New York selalu menjadi kota impian sejuta umat. Hiruk piruk penduduknya yang padat, gaya modis fashion, hingga menjadi tempat tinggal di mana kaum elite berada bukan lagi hal baru. Kota ini terbilang padat, tetapi banyak penduduk yang enggan tuk beranjak.
Kebanyakan dari mereka ialah pendatang dari berbagai penjuru; mulai dari negara federasi Amerika Serikat, hingga warganegara asing sangat tertarik untuk tinggal di kota tersebut. Tidak heran, kota ini sejatinya menawarkan banyak hal, kecuali ketentraman dan juga mentalitas dibawah rata-rataㅡNew York City, merupakan kota yang sangat keras.Tidak di siang ataupun di malam hari, mesin-mesin kendaraan bermotor seolah tiada hentinya bergemuruh disepanjang jalan. Di antara mobil taxi kuning khas New York, dan gemerlapnya kota di malam hari, sebuah Misserati melaju dengan kecepatan normal. Atap mobilnya tertutup, dan kaca mobilnya berwarna hitam pekat. Sehingga, tidak memungkinkan bagi pejalan kaki untuk melihat siapa orang yang mengendarai mobil mewah tersebut.Sementara di dalam mobil, seorang pria tampak melepas kasar dasi yang dikenakan, raut wajahnya tampak tidak senang, dan rahangnya mengetat; seolah tengah menahan emosi yang sejak awal ditahan.Ditelinganya terdapat sebuah headset bluetooth yang sengaja disambung untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan selama diperjalanan."Urus dengan baik. Apakah tidak ada dari semua anak buah mu yang becus bekerja?" Pria itu menaikan nadanya beberapa oktaf."Besok," ujarnya seraya menarik napas, "Katakan pada setiap kepala divisi untuk melaporkan semua kinerja mereka." Setelah itu, dia memutus langsung sambungan tanpa mendengarkan penjelasan apapun lagi. Melempar headset bluetoothnya kesembarang arah.Baru beberapa detik keheningan membuat emosinya mereda sedikit, suara telepon kembali terdengar. Kali ini, suara panggilan tersebut berasal dari ponsel dengan nomor pribadinya yang berdering.Dia melirik sekilas ke arah ponselnya, menghela napas, dan mulai mengangkat telepon. Menekan tombol loudspeaker."Hallo, Albert. Bagaimana?"Pria itu memejamkan matanya yang lelah sejenak. "Jadi, aku benar-benar harus pulang?""Albert, kau tidak bisa membujuk ibuku." Sebuah pernyataan yang kali ini ia lontarkan. Dari seberang telepon, dia mendengar sahabatnya mengeluarkan sumpah perapah kecil.Terkekeh pelan. "Aku tahu sesungguhnya tidak ingin kembali. Kau tahu Ibuku seperti apa.""Ya, aku tahu. Aku bahkan sudah mampu mendengar ocehan seperti apa yang akan ia lontarkan kepada ku." Temannya tertawa mendengar ucapan setengah bercanda yang terlontar."Alright, thank you so much. You helped me a lot."Setelah memastikan bahwa ponselnya tidak lagi berdering, dan orang-orang tidak lagi mengganggu. Pria ini menginjak dalam-dalam pedas gas mobil Misserati yang digunakan.Perjalanan dari Queens menuju Manhattan tidak begitu jauh. Hanya berjarak sekitar 31 menit jika lancar dan 45 menit jika terjadi kemacetan. Dan perjalanan malam ini, relatif lancar tanpa ada kemacetan sama sekali.Tidak lama setelahnya, diperbatasan kota Manhattan, Misserati itu memasuki sebuah bangunan besar, di depannya terdapat gerbang kokoh berwarna hitam.Pintu pagar terbuka secara otomatis kala security yang berjaga di depan melihat mobil tuan muda melalui layar cctv.Pria itu turun dari Misseratinya dan membiarkan orang di rumah ini memasukan mobil ke bagasi bawah tanah. Berjalan masuk seraya menenteng jas ditangannya, ia melangkah memasuki