Hari cerah di Washington DC. Louis Mino Dendanious, sedang bersantai seraya menonton televisi chanel bisnis. Dia mengamati sejenak perkembangan bisnis ekspor dan impor produk Amerika ke luar negeri sebagai salah satu acuan inovasi bisnis ke depan. Ditangannya terdapat teh hangat yang masih mengepul, ia seruput diam-diam seraya melirik ke arah samping; Irene sedang meletakan kepalanya di bahu Mino. Mereka terdiam, menikmati saat-saat kehingan namun juga begitu harmonis bagi dua orang. "You're so clingy." Entah apakah itu sebuah pernyataan atau sebuah ejekan, Irene hanya merespon dengan dengusan kecil. Wanita itu merangkul lengan Mino, mendongak kan kepala hingga bibirnya menyentuh kulit, mencium rahang Mino dengan penuh keintiman. "You don't like it?"Mino memberikan jawaban dengan sebelah alis yang terangkat. "What do you mean? Kau seperti bukan Irene-ku."Perempuan itu kini mengenakan pakaian tidur berbahan sutra putih, atasannya hanya menggunakan strip di bahu sebagai penopang pa
Marcus memutuskan untuk menetap sejenak. Irene merupakan wanita dengan personality yang tidak bisa Marcus bayangkan; terlihat dingin tapi juga hangat. Benar-benar tipe yang berbeda dari beberapa perempuan yang telah ia kencani selama ini. Entah mengapa, Marcus merasa ia dan Irene adalah teman lama yang berpisah dan kembali dipertemukan. Obrolan mereka juga selalu seru, sering sekali bertukar pikiran, dan juga bercanda. Tidak seperti kakaknya yang kaku. "Oh, lalu apa pekerjaan mu sekarang?" Perempuan dengan rambut dicepol itu menatap ke arah adik iparnya. "Membantu Mino di perusahaan?""Aku?" Marcus menunjuk dirinya sendiri seraya melirik sinis Mino, yang dibalas dengan tatapan jegah dari sang kakak. "Bekerja di bawah nya dan menjadi bawahan dia? Lebih baik jadi duta shampoo, oops."Irene terbahak, tertawa puas hingga terpingkal-pingkal. Ketawanya terlihat kencang namun tidak berisik. Mino menatap lama pada sosok perempuan yang berstatus sebagai istrinya tersebut. Ah, selama mereka
Mobil Mercy hitam E Class yang dikendarainoleh supir pribadi melaju dengab kecepatan konstan dari Washington menuju New York. Memang bukan perjalanan yang singkat, akan tetapi dengan adanya kendaraan pribadi bisa menghemat pengeluaran transportasi Ireneㅡlupakan kartu gold yang diberikan oleh Mino, selama Irene masih bisa menggunakan uangnya sendiri, dan selama kebutuhan itu tidak mendesak, Irene masih mampu menghidupi dirinya sendiri. Terutama ketika ia adalah seorang dokter. Lee merupakan ketua dari Beta, pria itu mengikuti Irene dan duduk di kursi samping supir, sementara Irene duduk di kursi penumpang. Di belakang mereka terdapat mobil Alphard yang mengikuti dari belakang; itu adalah mobil bodyguard bawahan Lee, hanya saja jumlahnya tidak fantastis, mungkin sekitar 5 sampai 6 bodyguard dikerahkan untuk menjaga Irene. "Lee, berikan makanan yang diplastik hitam untuk yang lainnya ya, aku masak kebanyaka tadi," ujar Irene. Perempuan itu menunjuk pada platik hitam yang posisinya muda
Mino sedang memeriksa ulang data di dalam PC kantor. Pria itu tidak sendiri tentunya, ada Albert yang menemaniㅡdia sedang duduk di salah satu sofa dengan beberapa dokumen kertas yang berserakan di atas meja. Terdapat kopi yang telah tertandas hingga setengah cangkir, dan dingin. Dalam keheningan yang memuakan, suara pintu terbuka menjadi trigger tersendiri. Mino dengan kesal membanting salah satu dokumen ke atas meja, "Blaire, sudah aku bilang berapa kali, aku sibuk, tidak mau diganggu!" Suara Mino keras, penuh emosi. Albert yang juga melihat ke arah pintu, tertegun. Pria dengan rambut hitam itu menelan saliva. "Mino," tegur Albert. Mino mengalihkan padangannya dari PC ke arah sang sahabat, sorot matanya dipenuhi dengan amarah, "What?" "Jadi, kau tidak mau diganggu oleh ku?" Tak lama kemudian alunan merdu menembus gendang telinga Mino. Pria dengan jas cokelat tua itu terdiam membeku. Matanya menatap ke arah Albert dengan penuh tanda tanya seolah ia sedang berhalusinasi, sebelum k
