“Ya, aku tetap tidak mau menurut.”
Butuh pengendalian diri yang baik, dan Moreau baru bisa menguasai hal tersebut setelah beberapa saat. Dia sedang berusaha membatasi jarak bersama Abihirt, meski mendadak itu terasa sulit dilakukan. “Kau akan dihukum kalau begitu." Ayah sambungnya menyampaikan dengan tenang, membuat Moreau sedikit tak mengerti sehingga merapatkan bibir sekadar mencari pembenaran yang salah di sana. Dia tidak pernah mengira akan ada hukuman. “Jadi itu yang kudapatkan selama menjadi submisif-mu?” tanyanya untuk benar – benar memastikan. Apakah tidak ada hal lain supaya tidak memberi perasaan getir? Moreau tak setuju andai Abihirt akan mengatur hukuman berat tanpa pernah berpikir bahwa dia tak sungguh bersalah dalam kasus seperti ini. “Apa yang kau dapatkan tergantung apa yang kau lihat.” Sebuah jawaban instan, di mana Moreau hampir tidak mengerti. Dia selalu menghadapi badai rasa bersalah. Selain itu, untuk mengklaim sebagian hak k“Aku hanya akan pergi setelah menghukum-mu.” Sekarang niat terselubung Abihirt tersampaikan secara lugas. Moreau nyaris tak habis pikir. Namun, dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya menyingkir saat pria itu telah mengatur tubuhnya menghadap ke arah ranjang dengan kedua tangan menyangga kokoh di pinggir kasur. Abihirt sedang mengerjakan sesuatu, yang intim, membuat sebagian perasaan Moreau berontak hebat, meski tidak dimungkiri bahwa terungkap separuh keinginan menunggu satu tindakan ketika pria tersebut telah menyibak gaun tipis di tubuhnya ke atas. Tanpa dalaman sebagai lapisan antisipasi, itu menyajikan sebuah pemandangan yang begitu instan. Moreau menahan napas merasakan sentuhan dari telapak tangan yang kasar ... sedang mengusap lembut permukaan bokongnya. Terlalu sebentar bagi Abihirt sekadar menguji kapan ladang akan membasah. Pria itu cenderung tidak sabar, alih – alih memastikan Moreau bersedia menerima batang kejantanan yang telah kokoh, padat,
“Kalian harus percaya kepadaku. Aku melihat sendiri Paman Abi keluar dari kamar Moreau. Itu sudah hampir tengah malam saat aku selesai berenang.” Suara dari luar menarik Moreau untuk mengerjap beberapa kali, meski dia telah berusaha keras terbangun dari keinginan terus memejam. Froy .... Suara pria itu paling mendominasi, setidaknya butuh waktu beberapa saat bagi Moreau benar – benar memahami kilatan kekacauan yang sedang berhamburan di sana. Dia seketika tersentak, berharap ini adalah mimpi, tetapi percakapan di balik lapisan dinding kamar telah menunjukkan yang sebenarnya. Apa yang telah Froy lihat dan ketahui? Benak Moreau bertanya – tanya, begitu takut, jika semalam pria itu disirami suatu informasi tentang Abihirt yang memutuskan untuk mengambil tindakan menghukum; karena satu kesalahan di tengah batas toleransi normal. Ayah sambungnya hanya tidak ingin mengakui sebuah pembelaan diri yang percuma. Malahan, bersedia mengambi
“Kenapa tidak kau katakan kepada kami kalau semalam Paman Abi ada di kamarmu, Moreau? Apa yang kalian lakukan? Ibuku dan Bibi Barbara sudah penasaran.” Lagi. Suara Froy yang paling pertama berhamburan, seperti sebuah silet berusaha merobek selembar kertas basah—telah lebih dulu merusaknya sebelum benar – benar sampai pada tahap ingin merekatkan bagian pipih dan tajam. Moreau belum menemukan jawaban. Tidak tahu apa yang perlu diungkapkan. Apakah perlu menuduh Froy, lalu semua pernyataan pria itu akan berbalik menjadi bumerang atau diam ... membiarkan ekspresi Barbara samar – samar berbubah berang. Dia yakin ibunya sedang menahan diri. Barangkali tak ingin percaya, tetapi kebekuan di antara mereka adalah sesuatu yang tak dapat ditorehkan serupa batas wajar. Ada hal – hal tidak biasa dan tak harus dipaksakan mengimbangi ambang yang terasa begitu dekat. “Kau diam berarti itu benar!” Froy masih dengan usaha yang sama. Meledakkan percikan perasaan tak terduga. Itu
