“Kau buru – buru sekali.”
Mendadak, Froy mengatakan hal tersebut. Seharusnya tidak akan menghentikan Moreau jika pria itu tidak sengaja menciptakan suara lain. Percikan air. Dia berpaling dan benar ... tiba – tiba sebuah siraman langsung mendarat pada kain yang membalut di tubuhnya. Froy tertawa puas, sementara itu membuat Moreau diam beberapa saat. Dia menunduk mengamati setiap hal yang tidak pernah diinginkan, tetapi tidak akan berdiam diri begitu saja setelah pria itu telah berhasil mengambil kesempatan. Harus ada yang membalas sebagai sikap pembelaan diri—meski mungkin tujuan Froy tidak dapat dispesifikasikan demikian. Moreau mendekatkan sebelah kaki di pinggir kolam untuk menendang air ke wajah pria itu. Posisi yang begitu dekat adalah peluang terbaik. Froy kebetulan hanya bisa sedikit menghindar, tetapi tidak juga mengatakan sesuatu dengan marah. “Aku tidak ada urusan lagi denganmu. Jangan coba – coba menggangguku.” Hanya Moreau yang berusaha ti“Jadi, Froy ... berhentilah menggangguku. Kita tidak bisa berteman dan tidak akan menjadi teman.” Ada jeda cukup lama, membuat Moreau mengira bahwa situasi mungkin telah mendukungnya. Dia akan menjadikan setiap apa pun reaksi Froy sebagai dasar sekadar mempelajari ironi di antara mereka. Sayangnya, masih tersisa ironi lain, yang meninggalkan hal tidak tentu seperti saat Froy berdecak malas, seakan – akan ingin melampiaskan suatu pilihan yang telah Moreau ambil dan pria itu tak setuju untuk menghadapinya. “Kau tak ingin kita menjadi teman karena takut tidak bisa melupakanku.” Froy selalu menggemakan kata – kata serupa sebagai pendapat paling berpengaruh, padahal tidak. Ada sebuah keabsahan yang telah begitu jelas sekadar dijadikan sumber pengetahuan. Namun, Moreau tak mungkin menjabarkan secara gamblang. Percuma. Itu tidak akan mengubah pola pikir Froy. Dia menarik napas kasar merasa kesempatan mereka bicara sudah habis, tanpa pernah tahu bahwa Froy ak
“Apa yang kau dan Froy lakukan di kolam renang?" Napas Moreau tercekat seakan perlu mencegahnya tetap terjebak di tengah tenggorokan, sementara desakan untuk terlonjak dan benar – benar menjadi diam, terpaku, menghadap sumber suara dengan perasaan tegang, adalah pilihan paling mengerikan. Dia baru saja melangkah masuk ke dalam kamar dalam keadaan kuyup. Seketika kebutuhan ingin sekadar melucuti kain membasah di tubuhnya mendadak urung. Abihirt tidak sama sekali memberi petunjuk tentang kemunculan, tetapi pria itu telah berada begitu dekat—diliputi tebakan yang tepat supaya membuat mereka terjebak di satu kamar berdua. Tidak ada yang bisa Moreau temukan di balik mata kelabu ayah sambungnya, meski Abihirt seperti telah menyimpan pelbagai hal di benak pria itu. Sorot mata yang menyerupai sinis seolah – olah sedang menegakkan keadilan. Namun, Moreau tidak mengerti apa yang perlu mereka tegaskan. Tentang perilaku tidak menyenangkan Froy, sungguh, semua berada di luar k
“Apa mau-mu, Abi?” Moreau melipat kedua tangan di depan dada. Akan memastikan sendiri satu tujuan serius ayah sambungnya dengan mengajukan pertanyaan walau sedikit memahami tentang sebuah larangan yang baru saja pria itu deklarasikan. “Kau tak akan pernah benar – benar tahu apa mauku.” Namun, adalah hal percuma jika akhirnya Abihirt akan membentuk teka – teki lain dan tidak berusaha memberitahukan lebih runut. Moreau mengangkat sebelah alis tinggi. Sengaja meninggalkan itu sebagai reaksi pertama. Biarkan berikutnya mengambil alih, karena bagian tersebut telah satu jarak untuk mengacaukan yang paling tertata; mari membicarakan hal relavan. Moreau segera menarik napas. Mencoba lebih gamblang dan bertanya, “Kau sungguh tidak ingin membiarkan pria lain menyentuh tubuhku?” Anggukan samar bukan satu – satunya respons ketika Abihirt terlihat sedang menyimpan keinginan bicara. “Ya, dan kau baru saja membiarkan Froy melakukannya.” Suara serak dan da
