Irene menghentikan mobil nya tepat dipintu masuk perumahan mewah yang terlihat sepi. Apalagi dengan hari yang mulai malam, selain lampu yang menyala, dan penjaga perumahan di pintu masuk utama, hanya keheningan yang melanda.
Jendela mobilnya diketuk. Menurunkan kaca jendela, mata jernih Irene yang berwarna hazel menatap pria yang sedang memberikan tatapan curiga kepadanya. Irene bersikap tenang, dia tersenyum seraya menunjukan kalung name tag George Washington University Hospital."Saya menggantikan dokter Hans menemui pasien di salah satu unit perumahan ini." Tidak lupa, dia menyebutkan nomor unit perumahan yang hendak ditujunya. Penjaga itu segera membukakan pintu seraya mengucapkan kata maaf. Irene hanya memberikan senyuman yang menandakan bahwa ia sama sekali tidak keberatan. Baru setelahnya, dia mengendarai mobil SUV milik dokter Hans ke salah satu unit perumahan mewah di sini.Irene berhenti di depan gerbang berwarna cokelat tua yang menjulang tinggi. Perempuan itu menekan klakson berulang kali. Pintu gerbang secara otomatis terbuka, hal ini dikarenakan penjaga gerbang sering melihat mobil yang dipakai oleh dokter Hans ketika kunjungan rutin. Keluar dari mobil, gadis itu segera melangkahkan kakinya menuju pintu utama.Dia menekan bel beberapa kali sebelum, pintu berwarna putih gading itu terbuka lebar. Menampilkan seorang perempuan paruh bayaㅡmungkin sekitar satu atau dua tahun lebih tua dari usia almarhum ibunya.Irene menampilkan senyum ramahnya. Hendak berkata ketika wanita itu terlebih dahulu berucap, "Samantha," ujarnya dengan suara pelan, matanya terbelalak terkejut, namun ekspresi dan kalimatnya terlihat jelas dan mampu didengar oleh Irene."Mohon maaf?"Wanita itu segera menetralisir wajahnya. Menggeleng pelan seraya menyipitkan mata. "Kamu siapa?""Saya Dokter Irene," jawab Irene. Menunjukan gantungan name tag dari rumah sakit di mana ia bekerja. "Saya mendapatkan mandat dari dokter Hans untuk memeriksa pasien pribadinya."Wanita itu terlihat masih belum percaya tapi, ketika Irene menunjukan surat yang diberikan oleh dokter Hans, barulah perempuan itu mau tidak mau mempersilakan Irene masuk. Membawa dokter perempuan itu ke tempat suaminya yang tengah sakit."Ma, apa dokternya sudah datang?"Atensi Irene tertuju pada perempuan yang sedang menuruni anak tangga. Samar-samar, dia tampak pernah melihat perempuan ini tetapi, di saat yang bersamaan dia juga tidak mengingatnyaㅡapakah hanya perasaannya saja?"Sudah," jawab sang ibu. Wanita itu menyusul anaknya, dan menunjuk ke arah Irene, "Dia dokter yang ditunjuk oleh dokter Hans untuk menggantikan sementara."Perempuan itu terlihat seumuran dengan usia Irene. Entah lebih muda atau lebih tua sedikit, tidak ada yang bisa menebaknya. Satu hal yang pasti, perempuan berambut sepinggung itu menatap curiga, seolah tidak mempercayai kenerja Irene sebagai dokter."Kau ... bukan perempuan simpanan ayah ku, 'kan?"Mulut Irene ternganga sedikit. Astaga, pikiran kurang ajar macam mana yang dituduhkan kepadanya? Batinnya kesal."Saya seorang dokter, nona muda. Anda tidak perlu cemas." Barulah setelah Irene mengucapkan kalimatnya, perempuan itu mengangguk. "Ayo ikut aku."Irene melangkah di belakang, mengikuti ke mana perempuan tersebut akan membawa. Sementara dibalik punggung nya, wanita yang tadi menyambut Irene menatap punggung Irene dengan tatapan yang tidak terbaca. Keningnya mengerenyit tidak suka, seraya mengepalkan tangan."Tidak mungkin," ucapnya. Menggelengkan kepala mencoba membantah kenyataan, "Samantha berjanji padaku untuk pindah negara. Mengapaㅡ"Mengapa perempuan itu mirip sekali dengan Samantha?Tidak, salah. Mengapa perempuan itu ada di sini? Lebih tepatnya, apakah Samantha sendiri ada di negara ini?