Ingin sekali marah, tetapi percuma. Moreau tak akan bisa melakukan sesuatu lebih serius ketika Barbara masih menunjukkan ekspresi nelangsa, meski wanita itu telah menandainya sebagai ajang sasaran empuk ... andai, mengetahui sesuatu lebih serius saat ini.“Apa yang kau lakukan di kamar Moreau?” Pertanyaan lain segera dirincikan. Moreau bahkan tak ingin menatap wajah Abihirt, ntah apakah pria itu sudah mengumpulkan jawaban instan atau sama sekali tidak memiliki ungkapan nyata untuk menghindari problema usang—masih menjadi carut marut yang mengerikan. “Mengembalikan gelangnya yang jatuh di halaman luar.” Semua terjadi begitu tiba – tiba. Moreau sedikit tersentak, kemudian secara naluriah menunduk menatap ke pergelangan tangannya. Sesuatu yang tak harus terlupakan. Itu Abihirt, yang memasangkan gelang rantai, tetapi pria tersebut menanam ambisi untuk tidak membangunkannya ketika sedang tertidur. Mungkin begitu ... apakah memang begitu? Moreau mencoba
Pelbagai bahan masakan mentah telah memenuhi seisi meja dapur. Ada yang terlewatkan dan dia masih belum menemukan petunjuk paling dekat. “Ada acara apa, Bibi?” Kali ini Moreau mengajukan pertanyaan, setidaknya untuk menyirami rasa ingin tahu yang tertahan di ambang batas. Tidak biasanya. Seperti terlalu mendadak dan dia harus menaruh perhatian pada apa pun yang terlihat di hadapan mereka. “Ibumu bilang dia ingin mengadakan pesta barbeku. Jadi, ini yang kami kerjakan. Nanti malam kita akan makan besar.” Itu terdengar menyenangkan. Moreau secara naluriah melebarkan senyum. Dengan sikap murni pula dia mencoba sekadar melihat ke dalam isi plastik belanjaan; apakah Barbara melupakan bagian kesukaannya atau tidak. Iga. Dia menyukai iga dan ternderloin. Tetapi bahkan semua melampaui lengkap. Sesuatu yang tidak Moreau pikirkan, turut menjadi pilihan untuk pesta bakar – bakar. “Aku tidak tahu kalau ibuku suka ikan dan ayam saat barbeku,” ucapnya, sembari menyin
“Kau sudah menunggunya sejak tadi. Ini punyamu, Gadis Manis.” Kerlingan Roger setidaknya membuat Moreau tidak dapat menahan diri dari ledakan tawa. Pria tersebut sejak tadi sibuk di hadapan alat pemanggang, berbau asap, menemani Abihirt yang tidak banyak bicara, tetapi itulah cara mereka berbaur; supaya tidak meninggalkan kesan mencurigakan, maka Barbara bisa dengan santai melakukan percakapan bersama Gloriya di teras rumah. Para wanita menyiapkan bumbu—sekarang waktu beristirahat. Seharusnya hal serupa Moreau lakukan. Namun, dia memutuskan untuk terlibat dengan kegiatan paling menyibukkan, seperti saat ini memegang nampan berisi tiga piring dengan beberapa potong daging yang telah matang, dan sisanya berdasarkan permintaan Gloriya dan Barbara. “Terima kasih, Chef Roger. Kau ramah sekali malam ini.” Dia menambahkan sambil menyiapkan langkah meninggalkan dua pria dewasa di sana. Tidak ada niat menyindir Abihirt. Kata – kata demikian terucap begitu saja dan juga tak
