Bukan ide bagus jika melompat tanpa persiapan khusus. Moreau takut sekaligus khawatir terhadap apa yang akan terjadi kepadanya nanti.
Dia menelan ludah kasar. Berjuang keras menahan debaran menyakitkan. Talu di jantungnya benar – benar melonjak brutal. Ini terlalu riskan. “Tidak ada siapa pun di balkon!” Seolah pernyataan tegas Abihirt ingin memberi Moreau siraman pengetahuan. Dia menoleh ke arah pintu. Tidak ada pilihan selain memanjat dan menghadapi segala bentuk kemungkinan paling dekat. Hitungan dari depan telah dimulai. Kelopak mata Moreau memejam kuat ketika belaian angin seperti berusaha merayu, tetapi tubuhnya terus terjatuh tanpa pernah tahu bentuk risiko—seperti apa, akan merenggut situasi di sana dan di mana dia benar - benar hampir tidak terselamatkan. Untunglah ketika membuka pintu—tidak ada siapa pun yang dapat ditemukan Barbara mengedarkan seluruh perhatian. Tidak ada jejak tersisa di mana pun saat dia melangkahkan kaki menyusuri“Ya, Darling. Maafkan aku,” ucapnya sembari menyingkirkan sisa jarak supaya bisa menyentuh rahang kasar Abihirt. Tindakan Barbara selalu berakhir lebih berani ketika dia mengalungkan kedua lengan di leher pria itu, tersenyum, dan harus menengadah tinggi. “Kau tidak memikirkan sesuatu yang buruk, kan, Darling?” “Aku rasa kau yang justru berpikiran buruk.” Barbara mengakui itu. Salahnya mengambil kesimpulan terlalu cepat. Tetapi paling tidak, dia ingin Abihirt juga mengerti tentang suatu kekhawatiran instan. Ada reaksi murni yang sulit dikendalikan. Persis seperti tadi ... lewat awalan tidak tepat, sesuatu dalam benaknya meledakkan rasa takut. Barbara menggeleng samar, kemudian lurus – lurus menatap mata kelabu itu dengan debaran jantung sedikit lebih tenang. “Aku percaya kepadamu, Darling. Tapi, setelah ini mungkin ... aku akan langsung pergi ke kantor,” ucapnya nyaris setengah berbisik. Biarkan Abihirt memberi respons. Dia senang ketika pria tersebut mulai
“Aku dengar kau jatuh saat latihan.” Bukan pemandangan baru ketika Moreau harus menghadapi ibunya yang masuk ke dalam kamar tanpa peringatan. Barbara sudah menjulang tinggi, dilingkupi wajah masam saat menjatuhkan perhatian ke pergelangan kaki yang terbujur di atas ranjang. Rasanya membuat dia gugup mengatakan sesuatu, sehingga hanya mengangguk dan kemudian mendapat decakan kasar dari wanita itu. “Bagus. Jika kaki cedera seperti itu, bagaimana dengan tournamen-mu nanti? Bagaimana kau akan latihan dengan keadaan seperti ini?” Alih – alih menanyakan sisa kondisi yang sedang dihadapi. Moreau justru harus menahan napas terhadap pertanyaan Barbara. Dia pelan – pelan bergeser begitu wanita itu mengambil posisi duduk di pinggir ranjang. “Kenapa tidak hati – hati?” Kali ini, setidaknya suara Barbara terdengar lebih pelan. Moreau menatap wanita itu singkat, walau tak dimungkiri dia nyaris tak menemukan reaksi kekhawatiran, selain keinginan ibunya untuk benar – b
Tiba – tiba ranjang berderak. Moreau menyimpan keraguan di benaknya mengetahui Barbara beranjak bangun, seolah wanita itu ingin memberi ruang kepada Abihirt. Ada gestur dan isyarat tertentu, sehingga tubuh jangkung Abihirt segera berbungkuk untuk mengajukan ujung jari menyentuh pergelangan kaki yang terasa sakit. Moreau sedikit meringis. Nyaris menepis tangan ayah sambungnya, meski kemudian hanya mengetatkan cengkeraman di sana. Mata kelabu itu menatap serius, menyampaikan sesuatu dengan ambigu. Dia tidak bisa memahaminya tanpa pernyataan lebih rinci, tetapi keberadaan Barbara membuat kebutuhan mereka terdengar mustahil. “Aku akan pergi. Kau tidak keberatan ayahmu di sini?” Moreau menatap ibunya skeptis. Masih dalam balutan bluzer kantor. Dia sadar Barbara lebih dulu mendaratkan kaki demi mengetahui kondisi yang masih selalu sama. Setidaknya itu adalah bentuk kepedulian. Barangkali tidak seharusnya menahan wanita tersebut tetap di sini. Moreau mengangguk sama