> ••• <Memasuki kamar utama, Irene sedikit terpana dengan interior kamar tersebut. Kalau boleh dibilang, nuansa kayu yang ada membuat kesan homie yang lebih dalam. Sehingga merasa bahwa kamar ku adalah istanaku adalah nyata.Dia melihat seorang pria paruh baya yang terbaring lemah di ranjang besar. Mendekat bersama perempuan yang membawanya, wajah Irene sedikit menunjukan rasa terkejut; tidak, maksudnya, bukankah pria paruh baya ini mirip dengan iklan digital yang dilihatnya malam itu?Irene menoleh ke samping, mendapati sosok perempuan yang terasa familiar namun juga tidakㅡapakah karena efek make up?Berdehem sejenak, Irene mencoba menetralkan debaran anomali yang tak henti-henti. Seolah menusuk raganya dengan telak, dan membuatnya tergelak. Lucu rasanya, baru satu bulan ia di sini, tapi sudah bertemu, bahkan menginjak kan kaki di rumahnya secara langsung.Keluarga Levebvè, huh?"Ada apa?"Irene menggeleng. Dia dengan gesit mengeluarkan stetoscop nya, dan memulai basik pemeriksaan. Sesekali dia mengerenyit, sesekali juga dia memukul pelan perut pria paruh baya itu dengan jemarinya untuk memastikan.Jujur saja, dia tidak tahu tuan Levebvè ini memiliki penyakit apa, seharusnya ada pada data rekam medis. Namun, bukan haknya untuk melihat secara gamblang privasi pasien dokter lain. Dia hanya memberikan senyuman dingin."Bisa nona muda katakan, kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Tuan Levebvè tadi pagi sampai siang hari?""Papa dan kakak seperti biasa, mereka pergi ke kantor bersama. Kakak memang bekerja sebagai CEO baru di sana, sementara papa melakukan pengecekan secara rutin. Siang nya, dia dan kakak menghadiri beberapa pertemuan. Namun sejak sore tadi, kondisi papa menjadi aneh; panas dingin, pusing, hilang nafsu makan, muntah, dan mengeluh jika perutnya kram." Menghela napas, "Beliau saat inipun masih tidak nyaman."Pelahan, perempuan berambut sepunggung itu bisa melihat mata ayahnya yang terbuka. "Papa," sapanya.Irene menoleh. Mata hazelnya langsung bertatapan dengan mata hazel pria paruh baya tersebut; tampak letih, lelah, dan juga kebingungan."SaㅡSamantha?"Irene hanya tersenyum menanggapi pertanyaan tersebut. Dia tidak mengatakan apapun, dan beralih pada perempuan di depannya. "Saya sarankan untuk dibawa ke rumah sakit. Jika hal itu dirasa cukup merepotkan, saya bisa memasang infus di sini, selebihnya akan dirawat oleh dokter Hans.""Memangnya, papa kenapa, dok?""Identifikasi sementara, tampaknya tuan Levebvè keracunan makanan.""Tungguㅡhah, bagaimana bisa? Papaㅡ"Irene dengan sigap memasangkan infus yang ada di tas medikal milik dokter Hans. Perempuan itu hanya terdiam melihat betapa tanggapnya Irene dalam memasangkan infus.Sementara di sisi lain, pria paruh baya yang masih berbaring terdiam. Menatap kosong pada langit-langit kamar, sementara telinganya terus mendengarkan.Keracunan makanan bukan lagi menjadi pusat atensinya. Melainkan wajah dokter perempuan yang sedang memasangkan infus ini mengingatkannya dengan masa lalu suram yang sebenarnya tak ingin dia ungkit kembali. Itu sudah lama berlalu, dan orang tersebut tak lagi ada."Dokter ...."Irene menyambut uluran tangan perempuan itu, "Saya Irene, dokter Irene.""Saya Clarissa. Terima kasih karena telah membantu merawat ayah."Irene mengibas lengannya. "Bukan masalah, nona Clarissa. Sudah tugas saya. Tolong untuk di kontrol hingga esok hari. Jika masih memiliki gejala yang sama, bahkan lebih, segera larikan ke rumah sakit."Clarissa mengangguk. "Mari saya antar keluar," ujarnya