Moreau tanpa sadar menipiskan bibir menghadapi pernyataan Froy yang panjang dan bagaimana pria itu mengakhirinya dengan gantung. Dia tidak berpikir ada relativitas, jika sedang berada di posisi untuk menduga – duga. Tuduhan Froy mungkin memang benar, tetapi mengapa pria itu justru tampak memahami suatu hal yang sedang dan tidak disembunyikan? Apakah karena Froy juga terbiasa melakukan hal demikian? Sekarang Moreau ikut penasaran, walau dia bisa menebak dengan tepat.
“Kau bicara seakan – akan kau tahu saat seseorang sedang berselingkuh atau tidak. Jangan – jangan karena kau terlalu berpengalaman, sehingga tidak sulit bagimu menyimpulkan hal konyol seperti itu? Abi ayah tiriku, dan kami tidak mungkin memiliki hubungan selain pernikahan ibuku yang menyatukan.” “Kenapa, Froy?” “Apa urusannya denganmu?” “Sudah kubilang, kita sudah tidak memiliki hubungan. Mengapa kau berusaha keras bersikap sebagai mantan yang baik? Atau karena saat kita berpacaran ... kau tidak pern"Lepas, Froy. Aghh—”Moreau meringis sakit. Froy sengaja meninggalkan bekas gigitan kasar, terlalu dalam mungkin, hingga teriakannya menjadi tercekat. Menangis juga menjadi hal percuma. Dia tidak akan menunjukkan kelemahan di sini, di hadapan pria yang seperti kerasukan. Wajah Moreau segera berpaling ke samping ketika Froy berniat ingin mencium bibirnya. “Lepas!” Dia mendesis masih menghadapi tekad memberontak, walalu pria itu terlalu tahu cara melumpuhkan lawan. Tenaga mereka tidak sebanding dan bahkan karena Froy mengunci pergerakan kaki—Moreau tak bisa menyerang dari arah mana pun. Dia berharap seseorang datang membantunya. Berharap seseorang akan datang memberi bajingan kurang ajar saat ini, di sini, suatu pelajaran instan. Berharap semua muncul dan dapat menjadi pertimbangan besar. Froy sudah melewati batas ambisi tidak pasti. Terlalu berani. Gila. Namun, tidak cukup waras untuk segera sadar. Tindakannya bukan satu dari sekian cara menjadi lebih baik. Benar – ben
Cukup tak akan pernah menjadi cukup, karena Moreau telah menyaksikan sendiri bagaimana Abihirt telah kehilangan kendali. Dia tidak akan pernah sanggup menghentikan pria itu dari segenap cara berusaha menjadi penegah. Ayah sambungnya tetap konsen pada amarah, seolah hal tersebut adalah pengerat, dan akan menjadi perasaan menyakitkan ketika mencoba terbebas terhadap suatu desakan ketat. Hanya perlu sedikit bersyukur bahwa Roger datang tepat waktu bersama yang lainnya. Moreau tidak tahu lagi bagaimana dia akan memikirkan reaksi Barbara. Semua tampak kacau, sedikit mengerikan saat butuh usaha besar bagi Roger memisahkan Abihirt yang membabi buta. Memang ... setidaknya pria itu berhasil, tetapi ada penggambaran serius—tak terbaca—saat napas Abihirt menggebu; tidak dapat dihindari, seperti pendulum yang ditahan terlalu lama, dan berikutnya Roger harus menawarkan bantuan kepada Froy supaya segala rias kekacauan di wajah—yang nyaris kehilangan akal, dapat dibagi menjadi beberapa
“Mengapa Froy ingin menyentuh Moreau aku tidak bisa memahaminya. Tapi, bukankah kau bisa bicarakan ini baik – baik? Sebaliknya malah melakukan tindakan kasar seperti tadi. Bagaimanapun, Froy adalah keponakanmu.” “Aku sudah cukup memberinya ampun ketika dia berbuat kekacauan tadi pagi. Bukan berarti akan diam sampai dia melakukan hal tidak wajar. Justru karena Froy keponakanku, aku merasa harus memberinya pelajaran yang setimpal. Mengapa kau tidak tanyakan langsung kepadanya apa yang dia pikirkan dengan berusaha menyentuh Moreau?” Ketegangan di wajah Gloriya tidak akan bisa disangkakan lagi. Moreau tahu betapa wanita itu terkejut, barangkali masih berusaha menolak untuk percaya. Mungkin, di matanya Froy terlalu baik sehingga kesalahan sekecil apa pun, nyaris tidak pernah masuk ke dalam daftar peristiwa yang akan mereka hadapi. Atau, wanita itu jauh lebih didesak oleh satu kenyataan bahwa; kali pertama Abihirt berbicara panjang, seakan ingin benar – benar meledak andai ...