Penanganan dokter memang merupakan pilihan paling tepat. Moreau merasa jauh lebih baik setelah pelbagai proses perawatan di pergelangan kakinya, walau satu hal nyaris menyemat sebagai pengecualian. Dia hampir menolak ketika dimintai untuk tidak melakukan aktivitas berat selama beberapa hari, yang akhirnya sedikit bisa dipatuhi, meski merasa tidak sabar supaya dapat kembali berseluncur dengan sepatu skate. “Ada kabar dari ibuku?” Pertanyaan Moreau menyerupai bisikan lambat, karena merasa posisi mereka terlalu dekat sekadar mengatakan sesuatu dengan lantang. Dia ingin tahu beberapa hal mengenai Barbara, mengingat wanita itu sempat tidak setuju setelah tahu Abihirt mengangkat tubuhnya masuk ke dalam mobil. Mereka harus menghadapi jeda, tidak cukup lama, dengan beberapa percakapan, yang menjadikan itu sebagai alasan mengapa Moreau di sini, memanjat di punggung ayah sambungnya ketika mereka sedang menunggu giliran. Resep dokter harus ditebus di apotek rumah sakit, tetapi pada akhirny
Sayangnya, sejauh mana pun Moreau ingin menambahkan sedikit gambaran untuk memperbaiki. Dia tidak bisa mengubah pemikiran seseorang. Abihirt mungkin tidak pernah memiliki niat sekadar menangkap basah Barbara, meski mereka sering kali menghadapi ketegangan ketika wanita itu tidak sadar nyaris mengetahui kebenaran. Hanya rahang yang mengetat, dan Moreau sadar ayah sambungnya sedang menahan diri. Dia tidak akan mengatakan apa pun lagi, meski secara kebetulan menyadari sesuatu yang ganjil di sana. Wajah Abihirt sedikit pucat. Moreau tidak tahu jika pria itu sedang menghadapi masalah kesehatan. Mungkin perlu memastikan langsung, sehingga memutuskan untuk mengajukan satu tangan menyentuh kening ayah sambungnya. “Kau tidak panas, tapi kenapa wajahmu terlihat tidak sehat?” “Hanya masalah biasa. Yang perlu kau pedulikan adalah kakimu.” Efek samping dari legalitas penyakit bawaan. Moreau tidak tahu. Tidak akan pernah tahu. Dia sedikit mengembuskan napas kasar setelah ungkapan yang sedik
“Sudah merasa lebih baik?” Seketika Moreau menahan napas, hampir tak menyangka akan mendapati Abihirt ada di kamar tidurnya. Pria itu sudah dalam keadaan rapi, dibalut jas abu muda yang licin, sedang duduk di pinggir kasur, mungkin sejak awal tidak pernah memindahkan perhatian ke mana pun dia berusaha memikirkan hal tersebut. Deburan jantung Moreau seakan tak ingin benar – benar pulih. Masih sangat berdebar ketika harus dengan pelan mengatur posisi duduk bersandar di kepala ranjang. “Mengapa kau di sini?” tanyanya sambil menatap ke seluruh ruang. Khawatir jika akan menemukan Barbara muncul secara tak terduga. Moreau tak ingin didesak sebuah masalah di pagi hari, dan berharap tidak pernah ada sedikitpun hal buruk mengikuti bahunya. “Menunggumu bangun.” Hanya itu yang Abihirt katakan. Moreau tidak mengerti. Dia hanya menemukan ayah sambungnya menatap tenang, tetapi pria tersebut tidak memberi sedikit pun petunjuk tentang tujuan spesifik, yang dia yakin tidak hanya menunggu ses
