Iris biru terang Moreau segera menatap pada benda mengerikan—mungkin akan menganggapnya lilin, benar – benar lilin, supaya dapat berbaur dengan baik ketika dia mulai bersedia membuka bibir dan Abihirt memasukkan ujung ‘lilin’ tersebut—hampir mencecoki—hampir setengah ke dalam rongga mulutnya, sehingga memberi jejak basah di sana.
Ada kepuasaan di balik seringai samar pria itu. Moreau tidak akan berusaha menebak, tetapi mungkin Abihirt akan menyebutnya sebagai gadis nakal saat sedang bersikap patuh. Dia tidak nakal. Hanya—sering kali terpacu oleh adrenalin selama pria itu mahir memancing sesuatu yang liar di antara mereka. Sesuatu yang sungguh berada di luar batasan dan sangat mengejutkan ketika pria itu menarik keluar lilin di mulutnya, kemudian tangan Abihirt bergerak dengan tujuan begitu pasti, diliputi kontak mata mereka bertemu—saling memerangkap lamat, lalu teralihkan ntah atas tuntutan seperti apa. Betapa Moreau berusaha menahan diri supaya tidak memiliki k“Kau ingin aku membawamu ke mana setelah ini?” Abihirt bertanya sembari meremas payudaranya. Tidak tahu kapan pria itu telah menyusupkan satu tangan di balik pakaian yang dia gunakan, tetapi sangat jelas jika lilin sengaja dibiarkan tetap tertanam di dalam tubuhnya. Moreau menggeleng samar. Sesaat menelan ludah kasar, lalu berkata, “Aku ingin bertemu Sheikh – Sheikh kaya.” Dia tidak salah mengucapkan hal tersebut. Hanya berpikir realistis bahwa seperti ibunya; dia juga membutuhkan pria kaya raya. Di Dubai, akan sangat mudah menemukan uang berjalan, meski Moreau akui hampir melihatnya setiap hari di balik bahu Abihirt. Ayah sambungnya menggeram. “Bukan itu yang kutanyakan.” Nada tidak suka begitu kentara di balik suara serak dan dalam pria itu. Moreau mengernyit. Dia tak akan mengerti—ya, tidak akan mengerti ketika pada akhirnya menyadari apa yang seharusnya menjadi jawaban paling tepat. Ingin Abihirt membawanya untuk mengelinjang hebat. “Bawa aku
“Mengapa kau tak bilang dari kemarin kalau sudah selesai datang bulan?” Suara serak dan dalam Abihirt terdengar parau. Sesuatu yang tidak Moreau gulung terlalu lama. Dia hampir lupa mengenai hal itu. Belum lewat lima hari dan memang telah selesai. Hanya tidak menyangka jika ayah sambungnya akan cukup teliti mengenai privasi semacam ini. “Mengapa aku harus mengatakannya kepadamu?” Perlu dipertimbangkan kembali bahwa Moreau sedang berada di masa subur. Dia sebaiknya mengingatkan Abihirt bahwa ini akan berisiko besar. Tidak ada pengaman. Tidak ada persiapan. Mereka bergairah dengan cepat dan semalam .... Moreau tidak tahu apakah perlu merasa cemas, meski Abihirt membuatnya menelan habis bagian dari pria itu diliputi kata – kata yang menjanjikan. “Kau sengaja membuatku menunggu lama.” Protes sarat nada menuduh di balik bisikan ayah sambungnya secara naluriah memberi Moreau desakan untuk menggeleng samar. Dia menggeliat waspada. Ingin melepaskan d
“Abi ....” Suara Moreau tercekat. Lidah Abihirt menyeka masuk ke inti tubuhnya. Bahkan pria itu mencelupkan satu jari ke dalam—sengaja bergerak tentatif di sana, sehingga dia nyaris mengangkat pinggul saat merespons setiap rangsangan yang suami ibunya berikan. Benar – benar nikmat. Moreau persis mendeteksi ada gelenyar yang ingin lepas, seperti ingin mengeluarkan sesuatu, tetapi dia takut mengencingi wajah pria itu. Telapak tangannya segera mengepal erat pada kain apa saja di ranjang. Bahkan bergerak gelisah. Sial, semakin berusaha menahan diri ... rasanya dia akan lebih meledak. Abihirt tidak berhenti dan itu membuat Moreau kewalahan. Dia mengeluarkan suara mencicit—nyaris menyerupai desahan, lalu semua lepas begitu saja. Moreau merasakan sesuatu merembes. Kain – kain di sekitar pinggulnya perlahan membasah. Dia memerah saat Abihirt mengambil sedikit jarak dengan seringai samar ketika mereka melakukan kontak mata. “Aku pipis?” Napas Moreau menggebu s
