Seketika udara terasa dingin, mencekik, selagi Barbara menunggu Abihirt menambahkan jawaban signifikan. Iris kelabu itu tak terbaca, meskipun gerakan bibir suaminya perlahan menegaskan sesuatu.
“Bukan kebiasaanku menilai seseorang cantik atau tidak. Kau salah jika berpikir aku seperti itu.” Ungkapan Abihirt tidak singkat, tetapi terlalu riskan jika Barbara tidak benar – benar memasukkannya ke dalam daftar serius. Dia bahkan hanya bisa diam membeku ketika pria itu berjalan pergi. Begitu saja. Menegaskan perdebatan mereka cukup sampai di sini—tak ingin mendengar sisanya. “Abi.” Tidak. Barbara tidak akan membiarkan semua menjadi suatugambaran mengancam pada hubungan mereka. Dia segera menyusul. Sesaat terpaku ... menyaksikan suaminya membawa bantal dan tampak ingin meninggalkan kamar. “Kau mau ke mana, Abi? Aku belum selesai!” “Tidur di sofa ruang tamu." “Kau sebegitu marahnya, ya, sampai ingin tidur di ruang tamu?” Barbara sedikit“No.” “No.” “Hentikan.” “Jangan lakukan ini.” Rasanya Moreau baru tertidur untuk waktu yang singkat, tetapi suara sayup – sayup di luar terdengar begitu jelas di keheningan malam. Seperti berusaha mengambil seluruh kendalinya, kemudian dia tersentak dengan tidak mengerti menatap ke sekitar ruang kamar nan gelap. Terlalu ganjil membayangkan seseorang masih meninggalkan suatu kesan saat seharusnya ... sudah tidak ada lagi yang tersisa. Sudah tidak ada apa pun di luaran sana. Suara serak dan dalam yang familiar. Moreau mengerti siapa pelaku terduga bersarang di puncak kepalanya. Berjuang keras untuk tidak meyakini bahwa Abihirt bersuara getir dan nyaris menyerupai lirih. “No ....” Lagi. Tenggorokan Moreau bergerak kasar membayangkan dia berada dalam pilihan rumit. Keluar atau tidak, itu sama seperti membiarkan beberapa parasit menggerogoti tubuhnya. Membutuhkan masa – masa sulit menghadapi hal yang coba memakannya hingga habis; setidaknya bersikap t
“Abi.” Walau tidak tahu apakah ini dapat berdampak bagus, tetapi Moreau ingin pria itu ditarik pada kesadaran utuh. Sedikit berniat membangunkan ibunya, sekalipun hal tersebut tidak dilakukan. Hanya kebutuhan menyentuh lengan Abihirt dan dia masih mendapati pria itu bergerak gelisah. “Abi.” Sekali lagi. Moreau mengetatkan sentuhan di lengan atas ayah sambungnya. Agak menekan ujung jemari, memberi rasa sakit, supaya pria itu bangun dan sadar. Namun, butuh beberapa detil usaha untuk menyeret Abihirt keluar dari mimpi buruk yang menjerat. Dia menipiskan bibir. Sedikit sulit memastikan lebih dekat saat sandaran sofa membatasi sisa ruang antara mereka. Harus dengan menyingkir. Itu yang Moreau lakukan ketika akhirnya dia setengah membungkuk dan membekap bibir Abihirt di sana. Tidak ingin ayah sambungnya menimbulkan suara lebih signifikan, kemudian membangunkan semua orang. Mungkin dia merasa salah telah melakukan hal tersebut. Tidak ada pilihan. Iris biru terangnya
“Kau pasti memukul Froy terlalu keras,” ucap Moreau nyaris menyerupai sebuah bisikan. Masih sangat hati – hati, setidaknya, walau yang dia temukan adalah sesuatu dari Abihirt bahkan nyaris tidak memberi reaksi, seolah apa pun yang telah pria itu lakukan tidak memiliki dampak penting untuk dikhawatirkan. “Sedikit kelepasan.” Hanya itu. Moreau cukup tidak setuju mengenai pernyataan Abihirt barusan. Mata kelabu ayah sambungnya mungkin sedang serius menatap setiap kali kain perban melilitt perlahan di sana, tetapi dia diam – diam berusaha mencari tahu bagian yang jauh lebih kompleks dari ekspresi datar—nyaris tak terbaca. “Kau benar – benar kelepasan.” Sambil menambahkan, Moreau akhirnya memastikan ujung kain perban diikat menjadi simpul yang pas. Sekarang, dia akan kembali ke kamar. “Froy pantas mendapatkan itu.” Moreau mengakui bahwa pernyataan Abihirt benar. Froy memang pantas menuai kontroversi dari tindakan kasar. Tetapi mereka juga harus menyadari j
“Kau tidak seharusnya berbuat ulah di hadapan paman-mu. Jangan lupa kalau kita sangat membutuhkannya. Mau kau memberi makan apa calon istrimu nanti, jika sampai Abi tidak mau lagi peduli terhadap apa pun yang kau lakukan?” Masih cukup pagi, tetapi Moreau yakin sedang tak salah mengenali suara seseorang yang nyaris menyerupai peringatan; bisikan; dan hal – hal relevan. Dia hanya berniat pergi ke dapur, sempat menemukan ayah sambungnya masih tidur di ruang tamu, tetapi berpikir bahwa Barbara akan segera keluar kamar. Seharusnya memang tidak memiliki urusan apa pun bersama pria itu untuk saat ini. Bahkan pembicaraan sepasang ibu dan anak di dapur, yang melibatkan Abihirt juga tak ingin ditambahkan ke dalam daftar kepentingan. Hanya saja ada sebuah anggapan tentang mendengar suatu berita secara utuh. Percakapan Gloriya dan Froy tentu akan tetap dilanjutkan, dan di sinilah Moreau memilih diam, mengobservasi apa yang mungkin bisa dia terima dengan baik. “Percuma saj
