“Kau sudah menunggunya sejak tadi. Ini punyamu, Gadis Manis.”
Kerlingan Roger setidaknya membuat Moreau tidak dapat menahan diri dari ledakan tawa. Pria tersebut sejak tadi sibuk di hadapan alat pemanggang, berbau asap, menemani Abihirt yang tidak banyak bicara, tetapi itulah cara mereka berbaur; supaya tidak meninggalkan kesan mencurigakan, maka Barbara bisa dengan santai melakukan percakapan bersama Gloriya di teras rumah. Para wanita menyiapkan bumbu—sekarang waktu beristirahat. Seharusnya hal serupa Moreau lakukan. Namun, dia memutuskan untuk terlibat dengan kegiatan paling menyibukkan, seperti saat ini memegang nampan berisi tiga piring dengan beberapa potong daging yang telah matang, dan sisanya berdasarkan permintaan Gloriya dan Barbara. “Terima kasih, Chef Roger. Kau ramah sekali malam ini.” Dia menambahkan sambil menyiapkan langkah meninggalkan dua pria dewasa di sana. Tidak ada niat menyindir Abihirt. Kata – kata demikian terucap begitu saja dan juga takMasih dengan kebutuhan mengunyah, menikmati pelbagai sentuhan yang meledak. Moreau mengedarkan pandangan untuk menelusuri ke setiap sudut tempat. Percakapan antara Barbara dan Gloriya tampaknya tidak akan segera selesai. Dia tidak cukup tertarik sekadar mencari tahu, segera memindahkan perhatian pada sebentuk tubuh Abihirt di sana. Pria itu tidak lagi berada di depan alat pemanggang. Kali ini terlalu sibuk memberi Chicao butiran pakan. Anjing peliharaan tersebut tampak menikmati, sementara tuan-nya seperti tidak menaruh minat pada makan malam sendiri. Kepulan asap sulur – sulur tampak bertabrakan di puncak udara. Masih panas, barangkali Abihirt menunggu supaya bisa menikmati ikan dan ayam panggang dengan tenang. Ntahlah, mungkin asumsi demikian tidak cukup tepat. Ada Froy yang perlu mereka pikirkan. Kenyataan bahwa pria itu berpamitan pergi—sebentar, menjadi sesuatu ... secara tidak langsung mengambang ganjil. Gloriya hanya mengatakan Froy harus menemui Lewi untuk satu
Sungguh tidak ada apa pun lagi yang Moreau pikirkan setelah tangannya meraih gelas kosong. Sedikit berubah pikiran tentang keinginan menengguk air hangat. Dia butuh cairan yang akan mengetat sampai ke tenggorokan demi mengisi ketegangan yang terjadi di halaman depan. Hanya perlu menumpahkan air separuh, kemudian menambahkan balok es ke dalam. Seperti ini akan terasa jauh lebih singkat. Sesekali, dengan rasa penasaran meledak bergantian, Moreau memastikan telapak tangannya menyentuh pintu lemari pendingin. Gloriya membiarkan sisa daging mentah sebagai candangan untuk hari berikutnya. Barangkali wanita itu berencana membuat sesuatu menggunakan bahan yang sama. Dia mungkin harus melibatkan diri. Satu tengukan terasa membanjiri rongga mulut diliputi badai hujan. Tidak kalah penting dari membiarkan dirinya diguyur habis oleh rintik – rintik berjantuhan, tetapi itu belum terjadi; tidak akan terjadi ... andai memiliki niat murni demikian. Moreau memilih duduk ketika mul
Moreau tanpa sadar menipiskan bibir menghadapi pernyataan Froy yang panjang dan bagaimana pria itu mengakhirinya dengan gantung. Dia tidak berpikir ada relativitas, jika sedang berada di posisi untuk menduga – duga. Tuduhan Froy mungkin memang benar, tetapi mengapa pria itu justru tampak memahami suatu hal yang sedang dan tidak disembunyikan? Apakah karena Froy juga terbiasa melakukan hal demikian? Sekarang Moreau ikut penasaran, walau dia bisa menebak dengan tepat. “Kau bicara seakan – akan kau tahu saat seseorang sedang berselingkuh atau tidak. Jangan – jangan karena kau terlalu berpengalaman, sehingga tidak sulit bagimu menyimpulkan hal konyol seperti itu? Abi ayah tiriku, dan kami tidak mungkin memiliki hubungan selain pernikahan ibuku yang menyatukan.” “Kenapa, Froy?” “Apa urusannya denganmu?” “Sudah kubilang, kita sudah tidak memiliki hubungan. Mengapa kau berusaha keras bersikap sebagai mantan yang baik? Atau karena saat kita berpacaran ... kau tidak pern
"Lepas, Froy. Aghh—”Moreau meringis sakit. Froy sengaja meninggalkan bekas gigitan kasar, terlalu dalam mungkin, hingga teriakannya menjadi tercekat. Menangis juga menjadi hal percuma. Dia tidak akan menunjukkan kelemahan di sini, di hadapan pria yang seperti kerasukan. Wajah Moreau segera berpaling ke samping ketika Froy berniat ingin mencium bibirnya. “Lepas!” Dia mendesis masih menghadapi tekad memberontak, walalu pria itu terlalu tahu cara melumpuhkan lawan. Tenaga mereka tidak sebanding dan bahkan karena Froy mengunci pergerakan kaki—Moreau tak bisa menyerang dari arah mana pun. Dia berharap seseorang datang membantunya. Berharap seseorang akan datang memberi bajingan kurang ajar saat ini, di sini, suatu pelajaran instan. Berharap semua muncul dan dapat menjadi pertimbangan besar. Froy sudah melewati batas ambisi tidak pasti. Terlalu berani. Gila. Namun, tidak cukup waras untuk segera sadar. Tindakannya bukan satu dari sekian cara menjadi lebih baik. Benar – ben