Sorot mata Moreau dan iris kelabu di sana sempat saling terperangkap. Embusan udara terdengar lebih brutal—penuh pelampiasan. Mereka telah meledak hebat. Dia tidak mencoba sekadar mengatakan sesuatu, membiarkan jeda beberapa saat, lalu Abihirt segera menyembunyikan wajah di antara ceruk lehernya. Mulut yang terasa hangat hanya dibiarkan terlalu lama bersentuhan dengan beberapa helai rambut panjang yang melekat hingga di sekitar garis bahu. “Aku ingin tidur.” Moreau tidak bicara asal. Dia lelah, seperti memang mengantuk. Barangkali karena telah menunggu terlalu lama, dan ketika Abihirt menyelesaikan pelbagai urusan bisnis bersama Sheikh, pria itu malah menyentuhnya dengan beberapa adegan intim yang menyenangkan. Sedikit pergerakan kecil terdeteksi ketika Abihirt bergeser. Moreau terpaku saat pria itu mengambil jarak diliputi kedua tangan menekan di permukaan ranjang, seperti ada sesuatu yang dipikirkan, kemudian wajah ayah sambungnya berpaling ke sekitar. “S
“Jangan bergerak!” Moreau menyerahkan perintah secara naluriah usai mendeteksi gerakan menghindar yang samar dari ayah sambungnya. Dia sudah berusaha berjinjit lebih tinggi dan sikap enggan pria itu hanya akan membuat tindakannya menjadi sia – sia. “Menunduklah sedikit, Abi.” Atau seperti ini lebih adil. Moreau menarik dua sisi dari jaket kulit di tubuh Abihirt, supaya ayah sambungnya bersedia membungkuk, maka dia bisa lebih leluasa memoleskan tabir surya di wajah pria itu. Mereka pergi ke pusat pebelajaan untuk ini dan dia tidak akan membiarkan Abihirt menolak begitu saja. Menolak setelah mereka sampai di sini. Sekarang ayah sambungnya sudah menemukan jawaban; di mana tempat yang Moreau untuk mereka datangi. Padang pasir. Dan yang paling dia inginkan adalah menunggangi unta, tetapi sebelum itu, Moreau akan senang jika mereka menjelajahi hamparan pasir di bawah terik matahari. Hanya perlu meyakinkan ayah sambungnya supaya sedikit lebih terbiasa meneri
Moreau tidak tahu percakapan di antara mereka. Secara teknikal dia tidak mengerti bahasa Arab, tetapi ayah sambungnya terdengar mengatakan setiap kata begitu lancar; itu dapat diduga dari lawan bicara yang terlihat tidak mengalami kesulitan menanggapi—mungkin tentang urusan penting. Moreau seharusnya menjatuhkan perhatian pada bagaimana jemari Abihirt melipat kain sorban dan tampaknya juga merupakan hal biasa; hal yang sering dilakukan. Sayangnya, dia tetap merasa terkejut, terutama ketika pria itu menarik tubuh mereka saling berhadapan. Tidak ada protes terungkap dari bibir Moreau. Hanya terus memperhatikan setiap detil tindakan dari Abihirt. Tangan pria itu bergerak persis mendekatkan sorban di kepalanya, menempelkan pada bagian penting di kening, lalu mengatur gulungan sorban menjadi lipatan indah dengan rambut yang dibiarkan tergerai panjang. Rasanya benar – benar terlalu mudah menyaksikan Abihirt melakukan segala sesuatu di sana. Moreau tak bisa menahan diri, b
