“Apa yang tidak perlu kukatakan memangnya?” Moreau berbalik tanya. Dia tahu persis tujuan pria itu, memilih tidak menunjukkan di hadapan Abihirt. Masalahnya, ini seharusnya tidak perlu dibesarkan. Moreau hanya berniat memperbaiki isi pemikiran Roki, supaya tidak terus – terusan mengira hal – hal berkonotasi buruk di antara mereka, dan pula untuk menghindari percakapan yang terlalu curam.
“Kau bicara kepada Roki tentang hubunganmu dan ibumu?” “Memang seperti itu, kan, kenyataannya?” Moreau langsung menambahkan. Hal yang hampir tanpa dia sadari ketika mata kelabu itu sekali saja seperti mustahil untuk meninggalkannya. Bahu Moreau menegang, tetapi dia tidak menunjukkan di hadapan Abihirt secara terang – terangan. Ada batas yang seharusnya dapat mereka kendalikan. “Kau seharusnya bersikap pintar.”Otot kaki Moreau mendadak lemah mendapati tangan Abihirt meluncur di bawah sana. Jari cekatan itu menemukan jalan masuk di balik celana tipis. Dia tersentak, segera mencengkeram di bahu Abihirt saat pria tersebut bernapas nikmat di ceruk lehernya. Lidah hangat Abihirt begitu konsentrasi mencerminkan gerakan jari pria itu di bawah. Moreau merasakan panas yang menggetarkan. Setiap sensasi merangkak ke puncak kepalanya. Dia berpegangan makin erat. Tidak sadar kapan ... matanya sempat terpejam, tetapi iris biru terang itu juga tersentak terbuka. Pemandangan luar dari jendela kaca membutakan pengelihatan Moreau saat puncak gairah, dan mulut Abihirt yang merampas bibirnya, menenggelamkan pelesapan yang akan segera diledakkan. Tubuh Moreau berakhir lemah di pelukan Abihirt. Napas mereka naik turun dalam hirup – pikuk tak beraturan. Namun, dia mengerti ini b
Sapuan angin kepada dedaunan kering memberi sedikit sentuhan ganjil di sekitar halaman rumah. Barbara mengernyit heran mendapati situasi terasa begitu hampa. Sudah cukup sore, seharusnya mobil Moreau terlihat, karena dia tahu ini sudah lewat dari jam latihan, sama seperti tekadnya untuk mengatur jadwal pulang lebih cepat. Barbara tidak tahu apa yang akan dilakukan sendiri di Paris setelah acara pergelaran selesai. Samuel tidak di sana menemani, dan pria sesungguhnya yang paling dia tunggu ... juga telah mengingkari janji tanpa memberi kabar sampai saat ini. Berpikir lebih baik tidak memberitahukan apa pun tentang kepulangannya. Tidak usah mengisyaratkan sesuatu mengenai beberapa hal kepada Abihirt. Berniat ingin menyusul ke kediaman mewah sang suami nanti, setelah dia sudah cukup tenang melepaskan diri di kamar mandi. Satu langkah Barbara ... berniat kembali melanjutkan tindakan yang tertunda. Dia memegang koper, menyeret
Napas Moreau tercekat ketika dia membuka pintu rumah dan tiba – tiba harus mengetahui ibunya ada di sana. Sedang duduk di atas sofa dengan kedua kaki mengapit di antara tubuh Abihirt, sementara pria itu begitu tenang bersandar di kaki sofa diliputi wajah menengadah, menghadap ke satu titik, di mana Barbara luar biasa fokus menambahkan pijatan ringan setelah wanita itu membaluri gel kental di bagian rahang. Kejutan. Sebuah romantisme sederhana, yang tidak pernah Moreau pikirkan akan dia temukan di sini. Persis seperti dia tidak pernah mengira bahwa ayah sambungnya akan menaruh seluruh kepercayaan kepada wanita yang secara kebetulan mendapati Moreau masih berdiri di depan pintu. Gugup ketika kontak mata mereka bertemu. “Kau pulang lebih lama dari jadwal latihan?” Begitu yang pertama kali Moreau dapatkan. Sesekali dia akan melirik ke wajah ayah sambungnya. Abihirt bahkan tidak peduli, ntah dia tiba di rumah setelah latihan panjang, atau tentang ingatan bercinta, tindakan tak bermo
