Louis Mino Dendanious, yang menjadikan lria itu lebih cekatan dari pada yang lainnya. Mungkin karena terinfeksi siklus kerja sahabatnya, Mino, terkadang Albert juga bisa lebih workholic daripada Mino sendiri. Sebagai sekretaris yang ditugaskan langsung dibawah Mino, dia terkadang juga menggantikan Mino dalam memimpin rapatㅡbaik secara lokal maupun rapat internasional, seperti yang sudah-sudah. Terkadang dia berada di luar negri karena utusan Mino yang kebetulan jadwalnya bertabrakan dengan jadwal meeting di luar. Sehingga mengutus Albert sebagai pengganti. Albert juga bukan berasal dari kalangan keluarga berada atau menengah ke bawah. Mendiang ayahnya adalah seorang dosen di salah satu universitas di Boston, sementara ibunya merupakan ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan harian sebagai penjual bungaㅡsekarang sudah memiliki toko dan membu
Clarissa hari ini sudah mulai masuk menjadi pekerja tetap di perusahaan Music Blanc sebagai public relation. Pekerjaan ini cenderung paling sibuk; setiap harinya harus memberikan press realise di website resmi perusahaan, promosi di akun media sosial yang telah tersedia. Hingga harus memberikan ide kreatif agar lebih menarik banyak peerhatian fans. Jumlah fans aktris, aktor, dan penyanyi di perusahaan ini banyak, hingga tidak heran apabila fans mereka juga menjadi fans perusahaan. Music Blanc digadang-gadang menjadi perusahaan entertainment dengan followers terbanyak diberbagai sosial media. Clarissa dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Perempuan itu tidak malu untuk memperkenalkan diria dan dari jurusan mana dia berasal. Namun, dia tidak membicarakan soal Marcus sebagai temannya, Mino sebagai kakak iparnya, dan merupakan anak bungsu keluarga Levebvè. Setidaknya, bagi Clarissa cukup tahu diri bahwa tidak semua orang bisa menikmati privilage seperti yang ia punya. Jadi