“Kau yakin hanya akan menuntunku saja? Tidak mau ikut menunggang unta bersamaku?” Mereka telah melakukan perjalanan terlalu jauh. Moreau sendiri tidak yakin apakah ayah sambungnya akan sanggup melangkah lebih lama. Pria itu benar – benar hanya menuntun. Berjalan di samping unta, menyusuri hamparan gurun pasir yang panjang, sementara dia menunggang dengan tenang dan sesekali memperhatikan Abihirt ketika pria itu terlihat sangat berkeringat. Ada satu bagian—persis tidak bisa Moreau lewatkan. Kulit Abihirt terlihat murni. Ujung hidung pria itu memerah. Sebuah reaksi ajaib di mana panas terik membuat ayah sambungnya terlihat seperti bayi yang dijemur di pagi hari. Moreau tidak tahu apakah dia perlu tersenyum. Terus mengagumi. Atau memaksa Abihirt supaya bersikap setuju. Masih belum ada tanggapan dan sepertinya itu tidak akan berjalan dengan mudah. “Jangan bilang kau tidak tega melakukannya. Maksudku, menunggangi unta,” dia bicara tanpa berpikir ternyata akan san
“Aku tidak mau melakukan hal konyol seperti ini.” Suara serak dan dalam pria itu—ntah terdengar menyerupai bisikan kecil, meski Moreau dapat mendengar sangat jelas, bahkan menafsirkan nada enggan yang begitu kentara di sana. “Ini tidak konyol,” dia membantah setengah jengkel. “Tapi kau yang tidak punya selera humor,” dan meneruskan dengan kata – kata jujur. Abihirt terlalu kaku. Sungguh sangat tidak menyenangkan jika ayah sambungnya masih akan bersikap seperti itu. “Sekarang lihatlah ke kamera.” Ahmed sudah begitu siap. Moreau tidak akan membiarkan Abihirt hanya diam tanpa minat. Secara naluriah memeluk lengan pria itu—memaksa supaya ayah sambugnnya bersiap – siap. Sementara dia melebarkan sudut bibir ke arah kamera. “Tersenyumlah sedikit, Mr. Lincoln.” Abihirt mati gaya. Itu yang sudah bisa Moreau duga. Dia diam – diam mengembuskan napas kasar dan menarik lengan ayah sambungnya lebih dekat. Paling tidak, ini tak akan terlihat buruk saat dia haru
Moreau menelan ludah kasar menghadapi sisa jarak yang begitu dekat dari ayah sambungnya, setelah hening di antara mereka seakan bergemuruh dengan liar. “Jadi kau sungguh ingin tahu apa yang aku dan Juan lakukan di kamar berdua?” dia bertanya hati - hati, sedikit tergelitik terhadap reaksi Abihirt yang begitu singkat dan seolah pria itu sedang mempelajari beberapa hal tentang dirinya. “Ya, aku masih menginginkanmu mengatakan semua.” Suara serak dan dalam Abihirt tidak meninggalkan jejak ganjil, meski beberapa waktu lalu Moreau memahami betapa ayah sambungnya terduga menahan luapan amarah paling berbahaya. Dia tersenyum diam – diam. Bukankah Abihirt hanya mengurungnya dengan borgol yang tertaut di kepala ranjang? Bahkan pria itu tidak sama sekali melakukan tindakan kasar seperti saat mereka ada di ruang merah. Kekhawatiran di benak Moreau belum selesai, tetapi dia cukup tenang untuk kembali bicara, “Bagaimana kalau kukatakan bahwa Juan tidak akan penah tertarik k
Masih tentang prospek tidak adil, tetapi tumbukan di jantung Moreau seperti telah meninggalkan begitu banyak lubang. Betapa bodoh, dia bahkan tidak tahu bagaimana cara menambal jejak - jejak yang tertinggal dalam setelah jatuh begitu terjal. Dapat dipastikan rasa sakit tidak akan hilang pada waktu – waktu yang singkat. Hanya perlu tekad paling kuat, maka seharusnya tidak akan terlalu buruk mengakhiri semua yang terikat di antara mereka. “Ini tidak adil, Abi,” ucap Moreau lengkap dengan usaha untuk membangkitkan keberanian utuh yang terpendam di benaknya. Dia menatap ke dalam mata kelabu Abihirt. Tidak cukup leluasa untuk memahami apa yang sedang pria itu pikirkan, karena batasan yang terbentang di antara mereka semacam sebuah tembok raksasa tak terpecahkan. Perlu mati – matian merangkak supaya sampai pada ujung tertinggi, tetapi Moreau yakin ... dia tak akan pernah bisa. “Kau egois.” Lagi. Desakan dalam dirinya tidak ingin berhenti begitu saja. Masih tersimpan ra