Pagi – pagi sekali, rasanya Moreau hampir tidak pernah ingat akan menghadapi situasi yang cukup menghibur ketika dia mengetahui beberapa tamu, keluarga dari ibunya, datang dan sedang berkumpul di meja makan. Kebetulan ada si kecil Troyas sedang memainkan perangkat makan di pangkuan seorang wanita. Moreau langsung melangkah lebih dekat, sesekali mengusap pipi gempal, yang pemiliknya seolah tidak peduli atas kedatangan lainnya. “Boleh aku pinjam anakmu sebentar, Lauren?” Dia mengulurkan tangan tidak sabar, tahu bahwa wanita yang dipanggil hati – hati, keponakan dari ibunya, tidak pernah keberatan menitipkan bocah berusia dua tahun itu, atau Moreau bisa menyebut keponakan kecil yang menggemaskan. Dia mencium wajah Troyas ketika anak laki – laki tersebut terlalu sibuk memainkan sendok plastik di tangan. Aroma bayi masih begitu khas. Moreau semakin tidak bisa menahan diri, mengendus bagian belakang leher padat kencang sambil memelu
Kebutuhan menyusul seolah memancar dari bahu Barbara. Moreau mengerti keinginan yang sedang ibunya persiapkan, sehingga memilih dengan hati – hati mendekap tubuh gempal Troyas. Lauren telah selesai menyuapi anak laki – laki tersebut, dengan lembut berpamitan untuk meletakan perangkat makan di tempat pencucian. Tubuh Troyas menggeliat, ingin turun, dan benar – benar akan merekatkan telapak kaki di atas lantai yang dingin. Moreau tidak cukup berani memaksa keponakan kecilnya, berharap Troyas tidak akan berlarian, tetapi dia salah. Anak laki – laki itu langsung memeluk Lauren yang sedang berdiri sambil tersenyum, seakan sangat puas mendapati Moreau hanya diam, tanpa berusaha mencegahnya. “Troyas memang senang mengajak siapa pun berlari. Dia sepertinya senang bersamamu, Moreau. Tapi sedikit malu – malu.” Lauren segera menambahkan setelah wanita itu se
“Siapa yang melakukan ini?” Sekali lagi, dapat disebut untuk pertama kali, akhirnya Barbara mengatakan satu hal. Bicara diliputi suara menahan amarah, nyaris bergetar, tetapi Moreau memahami betapa wanita itu berusaha menyesuaikan diri. Berusaha agar tidak meledak, terutama mereka sedang memiliki tamu. Kegugupan Moreau bertambah serius ketika dia harus mengamati kemunculan John yang sepertinya telah diburu. Suami Lauren mungkin mendengar suara menggelengar, mencari sumbernya, kemudian berhenti di sana. “Maaf, Nyonya, saya—saya—“ “Maaf, Mom. Aku sedang mengejar Troyas dan tidak sengaja menyenggolnya.” Moreau mendeteksi Caroline akan mengajukan diri, mengakui sesuatu yang sebenarnya tidak seutuhnya wanita itu lakukan. Dia juga mengambil andil. Andai, tidak mengeja
“Apa yang mau kau lakukan, Mom?” Moreau bertanya sarat nada waspada. Satu benda lain di tangan Barbara menegaskan sesuatu. Gunting. Dia tahu ini akan menjadi hal brutal dari keputusan yang akan datang. Jaket cokelat berbulu di genggaman Barbara jelas bukanlah prospek bagus di sana. Moreau belum sempat menemukan cara menghentikan, tetapi wanita itu telah melakukan tindakan secara sengaja. Mencabik – cabik kain di hadapannya—bahkan luar biasa menikmati suara sasak gunting di sekitar mereka. “Mom!” Moreau ingin bertindak, tetapi pada akhirnya tindakan Abihirt selalu lebih cepat dari naluri yang dia miliki. “Apa yang kau lakukan?!” Tangan besar itu turut menggenggam jaket berbulu yang sama. Tubuh jangkung Abihir