“Kau bisa menitipkan Chicao-mu di sini.” Dia akhirnya mengatakan itu setelah memikirkan waktu yang telah Abihirt lewatkan di kamarnya. Sama sekali tidak memiliki hasrat merepotkan pria itu. “Kau mungkin bisa pergi, Abi. Kami tidak apa – apa di sini.” Moreau menambahkan setelah Abihirt meletakkan Chicao tidak jauh dari kakinya. Anjing Cocker Spaniel itu hanya meringkuk sembari menatap tubuh kokoh dalam balutan pakaian kerja telah menjulang tinggi. Kontak mata terjadi dengan singkat ketika Abihirt yang memutuskan pertama kali. Pria itu menatap Chicao, pelan sekali mengajukan tangan sekadar mengusap puncak kepala anjing tersebut, untuk kemudian benar – benar melangkah pergi. *** Barbara menarik napas panjang setelah berada di sini sekadar melakukan pertemuan ... lagi, bersama Samuel. Mereka sedang duduk berhadapan di sudut paling pojok di restoran, sebagai bentuk antisipasi kalau – kalau ada hal tak terduga datang mengimbangi. “Jadi bagaimana rencana pencucian uang-mu? Ada in
Suasana hati yang bagus dan pelbagai proses penyembuhan usai beberapa beberapa minggu berlalu, akhirnya membawa Moreau untuk bisa kembali melakukan sesi latihan bersama Juan. Dia bernapas dengan udara terasa menggebu di rongga dada. Ini bagian terakhir setelah melakukan segala bentuk gerakan indah secara berulang. “Aku rasa latihan hari ini sudah cukup.” Itu yang barusan Anitta katakan dan bagaimana Juan tampak begitu peduli, memastikan sebelah lengan pria tersebut bertaut di pinggung Moreau, hanya supaya mereka dapat berjalan bersama. Dia mengerti Juan ingin menjadi penopang saat memutuskan untuk berjalan dengan hati – hati. Berdua ... langkah mereka telah lebih dekat menghadap Anitta yang menunggu tidak jauh dari pinggir lapangan es. “Kau perlu beristirahat lebih sering, Moreau. Kaki-mu masih harus diperhatikan, kalau sakit katakan saja, jangan sampai kita tidak bisa ikut tournamen, karena kondisimu tidak benar – benar baik. Ingat, latihan kita sudah sampa
“Apa yang sedang kau pikirkan, Moreau?” Abihirt bertanya, sungguh? Perilaku ganjil telah membuat pria itu memikirkan banyak hal. Moreau tak pernah mengira akan ada satu momen di mana dia membiarkan bibirnya terbuka lebih lebar saat ibu jari Abihirt memberi sapuan ringan di sana. Bahkan pria itu mendorong masuk seluruh jempol yang terasa kasar dan besar supaya dia secara naluriah memberi isapan tak terduga. Mereka melakukan kontak mata. Iris kelabu itu benar – benar tampak dilingkupi gairah tertahan. Rasanya dia tak bisa menjabarkan bagaimana tatapan Abihirt terlalu lapar dan ingin melahapnya tanpa ampun. Tubuh Moreau segera tersentak begitu pria itu mendorong tubuhnya jatuh terduduk di atas ranjang. Tuntutan untuk menengadah mengungkapkan pemandangan murni dari cara Abihirt yang terburu ketika membuka jas dan bahkan merenggut ikatan dasi di kerah kemeja. Lengan pria itu menekan di atas ranjang diliputi wajah yang perlahan mencondong ke depan. Betapa Moreau h
“Aku tetap mau pulang. Ibuku akan mencariku nanti.” Dia berharap bisa mengatakan sesuatu yang lain, tetapi pengkhianatan dalam dirinya membiarkan ego melarang. Barangkali akan kelepasan dan membuat semua semakin runyam. “Ibumu tak akan mencarimu.” Lambat sekali suara serak dan dalam Abihirt mencuak ke permukaan seolah pria itu sedang mengusahakan upaya agar Moreau tidak memikirkan sesuatu melebihi apa yang seharusnya. “Kau sendiri yang bilang ibuku sudah menunggu. Dari mana kau tahu ibuku tidak akan mencariku?” dia bertanya sinis. Akan lebih adil jika Abihirt merasakan ketegangan yang coba dia besar – besarkan. “Ada kegiatan pameran busana. Ibumu akan menghabiskan banyak waktu di sana.” Sekarang Moreau tahu. Dia mengangguk – angguk tak acuh seolah ingin membuktikan kepada ayah sambungnya kalau – kalau apa pun yang sedang pria itu inginkan tidak akan dengan mudah terwujud. “Jadi, tadi kau membohongiku? Kupikir kau adalah suami cuek yang tida