dengan lembut. Irene berhasil berbenah dengan cepat, menatap ke arah tuan Levebvèㅡyang ternyata juga sedang menatapnyaㅡterpaku sejenak, sebelum memaksakan sebuah senyuman. Barulah setelah itu, dia pergi dari sana.Ketika dia hendak melewati ruang tamu, wanita paruh baya datang dengan membawa nampan berisikan minuman. Terkejut melihat Irene dan anaknya sudah selesai."Sebentar, minum dulu.""Terima kasih, nyonya. Saya masih memiliki kerjaan di rumah sakit."Nyonya Levebvè tampak mengerti. Dia bersikap seolah tidak terjadi apapun, "Kerja di mana? Klinik pribadi dokter Hans?" Dia sungguh berharap bahwa perempuan ini segera pergi dari rumahnya.Irene mengangkat sebelah alis. Klinik pribadi dokter Hans? Irene baru mendengarnya. Jadi, dia menggeleng, "Saya bekerja di George Washington University Hospital." Berpura-pura melirik jam tangan, "Saya benar-benar harus pergi sekarang. Permisi.""Ah iya." Clarissa menjawab, "Terima kasih dokter Irene. Hati-hati di jalan."Irene tidak mengatakan apapun lagi. Dia bergegas menaiki mobil dokter Hans dan pergi dari rumah mewah itu secepat mungkin.Malam ini, terlalu banyak hal yang harus dicerna otaknya. Sementara, hatinya tidak siap.Sudah sebulan dia mencari tahu tentang keluarga Levebvè. Dari semua artikel, tidak ada satupun artikel yang menyebutkan nama ibunya, kecuali satu artikel; itupun dengan berita yang sangat tidak mengenakan untuk dilihat.Perselingkuhan, pregnant by accident.Ironi.Diantara dia dan Clarissa, siapa anak kandung, siapa anak haram?Irene membenci pertemuan picisan seperti ini. Sangat membencinya.> ••• <Dokter Hans mengatakan jika Mino telah siuman. Hal pertama yang diinginkan oleh Mino adalah memanggil Albert, sementara pria berusia 30 tahun itu juga meminta tolong agar dokter Hans menyampaikan pesan pada Marcus agar adiknya lebih fokus untuk menyelidiki masalah ini.Bagaimanapun juga, kondisinya tidak bisa dikatakan normal. Ada kejanggalan yang mampu ditutup dengan baik oleh tersangka pelaku utama."Jadi, kau berasumsi bahwa ada pihak ketiga yang mencoba mengadu domba antara keluarga Levebvè dengan keluarga Dendanious?"Mino memejamkan matanya sejenak. "Tidak bisa dibilang begitu, lebih tepatnya pihak ketiga ini ingin menghancurkan perusahaan textile keluarga Levebvè dan perusahaan keluarga ku dengan cara mengadu domba." Sebab, sangat tidak mungkin bagi dua petinggi perusahaan yang baru saja bertemu di sore hari, mendapatkan kabar yang kurang sedap; satu masuk rumah sakit, satunya lagi dirawat di rumah pribadiㅡinformasi ini Mino ketahui dari Albert."Lalu, bagaimana Mino? Marcus sedang menyelidiki masalah ini.""Kita akan buat pelakunya keluar sendiri.""Dengan cara?"Mino terdiam cukup lama. Dia menimang sejenak sebelum memutuskan tekad bulat. "Kita gunakan cara mama?"Albert tidak mengerti dengan apa yang sedang sahabatnya utarakan saat ini.Menarik napas, "Carikan aku seorang istri. Aku rasa sudah saatnya hal ini dilakukan sejak lama.""Mohon maaf?" tanya Albert penuh penekanan.Mino tidak menjelaskan detailnya. Pria itu hanya mengatakan, "Cari perempuan dengan kriteria berikut. Kau catat, dan buka seperti sayembara. Gunakan nama mu, jangan nama ku untuk mengelabui. Kriteria perempuan yang aku maksud ialahㅡ" Albert terus menulis apa yang dikatakan oleh Mino. Sebelum akhirnya, dia membahas beberapa rencana tambahan dan mengundurkan diri.Louis Mino Dendanious. Entah apa yang merasuki sahabatnya itu sehingga nekat mencari istri demi menemukan dalang dari semua masalah yang ada.Albert menghela napas panjang. Seolah sedang membuang semua bebannya sebelum ia menambahkan beban baru yang lebih berat."Sepertinya