Masih dengan kebutuhan mengunyah, menikmati pelbagai sentuhan yang meledak. Moreau mengedarkan pandangan untuk menelusuri ke setiap sudut tempat. Percakapan antara Barbara dan Gloriya tampaknya tidak akan segera selesai. Dia tidak cukup tertarik sekadar mencari tahu, segera memindahkan perhatian pada sebentuk tubuh Abihirt di sana. Pria itu tidak lagi berada di depan alat pemanggang. Kali ini terlalu sibuk memberi Chicao butiran pakan. Anjing peliharaan tersebut tampak menikmati, sementara tuan-nya seperti tidak menaruh minat pada makan malam sendiri. Kepulan asap sulur – sulur tampak bertabrakan di puncak udara. Masih panas, barangkali Abihirt menunggu supaya bisa menikmati ikan dan ayam panggang dengan tenang. Ntahlah, mungkin asumsi demikian tidak cukup tepat. Ada Froy yang perlu mereka pikirkan. Kenyataan bahwa pria itu berpamitan pergi—sebentar, menjadi sesuatu ... secara tidak langsung mengambang ganjil. Gloriya hanya mengatakan Froy harus menemui Lewi untuk satu
Sungguh tidak ada apa pun lagi yang Moreau pikirkan setelah tangannya meraih gelas kosong. Sedikit berubah pikiran tentang keinginan menengguk air hangat. Dia butuh cairan yang akan mengetat sampai ke tenggorokan demi mengisi ketegangan yang terjadi di halaman depan. Hanya perlu menumpahkan air separuh, kemudian menambahkan balok es ke dalam. Seperti ini akan terasa jauh lebih singkat. Sesekali, dengan rasa penasaran meledak bergantian, Moreau memastikan telapak tangannya menyentuh pintu lemari pendingin. Gloriya membiarkan sisa daging mentah sebagai candangan untuk hari berikutnya. Barangkali wanita itu berencana membuat sesuatu menggunakan bahan yang sama. Dia mungkin harus melibatkan diri. Satu tengukan terasa membanjiri rongga mulut diliputi badai hujan. Tidak kalah penting dari membiarkan dirinya diguyur habis oleh rintik – rintik berjantuhan, tetapi itu belum terjadi; tidak akan terjadi ... andai memiliki niat murni demikian. Moreau memilih duduk ketika mul
“Nyonya, Tuan sedang tidak di rumah. Dan atas perintah spesifik dari beliau, Anda tidak diizinkan menginjakkan kaki di tempat ini.” Barbara segera menoleh saat Emma mulai bicara. Ada ketakutan di balik suara wanita paruh baya itu. Sesuatu jelas telah dipahami bahwa dia akan melakukan hal di luar kendali. “Siapa kau melarangku?” tanya Barbara sembari menatap wanita di hadapannya penuh penghinaan besar. “Saya hanya menjalankan tugas, Nyonya.” Emma segera menunduk. Betapa Barbara muak menghadapi saat – saat seperti ini. Dia sedang ingin melampiaskan banyak hal. Barangkali bukan gagasan buruk jika melakukan satu hal memuaskan di sini. Dengan sudut bibir berkedut sinis, Barbara kemudian berkata, “Tugasmu hanya membersihkan apa pun yang terlihat kotor. Oh—atau kau merasa sudah melakukan pekerjaan-mu, maka kau bisa menggoyang kaki dengan tenang? Mari kutunjukkan kepadamu apa yang perlu kau lakukan. Sekarang, ambil kunci gudang!” Pernyataan Barbara diakh
Terbangun dengan kondisi sekujur tubuh mengalami pemberatan murni, membuat Barbara meringis setiap kali dia berusaha melakukan gerakan lain; kelopak matanya mengerjap, sedikit diliputi usaha mengingat kali terakhir hal yang dihadapi, tetapi kemudian menyadari bahwa dia tidak berada di mana pun di kediaman Abihirt. Siapa yang membawanya pulang? Benak Barbara bertanya – tanya tak mengerti. Jelas waktu telah berlalu jauh dan dia banyak melewatkan kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Tidak apa – apa jika Abihirt ingin melampiaskan segala bentuk kemarahan kepadanya, asal pria itu tidak mengajukan satu hal yang benar – benar tidak Barbara inginkan. Napasnya memburu berat hanya dengan memikirkan hal tersebut. Jari – jari yang terasa gemetar berusaha menyisir helai rambut—terurai berserak di sekitar wajah. Berharap dia bisa segera bersiap. Sial. Sesuatu menghentikan Barbara ketika sorot matanya membidik satu titik di atas nakas. Semacam sebuah berkas yang