"Kita sudah membuat jadwal untuk berada di sini selama seminggu, Darling. Tidak bisa diubah begitu saja.” Sampai di kamar, Barbara segera menutup pintu menghadapi perasaan di mana dia tidak bersedia meninggalkan pedesaan lebih awal. Menunggu sekian hari terakhir untuk berada di sini sebagai kejutan. Ada hal yang telah direncanakan dan tak ingin menggagalkannya hanya karena kekacauan; tentang krisis kepercayaan Froy, maupun beberapa hal baru yang mengejutkan. Ya, setidaknya sedikit kesal karena Moreau berani membantah sesuatu yang telah menjadi keputusan usang. “Darling, aku bicara kepadamu.” Barbara menarik napas kasar selama menyaksikan bahu Abihirt tenggelam di balik pintu kamar mandi. Peringatan darurat di puncak kepalanya sedang menyala – nyala. Dia tak akan bisa menahan diri untuk tidak menyusul, meski sedikit tertahan ketika mendengar suara air keran menyerbu deras. Abihirt jelas sedang menyingkirkan bekas darah mengering di punggung tangannya. Mata Ba
Keinginan bernegosiasi tampaknya akan berakhir panjang. Tenggorokan Barbara terasa hampa. Dia mengerjap beberapa kali sampai puncak kepalanya akhirnya menemukan ujung penggambaran absurd. Mungkin Abihirt masih terbawa situasi, saat pria itu marah semua menjadi tidak jelas. Atau, sebentuk perasaan lain—menyergap berusaha memberitahukan sesuatu. Ada benarnya untuk mempertimbangkan kembali sikap aneh Froy, yang tidak akan bersikuku andai, memang tidak menghirup aroma ganjil dan bertebaran hanya di beberapa tempat. “Kau tahu, Abi. Sikapmu yang sepert ini membuatku memikirkan lagi sesuatu yang coba kulupakan. Kau tidak pernah akan membicarakan hal – hal tadi. Tapi barusan, semuanya terlihat sangat jelas.” Iris mata Barbara menatap suaminya serius. Dia mengerti Abihirt mendengarkan dengan sangat baik, sehingga pria itu menunggu ujung tenggorokan yang bergerak menyelesaikan sisa – sisa tertunda—barangkali sengaja membiarkan hening beberapa saat, baru kemudian bicara. “Apa
Seketika udara terasa dingin, mencekik, selagi Barbara menunggu Abihirt menambahkan jawaban signifikan. Iris kelabu itu tak terbaca, meskipun gerakan bibir suaminya perlahan menegaskan sesuatu. “Bukan kebiasaanku menilai seseorang cantik atau tidak. Kau salah jika berpikir aku seperti itu.” Ungkapan Abihirt tidak singkat, tetapi terlalu riskan jika Barbara tidak benar – benar memasukkannya ke dalam daftar serius. Dia bahkan hanya bisa diam membeku ketika pria itu berjalan pergi. Begitu saja. Menegaskan perdebatan mereka cukup sampai di sini—tak ingin mendengar sisanya. “Abi.” Tidak. Barbara tidak akan membiarkan semua menjadi suatugambaran mengancam pada hubungan mereka. Dia segera menyusul. Sesaat terpaku ... menyaksikan suaminya membawa bantal dan tampak ingin meninggalkan kamar. “Kau mau ke mana, Abi? Aku belum selesai!” “Tidur di sofa ruang tamu." “Kau sebegitu marahnya, ya, sampai ingin tidur di ruang tamu?” Barbara sedikit
“No.” “No.” “Hentikan.” “Jangan lakukan ini.” Rasanya Moreau baru tertidur untuk waktu yang singkat, tetapi suara sayup – sayup di luar terdengar begitu jelas di keheningan malam. Seperti berusaha mengambil seluruh kendalinya, kemudian dia tersentak dengan tidak mengerti menatap ke sekitar ruang kamar nan gelap. Terlalu ganjil membayangkan seseorang masih meninggalkan suatu kesan saat seharusnya ... sudah tidak ada lagi yang tersisa. Sudah tidak ada apa pun di luaran sana. Suara serak dan dalam yang familiar. Moreau mengerti siapa pelaku terduga bersarang di puncak kepalanya. Berjuang keras untuk tidak meyakini bahwa Abihirt bersuara getir dan nyaris menyerupai lirih. “No ....” Lagi. Tenggorokan Moreau bergerak kasar membayangkan dia berada dalam pilihan rumit. Keluar atau tidak, itu sama seperti membiarkan beberapa parasit menggerogoti tubuhnya. Membutuhkan masa – masa sulit menghadapi hal yang coba memakannya hingga habis; setidaknya bersikap t
“Abi.” Walau tidak tahu apakah ini dapat berdampak bagus, tetapi Moreau ingin pria itu ditarik pada kesadaran utuh. Sedikit berniat membangunkan ibunya, sekalipun hal tersebut tidak dilakukan. Hanya kebutuhan menyentuh lengan Abihirt dan dia masih mendapati pria itu bergerak gelisah. “Abi.” Sekali lagi. Moreau mengetatkan sentuhan di lengan atas ayah sambungnya. Agak menekan ujung jemari, memberi rasa sakit, supaya pria itu bangun dan sadar. Namun, butuh beberapa detil usaha untuk menyeret Abihirt keluar dari mimpi buruk yang menjerat. Dia menipiskan bibir. Sedikit sulit memastikan lebih dekat saat sandaran sofa membatasi sisa ruang antara mereka. Harus dengan menyingkir. Itu yang Moreau lakukan ketika akhirnya dia setengah membungkuk dan membekap bibir Abihirt di sana. Tidak ingin ayah sambungnya menimbulkan suara lebih signifikan, kemudian membangunkan semua orang. Mungkin dia merasa salah telah melakukan hal tersebut. Tidak ada pilihan. Iris biru terangnya