Pedih, kebas, bercampur dalam reaksi pertama yang dapat Moreau rasakan. Dia memegangi wajahnya seraya hati – hati menatap sesuatu masih tertinggal di tangan wanita itu. Tidak ada lagi yang Moreau katakan. Matanya memanas, tetapi juga didesak kebutuhan merenggut jaket yang telah dilubangi di sana. Biarkan wanita itu terkejut. Moreau langsung melangkahkan kaki, menyiapkan pilihan untuk meninggalkan Barbara di sana, walau kemudian dia akan mendapati Abihirt bicara. “Aku tidak merasa kau perlu melakukan ini, Barbara. Tindakanmu berlebihan.” “Aku hanya memberinya pelajaran supaya lain kali Moreau bisa menjaga suaranya di depanku.” “Kau merusak jaket dari ayahnya.” “Itu kulakukan untuk membalas guci kesayanganku yang pecah.” Dalam sekejap Moreau menelan ludah kasar mendeteksi wajah Abihirt yang langsung menatap Caroline tajam. Dia masih di sana, secara naluriah berhenti sekadar mengetahui yang tersisa. Pria itu tentu menuntut tanpa upaya membocorkan yang sebenarnya, walau Carolin
[Abi, boleh aku pinjam ponselmu untuk mengirim foto – fotoku yang ada di padang pasir ....] Rasanya sekujur tubuh Barbara mendidih membayangkan apa yang sedang logikanya uraikan. Abihirt berkata jika pria itu masih Dubai; akan segera pulang, tetapi sangat mengejutkan mengetahui suara Moreau menyelinap masuk di tengah pembicaraan mereka. Ini tidak dapat disesali. Betapa pun Barbara mencoba sekadar menyangkal. Dia telah menyaring segala sesuatu yang terjadi di sana, dengan jelas ... dengan sangat jelas bahwa Moreau butuh foto – foto di padang pasir untuk dikirim ke ponsel gadis itu. Barangkali juga tidak diharapkan penjelasan lebih tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sialnya, Barbara bahkan belum mengucapkan apa – apa dan menuntut Abihirt membicarakan semua yang telah suaminya sembunyikan, termasuk saat Abihirt mengaku tidak mengetahui keberadaan Moreau di kali terakhir dia menghubungi pria itu sambil membicarakan keberadaan putrinya yang tidak berkabar. Namun, pa
Namun, untuk beberapa saat Moreau menoleh ke arah ayah sambungnya ketika menyentuh gagang pintu. Abihirt terduga merenggut ponsel pria itu di atas nakas. Mungkin ada kesibukan penting, yang secara tidak langsung mengingatkan Moreau bahwa ada satu hal—lupa dia katakan kepada ayah sambungnya. Ini tidak akan lama. Dia hanya akan membasuh wajah dengan percikan air, kemudian kembali kepada pria itu. Memang tidak lama. Ketika Moreau menatap pantulan wajah di depan cermin, tindakan kali pertama dilakukan adalah menarik napas dalam – dalam. Semua perangkat di sini hanya milik Abihirt. Dia akan menggosok gigi, nanti, di rumah. Sekarang sebaiknya menghampiri pria itu di atas ranjang. Mendadak ledakan dalam diri Moreau menjadi antusias. Dia memang tidak sabar ingin mengirim foto – foto di padang pasir hari itu, setelah mulai mengoperasikan ponsel baru pemberian ayah sambungnya. Berharap Abihirt tidak keberatan saat dia mengatakan tujuan yang sedang berkecamuk liar. Mo