mansion.Beberapa pelayan yang ditemuinya di jalan menyapa, dan dia hanya menjawab dengan anggukan sesekali. Langkah kakinya bergerak menuju sebuah ruangan, di mana ia sudah bisa melihat dua orang tua dan adiknya."Sudah datang, kak."Pria itu mengangguk mendengar kalimat retoris adiknya. Dia memberikan salam singkat kepada kedua orang tua sebelum, menyuruh salah satu pelayan untuk membuatkannya segelas kopi hitam."Bagaimana kerja mu?""Baik, pa. Walau ada beberapa kekacauan, masih bisa ditangani dengan baik."Pria yang sudah memasuki usia 60 tahun itu mengangguk puas. Menyeruput kopinya yang mulai mendingin. "Papa senang mendengarnya.""Kalian para pria, berhentilah membicarakan pekerjaan di rumah." Nyonya Dendanious berdecak, "Tolong bedakan di mana kalian berdiri saat ini; mansion adalah rumah, tempat tinggal. Bukan tempat kalian bekerja, jika kalian ingin membahas bisnis, ruang kerja ada dilantai dua."Ketika pria dalam keluarga itu hanya tertawa kecil mendengar gerutuan sang Ratu di rumah ini."Jadi, ada perlu apa kalian berdua mengundangku datang?" Mengucapkan terima kasih kepada pelayan, sebelum menyeruput kopinya yang masih panas. Dia melirik adiknya dan mengangkat sebelah alis, "Marcuss mengenalkan kekasihnya?""Tidak," sahut Marcuss, pria yang mengenakan sweater biru muda."Lantas?" Padangan pria berjas hitam itu teralihkan pada ibunya yang berdehem keras. Kening pria itu mengerenyit, telah memiliki firasat tidak enak."Mama mengundang mu ada beberapa hal; pertama, kau jarang sekali pulang ke Manhattan, Mino. Kedua, kapan kau akan membawa menantu untuk mama dan papa? Umur mu sudah akan berkepala tiga minggu depan."Mino meringin saat mendengat ucapan ibunya. Ratu di rumah ini memiliki kekuasaan yang berbeda; semua yang ada di rumah ini, harus mengikuti segala ucapannya, dan perintah itu mutlak adanya. Jika sudah begini, bagaimana Mino akan menjawab?"Ma, aku masih mau fokus mengurus perusaㅡ""Mau ya, mama ikutkan kamu kencan buta?""...." Mino sungguh tidak tahu harus berkata seperti apa lagi. Sejak dua tahun yang lalu, mamanya memang kerap kali 'memaksa' Mino untuk ikut kencan buta, dan dalam dua tahun belakangan juga Mino berhasil mengelabui mamanya.Mata nyonya Dendanious tampak begitu memelas, "Ya, sayang? Nanti mama kenalkan dengan anak teman mama."Mino menghela napas. Dia melirik adiknya yang tampak acuh, dan papanya yang terlihat tidak begitu peduli namun mengamati."Ma, ini urusan Mino. Apakah Mino akan menikah besok atau tidak sama sekali, itu urusan Mino. Mengapa mama tidak menikahkan Marcuss dengan kekasihnya?"Orang yang merasa namanya ikut terseret dalam kasus pernikahan inipun mendelik, "Hey!" protesnya."Kamu yang paling tua, Mino. Kamu tidak keberatan kalau adikmu melangkahi?""Sama sekali tidak." Mencoba mengatur pernapasan untuk tidak terbawa emosi setiap kali mendengar topik menjengkelkan ini. "Inilah alasan mengapa Mino malas untuk berada di rumah ma. Mama memaksa kehendak Mino."Nyonya Dendanious terdiam. Ada sorot kekecewaan dimatanya yang terlihat lelah tapi, Mino merupakan pribadi keras kepala yang juga tidak akan goyah dengan prinsipnya. Setelah itu, Mino pergi dari sana dan beranjak menuju kamarnya di lantai dua.Melihat kelakuan Mino seperti ini, membuat Marcuss menelan saliva. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, perang dingin antara sang kakak dan sang mama."Akuㅡ" tampak ragu, "Aku ke atas dulu, ma, pa. Selamat malam." Marcuss memutuskan untuk kabur daripada ikut terkena getahnya. Sembari dalam hati mengutuk sang kakak."Sial, kenapa kak Mino tidak menuruti ucapan mama." Marcuss mendengus. Dia membuka ponsel, mengirim pesan kepada sang kakak melalui aplikasi chat.Kak MinoKak, jika kakak ingin mencari kekasih agar mama diam dan tidak lagi menyuruh mu menikah, mau aku rekomendasikan artis dari agensi ku? .Sebagai seorang dokter di salah satu rumah sakit ternama di Seoul membuat Irene tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan apapun selain bekerja, bekerja, dan terus bekerja. Belum lagi, sebagai seorang dokter, terkadang shift nya tidak menentu, jam malam, dan juga ponsel yang harus siap 24 jam non-stop. Apakah Lelah? Sangat, tapi Irene ingat perjuangan orang tua tunggalnya yang menaruh banyak harapan kepada anak perempuan satu-satunya. Keputusan sang mama untuk pindah ke negara gingseng ini ada kaitan dengan luka yang tak akan pernah sembuh, bahkan seiring berjalannya waktu. Secerah cuaca Seoul siang hari ini, Irene sedang menikmati kegiatan bersantainya di salah satu café yang terletak di Gangnam-gu. Tidak ada panggilan dari rumah sakit karena hari ini merupakan hari liburnya—setelah sekian lama dia tidak mengambil hari libur. “Hei, kau tidak mengatakan apapun jika kau ingin mampir ke café.” Suara lembut tersebut sangat familiar. Irene yang sedang menoleh ke jendela dan melihat
Bandara intermasional Washington Dallas, kebanyakan orang Amerika, khususnya wilayah Virginia menyebut bandara tersebut sebagai bandara Dallas, merupakan bandara terbaik yang ada di area Washington.Perempuan berambut panjang dengan hoodie putih tampak menarik dua koper besarnya. Dia tampak kelimpungan karena ukuran tubuh yang sesungguhnya tidak memungkinkan untuk membawa banyak barang. 158 cm mungkin merupakan tinggi badan ideal untuk beberapa negara, akan tetapi di Amerika, ukuran tubuhnya membuat ia tampak lebih mungil.Menurut Dokter Park, seseorang seharusnya menjemput Irene. Oleh sebab itu, perempuan ini tampak melihat ke kanan dan ke kiri barangkali melewatkan tanda atau seseorang yang sedang menunggu.Irene menunggu cukup lama, tapi tak ada satupun tanda-tanda seseorang akan datang menjemput. Dia menghela napas, sedikit kesal dengan koordinasi afiliasi dari rumah sakit yang akan menjadi tempatnya bekerja nanti.Dia meraih ponsel, mencari toko terdekat di bandara yang mungkin s
Tempat rumah sakit Irene bekerja merupakan George Washington University Hospital. Tempat barunya ini lebih nyaman daripada rumah sakit sebelumnya ia bekerja. Rata-rata residen di rumah sakit ini cukup baik, walau beberapa mungkin merasa lebih superior. Seperti Dokter Hans, dokter senior ini sudah berusia 55 tahun. Beliau merupakan orang yang baik dan memberikan Irene banyak pembelajaran di hari pertamanya bekerja di rumah sakit ini. Banyak dari pengalaman beliau yang sebenarnya diluar jangkauan kebiasaan Irene ketika menjadi dokter rumah sakit di Korea Selatan. Mungkin karena dari budaya bekerja di Amerika dan Korea yang berbeda, sehingga ada beberapa hal yang harus Irene lakukan untuk beradaptasi sepecepat mungkin. Pekerjaan di sini dilakukan dengan sangat profesional, mereka tidak mengambil keputusan secara asal-asalan tanpa adanya rapat keputusan. "First time here, in The US?" tanya Dokter Hans. Irene menjawab. "Tidak, dokter." Seraya menggelengkan kepala, "Saya pernah tinggal
