“Ya, Darling. Maafkan aku,” ucapnya sembari menyingkirkan sisa jarak supaya bisa menyentuh rahang kasar Abihirt. Tindakan Barbara selalu berakhir lebih berani ketika dia mengalungkan kedua lengan di leher pria itu, tersenyum, dan harus menengadah tinggi.
“Kau tidak memikirkan sesuatu yang buruk, kan, Darling?” “Aku rasa kau yang justru berpikiran buruk.” Barbara mengakui itu. Salahnya mengambil kesimpulan terlalu cepat. Tetapi paling tidak, dia ingin Abihirt juga mengerti tentang suatu kekhawatiran instan. Ada reaksi murni yang sulit dikendalikan. Persis seperti tadi ... lewat awalan tidak tepat, sesuatu dalam benaknya meledakkan rasa takut. Barbara menggeleng samar, kemudian lurus – lurus menatap mata kelabu itu dengan debaran jantung sedikit lebih tenang. “Aku percaya kepadamu, Darling. Tapi, setelah ini mungkin ... aku akan langsung pergi ke kantor,” ucapnya nyaris setengah berbisik. Biarkan Abihirt memberi respons. Dia senang ketika pria tersebut mulai“Aku dengar kau jatuh saat latihan.” Bukan pemandangan baru ketika Moreau harus menghadapi ibunya yang masuk ke dalam kamar tanpa peringatan. Barbara sudah menjulang tinggi, dilingkupi wajah masam saat menjatuhkan perhatian ke pergelangan kaki yang terbujur di atas ranjang. Rasanya membuat dia gugup mengatakan sesuatu, sehingga hanya mengangguk dan kemudian mendapat decakan kasar dari wanita itu. “Bagus. Jika kaki cedera seperti itu, bagaimana dengan tournamen-mu nanti? Bagaimana kau akan latihan dengan keadaan seperti ini?” Alih – alih menanyakan sisa kondisi yang sedang dihadapi. Moreau justru harus menahan napas terhadap pertanyaan Barbara. Dia pelan – pelan bergeser begitu wanita itu mengambil posisi duduk di pinggir ranjang. “Kenapa tidak hati – hati?” Kali ini, setidaknya suara Barbara terdengar lebih pelan. Moreau menatap wanita itu singkat, walau tak dimungkiri dia nyaris tak menemukan reaksi kekhawatiran, selain keinginan ibunya untuk benar – b
Tiba – tiba ranjang berderak. Moreau menyimpan keraguan di benaknya mengetahui Barbara beranjak bangun, seolah wanita itu ingin memberi ruang kepada Abihirt. Ada gestur dan isyarat tertentu, sehingga tubuh jangkung Abihirt segera berbungkuk untuk mengajukan ujung jari menyentuh pergelangan kaki yang terasa sakit. Moreau sedikit meringis. Nyaris menepis tangan ayah sambungnya, meski kemudian hanya mengetatkan cengkeraman di sana. Mata kelabu itu menatap serius, menyampaikan sesuatu dengan ambigu. Dia tidak bisa memahaminya tanpa pernyataan lebih rinci, tetapi keberadaan Barbara membuat kebutuhan mereka terdengar mustahil. “Aku akan pergi. Kau tidak keberatan ayahmu di sini?” Moreau menatap ibunya skeptis. Masih dalam balutan bluzer kantor. Dia sadar Barbara lebih dulu mendaratkan kaki demi mengetahui kondisi yang masih selalu sama. Setidaknya itu adalah bentuk kepedulian. Barangkali tidak seharusnya menahan wanita tersebut tetap di sini. Moreau mengangguk sama
Penanganan dokter memang merupakan pilihan paling tepat. Moreau merasa jauh lebih baik setelah pelbagai proses perawatan di pergelangan kakinya, walau satu hal nyaris menyemat sebagai pengecualian. Dia hampir menolak ketika dimintai untuk tidak melakukan aktivitas berat selama beberapa hari, yang akhirnya sedikit bisa dipatuhi, meski merasa tidak sabar supaya dapat kembali berseluncur dengan sepatu skate. “Ada kabar dari ibuku?” Pertanyaan Moreau menyerupai bisikan lambat, karena merasa posisi mereka terlalu dekat sekadar mengatakan sesuatu dengan lantang. Dia ingin tahu beberapa hal mengenai Barbara, mengingat wanita itu sempat tidak setuju setelah tahu Abihirt mengangkat tubuhnya masuk ke dalam mobil. Mereka harus menghadapi jeda, tidak cukup lama, dengan beberapa percakapan, yang menjadikan itu sebagai alasan mengapa Moreau di sini, memanjat di punggung ayah sambungnya ketika mereka sedang menunggu giliran. Resep dokter harus ditebus di apotek rumah sakit, tetapi pada akhirny
Sayangnya, sejauh mana pun Moreau ingin menambahkan sedikit gambaran untuk memperbaiki. Dia tidak bisa mengubah pemikiran seseorang. Abihirt mungkin tidak pernah memiliki niat sekadar menangkap basah Barbara, meski mereka sering kali menghadapi ketegangan ketika wanita itu tidak sadar nyaris mengetahui kebenaran. Hanya rahang yang mengetat, dan Moreau sadar ayah sambungnya sedang menahan diri. Dia tidak akan mengatakan apa pun lagi, meski secara kebetulan menyadari sesuatu yang ganjil di sana. Wajah Abihirt sedikit pucat. Moreau tidak tahu jika pria itu sedang menghadapi masalah kesehatan. Mungkin perlu memastikan langsung, sehingga memutuskan untuk mengajukan satu tangan menyentuh kening ayah sambungnya. “Kau tidak panas, tapi kenapa wajahmu terlihat tidak sehat?” “Hanya masalah biasa. Yang perlu kau pedulikan adalah kakimu.” Efek samping dari legalitas penyakit bawaan. Moreau tidak tahu. Tidak akan pernah tahu. Dia sedikit mengembuskan napas kasar setelah ungkapan yang sedik