“Kita belakangan tidak pernah melakukan hal ini, maksudku ... sebagaimana aku adalah submissif-mu, Abi. Aku butuh waktu untuk benar – benar siap setelah apa yang terjadi sekarang. Kau tahu ibuku—“ Rasanya sisa – sisa kalimat di ujung tenggorokan kembali didorong dan terjebak dengan sangat mencekat di batang leher Moreau. Dia berusaha memahami situasi. Abihirt menawarkan ketegangan di bahunya, sulit percaya bahwa kemarahan akan menguasai pria itu di sini. “Abi—“ Tingkat waspada di benak Moreau meningkat pesat ketika dia mengamati satu kaki Abihirt telah menekuk di atas ranjang. Suara kasur berderak seperti suatu ancaman besar, tetapi jelas ... pria itu tidak akan berhenti untuk mendekatinya. Moreau menahan napas saat semerbak aroma tubuh Abihirt berkeliaran di sekitar wajahnya. Tantangan dari maskulinitas pria itu tidak berubah. Dia benci ketika harus terjebak oleh keinginan untuk menghirup lebih banyak terhadap sesuatu yang sedang ayah sambungnya tawarkan di sini
Moreau tidak akan pernah berjuang keras melakukan apa pun. Cukup lelah seperti apa yang telah dikatakan kepada Abihirt. Dia memang kewalahan menghadapi pelbagai hal belakangan ini. Tuduhan Barbara belum jelas apakah wanita itu akan memutuskan untuk percaya terhadap setiap kecurigaan yang menerobos liar atau tidak. Benaknya tidak berusaha memikirkan hal dengan dampak paling terjal. Akan lebih adil jika dia meninggalkan tempat ini. Ya. Moreau benar – benar akan melakukan rangkaian kebutuhan tersebut ketika tiba – tiba Abihirt mengangkat dan memanggul tubuhnya di garis bahu pria itu. “Abi!” Ruangan seperti berputar – putar di depan Moreau saat Abihirt berjalan meninggalkan dapur. Hentakkan menaiki undakan tangga terasa cukup kentara meliputi tujuan pria itu yang sebenarnya. Abihirt menginginkan kamar sebagai satu – satunya tempat terpencil agar mereka ... barangkali dapat berteriak satu sama lain, tanpa perlu begitu mengkhawatirkan bahwa Caroline mungkin akan mendengar
Ganjil mengetahui jika Abihirt akan membebaskannya begitu saja. Seharusnya Moreau bisa menebak sejak awal kali ketika mata kelabu itu tidak pernah menaruh minat ke sisi berbeda. Langkah yang baru saja dia ambil tertahan dengan tak terduga setelah satu sentuhan kasar mencengkeram di pergelangan tangan. Ada antisipasi berkeliaran hebat dan Moreau hampir lupa bagaimana cara bernapas dengan baik. Ujung tenggorokannya terasa mencekat ketika menengadah tinggi ke wajah Abihirt. Pria itu menunduk persis menatap diliputi kilatan mengancam. Dia tidak tahu apa yang sedang ayah sambungnya pikirkan, tetapi ini sungguh terasa seperti suatu ancaman besar. “Aku ingin kembali ke kamarku, Abi. Lepaskan.” Ada ketakutan yang menjalar liar. Namun, Moreau tak bisa menyangkal bahwa sulur – sulur keberanian telah berusaha menyelinap ke dalam dirinya. Dia terpaku pada sikap Abihirt, meski di satu sisi muncul desakan untuk tidak diam begitu saja. “Apa yang Juan lakukan di kamarmu?” U
