“Apa mau-mu, Abi?”
Moreau melipat kedua tangan di depan dada. Akan memastikan sendiri satu tujuan serius ayah sambungnya dengan mengajukan pertanyaan walau sedikit memahami tentang sebuah larangan yang baru saja pria itu deklarasikan. “Kau tak akan pernah benar – benar tahu apa mauku.” Namun, adalah hal percuma jika akhirnya Abihirt akan membentuk teka – teki lain dan tidak berusaha memberitahukan lebih runut. Moreau mengangkat sebelah alis tinggi. Sengaja meninggalkan itu sebagai reaksi pertama. Biarkan berikutnya mengambil alih, karena bagian tersebut telah satu jarak untuk mengacaukan yang paling tertata; mari membicarakan hal relavan. Moreau segera menarik napas. Mencoba lebih gamblang dan bertanya, “Kau sungguh tidak ingin membiarkan pria lain menyentuh tubuhku?” Anggukan samar bukan satu – satunya respons ketika Abihirt terlihat sedang menyimpan keinginan bicara. “Ya, dan kau baru saja membiarkan Froy melakukannya.” Suara serak dan daMoreau sedang tertarik untuk menantang amarah seorang pria dewasa, atau barangkali—atas pengakuan khusus—bahwa dia menaruh minat pada gairah ayah sambungnya. Tahu jika Abihirt sedang berjuang keras menahan diri. Itu nyaris tak terungkap, seakan sebuah disiplin singkat telah diisyaratkan terhadap usaha menempelkan tinta hitam di antara keputusan mereka. Mendadak, semua terasa tegang saat Moreau menyadari betapa tidak ada selera humor di balik bahu ayah sambungnya. Tidak sekarang ataupun nanti. Pria itu benar – benar menatap tajam. Mendetilkan sebuah gambaran tentang seorang yang sadis. “Kau berada di bawah pengaruh aturan dan seharusnya mematuhi apa pun yang telah dibatasi.” Bagian tersebut kembali diingatkan. Rasanya tidak adil jika semua tidak jelaskan secara gamblang, tetapi dia harus memahaminya. Moreau sendiri tidak tahu apakah dia diberi kesempatan sekadar menyatakan suatu batasan. Segala bentuk tersurat hanya akan membuatnya terus berharap, karena bagaimana
“Bagaimana dengan Juan? Dia menyentuhku. Sering menyentuhku!" Biarkan pelbagai aturan di antara mereka diuraikan serunut yang Moreau inginkan. Dia belum benar – benar merasa jelas. Sengaja menambahkan penekanan di bagian akhir kalimat, ingin tahu bagaimana pria itu akan bereaksi meski pada akhirnya selalu suatu sikap tenang yang tak tergambarkan. “Dia pengecualian karena kalian punya urusan spesifik." Tidak ada yang ingin percaya mengenai hal itu. Moreau rasa dinding di sekitar mereka akan memiliki pendapat serupa. Dia menyipitkan mata sekadar mencari celah ayah sambungnya. Abihirt terlalu sempurna untuk terjerembab pada satu jurang. Sudah dipastikan tidak akan pernah walau perlu dijabarkan oleh kata ‘nyaris’. “Urusan spesifik ... maksudmu, karena dia pasangan skatting-ku?” “Kurang lebih seperti itu.” “Kau sungguh tidak marah saat dia menyentuh tubuhku? Juan sangat mahir saat menyentuhku. Kau pernah melihatnya sendiri.” Celakalah. Moreau su
“Ya, aku tetap tidak mau menurut.” Butuh pengendalian diri yang baik, dan Moreau baru bisa menguasai hal tersebut setelah beberapa saat. Dia sedang berusaha membatasi jarak bersama Abihirt, meski mendadak itu terasa sulit dilakukan. “Kau akan dihukum kalau begitu." Ayah sambungnya menyampaikan dengan tenang, membuat Moreau sedikit tak mengerti sehingga merapatkan bibir sekadar mencari pembenaran yang salah di sana. Dia tidak pernah mengira akan ada hukuman. “Jadi itu yang kudapatkan selama menjadi submisif-mu?” tanyanya untuk benar – benar memastikan. Apakah tidak ada hal lain supaya tidak memberi perasaan getir? Moreau tak setuju andai Abihirt akan mengatur hukuman berat tanpa pernah berpikir bahwa dia tak sungguh bersalah dalam kasus seperti ini. “Apa yang kau dapatkan tergantung apa yang kau lihat.” Sebuah jawaban instan, di mana Moreau hampir tidak mengerti. Dia selalu menghadapi badai rasa bersalah. Selain itu, untuk mengklaim sebagian hak k