Irene menghentikan mobil nya tepat dipintu masuk perumahan mewah yang terlihat sepi. Apalagi dengan hari yang mulai malam, selain lampu yang menyala, dan penjaga perumahan di pintu masuk utama, hanya keheningan yang melanda. Jendela mobilnya diketuk. Menurunkan kaca jendela, mata jernih Irene yang berwarna hazel menatap pria yang sedang memberikan tatapan curiga kepadanya. Irene bersikap tenang, dia tersenyum seraya menunjukan kalung name tag George Washington University Hospital. "Saya menggantikan dokter Hans menemui pasien di salah satu unit perumahan ini." Tidak lupa, dia menyebutkan nomor unit perumahan yang hendak ditujunya. Penjaga itu segera membukakan pintu seraya mengucapkan kata maaf. Irene hanya memberikan senyuman yang menandakan bahwa ia sama sekali tidak keberatan. Baru setelahnya, dia mengendarai mobil SUV milik dokter Hans ke salah satu unit perumahan mewah di sini. Irene berhenti di depan gerbang berwarna cokelat tua yang menjulang tinggi. Perempuan itu menekan kl
Malam ini, di apartemen Irene yang sunyi. Suara musik klasik yang berasal dari Vinyl mengalun halus, dengan lembut membelah keheningan dalam ruangan. Sementara, sosok perempuan dengan dress tidur selutut tengah menari pelan. Irene sangat menyukai menari dan menyanyi. Perempuan itu selalu membuat ibunya tersenyum ketika dia menyanyi, sementara menari merupakan kegiatan selingan yang ia lakukan bersama ibunya. Tarian yang Irene lakukan merupakan dansa, tampak aneh karena dia tidak memiliki pasangan pria. Tetapi, dalam gelapnya pejaman mata, Irene hanya ingin berdua bersama kenangan. Kakinya menghentak, gerakannya gemulai, sesekali memutar tubuhnya. Seolah, ia tengah merasakan keberadaan sang ibu. Sejak keluar dari rumah keluarga Levebvè, pikiran Irene tidak lagi waras. Dia kehilangan konsentrasi, terus mengulik apa yang terjadi dengan keluarga Levebvè 18 tahun silam. Sayang, Irene belum memiliki cukup uang untuk menyewa detektif guna mencari tahu. Irene membenci kebisingan, di sanga
Terik mentari di Korea Selatan membuat temperatur suhu setempat naik menjadi 38°C. Orang-orang berbondong-bondong mendatangi halte bus yang dilengkapi dengan AC, beberapa memutuskan untuk tidak peduli dan berjalan dibawah terik Matahari dengan menggunakan payung. Jennie bukan salah seorang diantara mereka, dia menaiki mobil Audi. Membelah kota Seoul dengan perasaan marah luar biasa. Sudah sebulan sejak sahabatnya pergi dari tanah kelahirannya, tapi dia sama sekali belum menghubungi Jennie. Benar-benar menjengkelkan.Dia menyumpah perapahi siapapun yang membuat sahabatnya menjauh. Sejauh yang Jennie pahami dari polemik permasalahan pekerjaan Irene, perempuan itu bekerja dengan sangat tekun di Seoul University Hospital. Jika saja Irene bertahan sedikit lagi, Jennie yakin sahabatnya itu akan mendapatkan jabatan kepala instansi rawat inap.Sayang, nepotisme di sana masih terlalu kuat. Sehingga, mereka yang kompeten terkadang dibuang dan tidak diapresiasi, sementara mereka yang hanya moda
Irene masih mengamati punggung Jennie yang perlahan menghilang di antara kerumunan banyak orang. Perempuan dengan dress hitam motif ini masih menyesap es cokelatnya dengan tenang. Dia tidak terburu-buru untuk pergi dari cafe ini. Masih banyak waktu, dan ia ingin mengekplor kota New York. Ini masih terlalu siang, dan cuaca sangat panas. Irene mencari destinasi wisata atau tempat hits di sini dengan bermodalkan ponsel. Zaman semakin canggih, dan tranportasi umum di New York pun cukup memadai, sehingga cukup memudahkan Irene untuk tidak mati kebingungan di kota ini. Setelah membayar bill dan memberikan tips sebesar 20% dari harga yang dibayar kepada pelayan, Irene perlahan beranjak dari tempatnya. Berjalan sejauh 20 menit menuju New York Time Square. Tempat ini selalu ramai seperti yang ia lohat di televisi. Akan tetapi, keindahan tempat ini kurang memikat kala mentari masih menyinari. Mungkin, jika Irene pergi pada malam hari, suasananya akan berbeda. Orang-orang berjalan terlalu cepa
