“Aku tidak mau melakukan hal konyol seperti ini.”
Suara serak dan dalam pria itu—ntah terdengar menyerupai bisikan kecil, meski Moreau dapat mendengar sangat jelas, bahkan menafsirkan nada enggan yang begitu kentara di sana. “Ini tidak konyol,” dia membantah setengah jengkel. “Tapi kau yang tidak punya selera humor,” dan meneruskan dengan kata – kata jujur. Abihirt terlalu kaku. Sungguh sangat tidak menyenangkan jika ayah sambungnya masih akan bersikap seperti itu. “Sekarang lihatlah ke kamera.” Ahmed sudah begitu siap. Moreau tidak akan membiarkan Abihirt hanya diam tanpa minat. Secara naluriah memeluk lengan pria itu—memaksa supaya ayah sambugnnya bersiap – siap. Sementara dia melebarkan sudut bibir ke arah kamera. “Tersenyumlah sedikit, Mr. Lincoln.” Abihirt mati gaya. Itu yang sudah bisa Moreau duga. Dia diam – diam mengembuskan napas kasar dan menarik lengan ayah sambungnya lebih dekat. Paling tidak, ini tak akan terlihat buruk saat dia haru“Kau terlihat seperti villain, kau tahu itu?” Moreau berkomentar tanpa sadar saat dia masih mengulik ponsel ayah sambungnya untuk memilih foto mana yang perlu dipertahankan dan tidak. Walau sebenarnya hampir tidak ada yang tersisihkan, karena dia nyaris menyukai semua hasil tangkapan gambar Ahmed. Bahkan potret terakhir sekalipun dengan ekspresi wajah terkejut begitu kentara di sana; di mana sikap Abihirt benar – benar membuat wajah Moreau terbenam di antara lengan pria itu yang menjepit. Dia diam – diam tersenyum membayangkan kembali kejadian tersebut. Berpikir jika ayah sambungnya merupakan tipikal orang yang jahil. Hanya diberi sampul berupa gunung es untuk tidak mencair begitu saja. Bagaimanapun ini kali kedua Moreau mendapati Abihirt bersikap lepas terhadap pengendalian diri yang murni. Tentu tidak menduga – duga secara asal. Lagi pula, mereka memutuskan segera kembali ke hotel setelah pria itu memastikan dia telah merasa puas, meski sebenarnya tidak. Hanya tid
Berulang kali kelopak mata Moreau mengerjap, menyesuaikan situasi setelah tanpa sadar tertidur di samping ayah sambungnya. Dia berusaha mengumpulkan nyawa; mengumpulkan sisa – sisa bagian dalam dirinya yang masih begitu mengantuk. Namun, hening yang bergemuruh seketika menyadarkan supaya dia ditarik secara paksa ke permukaan. Segera menyadari bahwa Abihirt sudah tidak berada di tempat terakhir kali merasa pria itu masih tertidur di sisi ranjang sebelah. Sambil perlahan beranjak bangun, Moreau mengedarkan pandangan ke pelbagai arah. Tidak ada siapa pun. Dia di sini sendirian. Abihirt sepertinya pergi, tetapi ponsel pria itu masih tergeletak di atas nakas—persis sama sekali tidak disentuh, karena terlihat tak berubah tempat. Moreau masih ingat posisi yang dia pilih di sana dan bisa menebak sebagai dugaan paling tepat. Mungkin ayah sambungnya terburu – buru, sehingga melupakan satu hal tersebut. Sekarang apa yang bisa Moreau lakukan? Dia mengembuskan napas kasa
Moreau tahu Abihirt akan membutuhkan ponsel di sana. Sepertinya telah ditinggalkan begitu lama. Dia menelan ludah kasar mengamati kening pria itu berkerut dalam, seolah sedang merasa ganjil dan ya .... Tiba – tiba Moreau tersadar akan sesuatu. Dia lupa untuk mengembalikan ponsel Abihirt ke pengaturan normal. Persis saat mata kelabu itu menatap ke arahnya, pandangannya segera berubah tempat. Paling tidak, agar mereka tak melakukan kontak mata, karena dia gugup diliputi bahu yang tegang. “Kau meminjam ponselku bukan hanya untuk melihat foto?” Pertanyaan Abihirt terdengar cenderung menyudutkan. Itu memang benar. Namun, Moreau tak ingin terburu seakan dia telah melakukan kesalahan teramat fatal. “Aku memang hanya melihat foto – fotoku.” Ego melarang dia mengakui sesuatu begitu bebas, tetapi desakan dalam dirinya telah mengingatkan jika dan jika ... Abihirt bukan tipikal pria yang mudah dikelabuhi. Terbukti dari sorot kelabu yang menatap dengan penilaian ko