“Sudah merasa lebih baik?” Seketika Moreau menahan napas, hampir tak menyangka akan mendapati Abihirt ada di kamar tidurnya. Pria itu sudah dalam keadaan rapi, dibalut jas abu muda yang licin, sedang duduk di pinggir kasur, mungkin sejak awal tidak pernah memindahkan perhatian ke mana pun dia berusaha memikirkan hal tersebut. Deburan jantung Moreau seakan tak ingin benar – benar pulih. Masih sangat berdebar ketika harus dengan pelan mengatur posisi duduk bersandar di kepala ranjang. “Mengapa kau di sini?” tanyanya sambil menatap ke seluruh ruang. Khawatir jika akan menemukan Barbara muncul secara tak terduga. Moreau tak ingin didesak sebuah masalah di pagi hari, dan berharap tidak pernah ada sedikitpun hal buruk mengikuti bahunya. “Menunggumu bangun.” Hanya itu yang Abihirt katakan. Moreau tidak mengerti. Dia hanya menemukan ayah sambungnya menatap tenang, tetapi pria tersebut tidak memberi sedikit pun petunjuk tentang tujuan spesifik, yang dia yakin tidak hanya menunggu ses
“Kau bisa menitipkan Chicao-mu di sini.” Dia akhirnya mengatakan itu setelah memikirkan waktu yang telah Abihirt lewatkan di kamarnya. Sama sekali tidak memiliki hasrat merepotkan pria itu. “Kau mungkin bisa pergi, Abi. Kami tidak apa – apa di sini.” Moreau menambahkan setelah Abihirt meletakkan Chicao tidak jauh dari kakinya. Anjing Cocker Spaniel itu hanya meringkuk sembari menatap tubuh kokoh dalam balutan pakaian kerja telah menjulang tinggi. Kontak mata terjadi dengan singkat ketika Abihirt yang memutuskan pertama kali. Pria itu menatap Chicao, pelan sekali mengajukan tangan sekadar mengusap puncak kepala anjing tersebut, untuk kemudian benar – benar melangkah pergi. *** Barbara menarik napas panjang setelah berada di sini sekadar melakukan pertemuan ... lagi, bersama Samuel. Mereka sedang duduk berhadapan di sudut paling pojok di restoran, sebagai bentuk antisipasi kalau – kalau ada hal tak terduga datang mengimbangi. “Jadi bagaimana rencana pencucian uang-mu? Ada in
Suasana hati yang bagus dan pelbagai proses penyembuhan usai beberapa beberapa minggu berlalu, akhirnya membawa Moreau untuk bisa kembali melakukan sesi latihan bersama Juan. Dia bernapas dengan udara terasa menggebu di rongga dada. Ini bagian terakhir setelah melakukan segala bentuk gerakan indah secara berulang. “Aku rasa latihan hari ini sudah cukup.” Itu yang barusan Anitta katakan dan bagaimana Juan tampak begitu peduli, memastikan sebelah lengan pria tersebut bertaut di pinggung Moreau, hanya supaya mereka dapat berjalan bersama. Dia mengerti Juan ingin menjadi penopang saat memutuskan untuk berjalan dengan hati – hati. Berdua ... langkah mereka telah lebih dekat menghadap Anitta yang menunggu tidak jauh dari pinggir lapangan es. “Kau perlu beristirahat lebih sering, Moreau. Kaki-mu masih harus diperhatikan, kalau sakit katakan saja, jangan sampai kita tidak bisa ikut tournamen, karena kondisimu tidak benar – benar baik. Ingat, latihan kita sudah sampa
“Mr. Lincoln.” Segera. Dengan cepat suara Juan mengambil andil terhadap hening di antara mereka. Pria itu tersenyum mencari muka. Ancaman yang pernah diberikan rasanya sudah cukup membuat mata kelabu Abihirt menatap tajam. Tidak ada tanggapan sehingga Juan meringis tanpa sadar sembari menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Sepertinya aku harus pergi, Amiga. Sampai jumpa besok.” Bibir Moreau setengah terbuka ketika dia menyaksikan Juan buru – buru melangkah pergi. Namun, tak satu pun hal terungkap dari ujung tenggorokan. Ya, dia tak bisa mengatakan apa pun selain memindahkan perhatian ke wajah tampan Abihirt. Tubuh tinggi ayah sambungnya seolah – olah memiliki radar tertentu, di mana Moreau merasa pria itu dilingkupi penuh dengan tujuan rahasia. “Kau akan membawaku ke rumahmu?” tanya Moreau dituntut kebutuhan naluriah untuk berjalan masuk ke kursi penumpang depan. Dia duduk mengenyakkan bahu di sandaran jok sambil memperhatikan setia