Moreau sedang tertarik untuk menantang amarah seorang pria dewasa, atau barangkali—atas pengakuan khusus—bahwa dia menaruh minat pada gairah ayah sambungnya. Tahu jika Abihirt sedang berjuang keras menahan diri. Itu nyaris tak terungkap, seakan sebuah disiplin singkat telah diisyaratkan terhadap usaha menempelkan tinta hitam di antara keputusan mereka. Mendadak, semua terasa tegang saat Moreau menyadari betapa tidak ada selera humor di balik bahu ayah sambungnya. Tidak sekarang ataupun nanti. Pria itu benar – benar menatap tajam. Mendetilkan sebuah gambaran tentang seorang yang sadis. “Kau berada di bawah pengaruh aturan dan seharusnya mematuhi apa pun yang telah dibatasi.” Bagian tersebut kembali diingatkan. Rasanya tidak adil jika semua tidak jelaskan secara gamblang, tetapi dia harus memahaminya. Moreau sendiri tidak tahu apakah dia diberi kesempatan sekadar menyatakan suatu batasan. Segala bentuk tersurat hanya akan membuatnya terus berharap, karena bagaimana
“Bagaimana dengan Juan? Dia menyentuhku. Sering menyentuhku!" Biarkan pelbagai aturan di antara mereka diuraikan serunut yang Moreau inginkan. Dia belum benar – benar merasa jelas. Sengaja menambahkan penekanan di bagian akhir kalimat, ingin tahu bagaimana pria itu akan bereaksi meski pada akhirnya selalu suatu sikap tenang yang tak tergambarkan. “Dia pengecualian karena kalian punya urusan spesifik." Tidak ada yang ingin percaya mengenai hal itu. Moreau rasa dinding di sekitar mereka akan memiliki pendapat serupa. Dia menyipitkan mata sekadar mencari celah ayah sambungnya. Abihirt terlalu sempurna untuk terjerembab pada satu jurang. Sudah dipastikan tidak akan pernah walau perlu dijabarkan oleh kata ‘nyaris’. “Urusan spesifik ... maksudmu, karena dia pasangan skatting-ku?” “Kurang lebih seperti itu.” “Kau sungguh tidak marah saat dia menyentuh tubuhku? Juan sangat mahir saat menyentuhku. Kau pernah melihatnya sendiri.” Celakalah. Moreau su
“Ya, aku tetap tidak mau menurut.” Butuh pengendalian diri yang baik, dan Moreau baru bisa menguasai hal tersebut setelah beberapa saat. Dia sedang berusaha membatasi jarak bersama Abihirt, meski mendadak itu terasa sulit dilakukan. “Kau akan dihukum kalau begitu." Ayah sambungnya menyampaikan dengan tenang, membuat Moreau sedikit tak mengerti sehingga merapatkan bibir sekadar mencari pembenaran yang salah di sana. Dia tidak pernah mengira akan ada hukuman. “Jadi itu yang kudapatkan selama menjadi submisif-mu?” tanyanya untuk benar – benar memastikan. Apakah tidak ada hal lain supaya tidak memberi perasaan getir? Moreau tak setuju andai Abihirt akan mengatur hukuman berat tanpa pernah berpikir bahwa dia tak sungguh bersalah dalam kasus seperti ini. “Apa yang kau dapatkan tergantung apa yang kau lihat.” Sebuah jawaban instan, di mana Moreau hampir tidak mengerti. Dia selalu menghadapi badai rasa bersalah. Selain itu, untuk mengklaim sebagian hak k
“Aku hanya akan pergi setelah menghukum-mu.” Sekarang niat terselubung Abihirt tersampaikan secara lugas. Moreau nyaris tak habis pikir. Namun, dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya menyingkir saat pria itu telah mengatur tubuhnya menghadap ke arah ranjang dengan kedua tangan menyangga kokoh di pinggir kasur. Abihirt sedang mengerjakan sesuatu, yang intim, membuat sebagian perasaan Moreau berontak hebat, meski tidak dimungkiri bahwa terungkap separuh keinginan menunggu satu tindakan ketika pria tersebut telah menyibak gaun tipis di tubuhnya ke atas. Tanpa dalaman sebagai lapisan antisipasi, itu menyajikan sebuah pemandangan yang begitu instan. Moreau menahan napas merasakan sentuhan dari telapak tangan yang kasar ... sedang mengusap lembut permukaan bokongnya. Terlalu sebentar bagi Abihirt sekadar menguji kapan ladang akan membasah. Pria itu cenderung tidak sabar, alih – alih memastikan Moreau bersedia menerima batang kejantanan yang telah kokoh, padat,
“Kalian harus percaya kepadaku. Aku melihat sendiri Paman Abi keluar dari kamar Moreau. Itu sudah hampir tengah malam saat aku selesai berenang.” Suara dari luar menarik Moreau untuk mengerjap beberapa kali, meski dia telah berusaha keras terbangun dari keinginan terus memejam. Froy .... Suara pria itu paling mendominasi, setidaknya butuh waktu beberapa saat bagi Moreau benar – benar memahami kilatan kekacauan yang sedang berhamburan di sana. Dia seketika tersentak, berharap ini adalah mimpi, tetapi percakapan di balik lapisan dinding kamar telah menunjukkan yang sebenarnya. Apa yang telah Froy lihat dan ketahui? Benak Moreau bertanya – tanya, begitu takut, jika semalam pria itu disirami suatu informasi tentang Abihirt yang memutuskan untuk mengambil tindakan menghukum; karena satu kesalahan di tengah batas toleransi normal. Ayah sambungnya hanya tidak ingin mengakui sebuah pembelaan diri yang percuma. Malahan, bersedia mengambi