"Bagaimana, apakah ada yang mendaftar?" Mino pasti bercanda. Walau menggunakan namanya, dengan adanya data tertulis sebagai Sekretaris perusahaan Next In, sudah tentu banyak wanita yang berbaris menginginkan. Mau bagaimanapun juga perusahaan Next In juga bisa menjadi daya tarik bagi mereka yang ingin mencari pasangan. Memijat pangkal hidungnya, Albert sungguh tidak tahu harus bagaimana dia menyortir 100 berkas yang masuk ke dalam email. "Ada seratus berkas yang masuk. Kau pilihㅡ""Sortir terlebih dahulu. Aku tidak mungkin membaca semuanya," potong Mino. Dia kembali menyibukan dengan dokumen kantornya. Albert memberikan tatapan kau pikir aku memiliki waktu untuk menyortir berkas ini? Tetapi, dia tahu watak atasannya ini. Sehingga dia hanya menghela napas dan kembali ke ruangannya tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia melihat setiap profile wanita yang 'mendaftar' untuk menjadi 'calon istri'nya. Dari 100 orang, hanya beberapa orang yang menarik perhatian Albert. Itupun, 6-8 poin y
Berita pernikahan putra sulung keluarga Dendanious, Lousi Mino Dendanious menyebar luas; berbagai awak media berbondong-bondong menjadikan berita ini sebagai headline majalah dan koran, sementara ada juga sebagian jurnalistik yang berdiam diri di depan mansion keluarga Dendanious demi mencari secuil beritaㅡterutama menyangkut hal berupa scandal akan lebih baik. Atau setidaknya mereka pikir seperti itu. Sebab, hingga tiga hari belakangan ini, Mansion keluarga Dendanious cenderung sepi dan hanya ada pelayan atau tukang kebun yang membersihkan halaman dibalik pagar yang menjulang tinggi. Para wartawan dan paparazzi ini sudah berkemah di sini. Dan tepat di saat mereka sudah putus asa, sebuah mobil Misserati terlihat mendekati pagar mansion keluarga Dendanious. Para wartawan ini segera menarik kamera dan mencoba melihat siapa yang datang. Ternyata itu adalah salah satu kerabat Mino, yang datang untuk melihat anggota keluarga baru Dendanious yang dinanti-nanti. "Tuan Dealton, bagaimana pe
Seperti dadu yang dilempar, hari terus bergulir, menggantikan hari-hari sebelumnya yang telah dilewati oleh manusia. Bedanya, jika dadu dilempar oleh manusia, maka hari tidak ditentukan oleh siapapun.Roda berputar, seperti putaran takdir yang tidak bisa diprediksi; kadang di atas, terkadang pula manusia merasakan rasa pedihnya berada di bawah. Semua itu, sungguh Tuhan-lah yang telah mengaturnya. Agar seluruh manusia mengetahui seberapa hebatnya Tuhan menciptakan takdir dan alam semestaㅡagar tidak melupakan bahwa setiap perbuatan selalu ada konsekuensi yang harus dijalani. Mulai dari pertemuan tak terduga, hingga sebuah perpisahan yang telah direncanakan. Mulai dari rasa cinta, hingga rasa benci yang teramat sangat menyesakan hati. Seperti sungai yang mengalir, adem, menghanyutkan, dan membawa berbagai macam emosi di dalamnya; kepedihan, kesenangan, dan kemarahanㅡair sungai terlihat tenang tapi begitu menghanyutkan. Hal ini sama dengan yang tua meninggalkan dunia, dan yang muda terla