“Aku punya pabrik di sini. Bagus kalau kau menyukainya.” Abihirt bicara nyaris menyerupai bisikan parau dan pria itu seperti menuntut sesuatu yang tidak Moreau berikan, meskipun tidak mengatakan secara gamblang. “Siapa yang tidak akan menyukainya? Aku bisa memamerkan kepada Juan kalau ayah sambungku ... pemilik brand teknologi kenamaan, memberikan ponsel ini sebagai ganti rugi. Dan tahu kau apa? Juan tidak akan bisa memiliki ponsel keluaran terbaru seperti punyaku, setidaknya untuk saat ini. Aku malah berharap kalau kau tidak akan memasarkan ponsel ini dengan cepat.” Tingkat waspada di benak Moreau mendadak tergantikan oleh sikap tak terduga, di mana dia bicara terlalu panjang dengan senyum tak pernah luput dari bibirnya. Tidak ada yang salah. Dia hanya tidak mengerti, mengapa Abihirt nyaris seperti terpaku saat memperhatikan cara dia menjabarkan segala sesuatu yang terpendam. “Jika ada yang bisa memberikanmu gunung, kau mungkin juga akan memintanya.”
“Kau suka perjalanan di kapal persiar, Sayang?” Angin laut berembus deras di permukaan tubuh Barbara, meninggalkan kesan menyapu yang terlalu dipaksakan, tetapi dia begitu menikmati setiap serangkaian kegiatan di sini, bersama Samuel dan pria itu baru saja berbisik sangat lembut di wajahnya. Barbara tersenyum tipis merasakan lengan pria itu mendekap secara tentatif, hingga wajah yang bergerak telah menyeruk di sekitar lehernya. “Jangan kau lakukan itu, Sam!” ucap Barbara memperingati setelah mendeteksi Samuel akan mengambil satu tindakan berbahaya. Tidak ingin pria itu meninggalkan bekas kemerahan dan andai suatu waktu ada desakan pulang, dia takut tak bisa menyembunyikan tanda kemerahan dari pandangan Abihirt. Tidak ada kabar dari suaminya yang dingin setelah terakhir kali mereka melakukan percakapan di telepon. Bahkan Barbara butuh didorong perjuangan penuh tekad sampai kemudian Abihirt bersedia untuk menerima panggilan suara dan meskipun mereka bicara terlalu singkat. Di
“Aku hanya penasaran bagaimana supaya bisa mengubah suamiku itu. Apa menurutmu dengan punya anak?” tanya Barbara lambat. Ada ekspresi penyesalan ketika dia mengatakan hal tersebut. Samuel tidak akan memahaminya dan dia tidak berniat bercerita lebih banyak. “Punya anak dariku atau Abi?” Alih – alih menyerahkan saran, pria itu malah berbalik tanya seolah – olah ada begitu banyak pilihan, tetapi Barbara perlu mengambil salah satu. Ya, hanya satu dan tak seorang pun dapat mengubah permainan yang akan dia mulai. “Sudah pasti Abi. Dia suamiku,” ucapnya tidak terbantahkan. “Tapi aku sering menyentuhmu.” Celakalah! Samuel memiliki pelbagai cara sekadar menjatuhkan harapan yang dia bangun bertingkat – tingkat. Barbara mengembuskan napas kasar; merasa perlu memunculkan prospek kenyataan untuk tidak terlupakan. “Meski kau sering menyentuhku. Tetap saja, Abi adalah suamiku. Dia juga menyentuhku. Kalian impas.” “Tidak impas. Kau sendiri yang mengakui ba