akan semakin sulit kedepannya."Mino hanya mengangkat bahu sebagai rasa tidak peduli. Pria itu melirik kakinya yang diperban, sebenarnya retak pada tulang kakinya tidak begitu parah, hanya saja ini bisa menjadi kesempatan terbaik untuk memicu gelombang panas."Bukankah belakangan berita sangat membosankan?"Albert melirik waspada, "Kali ini, hal gila apa yang mau kau lakukan?"Memberikan senyuman miring, "Beritahu para wartawan dan segenap rekan media, buat PR perusahaan juga untuk meyakinkan berita. Katakan pada mereka, Mino Louis Dendanious lumpuh akibat kecelakaan yang diterimanya setelah pulang dari konferensi ekonomi internasional."Albert tertawa getir. Mino selalu out of the box dalam pemikirannya, tapi dia tidak menyangka akan sampai segila ini."Lalu kau akan menggunakan kursi roda dalam kegiatan keseharian.""Tidak juga," Mino terkekeh kecil, "Aku untuk sementara waktu akan menjauh dari perusahaan, aku percayakan kepada mu. Kau tenang saja, lumpuh ini hanya berita burung belaka.""Indeed, kau resmi menjadi psikopat." dan Mino hanya tertawa mendengar umpatan sang sahabat.Let's play a little longer, shall we?Malam ini, di apartemen Irene yang sunyi. Suara musik klasik yang berasal dari Vinyl mengalun halus, dengan lembut membelah keheningan dalam ruangan. Sementara, sosok perempuan dengan dress tidur selutut tengah menari pelan. Irene sangat menyukai menari dan menyanyi. Perempuan itu selalu membuat ibunya tersenyum ketika dia menyanyi, sementara menari merupakan kegiatan selingan yang ia lakukan bersama ibunya. Tarian yang Irene lakukan merupakan dansa, tampak aneh karena dia tidak memiliki pasangan pria. Tetapi, dalam gelapnya pejaman mata, Irene hanya ingin berdua bersama kenangan. Kakinya menghentak, gerakannya gemulai, sesekali memutar tubuhnya. Seolah, ia tengah merasakan keberadaan sang ibu. Sejak keluar dari rumah keluarga Levebvè, pikiran Irene tidak lagi waras. Dia kehilangan konsentrasi, terus mengulik apa yang terjadi dengan keluarga Levebvè 18 tahun silam. Sayang, Irene belum memiliki cukup uang untuk menyewa detektif guna mencari tahu. Irene membenci kebisingan, di sanga
Terik mentari di Korea Selatan membuat temperatur suhu setempat naik menjadi 38°C. Orang-orang berbondong-bondong mendatangi halte bus yang dilengkapi dengan AC, beberapa memutuskan untuk tidak peduli dan berjalan dibawah terik Matahari dengan menggunakan payung. Jennie bukan salah seorang diantara mereka, dia menaiki mobil Audi. Membelah kota Seoul dengan perasaan marah luar biasa. Sudah sebulan sejak sahabatnya pergi dari tanah kelahirannya, tapi dia sama sekali belum menghubungi Jennie. Benar-benar menjengkelkan.Dia menyumpah perapahi siapapun yang membuat sahabatnya menjauh. Sejauh yang Jennie pahami dari polemik permasalahan pekerjaan Irene, perempuan itu bekerja dengan sangat tekun di Seoul University Hospital. Jika saja Irene bertahan sedikit lagi, Jennie yakin sahabatnya itu akan mendapatkan jabatan kepala instansi rawat inap.Sayang, nepotisme di sana masih terlalu kuat. Sehingga, mereka yang kompeten terkadang dibuang dan tidak diapresiasi, sementara mereka yang hanya moda