Clarissa keluar dari rumah sakit dengan pandangan kosong. Perempuan itu menatap langit biru di atasnya, lalu mengembuskan napas lelah. Tidak heran beberapa minggu terakhir ini dia menjadi lebih cepat lelah, bawaannya ingin pulang ke rumah dan tidur dengan nyaman, belum lagi rasa mual yang cukup mengganggu. Siapa sangka dia akan mengalaminya secepat ini? Takdir terlalu kejam untuknya. Bagaimana dia harus berkata kepada kakaknya, Irene? Belum lagi kakak iparnya yang juga berteman dekat dengan sosok yang belakangan ini terus mengusik kehidupan tenang Clarissa? Terutama, bagaimana dia menjelaskan ini kepada ayahnya? Berbagai sekelumit pemikiran terus bermekaran dalam kepala. Seolah otaknya menolak berhenti untuk tidak berpikir belebihan. Belakangan ini, ayahnya, tuan Levebvè sangat membanggakan dirinya yang sudah berani mengambil langkah kecil untuk melihat sisi lain kehidupan sebagai pekerja kantoran di perusahaan en
Beberapa hari belakangan ini Clarissa merasa dia dilihat oleh banyak orang. Dalam artian pandangan yang menatapnya dengan pandangan menilai, menghakimi, hingga merendahkan. Sebenarnya ini bisa saja hanya sebuah perasaan semata, tapi hal ini semakin membuatnya yakin ketika ia hendak ke kamar mandi untuk memuntahkan rasa mual. "Kau dengar, tidak aku sangka ternyata dia masuk ke Music Blanc menggunakan jalur nepotisme," ujar salah seorang staff. Clarissa menahan rasa mualnya habis-habisan dan berdiri terdiam di depan kamar mandi seraya membekap mulutnya. "Ya, aku yakin dia tidak memiliki prestasi sedikitpun. Apa yang kau harapkan dari seorang anak konglomerat yang manja? Tidakah belakangan keluarga Levebvè juga terkena kasus penculikan?" Menggelengkan kepala, "Sungguh keluarga yang brutal.""Sshh," staff itu melirik ke kanan dan ke kiri, "Jaga ucapan mu, aku dengar bahwa putri keluarga Levebvè yang tersembunyi adalah istri dari CEO Mino, bahaya jika kau ketahuan." Mengangkat bahu acuh
Irene sedang menikmati afternoon tea nya ketika ia mendapatkan kabar dari Marcus tentang alasan sikap murung Clarissa belakangan ini. Sejenak, Irene terdiam. Dia pandangi sosok tampan sang suami yang juga sedang menatapnya dengan pandangan kebingungan. "Aku tidak tahu apapun, sungguh!" "Aku tidak mengatakan apapun." Irene bergumam lembut. Mengembuskan napas, "Albert memang seperti itu sejak dulu. Awalnya dia tidak terlalu into sex, tapi sejak masuk ke persusahaan, ada satu dua hal yang tampaknya membuat dia sering seperti itu." Mata Irene memincing, "Did you do the same?""I do the same," Mino segera melanjutkan, "Aku bersumpah hanya melakukannya beberapa kali untuk stress relief." Irene hanya terdiam. Dia sudah pernah memikirkan ini sebelumnya, tapi mendengar pengakuan ini secara langsung, rasanya sedikit ada yang mencubit dihati. Namun, mengingat kini Mino sudah menjadi miliknya, tampaknya dia mengkhawatirkan hal yang tidak perlu."Yeah, kita tidak perlu meributkan hal yang su
Mentari sudah terbit, sinarnya memasuki cela-cela ventilasi dan menembus tirai. Sayang sekali, mungkin karena mabuk dan terlalu sibuk dengan urusan ranjang, kedua orang yang masih berbaring di atas kasur tersebut lupa untuk menutup tirai jendela. Sehingga kini matahari langsung menyinari dan membangunkan salah satu di antara mereka. Clarissa adalah sosok yang pertama kali terbangun. Perempuan itu langsung menatap wajah tertidur Albert. Dengan tergasa, dia segera bangun dari tidurnya dengan wajah panik. "Akh." Sial, sial, sial! Clarissa ingin mencakar habis pria kurang ajar satu ini. Dalam hati berkata bagaimana bisa Mino berteman baik dengan sosok bejat seperti Albert? Mendengar pekikkan kecil dan suara tergesa, Albert juga bangun dari tidurnya. Pemandangan seperti ini sudah biasa dilihat. Namun, kali ini berbeda. Perempuan yang bersamannya sepanjang malam tampak sangat panik, dan terlihat mencari-cari sesuatu. "Mencari apa?" Suara serak khas bangun tidur membuat Clarissa membek