Di sisi lain, Irene yang masih terlelap terganggu oleh bunyi dering ponselnya sendiri. Perempuan itu mengeratkan selimutnya, tangannya meraih-raih ke nakas meja, sebelum mendapatkan ponselnya sendiri. Ia kemudian mengangkat telepon dengan suara serak, "Hello?" "Kenapa suara mu terdengar serak, Rene? Kau sakit?" Mendengar suara sahabatnya Irene terbelalak. Perempuan itu segera terbangung, tetapi kemudian rasa sakit menghantamnya dibagian bawah tubuh. Menarik napas banyak-banyak, ia bersumpah akan menendang Mino dan plmembatasi kegiatan bercinta mereka ke depannya! "Nope, aku baru bangun tidur." Berdekhem pelan, "Bagaimana Jennie, ada sesuatu?" "Ah ya, just want to inform you that My wedding day are two days to go." "Ah?" Sejenak, Irene melupakan segalanya. Lalu berteriak kencang, "Ya ampun, Jennie. Selamat! Finally you got what you wanted." Jennie tertawa kecil mendengar reaksi sahabatnya, "Yea, sure, thank you. Jangan lupa datang, okay?" "Tentu." Keduanya saling bertukar kabar
Mobil Roll Royace yang dikendarai langsung oleh Son telah sampai di sebuah manor bergaya eropa abad pertengahan. Rumah ini jelas berbeda daripada rumah orang Amerika kebanyakan. Jarak dari kantor menuju rumah ini cukup jauh, sehingga Mino tidak akan menyalahkan Irene apabila wanita itu terlelap dalam buaian mimpi. Jika diperhatikan, saat tertidur Irene masih terlihat cantik. Pria itu kemudian dengan perlahan membawa Irene ke dalam pangkuannya. Memeluk, sebelum membawanya dalam dekapan hangat Mino. "Tuan," panggil Son. "Kau bawa tas ku ke ruang kerja. Setelah itu, tolong panggil Eden ke sini. Sekalian panggilkan Lee juga." Son membungkuk kan badan. Matanya tidak berani memandang ke mana punggung Mino pergi. Pria itu dengan cekatan melakukan apa yang diperintahkan oleh atasannya. Mino membawa Irene ke lantai dua, di mana kamarnya berada. Pria itu dengan lembut meletakan Irene di atas ranjang, menarik selimut hingga menutupi leher. Setelah memastikan bahwa AC ruangannya menyala, bar
Keesokan harinya, Irene yang saat ini tidak memiliki pekerjaan sejak memutuskan untuk pindah, memutuskan untuk mengabari dokter Hans perihal kepindahannya dan berpamitan. Setelah itu, perempuan itu juga dengan telaten mengurus Mino dipagi hari yang tampak sibuk ke sana dan ke mari. Perempuan itu segera memasangkan dasi. "Sore nanti, aku akan pergi ke Los Angeles, sepupu ku menikah, dan aku harus menghadirinya." "Boleh aku ikut?" Irene jelas tahu ke mana Mino akan pergi. Bagaimanapun juga, ia dan Jennie adalah sahabat. Mereka tidak menyembunyikan apapun, kecuali fakta bahwa Irene menikah dengan Mino. Termasuk, Joshua, sepupu jauh MinoㅡIrene mengetahui tentang itu. "Tapi, kalau begitu kau akan kesepian di hotel?" Tertawa pelan, "Tidak kah sama saja, di hotel dan di rumah?" Mino mengangguk setuju, "Aku menyetujui. Baiklah, kau bersiap-siap dulu, Son yang akan menjemput mu dan aku akan menunggu di bandara, okay?" Irene mengangguk, memahami maksud dari instruksi suaminya. Perempuan it
Malam ini, sambil diiringi hiruk piruk kota Loss Angeles, dengan gaun krem selutut, Irene memasuki ke dalam gedung yang telah disewa oleh keluarga Lexander. Wanita ini begitu cantik dengan rambut tergerai, dibagian belakang rambutnya terdapat pita putih yang terbuat dari kain satin. Sementara sebelah kiri memegang clucth nya, tangan kanan wanita cantik tersebut memegang sebuket bunga kecil dengan warna pastel yang indah. Seperti malaikat yang hilang di kota Loss Angeles. Setelah mengisi daftar hadir dan pihak wedding organizer mengantarnya ke meja keluarga Lexander. Hanya sedikit orang yang duduk di meja keluarga Lexander. Dalam pesta pernikahan, meja kedua keluarga berada di belakangㅡini adalah konsep yang Jennie inginkan. Ia hanya ingin keluarga Joshua dan keluarganya nyaman dari gangguan kolega yang ingin membangun 'koneksi' dengan orang tertentu. "Lissabeth, selamat datang, nak!" seru mama Jennie seraya memberikan sebuah senyuman manis. Wanita setengah baya itu menghampiri pere