Tidak ada pembicaraan penting. Tidak ada yang dapat dipaksakan untuk tetap pada kebutuhan mereka. Moreau melakukan setiap apu pun hal yang dibutuhkan dengan sangat cepat. Dia tidak peduli, walau terkadang ... lebih sering merasakan betapa mata kelabu Abihirt seperti menusuk di balik bahunya, seakan – akan pria itu sedang mengawasi setiap detil hal secara diam – diam dan berharap Moreau tidak akan memahaminya. Dia tentu akan memahami segala sesuatu setelah merasa ada ancaman buas tak terduga. Mungkin akan menjadi bagian paling buruk jika tetap berada pada pendirian untuk bersikap mengetahui keberadaan Abihirt di sini. Atmosfer sudah terlalu buruk dan Moreau tak bisa menyerah begitu saja. Dia mengembuskan napas secara perlahan dari celah bibir. Segera, dengan pelbagai tekad dalam dirinya sekadar mengumpulkan keberanian menghadap Abihirt. Situasi terasa mendadak curam ketika Moreau berbalik badan. Tidak pernah berpikir bahwa mata kelabu Abihirt akan menilik dengan cara b
Setelah Juan berpamitan pulang, situasi di rumah benar – benar terasa sepi. Moreau tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Tidak ada jadwal latihan karena mereka telanjur mengatakan kepada Anitta mengenai kecelakaan disengaja ini, yang akan sulit dikendalikan sebagai alasan untuk bersenang – senang. Namun, keinginan sekadar menikmati hari dengan bermalas – malasan berubah menjadi malapetaka. Moreau tidak menyangkal bahwa ini mungkin adalah bagian dari pengaruh terhadap Abihirt. Tentang keterdiaman pria itu dan bagaimana cara ayah sambungnya meninggalkan pelbagai macam prospek di antara mereka. Semua beranjak semacam gambaran multi tafsir. Moreau sudah berulang kali berusaha menyingkirkan pelbagai bayangan tentang pria itu di benaknya. Bukan sesuatu yang mudah karena bagian tersebut jelas merupakan kesalahan terbesar yang telah dia ambil. Ini cukup menyakitkan. Dia ingin terbebas dari bentuk ikatan apa pun, ntah apakah itu terdengar sangat menjerat atau pada tempo lain
“Kau memeras temanmu sendiri?” tanyanya hampir dilingkupi desakan tertahan, merasa cukup penasaran. Bagaimanapun, Moreau berusaha berpikir lebih pintar ketika Roki mengangkat sudut bibir puas. “Inilah fungsi dari teman yang sangat berguna. Aku kasihan kepada Abi, karena bajingan kaya itu kadang – kadang bingung bagaimana cara menghabiskan uangnya.” Astaga. Itu terdengar menyakiti telinga. Moreau tahu dia hampir meringis dan segera menahan diri untuk terpaku pada kenyataan tertunda yang tak bisa dia lewatkan begitu saja. “Mengapa Abi bersamamu?” tanyanya lagi, sebagai dasar pembuktian bahwa ada kondisi tertentu dan dia sama sekali tidak mendapat petunjuk tentang apa pun itu. “Kau tidak tahu?” Suara Roki diselimuti tempo yang meningkat. Pria itu berdecak, lalu kembali meneruskan, “Abi mengajakku pergi klub semalam. Dia minum terlalu banyak dan akhirnya harus dirawat di rumah sakit.” “Tapi kau tenang saja. Dokter bilang ... syukurlah dia hanya perlu diinfus.
Moreau dan Abihirt melakukan kontak mata. Cukup lekat, sampai kemudian iris kelabu itu memutuskan untuk mengakhiri perangkap paling berbahaya di antara mereka. Bukan. Jelas bukan karena ayah sambungnya menyerah begitu saja pada sesuatu yang tentu dapat dilanjutkan di antara mereka, tetapi sesuatu lainnya; keberadaan Juan di belakang dengan hanya dililit handuk di pinggang ramping pria itu. Moreau tak bisa membayangkan jika akan ada pemikiran buruk tentang seseorang di kamarnya. Ekspresi kelam Abihirt tidak memungkiri. Barangkali pria itu sedang menyimpulkan pelbagai asumsi yang tak bisa disebut baik – baik saja. Dengan sisa reaksi yang sanggup diperlihatkan. Moreau lambat sekali mengembuskan udara dari celah bibir. Terlalu jauh andai dia berusaha berenang melintasi kolam terjal. Dapat dipastikan akan adanya kesalahpahaman. Dia lebih yakin jika keberadaan Abihirt di sana, sekian jengkal jarak dari hadapannya, adalah bentuk pembunuhan instan terhadap kepercayaan diri yang