“Satu gelas lagi.” Moreau telah menghadapi pelbagai desakan buruk sepanjang hari. Mantan kekasihnya secara sepihak mengambil pilihan untuk mengakhiri hubungan mereka. Dia sudah meminta alasan pasti sejak momen menyedihkan tersebut, tetapi Froy dan tatapan marah pria itu jelas – jelas menolak bicara. Ironi sekali. Besok merupakan hari pernikahan ibunya yang Moreau sendiri tidak tahu seperti apa rupa dari sang mempelai pria. Mereka tidak dikenalkan. Ibunya merencanakan kebutuhan diam – diam. Bahkan ada begitu banyak tekanan lain untuk meninggalkan bercak serius, yang terasa seperti melubangi jantung Moreau dengan hujaman. Dia hampir putus asa memikirkan segala hal. Beberapa saat lalu memutuskan pergi ke sebuah bar diliputi niat ingin menenangkan diri. Gaun merah mencolok begitu sempurna di tubuh langsing Moreau. Di depan meja bar, dia hanya duduk sendirian. Memandangi beberapa gelas kosong—wine telah tandas tak bersisa. Demikianlah, tenggorokannya seperti abu dengan sisa – sisa ke
Abihirt Lincoln terbangun mendapati seorang gadis muda dalam balutan selimut tebal berada di ranjangnya. Dia mengerjap beberapa kali, berusaha keras mengingat sisa – sisa taruhan semalam. Roki yang bajingan dengan kurang ajar menambahkan bubuk perangsang di gelas koktail terakhir—yang harus diteguk habis—untuk merayakan hari pernikahan mendatang. “Berengsek!” Abihirt mengumpat sembari mengusap wajah kasar. Pagi ini adalah acara pemberkatan. Dia melirik jam digital di atas nakas. 30 menit waktu tersisa, tetapi sebagai pengantin pria—Abihirt belum melakukan persiapan apa pun. Sesaat mata kelabu itu mengamati wajah polos—yang perlahan mulai mengernyit menghindari siraman cahaya yang menembus dari tirai putih. Abihirt memungut kain tercecer di sekitar pinggir ranjang. Sambil mengenakan kembali kemeja putih, dia mengangkat sebelah alis tinggi saat mendapati iris mata biru yang terang telah seutuhnya terbuka dan menatap dengan sangat terkejut. “Kau siapa?” Napas Moreau tercekat.
“Aku hanya penasaran bagaimana supaya bisa mengubah suamiku itu. Apa menurutmu dengan punya anak?” tanya Barbara lambat. Ada ekspresi penyesalan ketika dia mengatakan hal tersebut. Samuel tidak akan memahaminya dan dia tidak berniat bercerita lebih banyak. “Punya anak dariku atau Abi?” Alih – alih menyerahkan saran, pria itu malah berbalik tanya seolah – olah ada begitu banyak pilihan, tetapi Barbara perlu mengambil salah satu. Ya, hanya satu dan tak seorang pun dapat mengubah permainan yang akan dia mulai. “Sudah pasti Abi. Dia suamiku,” ucapnya tidak terbantahkan. “Tapi aku sering menyentuhmu.” Celakalah! Samuel memiliki pelbagai cara sekadar menjatuhkan harapan yang dia bangun bertingkat – tingkat. Barbara mengembuskan napas kasar; merasa perlu memunculkan prospek kenyataan untuk tidak terlupakan. “Meski kau sering menyentuhku. Tetap saja, Abi adalah suamiku. Dia juga menyentuhku. Kalian impas.” “Tidak impas. Kau sendiri yang mengakui ba
“Kau suka perjalanan di kapal persiar, Sayang?” Angin laut berembus deras di permukaan tubuh Barbara, meninggalkan kesan menyapu yang terlalu dipaksakan, tetapi dia begitu menikmati setiap serangkaian kegiatan di sini, bersama Samuel dan pria itu baru saja berbisik sangat lembut di wajahnya. Barbara tersenyum tipis merasakan lengan pria itu mendekap secara tentatif, hingga wajah yang bergerak telah menyeruk di sekitar lehernya. “Jangan kau lakukan itu, Sam!” ucap Barbara memperingati setelah mendeteksi Samuel akan mengambil satu tindakan berbahaya. Tidak ingin pria itu meninggalkan bekas kemerahan dan andai suatu waktu ada desakan pulang, dia takut tak bisa menyembunyikan tanda kemerahan dari pandangan Abihirt. Tidak ada kabar dari suaminya yang dingin setelah terakhir kali mereka melakukan percakapan di telepon. Bahkan Barbara butuh didorong perjuangan penuh tekad sampai kemudian Abihirt bersedia untuk menerima panggilan suara dan meskipun mereka bicara terlalu singkat. Di