Clarissa tidak lagi mempedulikan. Perempuan itu segera memesan menu makanan yang ingin ia makan pada malam hari ini kepada bartender. "Do you think I can get closer to him?" Clarissa mengengkat bahu, "Tidak tahu, tergantung metode seperti apa yang ingin kau gunakan? Langsung menggoda, atau mau memasukan aphrodisiac?" Mata Viona melotot, tanpa sadar memukul pelan lengan rekannya, "Pikiran mu sungguh kotor."Wajah Clarissa mencerminkan tanda tanya besar. Di bagian mana dia kotor? Bukankah menggoda secara langsung dan memasukan aphrodisiac ke dalam minuman adalah metode yang biasa sering digunakan oleh banyak orang? Menganati wajah Viona yang memerah parah, Clarissa memutar bola matanya jengah. Jangan katakan ladanya bahwa Viona adalah gadis polos yang denial atas hal-hal kotor? Menghela napas, "Lalu, kau ingin dia menotis mu seperti apa?" Menundukan kepala, "Tidakkah aku cantik?" Clarissa seketika itu juga ingin sekali bernajak pulang. Siapa yang menyangka bahwa Viona merupakan g
Albert Ventagio, orang-orang selalu mengenalnya sebagai sosok ramah dan sopan. Ditambah dia adalab sekretaris sekaligus asisten pribadi seorang Louis Mino Dendanious, yang menjadikan lria itu lebih cekatan dari pada yang lainnya. Mungkin karena terinfeksi siklus kerja sahabatnya, Mino, terkadang Albert juga bisa lebih workholic daripada Mino sendiri. Sebagai sekretaris yang ditugaskan langsung dibawah Mino, dia terkadang juga menggantikan Mino dalam memimpin rapatㅡbaik secara lokal maupun rapat internasional, seperti yang sudah-sudah. Terkadang dia berada di luar negri karena utusan Mino yang kebetulan jadwalnya bertabrakan dengan jadwal meeting di luar. Sehingga mengutus Albert sebagai pengganti. Albert juga bukan berasal dari kalangan keluarga berada atau menengah ke bawah. Mendiang ayahnya adalah seorang dosen di salah satu universitas di Boston, sementara ibunya merupakan ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan harian sebagai penjual bungaㅡsekarang sudah memiliki toko dan membu
Clarissa hari ini sudah mulai masuk menjadi pekerja tetap di perusahaan Music Blanc sebagai public relation. Pekerjaan ini cenderung paling sibuk; setiap harinya harus memberikan press realise di website resmi perusahaan, promosi di akun media sosial yang telah tersedia. Hingga harus memberikan ide kreatif agar lebih menarik banyak peerhatian fans. Jumlah fans aktris, aktor, dan penyanyi di perusahaan ini banyak, hingga tidak heran apabila fans mereka juga menjadi fans perusahaan. Music Blanc digadang-gadang menjadi perusahaan entertainment dengan followers terbanyak diberbagai sosial media. Clarissa dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Perempuan itu tidak malu untuk memperkenalkan diria dan dari jurusan mana dia berasal. Namun, dia tidak membicarakan soal Marcus sebagai temannya, Mino sebagai kakak iparnya, dan merupakan anak bungsu keluarga Levebvè. Setidaknya, bagi Clarissa cukup tahu diri bahwa tidak semua orang bisa menikmati privilage seperti yang ia punya. Jadi