“Keluarlah.” Sebuah perintah serius, sepertinya Moreau akan menghadapi masa sulit andai dia masih bersikap keras kepala untuk tidak menuruti setiap keinginan pria itu. Secara naluriah bahunya mengedik tak acuh. Lupakan bahwa ini adalah peringatan terakhir. Dia melipat lengan di depan dada tanpa mempedulikan Abihirt di sana. Ayah sambungnya akan mengerti jika tindakan tersebut masih menjadi bagian dari sikap tidak patuh dan seharusnya pria itu mengambil inisiatif sendiri sekadar melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah kalau – kalau memang hal demikian merupakan bagian dari daftar panjang yang tak terlewatkan. Celakalah, Moreau tidak pernah menduga jika ternyata Abihirt akan mengambil tindakan tak terduga dengan menarik tubuhnya secara paksa dan lagi ... pria itu mendekap persis diliputi cara di klub tadi, membuat dia terombang – ambing menahan sisa rasa pening nan pekat, sementara perutnya meninggalkan sensasi tidak menyenangkan—tertekan di garis bahu yang terasa kokoh
Tubuh Moreau terdesak ke depan ketika dia nyaris setengah terlelap. Mobil ditumpanginya menghadapi krisis tiba – tiba ... seolah itu memang suatu tindakan disengaja. Tidak tahu apa yang sedang berserang di puncak kepala Abihirt saat suami Barbara memutuskan untuk menginjak rem secara tak terduga. Barangkali hal tersebut tidak jauh dari motivasi sederhana ayah sambungnya supaya dia terbangun, sementara makhluk kaku itu tidak menemukan cara untuk menarik Moreau kembali ke permukaan. Menyedihkan. Secara naluriah dia menoleh ke wajah Abihirt. Pelbagai desakan telah menyumbat di puncak kepalanya sekadar meluapkan segala sesuatu yang tertahan. Mungkin keinginan tentang menghantam wajah tampan di sana ... dengan pukulan serius adalah gagasan paling potensial. Moreau harap bisa menuntaskan ide – ide yang berkeliaran bebas, hingga bergelantungan di belakang bahunya dengan cepat. Namun, di satu sisi tak terduga dia harus membayangkan bagaimana menjadi tenang tak tersentuh—
Moreau merasa sangat malu. Ironi. Dia tak punya cukup tenaga untuk memberontak. Kepalanya terasa pening karena alkohol dan sekarang semacam terombang – ambing di lautan berombak dahsyat, diliputi sengatan aroma tubuh ayah sambungnya yang memabukkan. “Moreau sudah bilang tak ingin kau ganggu, Rowan. Turunkan dia!” Mereka sudah separuh jalan menuju pintu keluar, kemudian suara Robby cukup lantang menghentikan Abihirt, lalu menarik perhatian pria itu untuk berbalik badan—di mana Moreau perlu berjuang memalingkan separuh wajah jika dia ingin tahu tentang apa yang akan Robby lakukan kepada ayah sambungnya. “Kau tidak perlu ikut campur terhadap urusanku.” Suara serak dan dalam Abihirt memang terdengar tenang, tetapi tersisip reaksi ganjil yang Moreau sadari coba pria itu tahan. Dia ingin tahu. Bertanya – tanya apakah keberadaan Robby telah memberi banyak pengaruh, meski ayah sambungnya masih berusaha tidak menunjukkan reaksi signifikan di antara mereka. Apakah mu