“Aku punya pabrik di sini. Bagus kalau kau menyukainya.” Abihirt bicara nyaris menyerupai bisikan parau dan pria itu seperti menuntut sesuatu yang tidak Moreau berikan, meskipun tidak mengatakan secara gamblang. “Siapa yang tidak akan menyukainya? Aku bisa memamerkan kepada Juan kalau ayah sambungku ... pemilik brand teknologi kenamaan, memberikan ponsel ini sebagai ganti rugi. Dan tahu kau apa? Juan tidak akan bisa memiliki ponsel keluaran terbaru seperti punyaku, setidaknya untuk saat ini. Aku malah berharap kalau kau tidak akan memasarkan ponsel ini dengan cepat.” Tingkat waspada di benak Moreau mendadak tergantikan oleh sikap tak terduga, di mana dia bicara terlalu panjang dengan senyum tak pernah luput dari bibirnya. Tidak ada yang salah. Dia hanya tidak mengerti, mengapa Abihirt nyaris seperti terpaku saat memperhatikan cara dia menjabarkan segala sesuatu yang terpendam. “Jika ada yang bisa memberikanmu gunung, kau mungkin juga akan memintanya.”
Moreau tahu Abihirt akan membutuhkan ponsel di sana. Sepertinya telah ditinggalkan begitu lama. Dia menelan ludah kasar mengamati kening pria itu berkerut dalam, seolah sedang merasa ganjil dan ya .... Tiba – tiba Moreau tersadar akan sesuatu. Dia lupa untuk mengembalikan ponsel Abihirt ke pengaturan normal. Persis saat mata kelabu itu menatap ke arahnya, pandangannya segera berubah tempat. Paling tidak, agar mereka tak melakukan kontak mata, karena dia gugup diliputi bahu yang tegang. “Kau meminjam ponselku bukan hanya untuk melihat foto?” Pertanyaan Abihirt terdengar cenderung menyudutkan. Itu memang benar. Namun, Moreau tak ingin terburu seakan dia telah melakukan kesalahan teramat fatal. “Aku memang hanya melihat foto – fotoku.” Ego melarang dia mengakui sesuatu begitu bebas, tetapi desakan dalam dirinya telah mengingatkan jika dan jika ... Abihirt bukan tipikal pria yang mudah dikelabuhi. Terbukti dari sorot kelabu yang menatap dengan penilaian ko
Berulang kali kelopak mata Moreau mengerjap, menyesuaikan situasi setelah tanpa sadar tertidur di samping ayah sambungnya. Dia berusaha mengumpulkan nyawa; mengumpulkan sisa – sisa bagian dalam dirinya yang masih begitu mengantuk. Namun, hening yang bergemuruh seketika menyadarkan supaya dia ditarik secara paksa ke permukaan. Segera menyadari bahwa Abihirt sudah tidak berada di tempat terakhir kali merasa pria itu masih tertidur di sisi ranjang sebelah. Sambil perlahan beranjak bangun, Moreau mengedarkan pandangan ke pelbagai arah. Tidak ada siapa pun. Dia di sini sendirian. Abihirt sepertinya pergi, tetapi ponsel pria itu masih tergeletak di atas nakas—persis sama sekali tidak disentuh, karena terlihat tak berubah tempat. Moreau masih ingat posisi yang dia pilih di sana dan bisa menebak sebagai dugaan paling tepat. Mungkin ayah sambungnya terburu – buru, sehingga melupakan satu hal tersebut. Sekarang apa yang bisa Moreau lakukan? Dia mengembuskan napas kasa