“Jika Abi tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menawarkan bantuan. Bukankah itu bagus? Artinya dia peduli kepada mereka.” Pernyataan ini mungkin sedikit sumbang terhadap apa yang Moreau pikirkan. Sering terlibat bersama Abihirt barangkali membuatnya belajar cara menjadi kontradiktif. Sedikit mengagumkan bahwa secara perlahan dia tahu bagaimana untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Biarkan Roger melanjutkan hal—tergambang di antara mereka, supaya dapat dipelajari lebih lengkap. “Aku rasa kau seharusnya sudah tahu kalau Abi dan Gloriya tidak satu ibu. Mereka bahkan tidak seharusnya akrab dan tidak bersama sedari kecil. Hanya kebetulan Abi menjadi pengusaha sukses dan wanita itu mulai terus mendekatinya.” Dia tahu tentang hal itu: baru tahu. Namun, sikap Gloriya tidak terlihat seperti demikian, pada awalnya. Moreau mungkin tidak akan percaya apa yang baru saja dikatakan Roger, andai dia tak mendengar sendiri bagaimana wanita itu terus membujuk Froy untuk
Moreau mengerjap, sesaat mengedarkan pandangan dengan gelisah, lalu kembali melakukan kontak mata bersama Barbara. “Aku—tidak. Aku mencarimu. Kupikir tadi kau bersama Abi, tapi tidak ada. Aku juga tidak berani mendatanginya.” Dia bicara setengah gugup, sedikit tersenyum, berharap Barbara tidak akan memikirkan sesuatu lebih jauh saat perhatian wanita itu kembali beralih pada satu titik di sana. “Sudah ada aku di depanmu, apa yang mau kau katakan?” Ntah harus diliputi perasaan lega atau tidak, tetapi Moreau menelan ludah kasar memikirkan sesuatu secara tiba – tiba. Apa yang bisa dia katakan bahwa sebenarnya dia tak mencari siapa pun, tak ingin mengatakan apa pun. Semua telanjur. Barbara sedang menunggu sembari sesekali menata ikatan rambut dengan hati – hati. Wanita tersebut baru saja mandi, itulah mengapa tidak terlihat pada awalnya. “Tidak jadi, Mom. Tadi sempat ingin meminta bantuanmu, tapi aku bisa menyelesaikannya sendiri.” Bibir Moreau menipis gugup
“Kau yakin bisa mengurus semuanya sendiri, Darling? Aku dan Gloriya mungkin pergi cukup lama. Kami akan berbelanja beberapa hal yang dibutuhkan. Hadiah untuk rekan kerjaku juga tidak akan terlewatkan. Jangan lupa panaskan sup kentangmu jika ingin makan, mengerti?” Sudah cukup siang, Barbara segera merenggut tas yang diletakkan di pinggir ranjang sembari memperhatikan setiap detil kegiatan suaminya. Abihirt tidak sekali pun meninggalkan perhatian dari layar monitor. Dia akan berusaha memahami bagaimana pria itu terlalu sibuk, meski sesaat ekspresi dari wajah tampan di sana seperti mengernyit ganjil saat mendengar kata ‘hadiah’ terucap. Mencoba untuk tidak terpengaruh. Barbara segera melekukkan senyum tipis, lalu menghampiri pria yang tidak menanggapi kata – katanya. Dia menjatukan kecupan ringan pada rahang yang terasa kasar. Sedikit mengusapnya saat Abihirt melirik dengan singkat. “Jangan terlalu memaksakan diri saat kau sedang sakit. Ingat untuk istirahat. Ada Gab
Suara Barbara sudah setengah kesal. Betapa dia berusaha keras tidak meledakkan kemarahan terhadap beberapa kekonyolan Froy. Prasangka buruk membuatnya hampir turut memikirkan hal – hal tidak semestinya, tetapi kali ini tidak akan lagi terjerembab ke dalam urusan tidak menyenangkan. Abihirt sudah menegaskan bahwa pria tersebut tidak memperhatikan seseorang dari rupa kecantikan. Mereka menikah, itu yang harus selalu di jaga. “Tapi, Bibi—“ Bagaimanapun, tampaknya Froy masih berusaha menyela. Sanggahan—nyaris, segera tertahan di ujung tenggorokan ketika Gloriya angkat bicara. “Apa yang tadi kukatakan kepadamu, Froy? Jangan mencari masalah. Biarkan pamanmu tenang dengan urusan pekerjaannya. Kau tidak lihat Abi sibuk tadi? Aku sudah mengingatkanmu untuk tidak macam – macam.” Tidak ada yang lebih penting dari urusan melakukan perjalanan. Terlebih, dia sudah merasakan sedikit dampak dari sikap Abihirt yang sungguh melipatgandakan setelan pabrik pria itu. Tidak banya