“Aku hanya akan pergi setelah menghukum-mu.” Sekarang niat terselubung Abihirt tersampaikan secara lugas. Moreau nyaris tak habis pikir. Namun, dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya menyingkir saat pria itu telah mengatur tubuhnya menghadap ke arah ranjang dengan kedua tangan menyangga kokoh di pinggir kasur. Abihirt sedang mengerjakan sesuatu, yang intim, membuat sebagian perasaan Moreau berontak hebat, meski tidak dimungkiri bahwa terungkap separuh keinginan menunggu satu tindakan ketika pria tersebut telah menyibak gaun tipis di tubuhnya ke atas. Tanpa dalaman sebagai lapisan antisipasi, itu menyajikan sebuah pemandangan yang begitu instan. Moreau menahan napas merasakan sentuhan dari telapak tangan yang kasar ... sedang mengusap lembut permukaan bokongnya. Terlalu sebentar bagi Abihirt sekadar menguji kapan ladang akan membasah. Pria itu cenderung tidak sabar, alih – alih memastikan Moreau bersedia menerima batang kejantanan yang telah kokoh, padat,
“Kalian harus percaya kepadaku. Aku melihat sendiri Paman Abi keluar dari kamar Moreau. Itu sudah hampir tengah malam saat aku selesai berenang.” Suara dari luar menarik Moreau untuk mengerjap beberapa kali, meski dia telah berusaha keras terbangun dari keinginan terus memejam. Froy .... Suara pria itu paling mendominasi, setidaknya butuh waktu beberapa saat bagi Moreau benar – benar memahami kilatan kekacauan yang sedang berhamburan di sana. Dia seketika tersentak, berharap ini adalah mimpi, tetapi percakapan di balik lapisan dinding kamar telah menunjukkan yang sebenarnya. Apa yang telah Froy lihat dan ketahui? Benak Moreau bertanya – tanya, begitu takut, jika semalam pria itu disirami suatu informasi tentang Abihirt yang memutuskan untuk mengambil tindakan menghukum; karena satu kesalahan di tengah batas toleransi normal. Ayah sambungnya hanya tidak ingin mengakui sebuah pembelaan diri yang percuma. Malahan, bersedia mengambi
“Kenapa tidak kau katakan kepada kami kalau semalam Paman Abi ada di kamarmu, Moreau? Apa yang kalian lakukan? Ibuku dan Bibi Barbara sudah penasaran.” Lagi. Suara Froy yang paling pertama berhamburan, seperti sebuah silet berusaha merobek selembar kertas basah—telah lebih dulu merusaknya sebelum benar – benar sampai pada tahap ingin merekatkan bagian pipih dan tajam. Moreau belum menemukan jawaban. Tidak tahu apa yang perlu diungkapkan. Apakah perlu menuduh Froy, lalu semua pernyataan pria itu akan berbalik menjadi bumerang atau diam ... membiarkan ekspresi Barbara samar – samar berbubah berang. Dia yakin ibunya sedang menahan diri. Barangkali tak ingin percaya, tetapi kebekuan di antara mereka adalah sesuatu yang tak dapat ditorehkan serupa batas wajar. Ada hal – hal tidak biasa dan tak harus dipaksakan mengimbangi ambang yang terasa begitu dekat. “Kau diam berarti itu benar!” Froy masih dengan usaha yang sama. Meledakkan percikan perasaan tak terduga. Itu
Ingin sekali marah, tetapi percuma. Moreau tak akan bisa melakukan sesuatu lebih serius ketika Barbara masih menunjukkan ekspresi nelangsa, meski wanita itu telah menandainya sebagai ajang sasaran empuk ... andai, mengetahui sesuatu lebih serius saat ini.“Apa yang kau lakukan di kamar Moreau?” Pertanyaan lain segera dirincikan. Moreau bahkan tak ingin menatap wajah Abihirt, ntah apakah pria itu sudah mengumpulkan jawaban instan atau sama sekali tidak memiliki ungkapan nyata untuk menghindari problema usang—masih menjadi carut marut yang mengerikan. “Mengembalikan gelangnya yang jatuh di halaman luar.” Semua terjadi begitu tiba – tiba. Moreau sedikit tersentak, kemudian secara naluriah menunduk menatap ke pergelangan tangannya. Sesuatu yang tak harus terlupakan. Itu Abihirt, yang memasangkan gelang rantai, tetapi pria tersebut menanam ambisi untuk tidak membangunkannya ketika sedang tertidur. Mungkin begitu ... apakah memang begitu? Moreau mencoba
Pelbagai bahan masakan mentah telah memenuhi seisi meja dapur. Ada yang terlewatkan dan dia masih belum menemukan petunjuk paling dekat. “Ada acara apa, Bibi?” Kali ini Moreau mengajukan pertanyaan, setidaknya untuk menyirami rasa ingin tahu yang tertahan di ambang batas. Tidak biasanya. Seperti terlalu mendadak dan dia harus menaruh perhatian pada apa pun yang terlihat di hadapan mereka. “Ibumu bilang dia ingin mengadakan pesta barbeku. Jadi, ini yang kami kerjakan. Nanti malam kita akan makan besar.” Itu terdengar menyenangkan. Moreau secara naluriah melebarkan senyum. Dengan sikap murni pula dia mencoba sekadar melihat ke dalam isi plastik belanjaan; apakah Barbara melupakan bagian kesukaannya atau tidak. Iga. Dia menyukai iga dan ternderloin. Tetapi bahkan semua melampaui lengkap. Sesuatu yang tidak Moreau pikirkan, turut menjadi pilihan untuk pesta bakar – bakar. “Aku tidak tahu kalau ibuku suka ikan dan ayam saat barbeku,” ucapnya, sembari menyin