“Kau terlihat seperti villain, kau tahu itu?” Moreau berkomentar tanpa sadar saat dia masih mengulik ponsel ayah sambungnya untuk memilih foto mana yang perlu dipertahankan dan tidak. Walau sebenarnya hampir tidak ada yang tersisihkan, karena dia nyaris menyukai semua hasil tangkapan gambar Ahmed. Bahkan potret terakhir sekalipun dengan ekspresi wajah terkejut begitu kentara di sana; di mana sikap Abihirt benar – benar membuat wajah Moreau terbenam di antara lengan pria itu yang menjepit. Dia diam – diam tersenyum membayangkan kembali kejadian tersebut. Berpikir jika ayah sambungnya merupakan tipikal orang yang jahil. Hanya diberi sampul berupa gunung es untuk tidak mencair begitu saja. Bagaimanapun ini kali kedua Moreau mendapati Abihirt bersikap lepas terhadap pengendalian diri yang murni. Tentu tidak menduga – duga secara asal. Lagi pula, mereka memutuskan segera kembali ke hotel setelah pria itu memastikan dia telah merasa puas, meski sebenarnya tidak. Hanya tid
“Aku tidak mau melakukan hal konyol seperti ini.” Suara serak dan dalam pria itu—ntah terdengar menyerupai bisikan kecil, meski Moreau dapat mendengar sangat jelas, bahkan menafsirkan nada enggan yang begitu kentara di sana. “Ini tidak konyol,” dia membantah setengah jengkel. “Tapi kau yang tidak punya selera humor,” dan meneruskan dengan kata – kata jujur. Abihirt terlalu kaku. Sungguh sangat tidak menyenangkan jika ayah sambungnya masih akan bersikap seperti itu. “Sekarang lihatlah ke kamera.” Ahmed sudah begitu siap. Moreau tidak akan membiarkan Abihirt hanya diam tanpa minat. Secara naluriah memeluk lengan pria itu—memaksa supaya ayah sambugnnya bersiap – siap. Sementara dia melebarkan sudut bibir ke arah kamera. “Tersenyumlah sedikit, Mr. Lincoln.” Abihirt mati gaya. Itu yang sudah bisa Moreau duga. Dia diam – diam mengembuskan napas kasar dan menarik lengan ayah sambungnya lebih dekat. Paling tidak, ini tak akan terlihat buruk saat dia haru
“Kau yakin hanya akan menuntunku saja? Tidak mau ikut menunggang unta bersamaku?” Mereka telah melakukan perjalanan terlalu jauh. Moreau sendiri tidak yakin apakah ayah sambungnya akan sanggup melangkah lebih lama. Pria itu benar – benar hanya menuntun. Berjalan di samping unta, menyusuri hamparan gurun pasir yang panjang, sementara dia menunggang dengan tenang dan sesekali memperhatikan Abihirt ketika pria itu terlihat sangat berkeringat. Ada satu bagian—persis tidak bisa Moreau lewatkan. Kulit Abihirt terlihat murni. Ujung hidung pria itu memerah. Sebuah reaksi ajaib di mana panas terik membuat ayah sambungnya terlihat seperti bayi yang dijemur di pagi hari. Moreau tidak tahu apakah dia perlu tersenyum. Terus mengagumi. Atau memaksa Abihirt supaya bersikap setuju. Masih belum ada tanggapan dan sepertinya itu tidak akan berjalan dengan mudah. “Jangan bilang kau tidak tega melakukannya. Maksudku, menunggangi unta,” dia bicara tanpa berpikir ternyata akan san
Moreau tidak tahu percakapan di antara mereka. Secara teknikal dia tidak mengerti bahasa Arab, tetapi ayah sambungnya terdengar mengatakan setiap kata begitu lancar; itu dapat diduga dari lawan bicara yang terlihat tidak mengalami kesulitan menanggapi—mungkin tentang urusan penting. Moreau seharusnya menjatuhkan perhatian pada bagaimana jemari Abihirt melipat kain sorban dan tampaknya juga merupakan hal biasa; hal yang sering dilakukan. Sayangnya, dia tetap merasa terkejut, terutama ketika pria itu menarik tubuh mereka saling berhadapan. Tidak ada protes terungkap dari bibir Moreau. Hanya terus memperhatikan setiap detil tindakan dari Abihirt. Tangan pria itu bergerak persis mendekatkan sorban di kepalanya, menempelkan pada bagian penting di kening, lalu mengatur gulungan sorban menjadi lipatan indah dengan rambut yang dibiarkan tergerai panjang. Rasanya benar – benar terlalu mudah menyaksikan Abihirt melakukan segala sesuatu di sana. Moreau tak bisa menahan diri, b