Sekarang ... ntah cambukan kali ke berapa. Barbara tidak bisa menghitung. Semua bentuk pemikiran di benaknya hancur berantakan. Krisis ketidakpercayaan terhadap sikap Abihirt sungguh memberi pengaruh besar. Dia merasa benar – benar telah memborong kebodohan, hingga yang tersisa adalah hasrat supaya tidak terjebak pada kondisi seperti ini. “Sakit, Abi,” Barbara mengeluh sarat nada begitu getir. Sebatas harapan agar Abihirt bersedia memberi ampun. Jika pria itu berpikir ini merupakan hukuman setimpal, hal tersebut sama sekali bukan keadilan. Dia berharap Moreau yang ada di sini. Menggantikan posisinya. Namun, apakah hal tersebut terdengar masuk akal? Abihirt terlihat mabuk kepayang kepada gadis itu. Dia tidak yakin. Barangkali telah melewatkan banyak hal. Bertanya – tanya ... mungkinkah? “Daripada menyiksaku di sini, mengapa kau tidak seret saja Moreau dan biarkan dia merasakan yang sama seperti yang kualami hari ini?” Tidak ingin diliputi pelbagai hal menggan
“Kau yakin ini akan berjalan baik – baik saja?” Masih sedikit usaha untuk meyakinkan diri. Barbara akhirnya hanya menghela napas ketika Abihirt mengangguk samar. Pria itu tidak akan mengatakan lebih banyak. Semua pilihan ada di tangannya; apakah dia masih ingin melakukan seks atau membiarkan hubungan mereka kembali regang. “Baiklah.” Barbara memutuskan untuk membuka blazer yang dia kenakan. Satu persatu pakaian telah dilucuti. Bukan masalah besar bertelanjang penuh di hadapan suaminya. Dia kemudian memberi Abihirt tatapan penuh bertanya. Menunggu apa yang akan pria itu lakukan. Tidak ada kata terucap. Sebaliknya, Abihirt merenggut dasi yang mengikat kerah kemeja pria itu. Langkah lebar suaminya tidak pernah luput dari perhatian Barbara. Dia menelan ludah kasar persis ketika Abihirt sudah menjulang tinggi di belakang. Semua menjadi gelap kali pertama Abihirt merekatkan bagian dasi untuk menutup di matanya. “Haruskah dengan pandangan tertutup, Ab
Kali pertama mendengar pernyataan Abihirt, kelopak mata Barbara mengerjap cepat. Hampir tidak menyangka tentang hal yang telah mereka lewatkan. Dia tahu suaminya jauh lebih sering menghabiskan waktu bersama Moreau—dan itu sungguh meninggalkan banyak kecemburuan tidak tertahankan. Cukup puas bahwa dia bisa melewati saat – saat di mana mengendalikan diri dari kebutuhan melampiaskan amarah. Sungguh, sampai mati pun, Barbara tidak akan menyerahkan Abihirt kepada Moreau. Dia tidak akan pernah mengalah. Kemenangan harus selalu berada di tangan. Persetan dengan mengorbankan yang lainnya. “Baiklah. Ke mana kau akan membawaku?” tanya Barbara sembari mengikuti langkah Abihirt menuju mobil. Mereka datang terpisah. Miliknya sendiri sedang terparkir di sisi halaman lain, tetapi mereka bisa mengatur situasi. Bukan masalah besar meminta Gabriel menyelesaikan tugas tertunda. Abihirt tidak mengatakan apa – apa sepanjang perjalanan, tetapi Barbara mengenali setiap detil tempat yang