Mungkin ... yang tersisa di antara mereka adalah sikap Abihirt ... masih berusaha hati – hati saat pria itu menghadapi keputusan serupa. Moreau menggeleng tegas. Terlalu konyol jika mereka bertengkar di sini. Di hadapan banyak orang, apalagi sampai mereka tahu tentang status hubungan yang begitu konyol sekadar dimaklumi. Bagaimanapun Moreau tak bisa memungkiri bahwa sikap Abihirt terlihat seperti seorang pria dewasa yang enggan berbagi. “Jika kau ingin pulang, kau bisa pulang sendiri. Aku tidak butuh perhatian darimu.” Persetan! Meski sesuatu dalam diri Moreau mengingatkan supaya dia bersikap tenang, ada satu bagian lain yang bernama ego ... mendorong agar dia menunjukkan keberanian di hadapan pria itu. “Ibumu sudah menunggu di rumah.” Apa pedulinya? Haruskah Moreau katakan bahwa Abihirt sedang mengandalkan Barbara demi membujuknya? Tidak. Dia akan memastikan itu bukan prospek yang mempan. Lebih baik sudahi segala sesuatu yang membuat dia merasa lebih gila.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Moreau sarat nada sinis. Menyingkirkan keberadaan tangan Abihirt adalah kebutuhan dasar. Dia menepis pria itu dengan kuat. Sudah cukup membiarkan waktu berjalan beberapa saat. Keheningan memang sudah bergemuruh sejak terakhir kali tidak ada satu pun kata terucap dari bibir ayah sambungnya, tetapi Moreau muak menghadapi sikap pria itu. Abihirt sudah seringkali memberi tatapan tajam, seakan – akan demikianlah cara pria tersebut melakukan komunikasi intens. Tidak. Seharusnya pria itu mengerti kalau – kalau hal tersebut merupakan bentuk paling menyakitkan. “Aku ingin kau pulang.” Kali pertama bersuara, Moreau dapat mencerna betapa suara serak dan dalam itu terdengar dingin membekukan. Jika Abihirt mengira dia akan setuju begitu saja, suami ibunya salah—sangat salah. Untuk saat ini Moreau tidak menerima perintah. Dia segera menoleh ke wajah Robby, merasa hal tersebut merupakan prospek bagus sekadar memperlihatkan kepada Abihirt bahwa
[Aku tidak akan pergi ke mana pun untuk meletakkan bokongku di ranjangmu.] Itu adalah pesan terakhir yang Moreau kirimkan sebelum dia dan Juan akhirnya memutuskan untuk terjebak di tengah – tengah musik menggelegar. Tidak ada yang dilakukan di sini. Selain, sesekali menaruh minat serius apakah Abihirt akan membalas pesan terakhir darinya atau tidak. Ironi. Kenyataan bahwa Moreau harus mendapati pria itu bahkan sudah membaca, alih – alih meninggalkan sedikit jejak supaya dia tidak terus menebak – nebak suatu hal yang bahkan tidak mendekati pengetahuan murni di benaknya. Barangkali Abihirt tidak punya waktu lebih sekadar menaruh sedikit perhatian, atau paling tidak ... menanyakan ke mana dia telah pergi. Moreau yakin pria itu sedang bersama Barbara, karena apa pun alasan yang dia berikan kepada ibunya adalah prospek bagus untuk bisa berada di sini. Menghirup hiruk pikuk yang terasa memuakkan, tetapi juga dapat dijadikan sebagai tempat pelampiasan. “Kau dari tadi h
“Ada apa dengan kenalanku?” pria itu bertanya lambat, seolah pemikiran di benak Moreau telah sampai, kemudian membuat Juan mempertimbangkan sesuatu yang terasa begitu tiba – tiba di antara mereka. “Kau tidak pernah membicarakan tentang kenalanmu. Aku curiga kalau yang ingin kau pertemukan kepadaku ternyata satu spesies denganmu.” Sambil mengedikkan bahu tak acuh, sekarang Moreau mendapati ekspresi wajah Juan penuh selidik ke arahnya. “Apa maksudmu bicara seperti itu? Spesies apa, huh?” Pria itu sedang menuntut, tetapi jelas tak benar – benar serius. Sesuatu yang membuat Moreau nyaman untuk berada di samping Juan. Akan selalu begitu. “Aku yakin kau mengerti maksudku, Juan ....” Demikian yang dia katakan dan segera menerima respons decakan keras dari Juan—pria itu bahkan merangkul lehernya erat. Nyaris membuat Moreau benar – benar menunduk. Dia tertawa saat berusaha melepaskan diri. Terlalu menikmati momen kebebasan seperti ini hingga tidak pernah menyadari bahwa