Cukup tak akan pernah menjadi cukup, karena Moreau telah menyaksikan sendiri bagaimana Abihirt telah kehilangan kendali. Dia tidak akan pernah sanggup menghentikan pria itu dari segenap cara berusaha menjadi penegah. Ayah sambungnya tetap konsen pada amarah, seolah hal tersebut adalah pengerat, dan akan menjadi perasaan menyakitkan ketika mencoba terbebas terhadap suatu desakan ketat. Hanya perlu sedikit bersyukur bahwa Roger datang tepat waktu bersama yang lainnya. Moreau tidak tahu lagi bagaimana dia akan memikirkan reaksi Barbara. Semua tampak kacau, sedikit mengerikan saat butuh usaha besar bagi Roger memisahkan Abihirt yang membabi buta. Memang ... setidaknya pria itu berhasil, tetapi ada penggambaran serius—tak terbaca—saat napas Abihirt menggebu; tidak dapat dihindari, seperti pendulum yang ditahan terlalu lama, dan berikutnya Roger harus menawarkan bantuan kepada Froy supaya segala rias kekacauan di wajah—yang nyaris kehilangan akal, dapat dibagi menjadi beberapa
“Mengapa Froy ingin menyentuh Moreau aku tidak bisa memahaminya. Tapi, bukankah kau bisa bicarakan ini baik – baik? Sebaliknya malah melakukan tindakan kasar seperti tadi. Bagaimanapun, Froy adalah keponakanmu.” “Aku sudah cukup memberinya ampun ketika dia berbuat kekacauan tadi pagi. Bukan berarti akan diam sampai dia melakukan hal tidak wajar. Justru karena Froy keponakanku, aku merasa harus memberinya pelajaran yang setimpal. Mengapa kau tidak tanyakan langsung kepadanya apa yang dia pikirkan dengan berusaha menyentuh Moreau?” Ketegangan di wajah Gloriya tidak akan bisa disangkakan lagi. Moreau tahu betapa wanita itu terkejut, barangkali masih berusaha menolak untuk percaya. Mungkin, di matanya Froy terlalu baik sehingga kesalahan sekecil apa pun, nyaris tidak pernah masuk ke dalam daftar peristiwa yang akan mereka hadapi. Atau, wanita itu jauh lebih didesak oleh satu kenyataan bahwa; kali pertama Abihirt berbicara panjang, seakan ingin benar – benar meledak andai ...
"Kita sudah membuat jadwal untuk berada di sini selama seminggu, Darling. Tidak bisa diubah begitu saja.” Sampai di kamar, Barbara segera menutup pintu menghadapi perasaan di mana dia tidak bersedia meninggalkan pedesaan lebih awal. Menunggu sekian hari terakhir untuk berada di sini sebagai kejutan. Ada hal yang telah direncanakan dan tak ingin menggagalkannya hanya karena kekacauan; tentang krisis kepercayaan Froy, maupun beberapa hal baru yang mengejutkan. Ya, setidaknya sedikit kesal karena Moreau berani membantah sesuatu yang telah menjadi keputusan usang. “Darling, aku bicara kepadamu.” Barbara menarik napas kasar selama menyaksikan bahu Abihirt tenggelam di balik pintu kamar mandi. Peringatan darurat di puncak kepalanya sedang menyala – nyala. Dia tak akan bisa menahan diri untuk tidak menyusul, meski sedikit tertahan ketika mendengar suara air keran menyerbu deras. Abihirt jelas sedang menyingkirkan bekas darah mengering di punggung tangannya. Mata Ba
Keinginan bernegosiasi tampaknya akan berakhir panjang. Tenggorokan Barbara terasa hampa. Dia mengerjap beberapa kali sampai puncak kepalanya akhirnya menemukan ujung penggambaran absurd. Mungkin Abihirt masih terbawa situasi, saat pria itu marah semua menjadi tidak jelas. Atau, sebentuk perasaan lain—menyergap berusaha memberitahukan sesuatu. Ada benarnya untuk mempertimbangkan kembali sikap aneh Froy, yang tidak akan bersikuku andai, memang tidak menghirup aroma ganjil dan bertebaran hanya di beberapa tempat. “Kau tahu, Abi. Sikapmu yang sepert ini membuatku memikirkan lagi sesuatu yang coba kulupakan. Kau tidak pernah akan membicarakan hal – hal tadi. Tapi barusan, semuanya terlihat sangat jelas.” Iris mata Barbara menatap suaminya serius. Dia mengerti Abihirt mendengarkan dengan sangat baik, sehingga pria itu menunggu ujung tenggorokan yang bergerak menyelesaikan sisa – sisa tertunda—barangkali sengaja membiarkan hening beberapa saat, baru kemudian bicara. “Apa