Irene masih mengamati punggung Jennie yang perlahan menghilang di antara kerumunan banyak orang. Perempuan dengan dress hitam motif ini masih menyesap es cokelatnya dengan tenang. Dia tidak terburu-buru untuk pergi dari cafe ini. Masih banyak waktu, dan ia ingin mengekplor kota New York. Ini masih terlalu siang, dan cuaca sangat panas. Irene mencari destinasi wisata atau tempat hits di sini dengan bermodalkan ponsel. Zaman semakin canggih, dan tranportasi umum di New York pun cukup memadai, sehingga cukup memudahkan Irene untuk tidak mati kebingungan di kota ini. Setelah membayar bill dan memberikan tips sebesar 20% dari harga yang dibayar kepada pelayan, Irene perlahan beranjak dari tempatnya. Berjalan sejauh 20 menit menuju New York Time Square. Tempat ini selalu ramai seperti yang ia lohat di televisi. Akan tetapi, keindahan tempat ini kurang memikat kala mentari masih menyinari. Mungkin, jika Irene pergi pada malam hari, suasananya akan berbeda. Orang-orang berjalan terlalu cepa
"Bagaimana, apakah ada yang mendaftar?" Mino pasti bercanda. Walau menggunakan namanya, dengan adanya data tertulis sebagai Sekretaris perusahaan Next In, sudah tentu banyak wanita yang berbaris menginginkan. Mau bagaimanapun juga perusahaan Next In juga bisa menjadi daya tarik bagi mereka yang ingin mencari pasangan. Memijat pangkal hidungnya, Albert sungguh tidak tahu harus bagaimana dia menyortir 100 berkas yang masuk ke dalam email. "Ada seratus berkas yang masuk. Kau pilihㅡ""Sortir terlebih dahulu. Aku tidak mungkin membaca semuanya," potong Mino. Dia kembali menyibukan dengan dokumen kantornya. Albert memberikan tatapan kau pikir aku memiliki waktu untuk menyortir berkas ini? Tetapi, dia tahu watak atasannya ini. Sehingga dia hanya menghela napas dan kembali ke ruangannya tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia melihat setiap profile wanita yang 'mendaftar' untuk menjadi 'calon istri'nya. Dari 100 orang, hanya beberapa orang yang menarik perhatian Albert. Itupun, 6-8 poin y
Sebenarnya mencari kebenaran sama dengan mencari kematian. Diantara kedua hal tersebut, tidak ada yang memberikanmu sedikit rasa sakit. Kematian selalu dibenci karena kebanyaka manusia tidak ingin berjumpa dengan nya. Sementara kebenaran selalu dihindari karena akan membuat terluka banyak pihak; entah apakah sebuah kebenaran untuk hal baik, ataukan kebenaran yang sesungguhnya, tidak ada yang tidak memberikan luka. Hidup bersama single parent, Irene tidak pernah sekalipun meragukan alasan ibunya untuk pergi. Akan tetapi, entah apakah memang suratan takdir yang berkata, saat pertama kali kedatangannya ke sini, ia sudah disuguhkan dengan beberapa jejak kecil. Lalu, beberapa saat setelahnya, dia menjadi dokter pribadi sementara menggantikan dokter Hans ke rumah keluarga Levebvè. Belum lagi dengan ekspresi dari keluarga itu yang semakin menaruh rasa curiga. Apakah ini yang dinamakan sebaik apapun bangkai ditutupi, baunya akan tercium juga? Entahlah. Semua terasa samar bagi Irene. Selama
Mino sedang mengunjungi salah satu departement store yang berada dibawah kukungan Next In. Albert berdiri tepat di belakang seraya mendorong kursi roda. Kepemimpinan ayahnya benar-benar membuktikan bahwa Next In mampu merambah ke berbagai industri. Sehingga, kini ia yang kewalahan sendiri. Terkadang, dia harus lembur di kantor tanpa pulang ke rumah. Berjalan bersama sepuluh manager departement store disekelilingnya, Mino mendengarkan secara perlahan apa yang berusaha mereka sampaikan. Dia bahkan tidak mampu melihat di mana lokasi Albert berdiri sekarang. Biasanya pria itu selalu berada di sampingnya, kini terdesak ke belakang mereka. Beberapa di antara mereka bahkan mencoba mendorong kursi roda Mino dengan tujuan mendapatkan 'perhatian' khusus dari pemimpin mereka. Mereka juga mengelilingi D's Department Store. Sesekali para manager itu menunjuk tangan mereka. Mino hanya mangut-mangut seraya berusaha mencerna apa yang coba kesepuluh manager ini sampaikan. Sebab, dalam seni berbahasa