Walau ternyata tidak .... Moreau merasakan sesuatu yang berat menindih di sekitar tubuhnya. Dia mengerjap beberapa kali untuk menyadari bahwa biasan cahaya dari jendela berusaha menembus masuk melalui tirai yang menjuntai. Sudah pagi. Sepertinya permintaan tidur semalam membuat dia terlelap nyenyak. Moreau tidak akan berkomentar apa – apa tentang hal tersebut. Semua sudah berlalu dan tidak perlu mengingat kembali sesuatu yang pada akhirnya selalu berujung tidak pasti. Sambil mencoba bergeser, dia menghirup udara sebanyak mungkin, sedikit ingin meregangkan tulang – tulang yang terasa kaku, tetapi segera menyadari jika hampir tidak ada ruang sekadar bergerak. Seseorang seperti membuatnya terperangkap; menghirup aroma maskulin yang menyerbu deras, hingga tanpa sengaja Moreau menyentuh helai rambut—terasa halus, dan dia tetap menyapukan telapak tangan dengan lembut di sana. Ini seperti meninggalkan sensasi tertentu, tidak tahu mengapa secara naluriah sudut bibi
“Kenapa kau terus menghimpitku seperti ini?” Butuh keberanian penuh tekad dan Moreau akhirnya mengajukan pertanyaan diliputi suara nyaris setengah berbisik. Ingin menoleh ke belakang, tetapi jelas keberadaan wajah Abihirt justru membuat pipi mereka bersentuhan. Pria itu dapat dipastikan tidak akan mengatakan apa – apa. Moreau secara naluriah mengembuskan napas kasar; membiarkan Abihirt mengatur posisi lebih baik dan sekarang wajah pria itu nyaris terperangkap di ceruk lehernya. Abihirt tidak tidur. Demikian yang setidaknya dapat Moreau rasakan. Mungkin juga tidak akan secepatnya terlelap, walau pria itu mengakui sendiri untuk tidak melakukan apa pun setelah mereka melakukan perjalanan jauh. Lagi pula, ada sisa hal di antara mereka yang tidak coba Moreau ungkap begitu saja. Masih tentang Froy dan dia akan mencoba mencari petunjuk. “Aku memikirkan sesuatu.” Mula – mula memulai dengan rasa waspada meningkat deras di benaknya. Ketika Abihirt masuk ke dala
Menyenangkan menggoda Abihirt. Demikian yang Moreau rasakan. Kali ini dia benar – benar berani. Benar – benar akan bersikap menantang ayah sambungnya dan secara tentatif merenggut kain yang dikenakan hingga menyisakan dalaman berenda yang kontras. Membiarkan jeda terjadi beberapa saat, kemudian ragu – ragu melirik Abihirt ketika harus dengan hati – hati menutup beberapa bagian tubuhnya di hadapan pria itu. Dia yang berusaha memancing sesuatu meledak dalam diri Abihirt, tetapi tidak ingin suami ibunya menjadi brutal dan tidak terselamatkan. Sekarang, begitu perlahan memasukkan tangan ke dalam bolongan kain—mengenakan kaus pemberian pria itu dengan tepat. Selesai. Tubuh Moreau terbungkus. Dia seperti tenggelam. Segera menunduk dan menyaksikan bagaimana ujung kain sungguh secara pasti menyentuh di pahanya. Abihirt menebak dengan tepat untuk tidak menambahkan celana. Cukup dengan dalaman satin tipis dan itu membuat Moreau merasa nyaman. “Aku akan tidur sekarang,
Moreau menunduk; tersadar bahwa perlu melakukan hal serupa, tetapi koper dan seluruh pakaian barunya—yang dipersiapkan ketika mereka hendak menuju Dubai, masih di mobil. Abihirt tidak memberikan petunjuk tentang barang – barang yang tertinggal di luar. Barangkali pria itu akan menyiapkan nanti, saat mereka telah begitu siap dan Moreau hanya perlu menunggu ayah sambungnya menyelesaikan bagian tersisa. Dia tidak akan diam begitu saja, segera menyusul bangun dan menerapkan perhatian pada kali terakhir bahu kokoh milik suami Barbara masih terlihat membelakanginya. Mungkin terlalu lancang. Ya. Namun, itu lebih baik daripada tidak pernah. Setiap detil tindakan Abihirt begitu tak terduga. Pria itu dalam sekejap telah berpakaian rapi di sana. Paling tidak, hal tersebut perlu digaris bawahi. Tidak ada yang perlu disesali, meski Moreau merasa sangat gugup saat mata kelabu itu menatap ke arahnya lamat. “Kau bilang masih mengantuk. Kenapa tidak tidur?” Suara serak dan dalam A