“Pelacur kecil itu sudah tidak mau denganmu. Apa yang kau harapkan lagi darinya?” Sejak awal, tujuan Barbara adalah menghancurkan kehidupan Moreau dan membuat hubungan gadis itu bersama suaminya retak. Dia mengambil langkah yang tepat setelah meyakinkan Moreau bahwa Abihirt terlibat dalam keputusan ini. Tadi, betapa tatapan itu penuh luka. Moreau telah meninggalkan mereka. Sekarang konflik terhadap hubungan yang seharusnya baik – baik saja terus beterbangan. Paling tidak, Barbara cukup puas, walau segala sesuatu yang dia rencanakan tidak sepenuhnya lancar. Ada hasrat untuk membuat Moreau benar – benar mendapat pelajaran berharga. Dia ingin orang – orang melempari gadis itu dengan apa pun sebagai kemungkinan terburuk—anggap saja suatu penghinaan hebat. Sungguh, kemunculan Abihirt sangat tidak tepat. Mereka sedang dihadapkan badai tensi yang meningkat. Barbara tahu cepat atau lambat Abihirt akan menjadikannya target utama. Sial. Dia sama sekali tidak tahu kal
Barbara bertanggung jawab atas situasi yang sedang mereka hadapi, tetapi yang tidak Moreau mengerti; mengapa? Bukankah Abihirt juga terlibat? Apa lagi yang diinginkan sehingga pria itu bersikap seakan sedang didesak kebutuhan menuntut Barbara. Mungkin ibunya berusaha menjebak suami sendiri karena seharusnya mutahil bagi Abihirt bersedia membuka aib perselingkuhan ini? Yang juga akan mempengaruhi reputasi di masa mendatang. “Aku tahu kau datang untuk menghadiri program ulang tahun mendiang ibumu. Tapi, nanti. Setelah aku menyelesaikan pelacur kecil ini. Bukankah kau sendiri juga sudah setuju?” Sesuatu yang keras seperti berusaha mencecoki tenggorokan Moreau. Dia mengira masih ada sedikit harapan, tetapi reaksi Abihirt yang tampak tidak akan langsung menyangkal, seakan memberinya banyak petunjuk. Pria itu hanya ... melirik ke arah Gabriel, kemudian berkata, “Bubarkan tamu undangan.” Sudah cukup. Moreau merasa muak jika harus mempertahankan kepercayaan dalam dirinya k
“Jika ayahmu masih di sini, Moreau. Kurasa, dia akan mendapat serangan jantung mendadak karena menerima informasi seperti ini, bahwa putri kesayangannya, putri kecil yang selalu dimanjakan olehnya, sanggup menjual diri demi seorang pria beristri. Kurasa, arwahnya pun tidak akan tenang selama menyaksikan apa yang kau lakukan di muka bumi ini.” Sial. Belum ada satu pun hal sanggup Moreau katakan, tetapi kesalahan Barbara sangat tidak bisa dimengerti kali ketika wanita itu melibatkan ayahnya. “Jika ayahku masih ada di sini. Kau tidak akan mungkin menikahi lagi, Mom. Atau kau mungkin ingin bermain api di belakangnya, sama seperti yang kau lakukan di belakang Abi?” “Tutup mulut sialanmu!” Tamparan keras lainnya, membuat wajah Moreau benar – benar berpaling dengan kasar. Saraf – saraf di sekitar pipi terasa kebas. Dia membeku di tempat. Namun, semua yang dia katakan memang benar. Perselingkuhan ini tidak akan terjadi, andai wanita itu juga bisa menjaga diri dari h
Barbara tidak akan berhenti. Itu masalahnya. Betapa wanita itu tampak dilingkupi pelbagai antusiasme meluap – luap, seolah masih begitu banyak hal tidak terungkapkan, sementara Moreau merasa dia tidak akan bisa menerima peristiwa seperti ini lebih lama. Semua akan berakhir jauh lebih kacau, tetapi bagaimana dia bisa menghentikan ibunya terhadap kebutuhan untuk mengungkapkan kebenaran di hadapan banyak orang? Sikap konfrontasi dalam dirinya seketika menjadi tumpul. Tidak ada suara penyangkalan yang bisa digunakan sekadar tidak menjebak kondisi sendiri menjadi lebih rumit. Tidak dimungkiri, Moreau cukup takut menyaksikan begitu banyak tatapan kemarahan nyaris di seluruh penjuru gedung. “Kalian semua mungkin tidak percaya terhadap apa yang kukatakan di sini.” Lagi. Suara Barbara kembali mencuak ke permukaan. Senyum wanita itu tampak begitu puas; seperti telah memastikan kalau – kalau kemenangan sudah berada di tangan. “Aku punya bukti.” Kembali meneruskan. Waj