Jika Cheval Blanc merupakan wine terbaik yang pernah Mino cicipi hingga menjadi addictive, maka tidak salah bagi Mino memuji bahwa wajah perempuan di hadapannya ini sangat cantikㅡbegitu jelita hingga ketitik di mana Mino begitu kencanduan bak morfin; tak ada henti-hentinya ia memandangi wajah tersebut hingga membuat sang empunya tersipu karenanya. Wajah Irene yang merona nyatanya semakin membuat Mino tidak bisa melepas tatapan matanya. Baru kemudian Mino menyesali penampilannya kali ini. Jika dia tahu bahwa Irene adalah gadis baik dan penuh dengan wibawa, dia jelas akan melepas piercing nya dan datang dengan penampilan yang lebih menarik. "Tㅡtolong jangan menaㅡmenatap ku seperti itu, Albert." Mino tersenyum kecil. Mungkin karena ketidak hati-hatian Mino pada sekitar, dia tidak sengaja menyenggol gelas yang berada di dekatnya. Membuat isi di dalam gelas tersebut berceceran ke meja dan jatuh ke lantai. Ekspresi Mino yang terkejut tanpa sadar menjadi sebuah daya tarik bagi Irene. Per
"Terima kasih telah mengantarkan aku kembali, Albert." Mino menatap apartemen di depannya, dan Irene secara bergantian. Memberikan senyuman, "Itu adalah hal yang harus diperlukan. No worries, baby."Irene dan Mino sama-sama terkejut mendengar ucapan diakhir kalimat. Mino merutuki mulutnya yang tidak bisa di rem tepat waktu, sementara Irene yang awalnya terkejut perlahan mampu mengendalikan ekspresinya. Gadis itu memberanikan diri untuk berjalan mendekat. Berdiri tepat di hadapan Mino, dan berjinjit. Sebelum, memberikan sebuah kecupan manis pada pipi sisi kanan. "Terima kasih untuk hari ini," ucap Irene. Nadanya sangat cepat seolah tidak ingin Mino mendengarkan kalimatnya sebelum, berlari masuk ke dalam apartement. Meninggalkan Mino di belakang yang terpaku. Mata Mino hanya terpaku pada punggung Irene yang kian menghilang, dia sejatinya hanya memandang kosongㅡotak dan tubuhnya seolah membeku ketika bibir dingin Irene menyentuh kulit pipi bagian kanan. Kinerja tubuhnya memang patut d
Berita pernikahan putra sulung keluarga Dendanious, Lousi Mino Dendanious menyebar luas; berbagai awak media berbondong-bondong menjadikan berita ini sebagai headline majalah dan koran, sementara ada juga sebagian jurnalistik yang berdiam diri di depan mansion keluarga Dendanious demi mencari secuil beritaㅡterutama menyangkut hal berupa scandal akan lebih baik. Atau setidaknya mereka pikir seperti itu. Sebab, hingga tiga hari belakangan ini, Mansion keluarga Dendanious cenderung sepi dan hanya ada pelayan atau tukang kebun yang membersihkan halaman dibalik pagar yang menjulang tinggi. Para wartawan dan paparazzi ini sudah berkemah di sini. Dan tepat di saat mereka sudah putus asa, sebuah mobil Misserati terlihat mendekati pagar mansion keluarga Dendanious. Para wartawan ini segera menarik kamera dan mencoba melihat siapa yang datang. Ternyata itu adalah salah satu kerabat Mino, yang datang untuk melihat anggota keluarga baru Dendanious yang dinanti-nanti. "Tuan Dealton, bagaimana pe
Seperti dadu yang dilempar, hari terus bergulir, menggantikan hari-hari sebelumnya yang telah dilewati oleh manusia. Bedanya, jika dadu dilempar oleh manusia, maka hari tidak ditentukan oleh siapapun.Roda berputar, seperti putaran takdir yang tidak bisa diprediksi; kadang di atas, terkadang pula manusia merasakan rasa pedihnya berada di bawah. Semua itu, sungguh Tuhan-lah yang telah mengaturnya. Agar seluruh manusia mengetahui seberapa hebatnya Tuhan menciptakan takdir dan alam semestaㅡagar tidak melupakan bahwa setiap perbuatan selalu ada konsekuensi yang harus dijalani. Mulai dari pertemuan tak terduga, hingga sebuah perpisahan yang telah direncanakan. Mulai dari rasa cinta, hingga rasa benci yang teramat sangat menyesakan hati. Seperti sungai yang mengalir, adem, menghanyutkan, dan membawa berbagai macam emosi di dalamnya; kepedihan, kesenangan, dan kemarahanㅡair sungai terlihat tenang tapi begitu menghanyutkan. Hal ini sama dengan yang tua meninggalkan dunia, dan yang muda terla