“Aku sangat mengantuk dan malas berjalan, bisa kau menggendongku saja?” Moreau tidak ingin menganggap ini berlebihan ketika dia hampir tidak bisa mengajukan protes kepada ayah sambungnya; mengenai keputusan pria itu untuk berada di sini, di halaman mansion mewah, alih – alih kembali ke rumah tempat mereka tinggal. Mungkin ini akan cukup pantas memberi pemahaman. Abihirt juga tidak menunjukkan sikap enggan sekadar menuruti apa yang baru saja coba dia mulai di antara mereka, yang diam – diam membuat Moreau melekukkan bibir tipis setelah mendeteksi bagaimana cara pria itu turun dari mobil, lalu mengambil sikap mengambil tubuhnya—mendekap erat dengan kedua tangan melekat penuh di sana. Moreau secara naluriah berpegangan di leher ayah sambungnya. Dia menengadah. Mengagumi setiap detil hal di wajah pria itu. Nyaris tidak ada yang bisa dilewatkan. Rasanya menyenangkan membayangkan seperti berkencan dan Abihirt sebagai kekasih baik, menuruti apa yang diinginkan. Wa
“Aku hanya penasaran bagaimana supaya bisa mengubah suamiku itu. Apa menurutmu dengan punya anak?” tanya Barbara lambat. Ada ekspresi penyesalan ketika dia mengatakan hal tersebut. Samuel tidak akan memahaminya dan dia tidak berniat bercerita lebih banyak. “Punya anak dariku atau Abi?” Alih – alih menyerahkan saran, pria itu malah berbalik tanya seolah – olah ada begitu banyak pilihan, tetapi Barbara perlu mengambil salah satu. Ya, hanya satu dan tak seorang pun dapat mengubah permainan yang akan dia mulai. “Sudah pasti Abi. Dia suamiku,” ucapnya tidak terbantahkan. “Tapi aku sering menyentuhmu.” Celakalah! Samuel memiliki pelbagai cara sekadar menjatuhkan harapan yang dia bangun bertingkat – tingkat. Barbara mengembuskan napas kasar; merasa perlu memunculkan prospek kenyataan untuk tidak terlupakan. “Meski kau sering menyentuhku. Tetap saja, Abi adalah suamiku. Dia juga menyentuhku. Kalian impas.” “Tidak impas. Kau sendiri yang mengakui ba
“Kau suka perjalanan di kapal persiar, Sayang?” Angin laut berembus deras di permukaan tubuh Barbara, meninggalkan kesan menyapu yang terlalu dipaksakan, tetapi dia begitu menikmati setiap serangkaian kegiatan di sini, bersama Samuel dan pria itu baru saja berbisik sangat lembut di wajahnya. Barbara tersenyum tipis merasakan lengan pria itu mendekap secara tentatif, hingga wajah yang bergerak telah menyeruk di sekitar lehernya. “Jangan kau lakukan itu, Sam!” ucap Barbara memperingati setelah mendeteksi Samuel akan mengambil satu tindakan berbahaya. Tidak ingin pria itu meninggalkan bekas kemerahan dan andai suatu waktu ada desakan pulang, dia takut tak bisa menyembunyikan tanda kemerahan dari pandangan Abihirt. Tidak ada kabar dari suaminya yang dingin setelah terakhir kali mereka melakukan percakapan di telepon. Bahkan Barbara butuh didorong perjuangan penuh tekad sampai kemudian Abihirt bersedia untuk menerima panggilan suara dan meskipun mereka bicara terlalu singkat. Di