Clarissa keluar dari rumah sakit dengan pandangan kosong. Perempuan itu menatap langit biru di atasnya, lalu mengembuskan napas lelah. Tidak heran beberapa minggu terakhir ini dia menjadi lebih cepat lelah, bawaannya ingin pulang ke rumah dan tidur dengan nyaman, belum lagi rasa mual yang cukup mengganggu. Siapa sangka dia akan mengalaminya secepat ini? Takdir terlalu kejam untuknya. Bagaimana dia harus berkata kepada kakaknya, Irene? Belum lagi kakak iparnya yang juga berteman dekat dengan sosok yang belakangan ini terus mengusik kehidupan tenang Clarissa? Terutama, bagaimana dia menjelaskan ini kepada ayahnya? Berbagai sekelumit pemikiran terus bermekaran dalam kepala. Seolah otaknya menolak berhenti untuk tidak berpikir belebihan. Belakangan ini, ayahnya, tuan Levebvè sangat membanggakan dirinya yang sudah berani mengambil langkah kecil untuk melihat sisi lain kehidupan sebagai pekerja kantoran di perusahaan en
Beberapa hari belakangan ini Clarissa merasa dia dilihat oleh banyak orang. Dalam artian pandangan yang menatapnya dengan pandangan menilai, menghakimi, hingga merendahkan. Sebenarnya ini bisa saja hanya sebuah perasaan semata, tapi hal ini semakin membuatnya yakin ketika ia hendak ke kamar mandi untuk memuntahkan rasa mual. "Kau dengar, tidak aku sangka ternyata dia masuk ke Music Blanc menggunakan jalur nepotisme," ujar salah seorang staff. Clarissa menahan rasa mualnya habis-habisan dan berdiri terdiam di depan kamar mandi seraya membekap mulutnya. "Ya, aku yakin dia tidak memiliki prestasi sedikitpun. Apa yang kau harapkan dari seorang anak konglomerat yang manja? Tidakah belakangan keluarga Levebvè juga terkena kasus penculikan?" Menggelengkan kepala, "Sungguh keluarga yang brutal.""Sshh," staff itu melirik ke kanan dan ke kiri, "Jaga ucapan mu, aku dengar bahwa putri keluarga Levebvè yang tersembunyi adalah istri dari CEO Mino, bahaya jika kau ketahuan." Mengangkat bahu acuh
Irene sedang menikmati afternoon tea nya ketika ia mendapatkan kabar dari Marcus tentang alasan sikap murung Clarissa belakangan ini. Sejenak, Irene terdiam. Dia pandangi sosok tampan sang suami yang juga sedang menatapnya dengan pandangan kebingungan. "Aku tidak tahu apapun, sungguh!" "Aku tidak mengatakan apapun." Irene bergumam lembut. Mengembuskan napas, "Albert memang seperti itu sejak dulu. Awalnya dia tidak terlalu into sex, tapi sejak masuk ke persusahaan, ada satu dua hal yang tampaknya membuat dia sering seperti itu." Mata Irene memincing, "Did you do the same?""I do the same," Mino segera melanjutkan, "Aku bersumpah hanya melakukannya beberapa kali untuk stress relief." Irene hanya terdiam. Dia sudah pernah memikirkan ini sebelumnya, tapi mendengar pengakuan ini secara langsung, rasanya sedikit ada yang mencubit dihati. Namun, mengingat kini Mino sudah menjadi miliknya, tampaknya dia mengkhawatirkan hal yang tidak perlu."Yeah, kita tidak perlu meributkan hal yang su
Mentari sudah terbit, sinarnya memasuki cela-cela ventilasi dan menembus tirai. Sayang sekali, mungkin karena mabuk dan terlalu sibuk dengan urusan ranjang, kedua orang yang masih berbaring di atas kasur tersebut lupa untuk menutup tirai jendela. Sehingga kini matahari langsung menyinari dan membangunkan salah satu di antara mereka. Clarissa adalah sosok yang pertama kali terbangun. Perempuan itu langsung menatap wajah tertidur Albert. Dengan tergasa, dia segera bangun dari tidurnya dengan wajah panik. "Akh." Sial, sial, sial! Clarissa ingin mencakar habis pria kurang ajar satu ini. Dalam hati berkata bagaimana bisa Mino berteman baik dengan sosok bejat seperti Albert? Mendengar pekikkan kecil dan suara tergesa, Albert juga bangun dari tidurnya. Pemandangan seperti ini sudah biasa dilihat. Namun, kali ini berbeda. Perempuan yang bersamannya sepanjang malam tampak sangat panik, dan terlihat mencari-cari sesuatu. "Mencari apa?" Suara serak khas bangun tidur membuat Clarissa membek
Clarissa tidak lagi mempedulikan. Perempuan itu segera memesan menu makanan yang ingin ia makan pada malam hari ini kepada bartender. "Do you think I can get closer to him?" Clarissa mengengkat bahu, "Tidak tahu, tergantung metode seperti apa yang ingin kau gunakan? Langsung menggoda, atau mau memasukan aphrodisiac?" Mata Viona melotot, tanpa sadar memukul pelan lengan rekannya, "Pikiran mu sungguh kotor."Wajah Clarissa mencerminkan tanda tanya besar. Di bagian mana dia kotor? Bukankah menggoda secara langsung dan memasukan aphrodisiac ke dalam minuman adalah metode yang biasa sering digunakan oleh banyak orang? Menganati wajah Viona yang memerah parah, Clarissa memutar bola matanya jengah. Jangan katakan ladanya bahwa Viona adalah gadis polos yang denial atas hal-hal kotor? Menghela napas, "Lalu, kau ingin dia menotis mu seperti apa?" Menundukan kepala, "Tidakkah aku cantik?" Clarissa seketika itu juga ingin sekali bernajak pulang. Siapa yang menyangka bahwa Viona merupakan g
Albert Ventagio, orang-orang selalu mengenalnya sebagai sosok ramah dan sopan. Ditambah dia adalab sekretaris sekaligus asisten pribadi seorang Louis Mino Dendanious, yang menjadikan lria itu lebih cekatan dari pada yang lainnya. Mungkin karena terinfeksi siklus kerja sahabatnya, Mino, terkadang Albert juga bisa lebih workholic daripada Mino sendiri. Sebagai sekretaris yang ditugaskan langsung dibawah Mino, dia terkadang juga menggantikan Mino dalam memimpin rapatㅡbaik secara lokal maupun rapat internasional, seperti yang sudah-sudah. Terkadang dia berada di luar negri karena utusan Mino yang kebetulan jadwalnya bertabrakan dengan jadwal meeting di luar. Sehingga mengutus Albert sebagai pengganti. Albert juga bukan berasal dari kalangan keluarga berada atau menengah ke bawah. Mendiang ayahnya adalah seorang dosen di salah satu universitas di Boston, sementara ibunya merupakan ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan harian sebagai penjual bungaㅡsekarang sudah memiliki toko dan membu
Clarissa hari ini sudah mulai masuk menjadi pekerja tetap di perusahaan Music Blanc sebagai public relation. Pekerjaan ini cenderung paling sibuk; setiap harinya harus memberikan press realise di website resmi perusahaan, promosi di akun media sosial yang telah tersedia. Hingga harus memberikan ide kreatif agar lebih menarik banyak peerhatian fans. Jumlah fans aktris, aktor, dan penyanyi di perusahaan ini banyak, hingga tidak heran apabila fans mereka juga menjadi fans perusahaan. Music Blanc digadang-gadang menjadi perusahaan entertainment dengan followers terbanyak diberbagai sosial media. Clarissa dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Perempuan itu tidak malu untuk memperkenalkan diria dan dari jurusan mana dia berasal. Namun, dia tidak membicarakan soal Marcus sebagai temannya, Mino sebagai kakak iparnya, dan merupakan anak bungsu keluarga Levebvè. Setidaknya, bagi Clarissa cukup tahu diri bahwa tidak semua orang bisa menikmati privilage seperti yang ia punya. Jadi